Natal hampir tiba, sukacita mulai terasa. Natal juga punya tradisi persembahan Para Majus, oleh karenanya kini ada juga warta tentang persembahan Natal. Memberikan persembahan khusus di saat Natal menjadi suatu kebiasaan yang indah di perjalanan pelayanan ini. Apa yang akan saya persembahkan di Natal kali ini? Bolehkah saya mempersembahkan atau membawa sampah sebagai persembahan Natal?
Kalau saja saya membawa sampah ke area gereja, pasti itu akan membuat orang lain terusik, mengganggu orang lain. Tapi yang lebih penting dari itu, saya sendiri akan malu. Saya malu kalau orang lain tahu bahwa yang saya bawa adalah sampah. Point utama saya, kalau saya membawa sampah ke gereja, itu akan mempermalukan saya. Makanya saya harus berusaha dengan keras. Usaha keras untuk tidak membawa sampah atau usaha keras agar orang lain tidak tahu bahwa yang saya bawa selama ini adalah sampah. Banyak usaha yang bisa dilakukan. Di suatu kotbah pernah disindir bahwa kegiatan sosial ajakan menyumbang pakaian bekas, bisa jadi kegiatan untuk membebaskan rumah dari sampah pakaian bekas. Tergantung bagaimana saya menanggapi ajakan berbagi itu. Saya benar memilah baju bekas saya, atau saya bawa saja semua mumpung ada alasan untuk memindahkan beban baju bekas ini dari rumah.
Katanya persembahan itu bukan cuma uang. Persembahan juga bisa segala usaha yang bisa memuliakan Tuhan. Roma 12 : 1-2 begitu sering dibacakan melandasi liturgi persembahan di gereja. Sikap hidup dan karakter baik di kehadiran saya, itu bisa jadi persembahan buat Tuhan, maka karakter buruk dan segala kelemahan sikap saya adalah bukan persembahan yang baik. Itulah sampah! Tapi sampah itu lekat di hati dan kehadiran saya. Bisa jadi sampah itu adalah keengganan untuk taat pada prosedur, keengganan untuk berkorban, keengganan berubah memperbaharui karakter, keenganan untuk berendahhati. Semua sampah yang hadir saat saya juga hadir di pelayanan ini. Saya sadar itu sampah dan saya sadar itu akan mempermalukan saya. Saya harus berusaha keras! Berusaha keras agar sampah itu perlahan terkikis dan diperbaharui oleh proses pembaharuan budi yang diridhoi Tuhan. Atau, saya akan berusaha menutupi sampah-sampah itu, agar orang lain tidak tahu bahwa saya membawa sampah selama ini. Saya bisa menutupi sampah itu dengan status kemajelisan saya, saya bisa menutupi sampah itu dengan kemampuan saya untuk mudah marah dan tersinggung. Jangan berani bilang itu sampah saya, kalau gak minta saya ngambek. Saya bisa menutupi sampah karakter saya dengan tampil lemah lebut, sopan santun, seakan saya adalah malaikat, namun saat ada yang mengorek sampah saya, saya jadi bilang "saya bukan malaikat" agar saya terlepas dari kewajiban merubah karakter. Saya juga bisa tampil rohani mampu menudingkan jari ke orang lain, agar saya tidak dituding dengan ayat yang ternyata mengharuskan saya untuk berubah oleh pembaharuan budi.
Bisa jadi saya memang terus membawa sampah ini, Tapi ada lirik di lagu Andy Lau, Everyone is Number One, "..liú zuì rè de hàn yòng zuì zhēn de xīn..", kucurkan keringat yang paling panas dengan hati yang paling tulus. Usaha keras yang tulus! Mungkin ini persembahan Natal yang bisa saya persembahkan. Usaha keras pembaharuan budi. Persembahan kucuran keringat terpanas! Keringat perlambang usaha untuk mau berusaha mempersembahkan yang terbaik. Keringat itu senyatanya juga sampah air dari tubuh saya. Tapi memang saya adalah sampah dan hanya kasih karunia Natal yang mau mengindahkan sampah seperti saya ini.
05 Desember 2021
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar