Meme itu panggilan untuk anak saya yang kecil. Sekitar sepuluh tahun lalu, sekolahnya berencana mengadakan peringatan ulang tahun yang besar besaran, mungkin itu angka ulang tahun yang memang indah. Di Grand City. Tiap jenjang pendidikan mungkin diminta untuk mengisi acara itu, anak SD diminta mengisi dengan tari-tarian. Tiap sekolah diminta utusannya. Kata gurunya dengan bisik-bisik, yang diplih adalah yang cantik, tinggi dan tidak gemuk. Meme terpilih mewakili sekolahnya untuk audisi. Undangan sudah saya terima, suatu hari jam setengah sembilan di kantor pusatnya. Meme sudah bingung sejak pagi ingin segera berangkat saja. Dia begitu senang dengan tugas itu. Saya mengantar dengan segera agar tidak mengecewakannya. Sampai di kantor itu kita lapor satpam. Rasanya dia kepala satpam yang sering saya ingat wajahnya. Dia menyuruh kami untuk menunggu di luar, di halaman kantor itu, bukan di ruang tunggu yang kosong itu. Katanya undangannya khan masih jam sebelas. Saya tidak membawa undangan itu, tapi saya ingat membacanya jam setengah sembilan. Kami menunggu lama, menjelang jam sebelas memang datang siswa-siswa lain dari sekolah lain. Mereka memang bilang bahwa undangannya jam sebelas. Saya sadar bahwa ini ada kesalahan. Saat kami disodori daftar hadir, saya tulis di lembaran itu. "Kalau mengundang tolong diperhatikan jamnya, kami diundang jam setengah sembilan. Ini khan lembaga pendidikan!" saya menulis itu karena sudah jengah melihat banyak budaya kerja yang tidak sesuai label religius lembaga pendidikan itu. Saya melihat di budaya kerja meraka yang suka pamer otoritas dengan marah dan memerintah orang. Suka petentang-petenteng menunjukkan wibawanya. Yang pengurus ngomongnya kasar ke kepala sekolah, guru dan karyawan, yang kepala sekolah menekan guru dan karyawan. Yang guru atau karyawan ataupun satpamnya juga sok kuasa terhadap siswa dan wali murid. Budaya kerja yang tidak pas dengan label religiusnya saat itu.
Protes saya ditanggapi, Tapi dengan budaya yang sudah saya tebak polanya. Koordinator kepala sekolah datang dan bilang akan mengusut masalah ini. Kemudian kepala sekolah yang menandatangani undangan itu melepon bahwa itu kesalahan bagian tata usahanya. Bagian tata usahanya yang saya kenal baik yang menelpon dengan memohon-mohon maaf yang sebesar-besarnya. "Wes tha Bu, Ibu gak perlu minta maaf, yang tanda tangan lho kepala sekolah apapun yang ada, dia yang harus punya mental bahwa itu salah dia. Saya gak masalah dengan Ibu koq" Masalah itu diselesaikan dengan terdakwanya adalah petugas TU yang terbawah. Tidak ada budaya kepemimpinan yang mau melindungi anak buahnya. Dan ujung-ujungnya memang sudah tertebak. Meme tidak lolos audisi itu.
Senin pagi itu, seperti biasa saya mengantar sekolah. Di lampu setopan TVRI saya beli koran Surya, karena cuma seribu. Saya tidak suka memberi uang ke pengemis, tapi kalau orang jual koran, ya saya beli saja, karena dia sudah beriktiar bekerja. Walau jarang terbaca, karena di rumah sudah berlangganan Kompas.
"Papa, kalau Papa gak protes-protes, fotonya Meme ada di koran ini!"
Saya kaget. Di halaman utama Surya memang ada foto besar tentang perayaan ultah sekolah itu. Dan foto yang dipajang adalah foto tarian anak SD itu. Meme nampak kecewa. Saya hanya bisa bilang, "Tiap perjuangan memang ada harga yang harus dibayar." Memang dengan berlalunya waktu, mungkin pasti bukan karena saya, orang-orang berkarakter buruk itu sudah semakin tidak mendapat tempat di lingkungan sekolah religious itu. Syukurlah, walaupun Meme sulit memahaminya.
Kemarin pagi-pagi sekali seorang teman WA "Ndang tuku o Koran!" (cepat belilah koran). Ternyata Meme masuk koran. Dia memang terpilih sebagai penerima vaksin covid19 yang pertama di Jatim. Hanya karena anugerah, karena banyak nama yang dihubungi sebelumnya tidak bisa. Banyak nomer HP yang tidak aktif, ada juga yang menolak karena vaksin itu Sinovac, kalau Pfizer mau. Walau ada yang sehari menjelang acara bilang kalau akhirnya mau kalau itu Sinovac, terlambat sudah. Bahkan di saat acara itu saya bertemu dengan reporter Metro, saya bilang, "Harusnya saya sudah mengajukan nama kamu sebagai influencer untuk menerima vaksin itu, tapi HP kamu tidak bisa dihubungi dan Majelis Gereja kamu bilang kamu sudah pernah terpapar covid.". Saat tenggat waktu Sabtu jam delapan pagi itu mulai terlampaui ,"Wes Pak, anakmu ae yo sing tak ajukno?" Anak saya yang kecil memang bersedia, namun kakaknya melarang, "Jangan lho, vaksinnya masih gak jelas!" Kita berdebat, tapi karena Meme mau dan berani, saya mengijinkan saja. Toh, niatan kita baik dan yang meminta adalah dokter yang baik.
Yah, kalau Meme terpilih semoga itu membayarkan hutang kenakalan saya padanya dulu. Semoga Meme bisa jadi influencer yang baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar