18 Agustus 2020

Sekolah Tanpa Rangking

Banyak keluhan tentang penggunaan Nilai Ujian Nasional dan sistem penilaian bagi anak-anak yang bersekolah. Banyak juga pesan WA yang berseliweran tentang betapa anak-anak itu bukan sekedar nilai. Anak-anak ini tetap manusia yang tidak bergantung dari nilai-nilai yang selama ini dikejar di sekolah-sekolah mereka. Bahkan banyak orang yang mencontohkan banyak nama orang sukses yang ternyata tidak melewati jalur bersekolah. Memang rasanya dunia anak-anak itu lebih indah bila tidak harus mengurusi dan berkutat dengan nilai-nilai UNAS atau banyak angka-angka patokan itu. Benarkah begitu?

 

Awalnya saya bersekolah di Surabaya di sekolah yang tanpa rangking. Di akhir tahun ajaran hanya diumumkan nama juara kelas paralel dan itu pasti bukan saya. Waktu mama saya meninggal, saya dipindah ke Bondowoso. Mulai kelas lima di SD Katholik, segalanya mulai terasa berubah. Di akhir cawu pertama, di raport saya ada tulisan saya rangking lima. Rangking yang tidak pernah saya tahu sebelumnya. Rangking itu membuat saya merasa bahwa saya lumayan pandai. Itu yang membuat saya mulai terpacu untuk belajar. Rangking itu yang membuat saya terus semangat untuk belajar dan mengejar yang lebih baik dan semakin baik. SD, SMP dan SMA saya selesaikan dengan semakin baik. Saya lulus SMA dengan nilai Ebtanas tertinggi se kabupaten Bondowoso. Bagi saya tulisan rangking lima di awal itulah yang memicu saya untuk tahu talenta saya dan terus terpacu mengembangkannya. Itu yang pernah saya alami.

 

Minggu ini saya kembali terhenyak oleh masalah ini. Saya memang terpanggil membantu pendidikan anak-anak kakak saya. Anak pertamanya sudah lulus ITS dan membantu saya mengurus peluncuran kapal di Kalimantan. Anak keduanya gagal masuk ITS tetapi mendapatkan beasiswa di China, sekarang dia sudah bekerja di Jakarta. Kini anak ketiganya. Semuanya perempuan. Saat ini berusia enam belas tahun. Teman sebayanya baru akan masuk SMA, dia sudah berjuang untuk masuk universitas. Dulu dia tanpa TK, hanya PAUD lalu masuk SD, Selalu rangking, hingga SMP nilai NEM matematikanya seratus! Kalau dia SMA di Bondowoso, dia bisa sekolah gratis dan malah dapat uang pembinaan tiap bulannya.  Saya dan kakaknya sudah punya pengalaman tentang mutu SMA di Bondowoso. Tapi mamanya tidak tega kalau dia SMA di Surabaya, anak ini masih terlalu kecil. Jadilah diambil jalan tengah, sekolah di Jember, SMAN1 Jember, satu dari sekolah terbaik di Jatim, dengan harapan dia bisa mendapat banyak tantangan yang lebih besar. Awalnya dia bercita-cita jadi dokter. Harusnya ada kelas akselerasi di sekolah itu, kalau dia berhasil, umur lima belas dia sudah bisa masuk FK. Kemudian aturan berubah! Ternyata kelas akselarasi tidak ada lagi. Rangking tidak juga diumumkan. Belum lagi akibat pandemi, UNAS juga ditiadakan. Kelulusan ditentukan oleh nilai raport selama ini. Hal indah seperti yang diperjuangkan banyak orang. Diapun tidak terpilih di antara empat puluh siswa yang mendapat fasilitas menempuh jalur undangan ke perguruan tinggi. Lalu apa yang bisa jadi pegangan akan kemampuannya bersaing? Kini cita-citanya berubah ingin masuk ITS Elektro. Memang semuanya telah diusahakan dan disiapkan dengan baik untuk cita-cita ini. Sayapun berdoa memohon anugerah Tuhan untuk peluang anak ini. Jumat kemarin pengumunannya. Jam 15.02 saya mendapat WA dari kakak saya “Meme di terima di ITS”

“Jurusan apa?”

“Elektro”

Puji Tuhan! Saya terharu. Saya sangat bersyukur untuk anugerah ini. Lega rasanya.

Tapi  itu hanya berlangsung semalam saja. Besok paginya sudah ada lagi WA “Om, meme mau daftar elektro ITB jalur mandiri.” Saya bingung, ini bukan hal mudah dan murah. Ternyata masalahnya, tahun ini beda dengan tahun lalu, nilai UTBK tidak diumumkan di awal, siswa tidak tahu nilainya saat mendaftar. Dia baru tahu saat pengumuman penerimaan, ternyata nilainya cukup bagus. nilainya jauh di atas nilai terendah yang bisa diterima di elektro ITS. Bahkan masih lumayan di atas nilai terendah yang diterima di elektro ITB dan FK UI. Ini yang tidak diketahuinya sebelumnya. Sebelumnya tidak ada acuan tentang nilai prestasi dia. Segalanya kembali dihitung, peluang, biaya dan rencana. Seharian saya mengumpulkan banyak pendapat tentang elektro ITB ini. Sampai pada kesimpulan cita-cita memang harus dikejar setinggi langit. Walaupun berat, cita-citanya tetap harus didukung. Di benak saya, ITB lebih prestisius dari pada ITS. Tapi sayang, ternyata secara administrasi sudah tertutup kemungkinan ini. Yang diterima di jalur test tidak boleh mendaftar lagi di jalur Mandiri. Kandas sudah ambisinya. Andaikan nilai itu diketahuinya sebelumnya……

 

Bagi sebagian orang, nilai dan rangking terasa sebagai penghambat, tapi bagi sebagian yang lain, itulah yang menggerakkan semangatnya. Bisa jadi hidup ini perlu nilai-nilai sebagai tolok ukur atau benchmarking. Saya jadi ingat akan apa yang mungkin disebut sebagai Matthew Effect :

“Karena siapa yang mempunyai, kepadanya akan diberi , sehingga ia berkelimpahan; tetapi siapa yang tidak mempunyai, apapun juga yang ada padanya akan diambil dari padanya.”

 

(kelanjutannya.....)

09 Agustus 2020

Salah Makan

Makanan yang masuk kedalam tubuh saya, adalah asupan gizi bagi sumber energi yang mampu membuat tubuh saya beraktivitas dengan baik. Makanan itu yang akan menentukan apakah tubuh ini mendapatkan sumber energi yang sehat atau malah makanan ini akan menjadi sumber penyakit bagi tubuh saya. "Apakah saya pernah salah makan?"

Saya akan berusaha bertanya, 'Ini makanan apa?" Karena saya prediabetic, maka kalau itu manis sekali, saya harus menghindarinya. Kalau ini berlemak tinggi, maka itu jangan sampai banyak masuk ke mulut saya. Kalau itu dicecap terasa bau basi, berarti kalau saya terus memakannya akan berakibat diare. Kalau gigitan awal terasa asin sekali, bisa-bisa saya tidak perlu memakannya semua. Makanan yang akan saya makan, akan terasa di gigitan atau suapan pertamanya. Akan saya makan terus, akan saya nikmati dgn enak, akan saya hentikan makannya, itu terasa di awal proses makan saya.

Sama dengan berita yang saya terima setiap saat di HP atau sosmed saya. Berita itu berguna, menghibur atau hoax, akan terasa saat saya membacanya. Segala karunia Tuhan berupa nalar dan nilai yang sudah saya pelajari akan menilai saat saya membacanya. Itu yang akan membuat saya merasakan apakah berita itu _bergizi_ buat saya. Akankah berita ini berguna? Adakah keanehan nalar yang terasa di berita itu? Bila ada nilai-nilai indah, maka saya ingin menyimpannya atau berbagi dengan orang lain. Sama saat saya ingin berbagi akan kue lezat yang saya terima hari ini. 

Saat saya merasa ada yang salah dan meragukan dengan berita itu, apakah saya akan menyebarkannya kepada orang lain? Sama saat saya merasa ada yang aneh dengan gigitan pertama suatu roti, akankah saya serahkan roti itu ke anak saya agar anak saya merasakannya juga? Atau saya akan berpikir, 'Roti ini basi dan saya tidak pingin memakannya, biar saya berikan ke orang lain saja, siapa tahu orang lain bilang roti ini enak." Kalau nanti dia juga merasa itu basi, ya saya tinggal bilang, "Ya jangan dimakan lha."

Saya senang kalau bisa dikenal sebagai orang yang suka berbagi makanan. Saya pikir semua orang suka bila diberi makanan. Tapi rasanya saya akan malu dan bersalah  kalau makanan yang saya bagikan tidak pernah saya uji kualitas dan nilai gizinya. Lalu semua orang akan meremehkan nilai pemberian saya, akankah saya sedih?
Sama dengan itu, saya juga akan menilai tiap berita yang saya terima dan bagikan buat orang lain, agar orang lain juga bertumbuh karena berita yang saya bagikan.
(kelanjutannya.....)

Predator

Saya jadi ingat kata itu saat saya ada dalam keseharian bekerja untuk pengadaan bantuan medis dalam masa wabah covid19 ini. 
"Disini beli desinfektan cuma seorang boleh beli dua" pesan yang masuk.
"Kamu khan bertiga, masing-masing beli dua, lalu masuk beberapa kali"
"Siap!!!"
Membanggakan memang lihat semangat seperti itu. Semangat kuat untuk bisa mendapatkan barang agar kita bisa membantu orang lain. Mulia terasa.
Seandainya kita tidak memborong habis barang itu, apa barang itu akan tetap di sana dengan tak berguna? Akankah barang itu tidak akan dibeli dan dipakai untuk desinfektan bagi sesama kita? Bisa jadi setelah kita, ada orang lain yang kecewa karena saat dia butuh, dia tidak mendapatkannya.
Lalu kita salah? Lha wong kita memborong untuk  menbantu orang lain juga? 

Kalau ada hal lain yang bisa kita lakukan,adalah berbagi keprihatinan ini. Berbagi keprihatinan agar mereka yang punya dan sudah menyimpan dalam jumlah berlebihan bisa berbagi dengan yang benar-benar membutuhkan. 
Berbagi keprihatinan tidak dengan membebani *kurva Demand-Supply* dengan memborong di pasar, sehingga demand/permintaan naik yang bisa dimanfaatkan untuk menaikkan harga seenaknya. Mari bergerak dengan menyumbang di area Supply/ketersediaannya sehingga kita tidak menjadi predator yang membebani pasar. 

Meningkatkan ketersediaan barang dengan menggugah kesadaran orang-orang yang punya fasilitas untuk membantu. Mereka yang punya fasilitas produksi farmasi ayo buat desinfektan atau vitamin yang sedang langka, memang saat ini mereka tidak pernah buat, tapi bukan berarti mereka tidak bisa. Karena saat kondisi normal pertimbangan bisnis adalah pandu utama positioning mereka. Yang punya ijin import alat kesehatan, ayo kita import lebih banyak lagi, perluas jalur-jalur yg sudah kita punya. Yang punya produksi wadah-wadah plastik, ayo kita salurkan sementara untuk wadah bantuan-bantuan yang akan juta berikan ini. Kita perlu menggerakkan mereka yang sudah di bidang itu agar mutu bantuan kita itu terpercaya, diolah oleh mereka yang sudah punya kompetensi untuk itu.

Saat kondisi menjadi darurat, kita tidak terpanggil menjadi predator. Kita harus berani lebih repot, berani lebih sulit agar kita tidak malah merepotkan dan menyulitkan sesama kita, walau niat baik yang ingin kita haturkan. 
Semoga semua mahluk berbahagia.
(kelanjutannya.....)

Ada Yang Pernah Lihat Yesus?

Tahun ini ada lagi Natal, ada lagi kemeriahan dekorasi dan kemeriahan lagu-lagu Natal lagi. Semua akan berulang dan bisa jadi makin meriah. Natal katanya merayakan kelahiran Yesus, tapi apa ada yang pernah melihat Yesusnya? Jelas Yesus gak muncul, karena ini peringatan hari lahirnya dan Yesusnya khan sudah di surga. Benarkan kalau ada yang risih dengan perayaan Natal, itu karena Natal ini dilarang karena Yesus banget? Jadi saat ada yang melarang memakai topi merah sinterklas di mall, itu berarti melarang menampilkan Yesus? Dengan raibnya aksesories topi merah dan lonceng ataupun kereta salju berarti Yesus raib juga di Natal ini? Nah, ada yang pernah lihat Yesus?

Bila memang Natal kali ini untuk memperingati kelahiran Yesus, maka siapa Yesus itulah yang perlu digaungkan. Saat orang dibombardir dengan pernak pernik Natal, saat itu orang harus bisa berpikir tentang Yesus. Saat Natal bukan saat baju baru atau saat diskon belanja. Saat Natal harusnya saat orang merayakan Yesus yang mereka kenal dalam kenangan mereka. Yesus harus menjadi rujukan massal siapa saja yang mendengar atau mencium aroma natal. Nah, ada yang pernah lihat Yesus?

Natal itu cuma sekali setahun. Sekali setahun yang super meriah dan mendunia. Kita bersyukur bahwa Natal itu di akhir tahun. Di akhir tahun orang merayakan kenangan akan hadirnya Yesus. Berarti bila sepanjang mulai awal tahun dan sepanjang tahun berjalan hingga menjelang berakhirnya tahun itu, orang melihat hadir dan kiprah Yesus maka wajar dan pasti Natal di akhir tahun itu meriah. Natal ini pasti meriah bila Yesus itu hadir dan berkarya di dalam lingkungan masyarakat kita. Masyarakat perlu bersorak, bergembira, berpesta di Natal, karena sukacita yang terakumulasi sejak awal tahun. Bersukacita serta bergembira karena merasakan karya Yesus sejak awal tahun. Wajar bila kita berpesta dan bersorak sukacita di akhir tahun. Tapi apa karya Yesus ada di hari-hari dan tahap-tahap kehidupan ini, sehingga saat tahun ini menjelang berakhir ada sukacita untuk merayakan kebersamaan itu? Siapa dan apa karya Yesus yang mau atau perlu kita rayakan di Natal ini? Ada yang pernah lihat Yesus?

Kehadiran dan karya Yesus sejak awal tahun atau di sepanjang kehidupan ini yang akan membawa banyak orang dan masyarakat ini otomatis berpesta di Natal. Itu karena mereka tahu dan merasakan siapa Yesus itu. Tapi apa ada yang pernah melihat Yesus? Bisa jadi masyarakat itu berpikir bahwa Yesus itu cuma ada di gereja. Bisa Juga masyarakat berpikir bahwa yesus itu sudah tidak ada lagi di dunia ini. Jadi buat apa merayakan Natal? Yesus itu cuma milik dan simbol orang Kristen, sehingga sukacita Natal itu cuma pantas untuk orang Kristen dan harus dikurung di gereja. Yesus harus dihadirkan di masyarakat ini. Mari kita visualisasikan Yesus melalui karya kita.

Saat banyak orang menanyakan di mana Yesus bisa dilihat. Kita berani menjawab: disini! Dihidup kita ada tampilan Yesus. Kita yakini kita adalah duta Kristus, duta Yesus di dunia ini. Kita yang harus mempersaksikan segala sifat Yesus di dunia ini. Berani apa tidak ya? Tapi mau tidak mau itu sudah panggilan kita.

Kalau saja hari ini kita mau menampilkan Yesus di hidup kita, tampilan Yesus apa yang bisa orang lain lihat? Yesus yang lebih dari super hero, yang selalu menang? Kita butuhkah gambaran Yesus yang perkasa karena sebagai minoritas kita selalu kalah dan minta mengalah? Akankah Yesus yang luar biasa hebat itu akan membuat kita jadi hebat juga. Ataukah gambaran Yesus yang bersahaja, Yesus yang hadir untuk melayani bukan dilayani. Yesus yang menyeka kaki para murid, Yesus yang dihukum tanpa melawan? Lakukah bila gambaran Yesus yang melayani ini kita hadirkan? Yesus yang manakah yang hendak dilihat di hidup kita?

Dalam segala bentuk kemegahan Natal yang ada, dalam segala bentuk kemeriahan Natal yang terbangun, Natal yang pertama itu cuma Natal di padang, Natal di kandang, dan Natal bersama para gembala. Natal yang sederhana dan menyapa yang sepi. Sanggupkah wajah Yesus dihadirkan kembali dengan sederhana dan biasa, agar mereka yang tidak dapat mendekat ke kemeriahan itu, bisa tersapa oleh Yesus yang akan di rayakan di Natal kita.

Saat Bom 13 Mei di GKI Diponegoro, di hari itu thema kotbah yang disiapkan dan sempat dikotbahkan di ibadah pertama sebelum ledakan bom itu adalah “Allah Berhati Ibu”. Allah yang Maha Besar itu juga Allah yang Berhati Ibu yang mau menderita saat melahirkan, merawat, membesarkan dan hadir berkehidupan bersama semua anak dan keluarganya. Saat gereja sempat ingin mewartakan bahwa Yesus itu berhati ibu, kenyataan lain terjadi. Seorang ibu mengorbankan dua putrinya untuk merenggut hidup orang lain. Saat Yesus ingin hadir menjadi Ibu yang merawat kehidupan, dunia bisa menghadirkan Ibu dengan wajah yang lain yang antagonis denganNYA. Sehingga kita terpanggil untuk menvisualisasikan Yesus sebagai alternatif menyejukkan bagi dunia. Dunia bisa bertanya siapa yang pernah lihat Yesus. Tapi kita sebagai bagian dari Gereja dan Tubuh Kristus siap berkarya bahwa ini ada secercah Yesus di hidup kita.

Masyarakat kita butuh melihat Yesus di keseharian kita, agar merekapun bisa mengerti mengapa Natal itu meriah. Itu pasti karena kasih dan karya Yesus yang sudah meriah di hidup para dutaNya, yang pernah mereka rasakan juga kehadirannya di bumi Indonesia ini. Masih ada yang belum melihat Yesus?

 

(kelanjutannya.....)

Doa untuk Orang Baik

Di sepanjang hidup saya banyak kebaikan orang yang saya terima. Kebaikan-kebaikan itu yang menutupi banyak kekurangan, kelemahan atau bahkan  kecerobohan yang saya lakukan. Orang-orang yang telah mau merelakan haknya demi saya. Apa yang bisa saya doakan untuk orang-orang baik itu?

Pada suatu liburan panjang Lebaran, seorang pelanggan menelpon meminta kiriman pesanannya.  Saya bilang bahwa kita sudah libur, barang akan kita kirim saat masuk nanti. Pelanggan itu marah dan mendesak utk mengirimnya saat itu, karena justru saat liburan itu sedang dilakukan perawatan dan perbaikan di pabriknya dan alat itu akan dipasang saat ini. Saya bingung, saya sudah di Bondowoso, seorang rekan ternyata juga sudah mudik ke Yogya. Tidak mudah untuk meninggalkan keluarga saat liburan dan balik ke Surabaya sendiri, pasti ini akan menimbulkan keributan besar. Di awal bisnis bengkel itu, kita bertiga. Seorang rekan lagi ternyata masih di Surabaya, tidak mudik, dia bersedia menguruskan masalah ini. Saya sangat lega, masalah terselesaikan dengan baik. Saya berdoa, agar saya selalu mengingat akan kebaikan teman ini, dia yang rela menolong saya menyelesaikan masalah ini. Paling tidak doa itu terkabul saat kita harus berpisah secara bisnis. Dia harus keluar dari kongsi kita. Ingatan akan kebaikan itu yang membuat saya bisa terus mempertahankan hubungan baik dengannya sampai saat ini.

 Seorang rekan penatua suatu saat bertanya, “Benarkan kamu yang berniat untuk menjegal dia?” Saya menjawab dengan lugas ,”Tidak!” Pertanyaan itu mengesankan suatu rasa kurang enak terhadap suatu keputusan yang memang harus saya ambil. Saya mengambil keputusan itu dengan penuh pertimbangan yang benar dan bisa saya pertanggungjawabkan. Bukan cuma saat saya ditanya orang, tapi juga saat saya berdoa sendiri. Hati saya harus bisa damai dan tenang dihadapan Tuhan berkenaan dengan semua keputusan dari wewenang saya. Orang itu saat itu melakukan sesuatu yang membuat saya tidak bisa mendukung dia. Kemudian saya bercerita tentang hal yang menjamin saya tidak akan berbuat jahat pada orang itu. Cerita yang akan saya ingat di sepanjang umur saya. Saat itu 1991, KPR Dipo punya acara besar. Pentas tari dan musik Gema Cinta Allah, di Go skate, targetnya pengunjung penuh, enam ribu lima ratus orang. MJ bilang boleh bikin acara, tapi tidak ada anggarannya. Kita kerjakan. Menjelang hari H, tiga hari itu saya tidak pulang rumah. Menggelandang di tiga tempat antara Dipo, Darmo Optical di Raya Darmo nomer delapan tempat semua dekorasi dipersiapkan dan Go Skate Embong Malang. Saya tidak punya kendaraan, sebagai ketua panitia saya harus mengkoordinasikan semuanya. Belum ada HP, tidak ada kendaraan apa-apa, bagaimana mobilitas saya? Teman ini meminjamkan sepeda motornya, Yamaha Autolube Merah. Saya juga tidak jelas bilang mau dipinjam berapa lama, tapi saat itu saya bawa selama tiga hari itu. Saat mengembalikannya, saya juga tidak ingat apa sudah saya isi bensin kembali. Rasanya juga tidak, karena memang saya tidak punya uang. Uang saku harian saya sangat minim, yang bisa habis untuk sekali makan siang saja. Teman ini begitu baik, tidak pernah sekalipun dia marah atau ngrasani tentang kenakalan saya itu. Kebaikan itu yang selalu saya ingat. Dia sendiripun mungkin lupa, tapi setelah lebih dua puluh tahunpun saya masih tetap mengingat kebaikan orang itu.

 Untuk semua orang-orang baik di hidup saya, apa yang pernah saya doakan untuk mereka? Sejujurnya, saya tidak pernah berdoa untuk memohonkan berkat Tuhan yang melimpah buat mereka. Doa yang mungkin harus saya lakukan sebagai balas jasa kebaikan mereka. Tapi saya merasa bahwa Tuhan itu Maha Tahu, Dia tahu kebaikan orang-orang itu dan Tuhan yang Maha Baik itu juga pasti akan melimpahkan banyak kebaikanNya juga pada orang-orang ini. Yang selalu saya doakan saat saya menerima kebaikan-kebaikan itu adalah “Tuhan, ingatkan saya selalu bahwa orang ini sudah berbuat baik pada saya hari ini.” Doa yang diharapkan bisa juga saya ingat saat kolerik saya kumat. Saat ada masa-masa di mana hubungan itu menjadi tidak nyaman lagi. Doa yang mungkin akan terkabul saat saya merasa marah dan kecewa dengan orang-orang itu. Semoga Tuhan berkenan senantiasa mengabulkan doa saya ini.

 

(kelanjutannya.....)

Engineering di Alkitab

Kedoyanan saya di bidang Engineering membawa nuansa-nuansa khusus saat menemukan ayat alkitab yang beraroma itu. Saya pernah kaget saat membaca kata “torak” di kitab Ayub 7:6. Bagaimana mungkin di zaman Alkitab ini ditulis sudah ada torak. Torak itu Bahasa Inggrisnya Piston, bahasa Belandanya Zuiger, dan di bahasa jawa jadi Seker. Teknologi yang menggunakan torak itu harusnya baru mulai ada saat James Watt menemukan mesin uap, jauh di depan saat alkitab ditulis. Bisa jadi bagi rekan yang percaya dengan Inerrancy dan Infallability malah bangga dengan bilang begitu visionernya alkitab itu. Tapi seorang kenalan yang ahli bahasa Ibrani menjelaskan bahwa torak itu untuk menerjemahkan bagian dari kelosan benang pada mesin penenun tradisional kala itu. Kalau di mesin jahit mama saya, itu dulu namanya sekoci. Oh, jadi ini cuma sekedar masalah penerjemahan saja.

 Ayat lain yang saya suka karena beraroma engineering adalah “Besi menajamkan besi, orang menajamkan sesamanya” Besi menajamkan besi, itu pekerjaan saya sehari-hari di bengkel. saya punya mesin bubut dan milling untuk membentuk besi menjadi berbagai bentuk yang dibutuhkan. Untuk membentuk besi diperlukan besi atau material lain yang lebih keras sebagai pisaunya. Pernah ada pelanggan yang komplain karena barang yang saya hasilkan cepat aus saat dipakai. Solusinya memang mudah, materialnya dikeraskan. Tapi kondisinya tidak sesederhana itu, mengerjakan material yang sudah dikeraskan akan menimbulkan masalah baru. Diperlukan pisau atau pahat yang lebih keras lagi untuk memotong dan membentuk material keras itu. Membuat besi menjadi keras itu ada ceritanya tersendiri. Heat treatment atau perlakuan panas namanya. Besi itu harus dipanaskan hingga suhu tertentu dan dinginkan dengan kecepatan tertentu untuk bisa menghasilkan sifat-sifat kekerasan yang diinginkan. Dipanaskan dengan suhu ratusan derajat hingga seribu lebih, didinginkan dengan prosedur tertentu mulai dengan diangin-anginkan saja, atau langsung dimasukkan ke minyak, atau dicelupkan ke air atau dicemplungkan ke air garam.  Prosedur yang rumit dan pasti merepotkan bagi _kehidupan_ besi itu sendiri.

 Besi menajamkan besi, memerlukan besi yang lebih keras dari besi pada umumnya. Menjadi besi yang lebih keras butuh melewati proses perlakuan panas yang tidak mudah, dipanaskan dan didinginkan. Proses yang hampir pasti akan membuat besi itu mengalami deformasi, perubahan bentuk. Setelah itu harus di sesuaikan lagi bentuknya. Mengingatkan akan proses kehidupan ini. Proses menghidupi panggilan ini bisa jadi mirip proses besi ini. Kadang harus dipanasakan hingga suhu yang sangat tinggi, lalu tiba-tiba harus didinginkan dengan mendadak. Hanya untuk sekedar agar bisa cocok dengan panggilan yang saya hidupi ini. Orang menajamkan sesamanya.

Apakah yang paling enak itu bila bisa menjadi besi yang terkeras, biar ada di puncaknya puncak, topnya besi top? Alam punya aturan lain, makin keras besi akan makin rapuh. Silet itu bisa tajam karena besinya keras, tapi silet ternyata tidak bisa dibengkokkan, silet mudah patah. Makin keras makin rapuh. Kekerasan harus disesuaikan dengan kebutuhan yang ada. Beban yang diterima oleh sebuah alat tidak hanya dapat diatasi oleh kekerasan materialnya, material itu kadang harus ulet tidak mudah patah. Kombinasi antara  kekerasan dan keuletan itu yang membuat heat treatment suatu besi adalah ilmu dan seni. Sama dengan proses saat menghidupi panggilan ini, penuh dengan penyesuaian yang rumit. Menghidupi panggilan memang rumit.

Apakah satu prosedur heat treatment yang baik akan menghasilkan besi yang baik? Ternyata tidak pasti! Material besinya yang akan menentukan bahwa suatu proses yang tepat akan menghasilkan hasil yang tepat seperti yang diinginkan. Ada besi yang sekilo sepuluh ribu Rupiah, ada yang lima puluh ribu Rupiah, ada yang dua ratus ribu Rupiah, ada yang harga kiloannya lebih mencengangkan lagi. Material-material ini akan menghasilkan sifat-sifat khusus untuk menjawab kebutuhan di lapangan. Tiap material punya prosedur tersendiri untuk perlakuan-panasnya. tidak ada yang bisa bilang besi itu lebih baik dari yang lain, semua dibutuhkan di masing-masing tempatnya. Semua punya prosedur yang perlu dijalani dalam proses menghidupi panggilannya. Tapi apa betul saya cuma besi murahan yang tidak akan jadi bagus walau sudah diproses? Mosok sih? Bukankah katanya saya itu diciptakan dengan citra Tuhan yang sempurna dan dipersiapkan untuk melakukan apa sudah Ia rencanakan sebelumnya…..? Yang jelas menghidupi panggilan “Besi menajam besi” ini, memang butuh kesiapan tersendiri….

 

(kelanjutannya.....)

Beda Kristen itu apa?

Medsos mempertemukan saya dengan banyak teman masa kecil yang telah terpisah puluhan tahun. Tiap kita punya jalan hidup yang sudah kita jalani sendiri-sendiri. Kisah itu menjadi menarik setelah kita bertemu kembali, berbincang kembali. Paling tidak ada dua teman yang kemudian menimbulkan tanya seperti judul itu.

Teman yang satu tinggal di Jakarta, bekerja di sebuah perusahaan biskuit ternama. Bukan karirnya yang membuat saya terpana, tapi bahwa dia kini beristri tiga. bukan sekali dua kali saya berbincang dengan dia per telpon atau WA. Dulu kita pernah akrab, mencari ikan bersama di sungai di dekat rumahnya, kadang mancing, kadang juga dengan racun yang namanya “sangkali”. Kita mulai berpisah saat kita berbeda SMA negeri. Awalnya saya berpikir tiga istri itu menarik dan hebat, namun hidup memang selalu punya sisi yang yang tak terlihat di permukaan. Tiga istri dan enam anak memang benar-benar jadi beban buat dia. “Lu bisa bayangkan dewe, berapa sih gaji gua yang bukan sarjana ini” Berat sekali. Diapun mendaftarkan diri di taksi online di luar jam kerjanya. Semua dijalaninya dengan semangat. Tidak pernah mengeluh, selalu bilang kalau Tuhan itu baik dan selalu ada berkat dan rejeki buat dia sekeluarga. Perbincangan kita terasa tulus, sama seperti waktu kita anak-anak dulu. “Suatu sore anak gua minta uang 500 ribu buat dibawa ke sekolah, gua pas gak punya uang sama sekali. Gua cuma jawab ya. Sore pulang kerja gua ngGrab. kearah Bandung untuk cari penumpang yang mau kerja di Jakarta pagi hari. Tapi gak ada penumpang blas. Sampai subuh belum dapet duit. Yah pasrah wes. Berhenti di tempat peristirahatan. eh, ada yang nyamperin, minta anter ke Jakarta. Pas dapet duit. Paginya bisa ngasih anak utk bayar ke sekolahnya.” “Tuhan itu baik, selalu ada rejeki tepat waktu” Dia memang mualaf, tapi kesaksiannya menceritakan bagaimana Tuhan itu selalu baik buat dia. Persis kayak kesaksian yang saya dengar di persekutuan kita.

Teman kedua sedikit lebih tua dari saya, dulu kita satu SD, satu SMP dan satu SMA walaupun tidak pernah sekalipun kita sekelas. Kita dulu pelayanan bersama, dia ketua KPR. Rajin baca alkitab, rajin pelayanan. sampai puluhan tahun kita berpisah. dia kuliah di Malang.  Saat saya bertemu kembali dengan dia, semuanya serba berubah. Di rumah yang bergaya etnik madura itu, sudah terlihat nuansanya. Dia bercerta banyak tentang segala yang ada disana. Juga tentang Pohon Bodi, pohon yang pernah menaungi Sidharta bersemedi. Ada banyak patung dan simbol-simbol religi yang juga saya kagumi keindahannya.  Tidak pernah sekalipun saya bertanya alasan dia meninggalkan kekeristenannya. Pernah ada teman lain yang bilang, itu karena dia mau berbakti dan menghormati mamanya dengan sangat baik. Tapi mamanya tetap ke gereja kita dulu.  Kita akrab sekali, karena kita memang akrab baik secara pribadi maupun keluarga. Dia pernah minta saya sekeluarga datang untuk makan bersama di peternakannya yang lebih dari enam hektar itu. Beberapa hari yang lalu dia menelpon minta tolong membuatkan mesin alat bantu peternakannya. Setelah berdiskusi lama dan dia cocok dengan biaya yang saya sodorkan, saya merasa perlu untuk meninjau dan mengukur apa-apa yang dimauinya. Saya datang. Selesai berbindang tentang mesin itu, kita duduk di “Lencak”, dipan kayu di dekat pintu gerbang peternakannya, ngobrol. Satu setengah tahun dia hidup tanpa penghasilan. Kandangnya kosong, entah kenapa, saya tidak berani bertanya. Dulu memang saya lihat puluhan ribu atau ratusan ribu ekor bebek di sana. Dia gak bisa bayar hutang. Baru bebrapa hari yang lalu dia bisa panen lagi dan bayar semua hutangnya. “Tuhan itu baik, gua minta berkat buat bayar utang, ternyata memang dikasih sama Tuhan. Gua itu sudah menganggap Tuhan itu bukan yang jauh disana, tapi selalu dekat untuk bisa diajak omong-omongan dengan enak. Burung di udara dan rumput di padang aja dipelihara, masak kita tidak?” Glodak! Ini kesaksian yang biasa saya dengar di persekutuan kita juga.

 Saat ini saya tercenung, Tuhan itu baik bagi semua orang. Semua orang yang bisa merasakan kesejukan hujan. Lalu apa gunanya atau bedanya kekristenan itu? Kalau cuma saya Kristen karena kemaruk dan cuma untuk minta berkat Tuhan, maka diluar itu bisa koq. Hari ini saya semakin yakin akan “Jadilah kehendakMU di Surga maupun di muka bumi ini.” Panggilan saya bukan untuk diberkati dan menikmati berkat Tuhan saja, tetapi bisa menjadi berkat dan menghadirkan Surga yang adalah suasana penuh berkat dan nyaman bagi orang lain.

 

(kelanjutannya.....)

Pernah ke Rumah Saya?

Ini pertanyaan yang sebenarnya tidak saya sukai. Saya sebenarnya tidak terlalu suka ada orang ke rumah saya. Karena kami tidak punya asisten rumah tangga, segala pekerjaan kami lakukan sendiri. Menyapu, mengepel, cuci pakaian, cuci piring, mengelap kaca jendela dan apapun juga. Saat suasana rumah kotor, berantakan, kami sudah punya konsensus, tidak boleh marah!  Kalau tidak suka, ya rapikan saja sendiri. Kalau merasa capek untuk mengerjakannya, biarkan saja, jangan menggerutu. Kita semua capek, karena kita semua punya tugas bekerja dan kuliah. Menggerutu juga tidak ada gunanya Tidak ada yang bisa otomatis jadi baik dengan cuma menggerutu. Apalagi bisa juga DNA saya adalah orang yang asosial, lebih suka sendiri daripada bersama orang lain. Dalam kesendirian banyak hal bisa saya lamunkan dan khayalkan. Hasilnya juga banyak sekali, mulai peluncuran kapal yang beratnya ribuan ton sampai wastafel bisa saya rancang dalam lamunan saya. Apapun keadaan rumah saya, biarlah itu jadi urusan pribadi saya. Jangan tambahi beban saya untuk merapikan rumah hanya karena mau ada tamu atau persekutuan. Benarkah saya?

Dua kisah tentang dua rekan, baru-baru ini menyentakkan saya. Satu rekan sudah saya kenal puluhan tahun. Anak yang baik, rohani, sopan santun, lemah lebut dan bijaksana (ini karena dia pandai dan suka menasehati sebayanya). Sampai suatu saat, sekelompok kita harus mengadakan zoom meeting untuk dia ini. Kita yang sebaya. Ada yang teman sekolah, banyak yang teman sepelayanan, ada yang tetap merasa sebagai anak rohaninya. Semua prihatin dengan bocoran dari guru Bimbingan dan Konseling anak remajanya yang mengatakan bahwa anak ini menyampaikan bahwa ia malu punya orang tua seperti itu. Kebetulan guru itu kita kenal dan bisa dipercaya validitasnya. Di zoom itu terungkap bahwa memang beberapa rekan merasa heran saat beberapa waktu yang lalu mereka datang ke rumahnya. Di perumahan yang lumayan bagus. Rumah ini sama sekali tidak terawat, semuanya lebih mirip rumah yang tak berpenghuni. Kotor dan berantakan. Kontras dengan citra rekan yang selama ini kita kenal, pribadi yang serba baik. Di medsospun tampil baik. Tapi rumahnya berantakan, dan kini anaknya mulai ada gejala berantakan.

Seorang rekan lagi, saya kenal ketika kita sudah sama-sama dewasa. Profesinya yang mempertemukan kita. Dia orang yang tampil dengan citra yang sederhana, baik dan so far so good lha…. Tahun-tahun relasi professional kita terjalin dengan baik, karena berbeda kota, saya tidak pernah sekalipun berkunjung kerumahnya. Sampai baru-baru ini, dia bermasalah dan harus dipecat dari kedudukannya. Masalah yang saya dengar itu karena pasangan hidupnya. Dia yang baik, terseret oleh tingkah polah pasangannya. Hancurlah sudah karirnya. Di masa jedah penyelidikan masalahnya, dia meninggalkan rumah dinasnya untuk sementara mengasingkan diri merunut penyelesaian masalah rumitnya. Otoritas pemilik rumah itu masuk mengintip rumah yang ditinggalkannya. Semua kaget, semua heboh! Isi dalamnya berantakan dan kotor. Semua bercampur antara barang yang dipakai, barang rusak, sampah dan apa saja. Koq bisa seperti itu ya?

Dua kisah menghubungkan antara kondisi rumah yang berantakan dengan berantakannya hubungan sosial mereka. Rekan yang dokter bilang, “Dia itu sakit, saat orang tidak aware dengan kebersihan, itulah tanda bahwa ada sakit di jiwanya” Bisa jadi rumah itu cermin kondisi jiwa saya. Bukan mewahnya, bukan bagusnya, bukan besar kecilnya. Cuma situasi kerapian dan kebersihannya. Saat di rumah saya banyak onggokan sampah yang tak terbuang, bisa jadi di jiwa saya juga teronggok sampah masalah yang membusuk. Bila saya bisa membagi tugas merapikan rumah, bisa jadi juga itu melatih saya untuk membagi tugas merapikan masalah hidup saya. Tapi bukan berarti di rumah yang rapi pasti bebas masalah karena Yesus juga pernah bilang ,” …..Maka pergilah ia dan mendapati rumah itu bersih tersapu dan rapih teratur. Lalu ia keluar dan mengajak tujuh roh lain yang lebih jahat dari padanya, dan mereka masuk dan berdiam di situ. Maka akhirnya keadaan orang itu lebih buruk dari pada keadaannya semula.” Wes.. mumpung ini WFH kita bersih-bersih rumah yuuk…. Aku tak kora-kora sik ya….

 

(kelanjutannya.....)

Pria Sejati

Menjadi pria itu katanya hanya masalah kelahiran, tapi menjadi pria sejati itu katanya adalah pilihan. Itu kata iklan yang sering diajukan ke saya. Banyak orang baik yang bersimpati pada saya, dengan harapan saya bisa jadi pria sejati. Banyak juga yang mungkin kasihan pada saya saat saya bilang, saya masih harus cuci piring di rumah dan mengerjakan banyak pekerjaan rumah. Banyak yang bilang kalau saya termasuk katagori suami-suami yang takut sama istri. Mungkin pria sejati itu adalah mahluk yang super, layak dibanggakan diteladani, macho, perkasa dan kuat dan menangan, jangan sampai bisa ditaklukkan oleh wanita apalagi istri di rumah. Belum lagi kalau kesejatian pria itu diukur dari kerohaniannya. “Guyonanmu gak alkitabiah!” Rasanya, saya memang harus jadi pria sejati ya?

Suatu saat pernah saya semobil dengan bos saya saat itu. Beliau mengajari saya, ”Saat di supermarket, jangan mau mendorongkan kereta belanjaan, Masak kita di pekerjaan bisa memerintah orang, di rumah, kita diperintah istri.” Usut punya usut, ternyata di kantor ada isu bahwa yang kaya dan punya modal itu keluarga istrinya bukan keluarga dia. Rasanya dia harus membangun citra bahwa dia berkuasa atas istrinya. Haruskah kesejatian itu bernilai keperkasaan? Jargon pria yang lebih perkasa dari wanita mungkin banyak di sekitaran saya. Tapi masak saya harus mengikutinya? Sebab ternyata di bumi ini banyak wanita yang jauh lebih perkasa juga. Ada rekan yang bisa mengalah karirnya demi karir sang istri. Kenyataan akhirnya memang itu yang membuat keluarganya bisa lebih mapan pendapatannya.

 Di hidup saya, saya bertemu dengan beberapa wanita bershio Macan yang memang lebih perkasa dari suaminya. Karena orang-orang itu begitu dekat dengan saya, tidak sanggup saya bilang ke para suami itu untuk melawan kondisi itu demi alasan keperkasaan pria. Sebaliknya saya semakin menyadari kebaikan Tuhan yang mempertemukan mereka dengan pria-pria hebat yang bisa mengalah pada istrinya. Tak terbayangkan bila pria-pria itu adalah orang-orang perkasa juga, dan di rumah tangga mereka muncul persaingan keperkasaan. Mungkin perceraian bisa menjadi akhir dari ajang keperkasaan pria yang pingin jadi sejati itu. Rasanya pria sejati itu juga adalah mereka yang mau mengalah dan melihat kebersamaan sejati di rumah tangganya. Seperti seorang pria yang berkisah, “Hari itu adik istri saya meninggal, Dia bingung dan sedih. Kita masih di kantor. Dalam kebingungannya dia menyuruh saya pergi. Ya saya pergi saja dari kantor, sampai di dekat pintu tol saya baru menelpon dia. Saya nanya, saya itu mau disuruh pergi kemana ya?” Inilah contoh pria sejati pembawa damai.

Sejatinya pria itu sudah menjadi berkat tersendiri karena kelahirannya. Kadang ada pelayanan-pelayanan yang bisa leluasa saya lakukan hanya karena saya pria. Tugas pelayanan lintas iman, sering menempatkan pria lebih leluasa untuk masuk dalam beberapa ritual yang digelar. Keberadaan itu juga membuat wanita punya keleluasaan di bidang lainnya. Lalu sejatinya apa itu pria  sejati? Saya merasa sudah menjadi pria sejati saat saya bisa membantu pasangan saya. Saya pun akan jadi pria sejati menurut waktu dan tempat dan situasi dimana saya ditempatkan. Tidak ada definisi yang pakem. Sama dengan banyak pria-pria lain yang juga pria sejati di posisi mereka masing-masing.

 Alkisah, seorang rekan bersimpati pada sebuah keluarga. Dia menelpon, “Dan, kita harus bisa menyelamatkan anak-anaknya. Minimal mereka! Kalau papa dan mamanya biar aja dah. “ Sang mama penampilannya adalah wanita baik yang too good to be advised! Terlalu berhikmat untuk bisa dinasehati, percuma! Sang papa memang seorang pria lemah gemulai yang menggemaskan. “Mengapa koq gak dilawan saja wanita seperti itu!” Itu yang sempat ada di benak saya.

“kamu tau, anjing yang paling galak sekalipun, kalau setiap mau menggonggong langsung dipukul, setahun rasanya sudah bisa jadi anjing yang penurut, apalagi suami!” Saat ada kesempatan seorang rekan bisa menemui kedua anaknya, rekan ini terperanjat. Anak yang kecil bilang ,”Saya suka sama papa, kalau mama itu bisanya cuma marah saja.” Anak tertuanya yang sudah remaja beranjak dewasa berkata, ”Saya dekat sama papa. Saya tahu mama itu sakit jiwa.” Memang saat saya pernah menemui papanya, beliau berkata, ”Dan, sudahlah ini salib yang harus aku pikul.” Hari itu hati saya terenyuh. Saya yakin dia inilah pria sejati, yang berjuang dengan komitmen mempertahankan rumah tangganya dan menjadi rekan bagi anak-anaknya.

 

(kelanjutannya.....)

Tangan Kiri dan Tangan Kanan

Saat tangan kanan saya memberi, katanya jangan sampai tangan kiri saya tahu. Saya memahaminya itu untuk kerendahan hati, jangan suka pamer apa yang sudah saya perbuat. Kalau tangan kiri saya sendiri saja tidak boleh tahu, apalagi tetangga saya atau orang lain di luar sana. Itu pemahaman saya. Tapi, tangan kiri saya memang tidak setrampil tangan kanan saya. Tangan kiri saya katanya juga tidak sesopan tangan kanan saya. Ini yang membuat saya memahami hal lainnya.

Saat dalam pelayanan bersama ini, apa benar memang apa yang sudah saya kerjakan, lebih baik tidak usah saya ungkapkan, agar orang lain tidak tahu. Kalau itu saya lakukan, tidak memberitahukan apa karya saya itu, apakah itu merugikan saya? Merugikan, kalau saya orang yang lagi pingin panjat sosial. Bagi yang pingin eksis ya merugikan, koq tidak dimanfaatkan untuk pencitraan. Menguntungkan! Karena tidak ada orang yang tahu, jadi kalau itu berstandard rendah, jelek atau salah, itu tidak akan membuat saya terpojok. Menguntungkan juga karena itu juga akan membuat saya terkenal minimal sebagai orang yang rendah hati.

Di rumah, saya bertanggungjawab di laundry department. Saya harus mencuci hingga menyetrika baju yang ada. Awalnya sekedar pembagian tugas saja, tapi apakah ada yang tahu bahwa itu membuat saya harus bangun lebih pagi untuk sekedar memastikan bahwa baju seragam istri saya sudah siap di hari itu? Saat ada tugas dengan penerbangan jam lima pagi, saya harus berangkat jam tiga pagi dari rumah, tetapi karena harus setrika, jam berapa saya harus sudah bangun? Perlukah seisi rumah mengetahui betapa pengorbanan saya? Tidak satu kalipun saya pernah ingin menyatakan ini ke seisi rumah. Dengan senang saya melakukannya. Saya bangga baju kita serumah selalu tersedia dengan baik. Mereka senang saya juga senang. Tapi mereka harus tahu bahwa ini tugas saya, bukan agar saya dihormati, tetapi agar apa yang saya kerjakan ini memang bisa memuaskan kebutuhan mereka. Kalau ada baju yang kusut atau gosong kena strikaan, mereka juga tahu siapa yang harus bertanggungjawab. Saat mereka tahu bahwa saya bisa bertanggungjawab dengan baik, harapan saya adalah bahwa mereka juga pasti akan bertanggungjawab di bidangnya masing-masing. Istri saya bertanggungjawab di seksi konsumsi. Kami sekeluarga tidak pernah kelaparan dan selalu ada bekal untuk makan siang kami di kantor atau di kampus. Bukan dengan masakan ala kadarnya, masakannya enak. Anak-anakpun bertanggung jawab belajar dan tugas lainnya. Saya harus bisa diketahui dan dituntut handal, karena saya butuh orang lain yang bisa diandalkan juga.

Tangan kiri saya jangan sampai tahu apa yang tangan kanan saya lakukan! Itu berarti rahasia agar selalu rendah hati. Tapi bagi saya itu juga berarti lain, bermakna  kehandalan. Tangan kanan saya yang lebih trampil, harus menjadi handal dan dapat dipercaya sehingga semua tanggungjawabnya beres. Hingga tidak ada masalah lagi dan tangan kiri ini tidak perlu tahu bahwa itu sebenarnya masalah yang harus ia kerjakan kalau tangan kanan ini tidak beres menyelesaikannya. Tangan kanan ini harus handal sehingga tidak merepotkan tangan kiri, karena tangan kiri sudah punya tugas yang lain.

Di sepanjang pelayanan bersama ini, saya takut untuk bilang, ”Anda tidak tahu apa yang sudah saya lakukan dan lebih baik tidak perlu juga saya sampaikan.” Saya takut kalau saya bilang seperti itu, sebenarnya saya sok rendah hati dan tidak berani orang lain tahu sehingga semua orang bisa menilai kualitas apa yang sudah saya kerjakan. Bukan kesombongan yang hendak dicapai, tetapi tuntutan bahwa apapun yang saya lakukan itu harus berkualitas. Hanya orang lain yang mampu menilai kualitas saya dan melalui orang lain itulah standard kualitas saya makin terasah. Saat ada orang lain yang mampu menuntut kehandalan saya, semoga orang itupun mau terbuka untuk diajak menjadi handal juga.

(kelanjutannya.....)