09 Agustus 2020

Pria Sejati

Menjadi pria itu katanya hanya masalah kelahiran, tapi menjadi pria sejati itu katanya adalah pilihan. Itu kata iklan yang sering diajukan ke saya. Banyak orang baik yang bersimpati pada saya, dengan harapan saya bisa jadi pria sejati. Banyak juga yang mungkin kasihan pada saya saat saya bilang, saya masih harus cuci piring di rumah dan mengerjakan banyak pekerjaan rumah. Banyak yang bilang kalau saya termasuk katagori suami-suami yang takut sama istri. Mungkin pria sejati itu adalah mahluk yang super, layak dibanggakan diteladani, macho, perkasa dan kuat dan menangan, jangan sampai bisa ditaklukkan oleh wanita apalagi istri di rumah. Belum lagi kalau kesejatian pria itu diukur dari kerohaniannya. “Guyonanmu gak alkitabiah!” Rasanya, saya memang harus jadi pria sejati ya?

Suatu saat pernah saya semobil dengan bos saya saat itu. Beliau mengajari saya, ”Saat di supermarket, jangan mau mendorongkan kereta belanjaan, Masak kita di pekerjaan bisa memerintah orang, di rumah, kita diperintah istri.” Usut punya usut, ternyata di kantor ada isu bahwa yang kaya dan punya modal itu keluarga istrinya bukan keluarga dia. Rasanya dia harus membangun citra bahwa dia berkuasa atas istrinya. Haruskah kesejatian itu bernilai keperkasaan? Jargon pria yang lebih perkasa dari wanita mungkin banyak di sekitaran saya. Tapi masak saya harus mengikutinya? Sebab ternyata di bumi ini banyak wanita yang jauh lebih perkasa juga. Ada rekan yang bisa mengalah karirnya demi karir sang istri. Kenyataan akhirnya memang itu yang membuat keluarganya bisa lebih mapan pendapatannya.

 Di hidup saya, saya bertemu dengan beberapa wanita bershio Macan yang memang lebih perkasa dari suaminya. Karena orang-orang itu begitu dekat dengan saya, tidak sanggup saya bilang ke para suami itu untuk melawan kondisi itu demi alasan keperkasaan pria. Sebaliknya saya semakin menyadari kebaikan Tuhan yang mempertemukan mereka dengan pria-pria hebat yang bisa mengalah pada istrinya. Tak terbayangkan bila pria-pria itu adalah orang-orang perkasa juga, dan di rumah tangga mereka muncul persaingan keperkasaan. Mungkin perceraian bisa menjadi akhir dari ajang keperkasaan pria yang pingin jadi sejati itu. Rasanya pria sejati itu juga adalah mereka yang mau mengalah dan melihat kebersamaan sejati di rumah tangganya. Seperti seorang pria yang berkisah, “Hari itu adik istri saya meninggal, Dia bingung dan sedih. Kita masih di kantor. Dalam kebingungannya dia menyuruh saya pergi. Ya saya pergi saja dari kantor, sampai di dekat pintu tol saya baru menelpon dia. Saya nanya, saya itu mau disuruh pergi kemana ya?” Inilah contoh pria sejati pembawa damai.

Sejatinya pria itu sudah menjadi berkat tersendiri karena kelahirannya. Kadang ada pelayanan-pelayanan yang bisa leluasa saya lakukan hanya karena saya pria. Tugas pelayanan lintas iman, sering menempatkan pria lebih leluasa untuk masuk dalam beberapa ritual yang digelar. Keberadaan itu juga membuat wanita punya keleluasaan di bidang lainnya. Lalu sejatinya apa itu pria  sejati? Saya merasa sudah menjadi pria sejati saat saya bisa membantu pasangan saya. Saya pun akan jadi pria sejati menurut waktu dan tempat dan situasi dimana saya ditempatkan. Tidak ada definisi yang pakem. Sama dengan banyak pria-pria lain yang juga pria sejati di posisi mereka masing-masing.

 Alkisah, seorang rekan bersimpati pada sebuah keluarga. Dia menelpon, “Dan, kita harus bisa menyelamatkan anak-anaknya. Minimal mereka! Kalau papa dan mamanya biar aja dah. “ Sang mama penampilannya adalah wanita baik yang too good to be advised! Terlalu berhikmat untuk bisa dinasehati, percuma! Sang papa memang seorang pria lemah gemulai yang menggemaskan. “Mengapa koq gak dilawan saja wanita seperti itu!” Itu yang sempat ada di benak saya.

“kamu tau, anjing yang paling galak sekalipun, kalau setiap mau menggonggong langsung dipukul, setahun rasanya sudah bisa jadi anjing yang penurut, apalagi suami!” Saat ada kesempatan seorang rekan bisa menemui kedua anaknya, rekan ini terperanjat. Anak yang kecil bilang ,”Saya suka sama papa, kalau mama itu bisanya cuma marah saja.” Anak tertuanya yang sudah remaja beranjak dewasa berkata, ”Saya dekat sama papa. Saya tahu mama itu sakit jiwa.” Memang saat saya pernah menemui papanya, beliau berkata, ”Dan, sudahlah ini salib yang harus aku pikul.” Hari itu hati saya terenyuh. Saya yakin dia inilah pria sejati, yang berjuang dengan komitmen mempertahankan rumah tangganya dan menjadi rekan bagi anak-anaknya.

 

Tidak ada komentar: