Dulu saya pernah membaca cerita tentang kehidupan seorang imigran Aljazair di Perancis. Karena sulitnya kehidupan, dia bekerja sebagai operator Guillotine, alat pemenggal kepala terpidana mati. Miris dan ngeri, itulah resiko dari pekerjaannya. Kisah itu masih membekas di benak saya. Saat-saat akan mengakhiri suatu masa pelayanan, kembali menguak ingatan-ingatan yang pernah memberatkan saya saat menjadi seorang algojo.
Sejak menjalani pelayananan kemajelisan yang sambung menyabung, sering ada keputusan-keputusan berat yang harus diambil. Keputusan yang walau merupakan kesepakatan bersama, tapi tidak semua rekan lainnya berani untuk mengeksekusinya, melaksanakannya. Perlu seorang algojo, yang tangannya harus berdarah-darah.
Ada satu kasus dimana seorang ibu protes keras akan rencana pernikahan anak perempuannya, alasan pribadinya memang kuat. Tetapi sebagai gereja kita tidak dapat menghalangi pernikahan anak yang sudah dewasa dan memenuhi semua persyaratan baku yang sudah ditetapkan. Percakapan dan mediasi sudah banyak dilakukan. Tidak ada satu alasanpun bagi gereja untuk menolak pemberkatan nikah keluarga baru tersebut. “Pak Daniel, tidak akan satu kalipun saya menginjakkan kaki ke Dipo lagi!” Saya sedih, banyak rekan tidak berani menyampaikan keputusan bulat itu ke Beliau yang memang temperamental itu. Terpaksalah saya sebagai ketua waktu itu yang harus maju menyampaikannya. Sedih karena bagaimanapun, saya juga punya dua anak gadis.
Suatu kali ada kenalan lama, teman baik, yang harus saya hadapi juga. Rekan lain tidak ada yang berani berhadapan beragumentasi dengannya. Saya harus menyampaikan keputusan Majelis untuk menolak keinginannya untuk memasang tambahan sound system gereja.
“Tolong kamu sampaikan, apa keburukan dari yang akan saya lakukan itu buat Dipo?” Saya tahu, maksud dia baik, tetapi prosedur yang ada, tidak memungkinkan usulan improvisasinya. Banyak hal diutarakan dan dikomunikasikan tapi tetap buntu. Dengan culun dan bingung, berharap pada pengertian sebagai teman lama, saya cuma bisa bilang ,”Kamu benar, tapi aku cuma pingin minta pengertian bahwa, kalau aku nuruti kamu, yang sakit hati bakal banyak jumlahnya, sedang kalau aku nolak kamu, yang sakit hati mungkin cuma kamu.” Dan benar, dia mengakhiri pertemuan itu dengan bilang “Sudah coret saja nama saya dari Dipo” Sedih dan miris.
Tangan algojo atau eksekutor itu yang berdarah, walau itu bukan keputusan pribadinya. Raja Daud juga ditolak memperoleh kesempatan untuk membangun Bait Allah, hanya karena tangannya berdarah akibat semua pertempuran dan perang yang dijalaninya. Padahal perang itu juga atas kehendak Tuhan. Adilkah? Haruskah saya menjaga agar tangan ini tetap bersih dan indah? Saat itu yang muncul, saya cuma sadar bahwa saya ini cuma alat. Terserah Sang Pemilik! Kalau saja bisa menjadi perangkat di tempat yang indah dan bersih, itu pasti menyenangkan. Tapi kalaupun harus ada di tempat yang bengis dan menakutkan, Sang Pemilik yang tahu sepenuhnya spesifikasi yang sudah ada di saya.
Jadi Algojo itu bisa kecanduan, kecanduan otoritas dan akan selalu bilang bahwa itu tugas mulianya. Saat seperti itu Daud pernah bilang “Selidiki dan ujilah hatiku.” Dengan itu saya berusaha menjaga agar kecanduan itu bisa terhindarkan. Selidiki dan Ujilah hatiku Tuhan, agar tangan ini berani melakukan apa yang harus dan tak terhindarkan untuk saya lakukan tapi terjauhkan dari keinginan pribadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar