31 Desember 2021
Flashback
27 Desember 2021
Benalu
Menjelang akhir tahun, selalu ada keinginan untuk melihat ke belakang tentang apa yang sudah terjalani di tahun ini. Saat itu terlintas, terlihat pohon jambu di rumah. Teringat juga rumah masa kecil saya yang banyak pohon-pohonnya. Yang terbanyak dan besar-besar adalah pohon mangga. Teringat cerita papa saya. Saat saya bertanya tentang daun-daun yang nampak lain bentuk dan hijaunya di pohon-pohon itu. “Itu benalu! Itu menghisap makanan pohon itu.” Kata papa, benalu itu berasal dari tempat lain, dibawa oleh burung, bisa bijinya menempel di paruh burung atau bisa juga ada di kotoran burung yang menempel di dahan-dahan itu. Benalu itu bisa nampak begitu hijau dan rimbun, lebih segar dari daun-daun pohon itu sendiri.
Benalu penghisap makanan pohon itu menjadi ikon di benak saya kali ini. Saat suasana perekonomian global yang meredup karena pandemi, saat banyak orang berteriak tentang pendapatan yang berkurang. Bisa saja suplai makanan yang saya terima tidak terganggu. Kalau ekonomi meredup dan saya tetap tersuplai seperti biasanya, apa itu berarti bahwa saya sudah memakan porsi ekonomi yang lebih besar dari yang tersedia? Harusnya tidak masalah dengan memakan porsi yang lebih besar, asal ada output yang berpadanan. Pandemi ini bisa jadi alasan juga untuk menutupi bahwa selama pandemi gerakan terbatasi, termasuk gerakan untuk menghasilkan output yang berpadanan dengan apa yang sudah diterima. Pandemi ini bisa mengungkapkan bahwa saya adalah benalu?
Saya memang bisa bilang bahwa penilaian output itu bukan urusan saya dan pikiran saya. Biarlah orang luar yang menentukan bahwa itu benalu atau bukan. Orang luar bisa melihat. Seperti daun-daun benalu yang nampak rimbun dan hijau yang dapat mengelabui orang bahwa pohon itu indah. Daun-daun itu indah, bahkan bisa nampak lebih segar dari daun-daun lainnya. Keindahan yang terbentuk dari penghisapan makanan yang sebenarnya untuk yang layak menerimanya. Lalu apa yang bisa menilai kebenaluan saya?
Alkitab pernah bilang soal Buah Roh. Ada kata buah dan itu kata kunci, karena benalu tidak berbuah seperti pohon induknya. Daun benalu bisa hijau indah, glowing. Tapi benalu di pohon mangga tidak berbuah mangga, malahan benalu bisa membuat pohon mangga itu kering tidak berbuah. Jadi kalau saya benalu, maka saya makan dari pohon itu tapi saya tidak menghasilkan buah seperti yang diharapkan dari pohon itu. Walau saya berdaun indah, itu hanya tipuan. Bila orang tidak tahu pohon apakah itu, bisa mengetahuinya dari buahnya yang terdahulu, dan setelah kehadiran saya, apakah buah itu tetap ada makin lebat?
Benalu itu parasit. Bukan anggrek yang berbunga indah yang epifit. Parasit menghisap makanan dari pohon induknya sedang epifit hanya menempel tidak menghisap nutrisi sang induk. Anggrek hanya menempel, tidak menghisap sari makanan tapi berkontribusi memperindah dengan bunganya untuk pohon induknya. Saya ini parasit atau epifit?
18 Desember 2021
Mari Hidup Sehat
sekali lagi jangan bosan
Deraan Covid-19 membuat saya bosan dengan jargon seperti judul itu. Dimana-mana, kapan saja, banyak poster, WA, ajakan, seruan, nasehat untuk hidup sehat. Ada ajakan Prokes yang M-nya makin lama makin banyak, hingga jargon pembungkus saat ada rekan yang berusaha menjual produk makanan kesehatan. memang nilai positifnya adalah masifnya ajakan dan perhatian untuk menjaga kesehatan dan berusaha kuat untuk jadi makin sehat.
Covid-19 ini membuat saya diajak makin perhatian dengan kata sehat. Tapi sehat itu apa? Saya teringat: Mens sana in corpore sano. Ada unsur sehat jasmaninya ada unsur sehat jiwanya. Covid membuat orang menaruh perhatian besar dengan kesehatan jasmaninya, tubuh harus sesehat mungkin agar tahan terhadap gempuran virus. Kalau jasmani ini sampai sakit, rasanya itu akan mengacaukan kehidupan ini. Kesehatan jasmani bisa jadi tujuan utama kata sehat itu. Suasana hati, mungkin ini sisi psikologis atau kejiwaan harus baik biar imun bisa tinggi, katanya. Bukankah hati yang gembira adalah obat. Dunia yang nyata ini menempatkan jasmani adalah yang terpenting dan kejiwaan harus bisa menunjang yang jasmani itu. Kejiwaan itu perlu sehat cuma agar jasmaninya sehat. Betulkah seperti itu?
Dunia memang saat ini diguncang oleh pandemi yang disebabkan oleh kehadiran jasmani perusak yang berupa virus. Inikah guncangan dunia yang pertama? Dunia ini malah lebih sering diguncang dengan lebih dahsyat oleh hal lain seperti perang dan kerusuhan. Bisa perang yang lokal ataupun yang meluas mendunia, Perang Dunia. Sejarah mencatat ada sosok beberapa orang yang bisa mengobarkan perang yang menyusahkan banyak orang itu. Mulai dari Jenghis Khan, Julius Caesar, Napoleon Bonaparte, hingga Adolf Hitler. Siapa nama-nama itu? Banyak buku juga membahas nama-nama itu, kisah hidup mereka dan latar belakang kejadian yang membentuk mereka. Pola pikir yang membawa mereka masuk dalam angan dan mengobarkan perang tersebut. Mereka punya latar belakang kejiwaan yang membuat mereka masuk dan mengobarkan perang itu. Dunia beberapa kali terguncang karena ada orang yang secara kejiwaan atau psikologis bermasalah. Dengan apa yang ada dibenaknya, ia mengobarkan sesuatu yang merusak dunia ini. Latar Psikologis mampu berdampak merusak dunia.
Dunia juga mencatat berlimpah kisah hidup orang-orang sukses yang sudah menjadi berkat bagi sesama manusia. Bisa jadi mereka tidak lahir dengan modal kesempurnaan, tetapi ada dorongan di benak mereka yang memicunya menjalani jalan hidup spektakuler yang menjadi berkat. Latar kejiwaan atau psikologisnya yang menjadi pemantik kesuksesannya. Kondisi kesehatan kejiwaan atau psikologis ternyata bisa membawa keberkahan buat orang lain.
Kesehatan kejiwaan atau kesehatan psikologis atau kesehatan mental bukan sesuatu yang cuma bisa menghadirkan kesehatan jasmani. Menambah imun! Kondisi kesehatan mental itu yang menjadi penentu apakah seseorang bisa menjadi berarti bagi dunia ini. Tidak semua orang bisa mendapat berkat untuk lahir dengan kondisi yang layak dan sempurna, baik jasmaninya maupun mentalnya, tapi keinginan untuk menjaga dan terus menaikkan kesehatan mentalnya akan membawa suasana kehadiran kerajaan Allah di muka bumi. Tiap orang bisa mengusahakan kesehatan mentalnya untuk bisa menjadi berkat.
Alkitab bilangnya “..pembaharuan budi…” di Roma 12:2. Menjalani proyek pembaharuan budi akan menunjang kesehatan mental. Menjalani proses pembaharuan budi akan membuat dunia makin indah. Yang terlahir sombong akan berusaha rendah hati, yang terlahir culas akan belajar mau memperbaharui sikapnya jadi ramah. Pembaharuan budi ini yang bisa mencengangkan sesama, karena hanya Tuhan yang mampu merubahkan karakter dan sikap mental. Dunia bilang: “Watuk bisa sembuh, tapi kalau watak sulit sembuh!”, Kekeristenan menawarkan pembaharuan budi. Tuhan sanggup merubahkan karakter. Saat dunia sering terkejut dengan topeng yang dibentuk dengan balutan agama, pembaharuan budi akan menampilkan umat Kristen yang semakin hari semakin sehat mentalnya. Pembaharuan budi bisa merubahkan dunia. Pembaharuan budi bisa menghadirkan kerajaan Allah di muka bumi ini. Pembaharuan budi bisa membuat dunia yang makin sehat secara mental.
Pola
Banyak kali di tiap rapat, di tiap perbincangan, ada permintaan tentang “data”. Saat pengambilan keputusan akan dilakukan, biasa ditanyakan, “Bagaimana datanya?” Dengan data, saya bisa mengambil keputusan. Dengan data memang ada keputusan yang bisa saya ambil dengan mudah dan terasa tepat. Ada data sebagai dasarnya.
Bila keputusan itu adalah hasil sebuah pertanyaan sederhana, tersedianya satu data cukup bisa menyelesaikan masalah. Saya mau beli laptop, data yang saya perlu hanya apakah saldo uang saya cukup? Satu data bisa menjawab persoalan yang muncul. Namun ada banyak masalah yang saat akan diambil keputusannya, datanya tersebar dengan banyak. Tersedia setumpuk data untuk satu keputusan yang perlu diambil. Apakah saat ini memang masa-masa berakhirnya pandemi Covid-19 ini? Apakah harga tanah yang ditawarkan ini adalah harga yang termurah, jangan-jangan harga ini masih akan turun lagi? Sejumlah data tersedia harus diolah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti ini.
Hal terpenting saat berhadapan dengan banyak, sederet atau setumpuk data dan fakta adalah kemampuan untuk membaca pola yang ada. Mereka yang berinvestasi saham terbiasa dengan analisa seperti: Bollinger, Ichimoku, Fibonacci, dan lainnya. Itu sebenarnya adalah kemampuan membaca pola naik turunnya harga untuk bisa menganalisa harga yang akan datang. Kemampuan membaca pola ini juga dipelajari dalam matematika statistika. Titik-Titik data yang tersebar itu didekati dengan pola grafik yang dianggap paling cocok untuk kemudian dipakai untuk menebak kecenderungan data yang akan muncul kemudian. Apa itu pasti cocok? Tidak ada jaminan, tetapi seperti kata Pengkotbah “Yang sekarang ada dulu sudah ada dan yang akan ada sudah lama ada..”. Pengkotbah percaya bahwa di muka bumi ini selalu ada polanya, pola itu yang akan berulang dan pola itu yang berguna untuk menebak kejadian apa yang bakal terjadi.
Alkitab juga menampilkan pola. Pola di perjanjian lama yang kuat adalah bahwa Allah adalah penguasa alam semesta. Bagaimana Allah yang Maha Besar dan Maha Kuasa itu harus menjadi fokus utama manusia. Goliat menjadi hancur hanya karena ia mengolok-olok Allah Israel dan Daud tampil sebagai sosok alat yang dipakai Tuhan mempertontonkan kedahsyatan itu. Juga saat utusan raja Asyur mengolok-olok Allah Israel dan Raja Hizkia mau tetap percaya bahwa Allah sumber kekuatannya, maka Allah menghacurkan kecongkakan tentara Raja itu. Pola Allah yang menjadi sumber pengharapan dan kehidupan. Pola ketulusan kasih juga menjadi pola utama layanan Kristus di perjanjian Baru. Dengan belajar membaca pola, banyak hal bisa dipahami dan bisa ditebak penyelesaian permasalahan yang ada.
Ilmu ini bisa begitu rumit kalau mau dipraktekkan dengan hitungan matematika. Minimal harus belajar regresi polynomial, belajar ilmu statistika yang mbingungi. Kalau cuma untuk menghidupi panggilan keseharian, kemampuan mengamati tiap kejadian akan membantu untuk membaca pola yang ada. Tiap kejadian akan menimbulkan respon spesifik dari tiap pelaku dan pihak terkait lainnya. Itu kalau diamati akan mampu menangkap pola yang mungkin bisa untuk membaca masalah yang ada. Bila saya tidak suka parfum, akan jadi ada yang perlu ditanyakan kalau saya tiba-tiba pakai parfum. Bisa jadi karena kakak saya yang banyak memberi saya parfum datang dan harus saya temui. ah… mosok..? Atau bila saya suka balik menantang bila diberi pertanyaan yang memojokkan, mungkin itu pola yang perlu diamati untuk dilihat responnya bila memang tantangan itu ditanggapi. Bisa jadi saya benar-benar punya pola respon penyembunyian seperti itu.
Mengamati pola akan melatih untuk menebak respon dan mungkin bisa menambah kemampuan menyelesaikan masalah.
05 Desember 2021
Saya Bukan Malaikat
Di masa Adven saya sering melihat ornament malaikat, karena bisa jadi malaikat adalah pembawa berita sukacita Natal. Kehadiran malaikat dengan berita membahagiakan itu juga saya nantikan. Saya jadi ingat dengan jargon seperti judul di atas itu. Bisa jadi saya sering menyebutkan jargon itu saat ada orang yang membicarakan tentang banyak hal dalam kehidupan saya yang tidak sempurna. Mereka komplain dengan kelakuan saya, mereka komplain dengan karakter saya, mereka komplain dengan apa yang sudah saya lakukan. Saya bisa menjawab mereka dengan: “Saya bukan Malaikat”.
Ada kalanya saya menjawab itu berlandaskan ketulusan bahwa saya memang bukan malaikat yang tidak bisa salah. Saya menyesal bila saya sudah salah. Saya berjanji akan berubah dan terus berusaha berubah. “Saya bukan malaikat” menjadi kunci pembuka permohonan maaf saya. Mohon dimaklumi bila saya salah, tapi saya janji akan terus berusaha berubah.
Ada kalanya saya cukup sakti menggunakan jargon judul tadi, untuk bilang bahwa saya memang bukan malaikat yang katanya sempurna. Jadi jangan pernah minta saya untuk jadi sempurna. Jangan minta saya untuk berubah, saya bukan malaikat. Jargon itu bisa jadi tempat untuk bersembunyi dari semangat pembaharuan yang akan Tuhan mulai dengan Natal. Kalau saya dianggap nakal itu karena saya memang bukan mailaikat. Kalau ada yang kecewa dengan saya, itu karena saya bukan mailaikat. Saya juga bukan malaikat yang baik, jadi cukup terima saya seperti ini jangan minta saya untuk berubah. “Saya bukan malaikat” bisa jadi tempat bersembunyi yang baik dari semua usaha proses pembaharuan budi yang dituntutkan ke saya.
Bila Natal adalah awal proses karya Allah untuk pembaharuan dunia, maka di masa adven ini, sayapun harus bersiap untuk menyambut karya Allah untuk merubah saya. Apalagi katanya manusia itu akan menghakimi malaikat (1 Kor 6:3). Apa perlu saya masih tetap kukuh pada judul itu hanya sekedar saya malas berubah demi pembaharuan budi? Natal adalah karya Allah yang mengubahkan umat manusia, Adven semoga menyiapkan saya untuk menyambut proses pengubahan oleh Allah demi menyambut kasih Allah yang senantiasa ada itu.
Saya lebih dari malaikat karena Tuhan menganugerahkan akal budi untuk terus berubah oleh pembaharuan budi.
Mempersembahkan Sampah
Kalau saja saya membawa sampah ke area gereja, pasti itu akan membuat orang lain terusik, mengganggu orang lain. Tapi yang lebih penting dari itu, saya sendiri akan malu. Saya malu kalau orang lain tahu bahwa yang saya bawa adalah sampah. Point utama saya, kalau saya membawa sampah ke gereja, itu akan mempermalukan saya. Makanya saya harus berusaha dengan keras. Usaha keras untuk tidak membawa sampah atau usaha keras agar orang lain tidak tahu bahwa yang saya bawa selama ini adalah sampah. Banyak usaha yang bisa dilakukan. Di suatu kotbah pernah disindir bahwa kegiatan sosial ajakan menyumbang pakaian bekas, bisa jadi kegiatan untuk membebaskan rumah dari sampah pakaian bekas. Tergantung bagaimana saya menanggapi ajakan berbagi itu. Saya benar memilah baju bekas saya, atau saya bawa saja semua mumpung ada alasan untuk memindahkan beban baju bekas ini dari rumah.
Katanya persembahan itu bukan cuma uang. Persembahan juga bisa segala usaha yang bisa memuliakan Tuhan. Roma 12 : 1-2 begitu sering dibacakan melandasi liturgi persembahan di gereja. Sikap hidup dan karakter baik di kehadiran saya, itu bisa jadi persembahan buat Tuhan, maka karakter buruk dan segala kelemahan sikap saya adalah bukan persembahan yang baik. Itulah sampah! Tapi sampah itu lekat di hati dan kehadiran saya. Bisa jadi sampah itu adalah keengganan untuk taat pada prosedur, keengganan untuk berkorban, keengganan berubah memperbaharui karakter, keenganan untuk berendahhati. Semua sampah yang hadir saat saya juga hadir di pelayanan ini. Saya sadar itu sampah dan saya sadar itu akan mempermalukan saya. Saya harus berusaha keras! Berusaha keras agar sampah itu perlahan terkikis dan diperbaharui oleh proses pembaharuan budi yang diridhoi Tuhan. Atau, saya akan berusaha menutupi sampah-sampah itu, agar orang lain tidak tahu bahwa saya membawa sampah selama ini. Saya bisa menutupi sampah itu dengan status kemajelisan saya, saya bisa menutupi sampah itu dengan kemampuan saya untuk mudah marah dan tersinggung. Jangan berani bilang itu sampah saya, kalau gak minta saya ngambek. Saya bisa menutupi sampah karakter saya dengan tampil lemah lebut, sopan santun, seakan saya adalah malaikat, namun saat ada yang mengorek sampah saya, saya jadi bilang "saya bukan malaikat" agar saya terlepas dari kewajiban merubah karakter. Saya juga bisa tampil rohani mampu menudingkan jari ke orang lain, agar saya tidak dituding dengan ayat yang ternyata mengharuskan saya untuk berubah oleh pembaharuan budi.
Bisa jadi saya memang terus membawa sampah ini, Tapi ada lirik di lagu Andy Lau, Everyone is Number One, "..liú zuì rè de hàn yòng zuì zhēn de xīn..", kucurkan keringat yang paling panas dengan hati yang paling tulus. Usaha keras yang tulus! Mungkin ini persembahan Natal yang bisa saya persembahkan. Usaha keras pembaharuan budi. Persembahan kucuran keringat terpanas! Keringat perlambang usaha untuk mau berusaha mempersembahkan yang terbaik. Keringat itu senyatanya juga sampah air dari tubuh saya. Tapi memang saya adalah sampah dan hanya kasih karunia Natal yang mau mengindahkan sampah seperti saya ini.
(kelanjutannya.....)
11 Oktober 2021
Binatang Jalang
……
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
……
Dulu di pelajaran Bahasa Indonesia, ada pelajaran sastra. Saya suka membaca beberapa buku atau puisi yang sempat disebutkan di pelajaran itu. Sebagian besar sudah terlupakan, mungkin cuma teringat judul atau penulisnya saja. Tapi sepenggal puisi Chairil Anwar itu, teringat kuat di benak saya puluhan tahun hingga saat ini. Entah mengapa, puisi itu terasa hidup di hidup saya ini. Binatang jalang!
Saya bukan anjing yang biasa menggonggongi musuh tuannya. Saya bukan kambing yang perlu bergerombol dalam menjalani kehidupannya. Saya juga bukan bebek yang perlu teman untuk bersuara riuh. Saya cuma binatang jalang yang terus mengembara sendiri di hadapan Sang Penciptanya. Saya menikmati kesendirian karena saya suka melamun dan berimajinasi. Bagai binatang jalang yang walaupun mungkin pincang dan ompong, ia tetap percaya diri untuk menjalani pengembaraannya. Riuh rendah suara sekitar tidak akan riuh rendah di benak saya, karena dalam kesunyian ternyata ada hadirnya Sang Pencipta saya.
Ada orang yang memerlukan label kenakalan atau kejalangannya untuk bisa jadi cerita kebanggaan. Mirip kayak kesaksian yang makin bisa menjelekkan keyakinan agama terdahulunya, akan makin terasa indah dan makin laku. Saya merasa tidak pernah bisa nakal dan jalang.
“Daniel, kamu mana bisa nakal, bayaranmu lho berapa? Gajimu cukup tha dibuat main di *******?” Itu kata seorang customer saya, yang tahu bahwa kantor saya terletak di daerah lampu merahnya Surabaya. Ada juga rekan sales lebih senior yang mengatakan, “Orang laki itu gak mungkin nakal kalau gak punya duit. Tapi nanti kalau kamu sudah punya duit, apa-apa yang dulu kamu gak kepikir malah akan jadi muncul dengan sendirinya”
Di hari ulang tahun ini, saya bersyukur bahwa Tuhan telah menangkap saya. Dalam tangkapan Tuhan saya bisa menikmati pengembaraan binatang jalang, tidak pernah kesepian dalam kesendirian dan kesunyian, tidak pernah gentar berhadapan dengan siapa dan apapun. Tuhan yang telah menangkap saya itu, adalah Tuhan yang hadir dalam penyelidikan dan pemeriksaan relung-relung imajinasi saya. Dalam kejalangan saya, ada doa Mazmur Daud, “Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku, ujilah aku dan kenallah pikiran-pikiranku” Tangkapan Tuhan ini juga hadir saat di kantong saya sudah ada kartu-kartu yang bisa untuk membiayai kenakalan-kenakalan baru. Saat segala berkat Tuhan itu ada, memang bisa menumbuhkan kejalangan baru. Hanya doa dan dukungan semua teman yang bisa meniadakan kejalangan yang merusak itu. Ampunilah kejalangan saya selama ini.
09 Oktober 2021
Orang Pandai
Sejak kecil orang tua saya menyekolahkan saya dengan harapan untuk jadi orang pandai. Dalam suatu krisis dan di puncak masalah itu Papa saya sempat bilang , “Papa tau lu sekarang sudah pinter, tapi lu harus ingat, kalau dulu papa endak utang uang ke *****, lu pasti gak bisa masuk TK dan tidak bisa jadi kayak sekarang.” Saya tercekat! Memang sejak kecil Papa tidak pernah memukul anak-anaknya. Papa sangat baik, berjuang untuk keluarganya. Menjadi orang pandai itu sejatinya harapan orang tua dan juga harapan saya.
Menjadi orang pandai itu menyenangkan, karena pasti akan membuat orang lain berdecak kagum. Orang akan tidak lagi memandang rendah saya, Rasanya orang akan lebih menghargai saya kalau saya bisa jadi orang pandai. Menjadi pandai itu jadi aktualisasi diri saya? Lalu bagaimana ya agar saya bisa tampil sebagai orang pandai dan bagaimana agar orang-orang itu tahu bahwa saya ini orang pandai?
Saya bisa tampil dengan tampilan orang pandai. Bicara dengan kosa kata sulit dan tinggi agar tampak terpelajar dan dianggap lebih tahu. Dalam rapat bisa hadir dengan kosa kata asing lalu tampil dengan usaha menjelaskan arti kosa kata itu. Mungkin orang akan kagum dengan kemampuan itu. Dengan begitu saya bisa jadi orang pandai? Tapi di masa sekarang ini kalau cuma menjelaskan arti dan maksud sebuah kata atau frase, Google sudah lebih cepat dan murah.
Saya juga bisa tampil dengan janji menyajikan suatu hal dengan bagus dan indah, agar saya juga bisa dianggap pandai. Misalnya, laporan keuangan harus dibuat dengan janji rapi dan bagus hingga butuh waktu lama untuk menyiapkannya. Waktu kerja yang lama perlu diajukan agar orang lain bisa menghargai bahwa ini dikerjakan dengan baik, sesuatu yang baik itu tidak asal-asalan jadi butuh waktu lama. Orang pandai itu kerjanya memang bagus dan perlu waktu. Tapi apa betul esensinya begitu? Esensi laporan keuangan itu cuma akuntabilitas. Saat nilai akuntabilitas itu tampil dengan dijunjung tinggi, bentuk laporan tidak akan jadi masalah utama. Saat ada semangat menampilkan laporan yang baik tapi kehilangan esensi dasar dari laporan itu, maka di hadapan orang yang mengerti suatu masalah, saya hanya sedang membangun kosmetik menutupi suatu masalah lain. Lalu saya pandai untuk apa? Kepandaian saya akan terpakai untuk menyembunyikan masalah? Kepandaian itu sejatinya untuk menggelapkan masalah agar tidak nampak, atau mencerahkan dunia agar masalah itu makin terselesaikan?
Haruskah orang pandai itu tampil di ketinggian agar orang lain bisa terdongak dan kagum? Steve Jobs, pendiri Apple, punya jalan lain. Orang pandai harus bisa menghadirkan segala sesuatu dengan sederhana. Saat merk lain berpikir dengan stylus sebagai alat penunjuk di layar, Apple hadir dengan ide bahwa manusia sudah mempunyai jari yang bisa difungsikan sebagai pointer. Lalu bagaimana? Itulah tugas orang pandai! Mencari jalan agar orang lain bisa mudah menggunakan jarinya sebagai pointer. Makin sederhana suatu barang, akan makin membutuhkan kerja canggih yang tak terlihat oleh awam.
Jadi kalau nanti saya bisa sekolah lagi, saya akan memakai ilmu saya ini untuk apa? Dengan makin pandai saya akan bisa membuat alasan-alasan yang lebih njelimet dan saya bisa minteri orang lain, atau saya bisa membuat orang lain jadi lebih pinter dengan bertambahnya kepandaian saya?
Makin pandai orang, rasanya akan makin jago ia menerjemahkan bahasa langit menjadi bahasa sederhana yang membumi. Menjadi orang pandai rasanya hanyalah menjadi orang yang bisa membuat segalanya menjadi sederhana.
Mohon Maaf Lahir dan Batin
Mohon maaf lahir dan batin, itu rangkaian kata yang selalu saya dengar saat Idul Fitri. Saya pikir itu adalah adalah ciri khas Hari Raya besar tersebut. Memohonkan maaf atas segala kesalahan masa lalu di hari Raya tersebut. Setelah ikut sekian lama di Grup WA rekan-rekan sekolah dan kuliah, ternyata kalimat itu tidak hanya muncul saat Lebaran saja. Dalam beberapa ucapan hari Raya keagamaan Muslim, banyak rekan yang menyampaikan hal itu juga. Saat menjelang dan memasuki bulan puasa Ramadhan, juga saat mau Idul Adha kemarin, selalu saja ada rekan yang menuliskan kalimat itu di rangkaian haturan selamatnya.
Saya yang Kristen sering tercenung, rasanya kalimat ini jarang saya ucapkan. Bisa jadi karena junjungan Agung saya, Yesus Kristus itu, adalah Juru Selamat Dunia, pengampun dosa umat manusia, jadi teladan yang saya jalani adalah mengampuni orang lain. Mengampuni itu memang hal besar, dengan mengampuni itu saya bisa menyelesaikan masalah sosial dan luka batin saya. Butuh kebesaran hati untuk mengampuni dan menyampaikan pengampunan bagi orang lain. Dengan bisa mengampuni seakan saya sudah menjalani keteladanan dari sang junjungan Agung saya.
Saya tercenung, dengan mengampuni saya memang bisa lebih enak, saya bisa jadi yang superior. Posisi mengampuni adalah posisi diatas, mengatasi pihak yang diampuni, pihak yang bersalah. Kalau saya bisa mengampuni saya bisa ada di posisi yang di atas. Saya suka posisi di atas itu! Dalam suatu kondisi, saat ada rekan yang komplain tentang perilaku saya, saya cukup bilang, ”Kenapa baru saat ini ada yang komplain, sudah lima puluh tahun lebih saya hidup dan tidak ada masalah dengan hal ini sebelumnya?” Dengan mengatakan ini, seakan saya mau bilang bahwa yang salah itu yang komplain, dulu gak masalah koq! Lalu kalau masalah itu berlalu, maka itu juga akan menguntungkan saya. Saya akan nampak sebagai orang yang bisa mengampuni orang lain yang suka mengada-ada. Saya adalah pengampun dari pihak yang lain. Betul? Bukankah bisa jadi kalau selama ini tidak ada yang komplain, bukan berarti saya sudah baik, bisa jadi banyak orang yang sungkan mengkritik saya? Atau malah mereka bukan orang yang peduli dengan perilaku saya? Daripada memberi masukan, apa tidak lebih seru kalau perilaku itu dijadikan bahan pergunjingan saja?
Apa memohon maaf lahir dan batin itu bukan sikap Kristen? Saat saya pertama kali berkomitmen jadi Kristen, saya mohon ampun atas segala dosa dan salah saya dan mengundang Yesus hadir menguasai hati saya. Juga di tiap kebaktian minggu saya mengikuti ritual pengakuan dosa pribadi bukan ritual pengampunan salah untuk orang lain. Mengampuni memang diharuskan sebagai respon dari pengampunan atas pengakuan dosa dan salah saya. Memohon maaf lahir dan batin juga pintu dari semua proses pembaharuan akal budi, yang saya jalani di seantero hidup ini. Saya memang harus memohon maaf lahir dan batin, saat saya sudah merasa bahwa saya perlu mengampuni orang yang kecewa dengan perilaku saya. Padahal perilaku itu terjadi karena kedegilan hati saya untuk mau berubah oleh pembaharuan budi demi hidup yang berketeladanan.
Mohon maaf lahir dan batin ya……….
Algojo
Dulu saya pernah membaca cerita tentang kehidupan seorang imigran Aljazair di Perancis. Karena sulitnya kehidupan, dia bekerja sebagai operator Guillotine, alat pemenggal kepala terpidana mati. Miris dan ngeri, itulah resiko dari pekerjaannya. Kisah itu masih membekas di benak saya. Saat-saat akan mengakhiri suatu masa pelayanan, kembali menguak ingatan-ingatan yang pernah memberatkan saya saat menjadi seorang algojo.
Sejak menjalani pelayananan kemajelisan yang sambung menyabung, sering ada keputusan-keputusan berat yang harus diambil. Keputusan yang walau merupakan kesepakatan bersama, tapi tidak semua rekan lainnya berani untuk mengeksekusinya, melaksanakannya. Perlu seorang algojo, yang tangannya harus berdarah-darah.
Ada satu kasus dimana seorang ibu protes keras akan rencana pernikahan anak perempuannya, alasan pribadinya memang kuat. Tetapi sebagai gereja kita tidak dapat menghalangi pernikahan anak yang sudah dewasa dan memenuhi semua persyaratan baku yang sudah ditetapkan. Percakapan dan mediasi sudah banyak dilakukan. Tidak ada satu alasanpun bagi gereja untuk menolak pemberkatan nikah keluarga baru tersebut. “Pak Daniel, tidak akan satu kalipun saya menginjakkan kaki ke Dipo lagi!” Saya sedih, banyak rekan tidak berani menyampaikan keputusan bulat itu ke Beliau yang memang temperamental itu. Terpaksalah saya sebagai ketua waktu itu yang harus maju menyampaikannya. Sedih karena bagaimanapun, saya juga punya dua anak gadis.
Suatu kali ada kenalan lama, teman baik, yang harus saya hadapi juga. Rekan lain tidak ada yang berani berhadapan beragumentasi dengannya. Saya harus menyampaikan keputusan Majelis untuk menolak keinginannya untuk memasang tambahan sound system gereja.
“Tolong kamu sampaikan, apa keburukan dari yang akan saya lakukan itu buat Dipo?” Saya tahu, maksud dia baik, tetapi prosedur yang ada, tidak memungkinkan usulan improvisasinya. Banyak hal diutarakan dan dikomunikasikan tapi tetap buntu. Dengan culun dan bingung, berharap pada pengertian sebagai teman lama, saya cuma bisa bilang ,”Kamu benar, tapi aku cuma pingin minta pengertian bahwa, kalau aku nuruti kamu, yang sakit hati bakal banyak jumlahnya, sedang kalau aku nolak kamu, yang sakit hati mungkin cuma kamu.” Dan benar, dia mengakhiri pertemuan itu dengan bilang “Sudah coret saja nama saya dari Dipo” Sedih dan miris.
Tangan algojo atau eksekutor itu yang berdarah, walau itu bukan keputusan pribadinya. Raja Daud juga ditolak memperoleh kesempatan untuk membangun Bait Allah, hanya karena tangannya berdarah akibat semua pertempuran dan perang yang dijalaninya. Padahal perang itu juga atas kehendak Tuhan. Adilkah? Haruskah saya menjaga agar tangan ini tetap bersih dan indah? Saat itu yang muncul, saya cuma sadar bahwa saya ini cuma alat. Terserah Sang Pemilik! Kalau saja bisa menjadi perangkat di tempat yang indah dan bersih, itu pasti menyenangkan. Tapi kalaupun harus ada di tempat yang bengis dan menakutkan, Sang Pemilik yang tahu sepenuhnya spesifikasi yang sudah ada di saya.
Jadi Algojo itu bisa kecanduan, kecanduan otoritas dan akan selalu bilang bahwa itu tugas mulianya. Saat seperti itu Daud pernah bilang “Selidiki dan ujilah hatiku.” Dengan itu saya berusaha menjaga agar kecanduan itu bisa terhindarkan. Selidiki dan Ujilah hatiku Tuhan, agar tangan ini berani melakukan apa yang harus dan tak terhindarkan untuk saya lakukan tapi terjauhkan dari keinginan pribadi.
30 April 2021
Tri Hajar
Ini nama teman saya. Saya bukan mau menulis biografi tentang beliau. Hanya, nama ini mampu mengingatkan saya akan pinsip kepemimpinan yang selalu saya ingat. Tiga prinsip yang diperkenalkan oleh Ki Hajar Dewantara. Makanya cocok untuk diingat dengan kata kunci nama teman ini, Tri Hajar! Ing ngarsa sung tulada, Ing madya mbangun karsa, Tut wuri handayani. Di depan memberikan teladan, di tengah membangun motivasi dan di belakang ikut mendukung.
Sudah terlalu banyak tulisan dan buku yang mengulas tentang tiga prinsip itu. Pasti itu sudah lebih baik dari saya. Saya hanya tertarik dengan tiga keterangan tempat di tiga prinsip itu. Di depan, di tengah dan di belakang. Itu memberi gambaran tentang semua posisi yang bisa saya ambil. tidak ada satu posisi pun yang melepaskan saya dari tanggung jawab kepemimpinan di kehidupan ini. Pasti ada lha… di atas dan di bawah! Oh o, mau di atas yang berarti sudah dipanggil? Atau di bawah yang maksudnya sudah ditanam? Saat kaki masih menjejak bumi, hanya depan, tengah dan belakang yang menjadi pilihan posisi saya. Dan di tiap posisi itu ada panduan peran yang harus diambil.
Saya jadi teringat dengan panggilan menjadi garam dan terang dunia. Garam yang terasa asin tanpa diketahui di mana letaknya dan terang dimanapun letaknya ia bisa menjadi penanda dan patokan melawan kegelapan. Di tiap titik posisi, saya terpanggil untuk berketeladanan. Bukan karena saya mau, tapi penghidupan itu yang mengharuskannya. Di depan, di tengah dan di belakang menyiratkan panggilan menghidupi peran panggilan kehidupan saya.
Di depan, di tengah dan di belakang tetap sesuatu yang berarti. Tidak ada keharusan dan kehausan akan mana posisi yang terbaik, tapi makna kehadiran itu yang menjadi tujuan utamanya. Kehadiran yang pasti memberi makna. Bukan kehadiran yang harus berusaha dicari maknanya oleh yang menerima kehadiran saya. Saya harus bermakna, bukan orang lain yang harus berlatih mencari makna kehadiran saya. Ini yang menjadi tantangan untuk bisa terus berubah oleh pembaharuan. Kalaupun saat ini saya masih gagal menghadirkan makna itu, pembaharuan itu harus sudah berlangsung. Pembaharuan yang menyemangati saya untuk bisa bermakna. Minimal pembaharuan akan kemauan meminta maaf bila saat ini saya masih gagal untuk bermakna.
Meminta maaf adalah sumber energi untuk bisa hadir bermakna di depan, di tengah dan di belakang. Karena saya juga bukan mahahadir, walaupun dulu pernah mahasiswa. Kadang saya rancu di mana saat ini saya berada. Salah tempat hingga berakibat salah peran? Tidak masalah, bila ada energi untuk meminta maaf. Maafkan saya bila saya salah posisi. Lalu di mana saya bisa punya modal untuk bisa berani siap meminta maaf? Mungkin hanya dari kekuatan ketulusan dan kemurnian rekan seperjuangan yang mau memberi maaf. Saat saya bersyukur sudah dimaafkan, saya juga bersyukur karena mendapat kekuatan untuk memaafkan rekan lainnya. Meminta maaf itu kunci yang akan membukakan energi untuk bisa hadir di depan di tengah dan di belakang dengan baik dan semakin baik.
Teman ini nama lengkapnya Tri Hajar Setiawan, ada setia-nya. Memang inilah yang kembali mengingatkan akan panggilan kesetiaan untuk menghidupi tiga ajaran Ki hajar Dewantara itu, juga jati diri kalau seandainya saya pingin menjadi terang dan garam dunia. Setia berketeladanan di tiap posisi yang ada.
Tri, sori jenengmu tak catut……..
27 Maret 2021
Kasus
Saya pernah pingin bisa sekolah S2. Saya pernah mencoba menanyakan tentang biayanya, katanya setara dengan gaji saya setahun waktu itu. Itu yang membuat saya mengurungkan niatan waktu itu. Mahalnya biaya sekolah S2 itu yang membuat saya bertanya kira-kira apa ya yang dipelajari di S2? Katanya… katanya.. dan memang katanya karena saya khan cuma mendengar omongan orang. Studi S2 itu banyak belajar kasus-kasus. Bisa juga membuat thesisnya tentang studi sebuah kasus. Wih, enak juga. Karena memang banyak kasus di sekitar yang bisa digunakan.
Saya ingat dan melihat, memang mempunyai banyak perbendaharaan kasus itu sangat berguna bagi saya. Kasus-kasus yang muncul disekitar ini perlu banyak diingat dan dikumpulkan dalam memori ini. Semakin banyak kasus yang diingat akan semakin bermanfaat. Manfaatnya apa? Hanya memenuh-menuhi memori pikiran saja? Pasti tidak! Salah satu yang sempat terlihat adalah, dengan mempunyai banyak perbendaharaan kasus tentang masalah di sekitar saya, saya bisa memanfaatkannya dengan menggunakan kasus-kasus itu. Saat ada orang lain yang mengungkapkan kesalahan saya, saya akan dengan mudah mengeluarkan perbendaharaan kasus di memori untuk melawan pengungkapan itu. Saya jadinya tidak perlu meminta maaf akan kesalahan saya, tetapi cukup mengungkapkan kasus tandingan seakan untuk mengatakan, “Orang lain aja juga salah, koq saya dipersalahkan!” Bisa juga dengan banyaknya perbendaharaan kasus di memori ini, saat ada kesalahan saya yang diungkapkan, saya tinggal menanyakan, ”Siapa yang mengatakan hal itu?” Lalu dengan adanya perbendaharaan tentang kasus sang pengungkap itu saya bisa balik bercerita tentang kasusnya dan selamatlah saya dengan jurus, ”Buat apa saya mendengarkan perkataan dia, dia aja melakukan kasus bla, bla, bla-bla” Rasanya memori untuk kasus itu memang indah untuk ditingkatkan perbendaharaannya.
Untungnya kini musim Disrupsi. Belajar S2 kini terdisrupsi juga. Di jaman sekarang ternyata muncul aplikasi edX, Coursea, Udemy juga banyak lagi lainnya, yang memberikan fasilitas belajar On-line, bahkan untuk yang setaraf S2. Memang harganya sudah lebih terjangkau karena ini daring. Tapi bisa juga gratis di beberapa tempat asalkan tidak meminta sertifikat bukti kelulusan. Bagi saya yang cuma suka belajarnya saja, hal ini sangat menarik. Ilmu Gratis! Dengan inilah saya bisa mencicipi belajar yang dulu pernah saya impikan. Belajar tentang kasus! Lalu… lalu… lalu…? Ternyata lalu lalang kasus yang saya lihat tidak seperti yang saya lihat sebelumnya. Banyak kasus memang diungkapkan, namun kasus itu untuk dipelajari dengan detail esensi masalah dan latar belakangnya, dikupas mendalam bukan untuk mengungkap siapa pelakukanya dan bagaimana pelaku itu bisa disudutkan, melainkan dengan harapan sang pembelajar kasus itu mengerti. Kasus itu bisa memberikan pencerahan untuk dunia yang lebih baik. ooooo…. Ternyata belajar kasus yang benar itu adalah untuk mempelajari esensinya agar mencerahkan langkah-langkah di depan nanti, bukan untuk menciptakan kegelapan tandingan guna menutupi kesalahan masa lalu saya.
Waduh, berarti harus saya bagaimanakan modus-modus menyembunyikan kesalahan selama ini? Paling tidak modus-modus masa lalu itu sudah bisa dijadikan bahan studi kasus bagi siapapun yang mau belajar menghidupi panggilannya dan mau menghidupi pembaharuan budinya.
11 Maret 2021
Cetar Membahana
Menjadi terkenal mungkin juga ada di keinginan saya. Kebutuhan untuk menjadi orang yang bisa melakukan Pansos, panjat sosial, social climbing, bisa jadi juga mulai merasuki saya. Membangun citra yang bagus sebagus-bagusnya di hadapan orang lain bisa jadi muncul di benak saya. Tapi siapa saya? Rasanya cuma orang biasa, prestasi juga gini-gini saja. Lalu apa yang bisa membumbungkan nama saya? Kerja keras! Itu kata buku dan nasehat para pendahulu jaman dahulu. Mungkin itu benar, tapi bagaimana harus bekerja keras lagi, sementara faktor U, usia, sudah tidak bisa kompromi lagi.
Ada jalan lain di mana saat kerja keras dan prestasi enggan saya lakukan untuk membahanakan nama saya. Saya pernah baca buku Edward de Bono, ahli cara berpikir. Ada konsep berpikir lateral. Memikirkan cara lain yang beda dengan cara awam yang umum dan lazim. Cara yang sama efektifnya mengapai kecetaran. Saat saya sulit mencapai posisi yang di atas, saya bisa jadi yang di bawah, tapi enak. Di bawah namun nikmat! Saat tidak bisa menjadi pelaku prestasi, saya bisa berposisi sebagai orang yang di bawah dan dibawahkan. Saya berposisi sebagai orang yang selalu dibuat menderita oleh pihak lain atau sistem yang ada. Betapa nelangsa dan prihatinnya keadaan saya ini, akan membawa saya ke posisi tinggi melalui simpati orang lain. Para netizen 062 katanya pernah menobatkan Bapak Prihatin se jagad, yang cara menarik simpati khalayak bukan dengan prestasinya tapi dengan ungkapan keprihatinannya. Belum lagi ada meme medsos yang berani bilang, “Di Myanmar ada kudeta, di sini ada yang menyamar dikudeta”. Caranya bisa jadi dengan banyak mengeluh tentang sistem yang zolim ini, yang selalu mengorbankan saya. Tapi saya harus konsisten dengan strategi kerendahan hati semu yang terpelihara. Biarlah saya terus menderita, jangan ada yang mengaudit penderitaan saya, nanti ketahuan kebohongan itu. Jangan sampai lho ada yang berusaha memperbaiki sistem yang saya keluhkan kezolimannya ini. Kalau ini diubah malah akan merepotkan saya untuk memikirkan skenario lain lagi. Biarlah ini sudah jadi suratan takdir saya, ini mantra sakti saya. Menjadi di bawah dan dizolimi tidak selalu merana, kadang itu nikmat yang bisa membahanakan kecetaran.
Mendaki tinggi memang bisa lewat jalan atau merintis jalan yang ada maupun yang belum ada. Lagi-lagi dengan Lateral Thinking, mendaki tinggi bisa dengan menginjak bahu orang lain. Ini juga konsep bagus di acara lomba panjat pinang Agustusan. Saya rela diinjak bahu saya agar rekan lain bisa menggapai hadiah yang tersedia di ujung atas batang pinang itu. Tapi itu cuma di Agustusan saja, bagaimana kalau itu di bulan-bulan lain di sepanjang tahun dan sepanjang event kehidupan yang bukan panjat pinang? Saat saya tahu ada orang yang membutuhkan bantuan dan saya juga bisa tahu orang-orang yang suka berderma, saya bisa menghubungkan dua pihak ini dengan baik. Ini hal yang bagus. Yang berderma bisa senang menyalurkan kebaikannya dan yang menerima juga tertolong dan terbantu dengan kebaikan itu. Saya bisa berpansos dimana? Ya saat saya lupa akan prinsip akuntabilitas. Saya dipercaya orang karena ada entitas organisasi yang menaungi saya. Mereka menyalurkan dana bukan semata oleh karena saya tetapi nama besar organisasi yang menaungi saya. Jadi sewajarnya bila saya menyalurkan kebaikan itu lewat entitas itu dan entitas itulah yang akan menjamin akuntabiltas ketepatan pengggunaannya. Saya bisa pakai strategi pertama untuk marah, dengan bilang,”Yang ngasih aja gak protes koq orang lain protes!” Tapi saya bisa tahu diri saat, ternyata koq bisa ada rekan lain yang tahu ya? Berarti memang pihak terkait itu membutuhkan akuntabuilitas dan periksa ulang akan kebaikan yang dilakukannya. Saya tetap bisa bersembunyi pakai cara korban ketidakpercayaan, padahal saya lagi mencuri kemuliaan entitas di atas saya. Harusnya memang bukan nama saya yang muncul, tapi nama organisasi dan biarlah bantuan itu tersalur melalui organisasi ini. Pokoknya, saya akan tersinggung dan biarlah saya pergi saja. Tapi jangan ditantang ya… sebab kalau saya malah ditantang untuk pergi, kasihanilah saya karena saya malah akan kehilangan panggung saya. Namanya saya juga pingin cetar membahana.
Lalu harus sampai segitunyakah saya menghidupi jalan-jalan saya? Dulu waktu SD saya pernah ikut lomba menghafal ayat alkitab, salah satunya yang masih teringat di benak saya adalah “Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil” Yohanes 3:30. Angka tiga dan angka tiga puluh itu membuat saya tetap ingat akan isi makin besar dan makin kecil itu. Buat apa saya harus cetar membahana?
Arisan
Seumur hidup saya tidak pernah ikut arisan. Kata ini tiba-tiba muncul saat presentasi dana perumahan emeritus para pendeta GKI Jatim. Kebetulan memang saya diajak ikut memikirkan hal ini, walaupun saya ketiban sampur soal Dana Pensiunnya. Saat masalah PSL (Past Service Liability) menyeruak, kita harus memikirkan ulang dan mencari terobosan mengatasinya. Muncul ide untuk tetap memberikan jatah yang menjadi hak Pendeta emeritus pada waktunya, tetapi kekurangan dari jumlah yang sudah tertabung tetap harus diangsur hingga lunas, tanpa memikirkan bunganya. Ada jemaat yang komplain, “Waduh, masih harus mengangsur sampai sekian tahun ya?” Saat itulah ide dan konsep arisan itu muncul. “Ya, seperti ikut arisan. Kalau mendapat di awal, tetap harus membayar hingga mencukupi dengan jumlah nilai arisan itu” Inilah momen dimana kata arisan itu muncul di benak saya.
Teringat juga bahwa dulu katanya, arisan itu aktivitas ibu-ibu. Arisan Ibu-ibu PKK, arisan ibu-ibu se RT/RW, atau arisan ibu-ibu sosialita. Alkisah di arisan itu banyak hal bisa dibahas, ada demo panci, ada jualan perhiasan, hingga gosip dan rumpi. Rasanya seru juga ya, banyak the untold story yang menarik. Di arisan ini mungkin saya bisa mendengar tentang berita bahwa ada kegiatan perbaikan gedung yang sebenarnya dilakukan dengan barang bekas. Lalu semua mata menyorot seakan-akan ini fakta yang bisa dibawa ke KPK dan mengarah pada kegiatan tangkap tangan yang heboh itu. Seakan-akan ada skandal penggunaan bahan bekas, dalam renovasi yang terjadi. Yang cerita bisa jadi memang benar. Yang mendengar juga bisa benar terkejut dan terbelalak seakan tercerahkan akan fakta terselubung. Dan suasana jadi meriah entah mau bergulir kemana. Lalu asumsi dan prediksi bisa tergoreng renyah. Runyam bila terdengar oleh pelaksana perbaikan itu. Beliau berani diaudit kalau tidak ada bon pembelian barang bekas itu. Dan tambah runyam bila sang penyumbang material itu mendengar, dikiranya berkomplot, padahal beliau berniat tulus dan ikhlas memberikan material bongkaran gedungnya yang masih sangat layak itu untuk dipakai ulang. Niatan baik yang sengaja tak dipublikasikan itu, ternyata bisa disorot jadi bahan meriah di arisan. Mungkin kalau saya ada di arisan itu, saya bisa ikutan menggoreng kisah seru ini. Atau, beranikah saya mengatakan fakta benar yang ada? Apa saya berani menderita dimassa oleh seantero penghuni arisan itu?
Di arisan bisa juga saya berlatih melempar isu kedekatan seseorang dengan pemilik bengkel. Lalu dengan berbisik, mulai dibuka dengan kesimpulan ala detektif, “Makanya disuruh ke bengkel itu, khan karena bengkel itu bisa mengeluarkan bon kosongan,” Ide yang bisa membakar lahan kering. Lahan kering yang tidak biasa disegarkan oleh ide sederhana cek dan ricek untuk tiap fakta ala detektif. Kalau saja saya suka menyelidik, harusnya saya mengasah ketrampilan ini dengan menyelidik dengan tuntas dari hulu ke hilir. Dari yang katanya mengeluarkan bon hingga yang berwajib menerima bon sebagai laporan itu. Dari investigasi bentuk bon, stempel, warna tinta bolpen, bentuk tulisan, penandatangan, hingga mungkin sidik jari di bon itu. Tapi apa daya kalau saya ini multi talent, pingin jadi detektif tapi pingin juga jadi host acara Fox Crime. Apa gunanya saya menyelidik kalau saya tidak terkenal dan mendapat manfaat pribadi atas penyelidikan itu?
Andaikan saya bisa jadi peserta arisan, saya komit dan saya berjanji deh! Saya berjanji untuk mengajarkan ke semua peserta arisan untuk cek dan ricek terhadap semua kisah, cerita dan berita yang bergentayangan. Jangan sungkan mengujinya. Jangan terbius oleh siapa pembawa kisah itu. Makin terhormat saya sang pewarta ghosting itu, makin mampu saya diuji kehakikian kebenaran yang ada di mulut saya. Mulut orang benar mengeluarkan hikmat, tetapi lidah bercabang akan dikerat.
“Oiiii… jangan menuduh kelompok arisan yang bukan-bukan ya!!” oh, ampunilah saya Buk Ibuk seantero jagad arisan… Aaammpun….
16 Februari 2021
Nilai Rasa Berbahasa
Dulu di buku paket Bahasa Indonesia, di halaman sampulnya ada tulisan: Bahasa me[tunjuk]kan bangsa. Tiap Bahasa memang punya nilai rasa yang berbeda dalam sapaan dan menempatkan para penggunanya. Di Bahasa Inggris ada kata saya “I” yang selalu ditulis dengan huruf besar. Di Bahasa Jerman kata kamu “Sie” yang selalu ditulis dengan huruf besar. Tapi ada kata “du” yang juga berarti kamu yang lebih akrab. Itulah uniknya Bahasa tiap bangsa yang punya filosofi untuk menjelaskan tiap nuansa budaya yang dihidupinya. Belum lagi Bahasa Jawa dan banyak bahasa daerah di Indonesia, bahkan hampir semua yang saya kenal, punya peringkat kelas kata yang dipakai. Tergantung pada siapa kita berbicara atau berucap, kita harus menyesuaikan tingkatan kata yang dipakai. Ada Ngoko, Ada Kromo ada Kromo Inggil. Kata yang dipakai benar-benar berbeda. Saya yang belajar Bahasa jawa Suroboyoan akan sangat malu kalau harus berbicara jawa dengan orang-orang yang lebih tua di daerah lain. Ini terjadi saat kita dulu KKN. Rekan-rekan yang Bahasa Jawanya Suroboyoan ini, suatu saat mencari Pak Lurah. Kami bertanya dan dijawab ,”Pak Lurah tumbas Sata (dibaca seperti huruf O pada mobil).” Kita, yang memang berasal dari berbagai pelosok Nusantara ini, kurang terbiasa mendengar Bahasa jawa halus ini. merasa Pak Lurah lagi beli soto ( bunyi O seperti pada kata toko). Maka kita berkeliling desa mencari penjual/warung soto. Setengah hari itu kita tidak menemukan penjual Soto di desa itu. Kita bingung dan putus asa. Besoknya kita saat bertemu Pak Lurah, dijelaskan bahwa “sata” itu Bahasa jawa halus dari kata bako atau tembakau. Kita tersipu-sipu, minimal itulah hasil KKN ITS 1991 yang masih saya ingat. Untuk Pak Lurah yang terhormat orang harus menggunakan kata sata bukan bako.
Masyarakat Jawa sangat ramah dan menghormati orang yang belum dikenalnya dengan berbahasa dengan kosa kata yang halus. Di hari pertama saya di Semarang saat akan kerja praktek di galangan kapal di Semarang, setelah meletakkan barang di tempat kost, saya mencari warung makan. Asal masuk warung saja.
“Dahar Nopo?”
“Soto Bu” bukan karena saya tahu arti pertanyaan itu, hanya menebak saja (mosok seperti ini aja arek ITS gak ngerti) dan memang ada tulisan Soto di depan warung itu. Ini soto yang benar-benar soto rasanya, walau tidak kuning warna kuahnya.
“Unjukan e nopo?”
“Soto, Bu”
“Unjukan e nopo?” Nah, disini saya baru merasa ada yang salah dengan pengulangan pertanyaan ini lagi.
“Teh , Bu” Ibunya diam dan tidak bertanya lagi. Saya senang, berarti saya sudah benar menjawabnya. Itulah pelajaran Bahasa jawa halus di hari pertama saya. Yang sangat berharga untuk bisa bertahan hidup saat kerja praktek kala itu. Penggunaan kosa kata yang halus untuk memberikan nilai rasa menghormati pembeli ada dalam budaya Ibu warung makan itu.
“Apa kabar Koh Daniel, kamu tidak order lagi?”
“Selamat pagi Bapak, nanti malam kamu tidak ikut zoom meeting?”
Dua kalimat yang terasa biasa bagi banyak orang, tetapi terasa janggal bagi saya. Bisa jadi jaman sudah berubah dan cara berbahasa juga sudah berganti. Saya merasa janggal bisa ada kata sapaan yang mengandung unsur penghormatan kemudian dipadankan dengan kata sapaan kamu. Kata sapaan yang mengandung penghormaatan pada orang yang lebih tua atau siapapun yang kita hormati rasanya janggal bila di lanjutkan dengan kata kamu sebagai kata sapaan berikutnya. Penggunaaan kata kamu untuk orang yang saya hormati atau orang yang lebih tua terasa tabu bagi saya. Tapi terasa lazim saat ini. Mungkin karena pengaruh bahasa Inggris yang meng-kamu-kan semua orang lawan bicaranya. Terkadang saya mendengar kata kamu dari murid istri saya yang sedang bercakap dengannya. Koq bisa ya? Nilai rasa berbahasa ini memang saatnya diubah dan disesuaikan dengan jaman atau perlu dilestarikan sebagai jati diri budaya Bahasa Indonesia?
26 Januari 2021
Mengenang Agus Muljono Sang ISO Implementer
Sudah beberapa kali saya diminta bercerita tentang mendiang teman baik ini. Cerita yang langsung keluar seingatnya saja di acara Kebaktian Penghiburan via Zoom. Tapi cerita itu benar-benar tertanam di benak saya, jadi bisa langsung keluar dengan lancar saja kapan saja. Tapi, baru saja, pembicaraan lewat telpon dengan istrinya yang sedang berjuang melawan Covid membuat saya ingin menuliskan cerita itu. Cerita tentang seorang biasa yang luar biasa. Tidak pernah terpikir ternyata teman ini sampai segitunya.
Kita saling mengenal tahun 1987, saat saya mulai kuliah. Beliau kakak kelas saya se fakultas. Agus Teknik Kelautan, saya Perkapalan. Masing-masing Angkatan hanya satu kelas. Jadi kita bisa sering bertemu. Kadang saya digonceng naik Honda SuperCup merahnya dari atau ke gedung W perkapalan yang jauh dari lokasi angkot di Arief Rahman Hakim. Di kampus kita bertemu, dan di gereja kita juga bertemu. Maka jadilah kita akrab. Saya juga sering menemaninya datang ke kost cewek yang dia incar. Tempat kost Tante Sun di jalan Prapanca itu.
Hal besar yang Agus berikan pada saya pribadi adalah saat saya sudah mulai malas kuliah. Semester delapan saya sudah selesaikan semua mata kuliah saya, sisa Tugas Akhir saja. Saya kemudian kerja penuh waktu. Ternyata bekerja itu melelahkan dan menyita banyak waktu dan tenaga dan fokus. Saya sudah berpenghasilan dan rasanya sudah tidak butuh ijazah ITS lagi. Agus yang bilang, kalau kita perlu lulus itu bukan karena kita butuh ijazah, tapi agar memuaskan dan memberikan kebanggaan pada orang tua kita yang sudah menyekolahkan kita dari kecil. “Memberikan kebanggaan buat papamu” itu pesan Agus yang saya ikuti dan mendorong saya lulus di semester empat belas, nyaris DO.
Lulus ITS itu membuat saya punya semangat lain. Mengejar cita-cita awal untuk bisa jadi dosen. Saya sejak awal sudah siap dengan kursus Bahasa Jerman di Goethe Institut. Saya sudah M1 dari tingkatan tertinggi M2 saat itu. Jaman Habibie, rasanya saya akan sekolah lanjut di Jerman. Itu cita-cita awal saya. Nilai saya cukup untuk jadi dosen. Masalah yang ada cuma tentang gaji, gaji yang katanya delapan puluh lima ribu sebulan itu tidak cukup. Saat itu gaji saya sudah seratus tujuh puluh lima ribu sebulan belum lagi yang dari memberi les. Seratus ribunya buat kuliah adik saya. Rasanya tidak terlalu masalah karena banyak dosen yang bisa menerima banyak proyek yang hasilnya bisa lebih besar lagi. Agus kembali menasehati ,”Kalau kamu tidak bisa jadi yang terbaik, lebih baik tidak usah. Menjadi dosen dengan banyak proyek hanya akan jadi bahan pergunjingan mahasiswa saat bolos ngajar. Percuma!” Kali inipun saya menuruti nasehatnya. Saya tetap jadi sales.
Kita sama-sama melarat, tapi Agus masih lebih baik, karena dia masih punya sepeda motor. Kita sama-sama giat bekerja karena sudah malas miskin. Kita harus mampu mengatasi kondisi keuangan kita masing-masing. Saat kita saling berbagi cerita tentang kepahitan hidup ini diapun berkata , ”Sepahit-pahitnya hidupku. Hal yang aku syukuri adalah mendapatkan istri Novi.” Agus orang yang setia dengan tempatnya bekerja. Masuk mulai dari bagian gudang sampai menjadi seorang ISO Implementer. Agus hafal semua prosedur ISO. Sering pertemuan kita diwarnai tentang topik ISO ini. Saya juga minat karena ini penting untuk bengkel dan bisnis saya. Sering dia menyarankan banyak hal. Hal yang terasa malah membuat ribet hidup saya. Tapi ya saya merasa itu karena dia seorang ISO Implementer di kesehariannya.
Setelah Dipo kena bom, Agus bicara banyak tentang prosedur evakuasi yang benar. Saya bingung, bagaimana mau menerapkannya di lahan yang sudah terbatas ini. Saat ada kegiatan ke luar kota dengan naik bis, Agus memaksa saya untuk memberikan “safety induction”, penjelasan bila ada keadaan darurat. Hal yang biasa dilakukan di pabrik-pabrik besar yang saya datangi. Kalau bukan dia, pasti saya sudah marah saja, nambah-nambahi kerjaan. Pernah dia yang saya suruh bicara saja.
“Telah berpulang ke rumah BAPA di surga, Agus Muljono, usia 56 tahun pada hari selasa tgl 12 januari 2021 pukul 01.10 WIB karena Covid. Jenazah dikremasi dikeputih dengan protocol Covid. Uang duka dapat ditransfer ke rekening BCA nomor 788**68*** atas nama Ivan Muljono, atau rekening BNI nomor 032*****37 atas nama Michael Muljono.” Itu teks yang di WA ke Novi hari Jumat, sebelum Selasanya dia pergi. “Nanti kamu tinggal ngisi tanggal dan jamnya ya..” Gila! Koq bisa ya? Tapi saya bisa mengerti dia. Seorang ISO implementer sejati! Dia sudah bisa mempersiapkan hal-hal yang terburuk sekalipun.
Setelah kepergiannya, ada rekening bank yang masih berisi lumayan. Rekening yang selalu disiapkan untuk persembahan Gereja. Dulu saat membangun rumah, ternyata melebihi anggaran yang disiapkan. Tapi Agus tetap memberikan semua uang yang ada di rekening itu untuk persembahan. Dia juga sudah memberikan pesan tentang tagihan kartu kreditnya. Detail-detailnya sudah dijelaskannya pada anak-anaknya.
“Kenapa kamu menangis?”
“Aku gak nangis koq”
“Aku tau kamu menangis. Gak perlu menangis, karena aku sudah menyiapkan semuanya”
Itu sepenggal percakapan di pertemuan terakhir di IGD RSI itu antara Agus dan Novi.
Agus telah pergi dengan segala ketenangannya. Tenang karena sebagai ISO Implementer sejati sudah mempersiapkan segalanya sesuai ilmu yang dipelajarinya dan dijalaninya. ISO Implementer yang juga tahu bahwa jiwanya juga sudah diselamatkan dan disambut oleh Sang Juru Selamatnya. Imannya juga sudah selaras dengan pengetahuannya yang memandunya pada kepastian suatu proses. Proses kepastian keselamatan jiwanya. Tidak ada keraguan dan ketakutan saat dia percaya bahwa proses yang dijalaninya sudah benar.
23 Januari 2021
Sukarela 4.0
Sukarela adalah sebuah nilai yang pernah tertanam di benak saya puluhan tahun yang lalu. Saat mulai mengenal pelayanan di gereja, nilai kesukarelaan itu yang ditumbuhkan. Bersama banyak teman bersama-sama melayani, melakukan hal-hal untuk orang lain dengan tidak memikirkan imbalannya. Pernah saya menjadi panitia Natal untuk sekolah-sekolah Negeri, kita mengumpulkan dana untuk pelaksanaan acara itu. Setelah pelaksanaan ternyata ada kelebihan uang, kita membuat acara pembubaran panitia dengan membagikan kelebihan dana itu dalam bentuk sembako bagi penduduk di desa terpencil di sebuah air terjun. Kita malah rugi ongkos transport ke sananya. Kalau di kampus panitia pencari dana bisa mendapatkan imbalan berupa sepuluh persen dari dana yang di dapat. Tapi di pelayanan ini, kita tidak pernah memikirkannya.
Pelayanan itu setahu saya sepenuhnya sukarela dan malah tombok. Kesukarelaan ini bukan nilai yang saya kembangkan. Saya hanya belajar dari para pendahulu saya. Pernah saat mau berangkat survei tempat Camp, seorang Tante bertanya,"Kamu bawa uang ?" Saya tidak berani menjawab, cuma diam saja. Beliau langsung membuka tasnya dan memberikan uang lima ratus ribu Rupiah. Saat itu bensin seliter hanya lima ratus Rupiah. Beliau juga yang selalu minta diberitahukan jadwal rapat kami. Beliau antusias datang, bukan untuk mengarahkan rapat, hanya berusaha selalu menyediakan makanan untuk kami semua. Tante itu memang kaya, tapi beliau juga memerlukan banyak uang untuk cuci darah seminggu dua kali. Kalau melihat apa yang sudah beliau korbankan, maka apa yang saya lakukan bukan apa-apa lagi. Saya cuma rugi waktu, itupun kalau tidak ikut pelayanan saya juga pasti pengangguran yang kesepian.
Sekarang jaman berubah. Semua memang serba mahal dan semua juga tidak ada yang gratis. Pipis saja harus bayar! Untuk menuju ke gereja saja sudah butuh biaya, belum lagi pelaksanaan acaranya nanti. Masihkah sukarela itu relevan? Saya menjadi bertanya dulu itu kenapa ya saya mau sukarela? Rasanya tergantung dari sisi mana saya menempatan diri saya. Kalau saya ada di sisi penyelenggara gereja yang butuh mengadakan acara dan acara itu harus bagus dan menarik, mungkin saya harus membayar apa yang harus saya selenggarakan dengan baik. Gereja adalah event organizer yang butuh bagus dan memang kebagusannya harus diusahakan dengan membayar para pendukungan acaranya. Lain lagi kalau saya menempatkan diri sebagai kumpulan orang yang bisa punya kesempatan untuk memuliakan Tuhan melalui talenta dan semua yang dipunyainya. Kalau Gereja adalah kumpulan orang-orang yang mau bersyukur, asal ada wadahnya saja, semua orang akan mengungkapkan syukurnya dengan gembira. Mengungkapkan syukur masak masih butuh bayaran?
Di gereja juga masih ada acara unduh-unduh. Ini bagian dari perayaan syukur jemaat atas segala berkat Tuhan di kehidupan ini. Simbol yang sering ditampilkan ada banyak hasil bumi yang disimbolkan sebagai ungkapan syukur. Ada sayuran, ada buah-buahan, bisa ada telur ayam, bisa ada pisang, bisa ada mangga. Dulu memang itu hasil yang selalu didapatkan, saat jaman agraris. Jaman saat kakek moyang saya berburu di hutan dan mengumpulkan hasil tani dan ternaknya. Tapi kini saya sudah getol seminar tentang jaman four point zero, jaman 4.0. Jaman digital yang katanya IoT, Internet of Things. Kalau bicara tentang jaman memang 4.0 yang keluar. Kalau bicara tentang unduh-unduh dan pengucapan syukur, yang dibawa ke gereja masih sayur, buah dan hasil bumi. Hidup keseharian sudah IOT tapi penghayatan persembahan saya hanya sampai pada versi jaman Hunter and Gathering. Berpadanankah ini? 4.0 ini butuh unduh-unduh yang IoT. Saya perlu membawa ketrampilan digital saya ke gereja sebagai persembahan syukur saya. Saya sudah harus berpikir apa yang saya bawa ke unduh-unduh di gereja nanti bukan pisang atau singkong, karena saya tidak bercocok tanam. Saya sehari-hari bergaul dengan dunia digital dan inovasi teknis, ketrampilan dan hasil teknologi ini yang perlu saya bawa ke unduh-unduh gereja. Bisa jadi itu metal welded product, bisa jadi itu CNC machined stainless steel part. Apa itu? Itulah kekinian profesi saya. Jadi itulah persembahan sukarela yang bisa saya persembahkan sebagai ungkapan syukur di gereja. Mempersembahkan kesukarelaan IoT untuk bersyukur pada Tuhan mungkin perlu mulai saya lakukan.
16 Januari 2021
Meme Masuk Koran
Meme itu panggilan untuk anak saya yang kecil. Sekitar sepuluh tahun lalu, sekolahnya berencana mengadakan peringatan ulang tahun yang besar besaran, mungkin itu angka ulang tahun yang memang indah. Di Grand City. Tiap jenjang pendidikan mungkin diminta untuk mengisi acara itu, anak SD diminta mengisi dengan tari-tarian. Tiap sekolah diminta utusannya. Kata gurunya dengan bisik-bisik, yang diplih adalah yang cantik, tinggi dan tidak gemuk. Meme terpilih mewakili sekolahnya untuk audisi. Undangan sudah saya terima, suatu hari jam setengah sembilan di kantor pusatnya. Meme sudah bingung sejak pagi ingin segera berangkat saja. Dia begitu senang dengan tugas itu. Saya mengantar dengan segera agar tidak mengecewakannya. Sampai di kantor itu kita lapor satpam. Rasanya dia kepala satpam yang sering saya ingat wajahnya. Dia menyuruh kami untuk menunggu di luar, di halaman kantor itu, bukan di ruang tunggu yang kosong itu. Katanya undangannya khan masih jam sebelas. Saya tidak membawa undangan itu, tapi saya ingat membacanya jam setengah sembilan. Kami menunggu lama, menjelang jam sebelas memang datang siswa-siswa lain dari sekolah lain. Mereka memang bilang bahwa undangannya jam sebelas. Saya sadar bahwa ini ada kesalahan. Saat kami disodori daftar hadir, saya tulis di lembaran itu. "Kalau mengundang tolong diperhatikan jamnya, kami diundang jam setengah sembilan. Ini khan lembaga pendidikan!" saya menulis itu karena sudah jengah melihat banyak budaya kerja yang tidak sesuai label religius lembaga pendidikan itu. Saya melihat di budaya kerja meraka yang suka pamer otoritas dengan marah dan memerintah orang. Suka petentang-petenteng menunjukkan wibawanya. Yang pengurus ngomongnya kasar ke kepala sekolah, guru dan karyawan, yang kepala sekolah menekan guru dan karyawan. Yang guru atau karyawan ataupun satpamnya juga sok kuasa terhadap siswa dan wali murid. Budaya kerja yang tidak pas dengan label religiusnya saat itu.
Protes saya ditanggapi, Tapi dengan budaya yang sudah saya tebak polanya. Koordinator kepala sekolah datang dan bilang akan mengusut masalah ini. Kemudian kepala sekolah yang menandatangani undangan itu melepon bahwa itu kesalahan bagian tata usahanya. Bagian tata usahanya yang saya kenal baik yang menelpon dengan memohon-mohon maaf yang sebesar-besarnya. "Wes tha Bu, Ibu gak perlu minta maaf, yang tanda tangan lho kepala sekolah apapun yang ada, dia yang harus punya mental bahwa itu salah dia. Saya gak masalah dengan Ibu koq" Masalah itu diselesaikan dengan terdakwanya adalah petugas TU yang terbawah. Tidak ada budaya kepemimpinan yang mau melindungi anak buahnya. Dan ujung-ujungnya memang sudah tertebak. Meme tidak lolos audisi itu.
Senin pagi itu, seperti biasa saya mengantar sekolah. Di lampu setopan TVRI saya beli koran Surya, karena cuma seribu. Saya tidak suka memberi uang ke pengemis, tapi kalau orang jual koran, ya saya beli saja, karena dia sudah beriktiar bekerja. Walau jarang terbaca, karena di rumah sudah berlangganan Kompas.
"Papa, kalau Papa gak protes-protes, fotonya Meme ada di koran ini!"
Saya kaget. Di halaman utama Surya memang ada foto besar tentang perayaan ultah sekolah itu. Dan foto yang dipajang adalah foto tarian anak SD itu. Meme nampak kecewa. Saya hanya bisa bilang, "Tiap perjuangan memang ada harga yang harus dibayar." Memang dengan berlalunya waktu, mungkin pasti bukan karena saya, orang-orang berkarakter buruk itu sudah semakin tidak mendapat tempat di lingkungan sekolah religious itu. Syukurlah, walaupun Meme sulit memahaminya.
Kemarin pagi-pagi sekali seorang teman WA "Ndang tuku o Koran!" (cepat belilah koran). Ternyata Meme masuk koran. Dia memang terpilih sebagai penerima vaksin covid19 yang pertama di Jatim. Hanya karena anugerah, karena banyak nama yang dihubungi sebelumnya tidak bisa. Banyak nomer HP yang tidak aktif, ada juga yang menolak karena vaksin itu Sinovac, kalau Pfizer mau. Walau ada yang sehari menjelang acara bilang kalau akhirnya mau kalau itu Sinovac, terlambat sudah. Bahkan di saat acara itu saya bertemu dengan reporter Metro, saya bilang, "Harusnya saya sudah mengajukan nama kamu sebagai influencer untuk menerima vaksin itu, tapi HP kamu tidak bisa dihubungi dan Majelis Gereja kamu bilang kamu sudah pernah terpapar covid.". Saat tenggat waktu Sabtu jam delapan pagi itu mulai terlampaui ,"Wes Pak, anakmu ae yo sing tak ajukno?" Anak saya yang kecil memang bersedia, namun kakaknya melarang, "Jangan lho, vaksinnya masih gak jelas!" Kita berdebat, tapi karena Meme mau dan berani, saya mengijinkan saja. Toh, niatan kita baik dan yang meminta adalah dokter yang baik.
Yah, kalau Meme terpilih semoga itu membayarkan hutang kenakalan saya padanya dulu. Semoga Meme bisa jadi influencer yang baik.
13 Januari 2021
Saya Pingin Melihat Hantu
Saya pernah tinggal di sebuah rumah tua. Rumah yang dibangun di jaman Belanda, saat jaman Jepang pernah dibuat jadi interniran. Punya halaman depan luas, ada lapangan bulutangkisnya, ada banyak pohon mangga, jambu, nenas dan banyak lagi. Di samping rumah juga ada pekarangan yang banyak pohonnya. Di bagian belakang ada kandang sapi tempat nenek saya memelihara sapi perah. Kalau malam rumah ini keliatan seram, karena lumayan gelap pekarangannya. Di sisi rumah ada gudang, kira-kira seperti garasi dua mobil, pintu depannya ada salibnya, di kuda-kuda utamanya ada tulang rahang babi besar. Dulu itu kamar tempat pekerja kandang tinggal. Kemudian sudah tidak ada lagi yang berani tinggal di sana, karena di suatu subuh, Pak Wi ditemukan tewas gantung diri.
Di rumah itu ada pesan Emak (nenek saya), "Kalau makan malam, jangan dihabiskan ya, disisakan sedikit nasi atau lauknya. Taruh aja di atas meja makan."
"Kenapa Mak?"
"Rumah ini ada penunggunya, seorang Nonik Belanda Cantik, kalau tidak ada makanan, dia bisa marah"
Alkisah katanya saat jaman Jepang ada orang belanda yang dibunuh di rumah ini.
Bertahun-tahun saya tinggal di rumah ini dan tidak satu kalipun saya melihat hantu. Saya sering pulang malam sendirian, saya juga bangun pagi jam tiga kalau mau membantu Emak menyiapkan jualan susu. Seperti apa hantu itu?
Saat kuliah dan kemudian bekerja di Surabaya saya berteman sangat baik dengan rekan insinyur elektro yang terpandai yang saya kagumi. Saya sales dan dia ahli reparasi. Saya cari order, dia yang kerjakan. Asalnya dari Ambon. Kita sangat akrab sekali. Suatu sore saat saya tiba di depan pagar rumahnya dia berteriak, "Hai, kamu baru dari orang mati ya.. Pulang aja kamu, jangan masuk rumah saya!" Oh, o, koq bisa dia tahu kalau saya baru dari Adi Jasa? Saya ya pulang saja. Suatu siang karena ada pekerjaan di suatu pabrik rokok terkenal di Pandaan, saya jemput dia dan kita bersama ke sana untuk bekerja. Saat melintas di gerbangnya ,
" Ini kita mau ke mana?"
" Ya, ke pabrik lha… ini khan kerja.."
" Ini Kuburan!"
" Oiii, ini PABRIKK!!"
Di saat jalan pulang, saat melalui gerbang pabrik itu lagi, saya lihat, di balik tembok tinggi pagar itu, ternyata memang kuburan.
Teman ini bercerita bahwa dari kecil dia bisa melihat dunia yang lain. Mahluk halus itu, mungkin juga hantu. Saya bertanya bagaimana caranya agar bisa melihat seperti itu. "Kamu bisa berdoa untuk minta kemampuan itu, tapi sudahlah, kamu jangan. Lebih baik tidak bisa!"
"Kamu akan bingung dan ketakutan sendiri, saya sering tidak bisa membedakan mana yang manusia mana yang bukan" Ini yang katanya menakutkan dari kemampuan itu.
Di suatu masa di kehidupan ini, saya pernah ditempatkan di suatu keadaan yang punya masalah kronis dan laten. Entah masalahnya apa, yang jelas kondisi itu ruwet tak terselesaikan bertahun-tahun dan entah sampai kapan lagi. Lalu saya berdoa mohon hikmat Tuhan, kalau boleh saya bisa mengerti dan dibukakan akar masalahnya. Berharap untuk melihat apa yang mungkin tak terlihat sebelumnya. Entah bagaimana doa ini terjawab atau tidak. Yang jelas saya masuk di fragmen-fragmen kehidupan yang tak terjadi sebelumnya. Kilas-kilas kejadian yang membawa saya melihat posisi-posisi pemain di keakutan yang ada. Saya berpikir untuk bisa melihat itu penting agar dapat mengerti dan memahami. Tapi apa saya alami kemudian membawa nuansa lain. Saya bingung, saya sedih, saya jijik, saya muak, saya marah. Pemandangan yang menjijikkan itu menguras semua rasa baik di hati ini. Peran-peran sandiwara yang dimainkan satu persatu seakan terkuak. Jijik bergidik hati ini.
Jangan bangga kalau bisa melihat yang tak terlihat. Karena bisa jadi talenta itu menuntut kekuatan yang lain. Perasaan senang karena bisa melihat hantu itu telah menyandera hidup seorang rekan. Juga perasaan sok mampu ingin melihat suatu masalah sudah juga menghujam jalan hidup saya. Semua yang sudah terlihat itu tidak mungkin dihapus untuk direset lagi. Yang ada adalah semangat untuk maju mengingat semua tanggung jawab yang tetap ingin dihidupi. Bisa jadi bukan hantu seperti di film-film yang sedang saya tonton. Hantu-hantu yang menjelma di fragmen kehidupan ini yang bisa mengocok segala rasa ini.
Memangnya kalau kemudian saya bisa melihat yang tidak terlihat sebelumnya itu, akankah itu membutakan semua hal baik yang sudah Tuhan tanamkan dihati ini? Ketika satu pintu dibukakan, sebuah perjalanan baru sedang disiapkan. Seharusnya kekuatan saat melewati pintu-pintu sebelumnya akan menjadi bekal perjalanan ini. Saya bersyukur karena saya tidak bisa melihat hantu….
12 Januari 2021
Bersahabat dengan Anjing
Hachiko memang sangat terkenal. Lebih mendunia dari pada Bleki, Broni ataupun Mopi. Dulu ada RinTinTin, Boomer, Lassie atau Scooby Doo. Anjing-anjing yang kesetiaannya teruji dan membanggakan. Saya pingin punya anjing sebagai sahabat dalam keseharian. Menyenangkan bila melihat ada yang bisa membawa anjingnya ikut acara jalan pagi bersama. Anjing itu memang teman setia.
Tapi beberapa kali saya ternyata gagal menjadi sahabat yang baik untuk anjing. Seorang tante meneriaki saya, "Daniel, anjing ini sebenarnya mau ngajak kamu guyon, koq malah kamu tendang!" Lha saya jijik kalau dijilat-jilati sama dianya. Belum lagi saat saya merasa terganggu saat bertamu di sofa kain yang pemiliknya banyak memelihara anjing. Di kursi itu saya temukan ada bulu anjingnya. Keadaan yang tidak mudah saya terima. Apa lagi ada seorang teman yang dalam kebanggaannya membuat saya minder berat. Dia menceritakan beberapa macam makanan kaleng dan camilan untuk anjing Herdernya. German shepherd yang makanannya jauh lebih mahal dari nasi pecel sarapan saya.
Gagal dan takut memelihara anjing sungguhan, kadang membuat saya bisa mencari jalan lain. Saya merasa bisa mencari teman yang bisa memenuhi kebutuhan saya akan kesetiaan anjing itu. Saya butuh rekan yang bisa melindungi saya dari serangan cercaan orang lain. Saya perlu rekan yang bisa menggonggong untuk saya. Rekan yang bisa membela saya dari semua kritik dan masukan negatif untuk saya. Seperti yang Bleki dan Broni bisa lakukan yaitu bisa menggigit orang lain atau musuh saya, namun pasti bersikap baik terhadap saya. Saya butuh rekan yang bisa jadi RinTinTin, yang pinter membela saya, namun juga tidak akan pernah menggigit saya. Berteman seperti ini terasa nyaman buat saya. Rekan seperti ini bisa memuaskan keinginan saya dari memelihara anjing.
Mempunyai sahabat seperti ScoobyDoo rasanya menyenangkan. Saya dan dia tidak perlu saling menggigit dan menggonggong. Saya suka bila sahabat saya mampu melindungi saya dari kritik dan kami tidak perlu saling mengkritik. Dia rasanya paham bahwa saya adalah manusia yang lemah jadi jangan berharap saya melakukan hal yang lebih baik dari saat ini. Saya hanya manusia lemah yang bukan malaikat yang baik. Jadi jangan menggonggongi berharap saya jadi lebih baik dari saat ini. Kami ternyata bisa saling menerima dan melindungi. Oh indahnya persahabatan ini.
Entah mengapa relasi Doggy Style ini sempat mengemuka di benak saya, karena kegagalan memelihara anjing yang sebenar-benarnya? Lalu manusia dan sesama saya yang akan saya doggy-kan? Tapi sungguh, saya punya kebutuhan untuk dibela dan dilindungi. Tapi apa saya harus membayar dengan menurunkan derajat sesama saya? Ah, saya tidak juga merugikan dia. Saya juga akan menempatkan dia bukan sebagai malaikat, jadi saya tidak perlu dan jangan pernah meminta dia berubah jadi lebih baik. Biarlah saya menerima dia sebagai mahluk yang lemah yang tidak perlu mampu untuk menjadi lebih baik lagi. Dan kami bisa saling melindungi. So sweet rasanya.
Tapi Alkitab pernah bilang untuk hidup kudus. Hidup kudus yang katanya berarti melakukan firman Tuhan. Saya sudah sopan, halus budi pekertinya dan murah senyum dalam pelayanan. Rasanya sudah itu permintaan Firman Tuhan itu. Berarti saya sudah melakukan firman Tuhan itu? Sampai saat saya ingat ada lagi Firman Tuhan yang meminta untuk "berubalah oleh pembaharuan budimu". Saya memang bukan malaikat yang katanya baik, tapi justru karena Tuhan menciptakan saya sebagai manusia, maka saya butuh manusia lain yang menunjukkan kelemahan saya dan dia mau berkarya dalam perbaikan budi saya. Saya butuh manusia lain yang hadir sebagai manusia mendampingi pertumbuhan kedewasaan kehidupan ini. Manusia bukan anjing…….
02 Januari 2021
Pak Nyok, Pdt Em. Hosea Abdi Widhyadi, Nyoo Hian Swie
Perkenalan saya pertama kali dengan beliau di sekitar 1985, di acara perkemahan aneh. Berkemah di pelataran GKI Banyuwangi. Entah apa yang terjadi dengan penyelenggara, katanya ijinnya tidak keluar jadi karena banyak peserta luar kota yang sudah datang maka kemah tetap dilanjutkan di halaman gereja. Perjumpaan ini mengesankan sekali. Sosok Pendeta yang bisa begitu santai, berbeda dengan sosok “surgawi” dari lazimnya kebanyakan Pendeta di benak saya. Hal ini pernah memicu niat di hati saya tentang sebuah cita-cita, “Saya sih pingin jadi pendeta kalau pendeta itu bisa begitu.” Sampai suatu saat ada juga Majelis di Bondowoso yang kemudian bercerita, “Kamu belum pernah liat dia melempar mic di persidangan ya..” Ini salah satu yang menggerus cita-cita saya itu. Tapi beliau tetap punya posisi idola di hati saya. Peristiwa pelemparan itu dibenarkannya saat perayaan kawin emas beliau di Dipo puluhan tahun kemudian.
Pertemuan kami berlanjut lagi, saat saya kuliah dan beliau menjadi Pendeta Pelayanan Mahasiswa. Di acara peneguhan beliau, saya membuat tulisan liputan. Beliau senang sekali karena saya mengulas poin “cacing tanah” yang menjadi filosofi pelayanan beliau yang disampaikannya di kotbahnya. Cacing tanah yang mungkin tidak terlihat, lamban, lemah dan juga dirasa menjijikan, cacing tanah yang terus bekerja menggemburkan tanah yang mampu dijangkaunya disekelilingnya. Filosofi ini tetap saya ingat sebagai warisan Pak Nyok.
Waktu terus bergulir dan selalu mempertemukan kami kembali. Entah bagaimana koq saya bisa terdampar di Dipo dan beliau melalui Sonax Sapora juga di Dipo. Terlebih saat beliau emeritus dan makin sering beribadah di Dipo. Kita sering ngobrol berdua di taman cangkrukannya Dipo itu. apa saja kita obrolkan, bukan hal-hal yang rohani saja. Apa saja termasuk kenakalan-kenakalan yang pernah terjadi. Suatu saat beliau mengatakan hal yang menggetarkan saya lagi, “Daniel, yang selalu ingin saya lakukan adalah, kalau ada orang yang melihat saya, apakah orang itu melihat Yesus di dalam saya.” Saya tercekat. Tidak menyangka bahwa itu filosofi hidupnya, di balik tampilan ‘urakan”nya. Memang cerita tentang mic itu terlintas lagi, tapi landasan hidup itu membuat kisah mic itu pudar. Filosofi perjuangan seorang manusia dengan segala keberadaannya untuk terus berjuang menampilkan Yesus Sang Junjungan Agung. Filosofi ini juga menjadi warisan Pak Nyok di lubuk hati saya.
Lima Hari setelah peristiwa Bom di Dipo, Pak Nyok berakrobat lagi. Di acara doa bersama dengan semua umat beragama itu. Beliau memekikkan “Suroboyo WANI….. Teroris J*N**K.!!”. Itu ikrar khas Suroboyo yang bergema, menyatukan segala masyarakat untuk bersatu berani melawan terorisme. Setelah acara berakhir, kegemparan baru muncul. Sejumlah rekan majelis menanyakan kepatutan seorang Pendeta menggunakan kosa kata Suroboyoan itu di dalam gereja. Saya tidak berani berkomentar, karena segala nuansa cerita saya di atas itu tentu tidak ada di benak orang lain. Saya sepenuhnya bisa memahami, menerima bahkan menyetujui apa yang beliau lakukan, karena Sang Junjungan Yesuspun pernah marah mengobrak-abrik pelataran Bait Allah, bahkan dengan cemeti. Namun ini memang polemik. Polemik yang berakibat bahwa pak Nyok tidak berkotbah di Dipo lagi. Salahkan saya yang saat itu ketua tidak bisa membela Idola saya ini. Maafkan dan ampuni saya Pak Nyok.
Ada juga kejadian saya yang mengecewakan beliau. Saat menghantar beliau pulang dari pelayanan di Dipo, bersama Bu Yuna dan Bu Ester Gunawan, suasana gembira itu pernah rusak gara-gara omongan saya. Beliau bertanya,” Daniel, kamu suka dengan permainan Saxophone saya?” entah bagaimana saya kumat lugunya dengan menjawab,” Pak, saya itu sak jane gak suka dengan bunyi alat musik yang diseret-seret, saya sukanya dengan suara musik yang tegas seperti gitar dan piano” Beliau kurang senang dengan jawaban saya ini, ampunilah saya Pak Nyok. Tapi suwer… walaupun saya gak ngerti musik, tapi musik yang saya sukai adalah Jazz. Karena saya mengagumi “keteraturan di dalam kekacauan” di musik Jazz.
Akhirnya, di atas segalanya, Pak Nyok tetap telah memberikan warisan panutan di hidup saya. Cacing Tanah ini sudah menyelesaikan tugas mulianya dan berjumpa dengan Junjungan Agungnya.
Tuhan, sampaikan salam hormat saya pada Pak Nyok.