Banyak keluhan tentang penggunaan Nilai Ujian Nasional dan sistem penilaian bagi anak-anak yang bersekolah. Banyak juga pesan WA yang berseliweran tentang betapa anak-anak itu bukan sekedar nilai. Anak-anak ini tetap manusia yang tidak bergantung dari nilai-nilai yang selama ini dikejar di sekolah-sekolah mereka. Bahkan banyak orang yang mencontohkan banyak nama orang sukses yang ternyata tidak melewati jalur bersekolah. Memang rasanya dunia anak-anak itu lebih indah bila tidak harus mengurusi dan berkutat dengan nilai-nilai UNAS atau banyak angka-angka patokan itu. Benarkah begitu?
Awalnya saya bersekolah di Surabaya di sekolah yang tanpa rangking. Di akhir tahun ajaran hanya diumumkan nama juara kelas paralel dan itu pasti bukan saya. Waktu mama saya meninggal, saya dipindah ke Bondowoso. Mulai kelas lima di SD Katholik, segalanya mulai terasa berubah. Di akhir cawu pertama, di raport saya ada tulisan saya rangking lima. Rangking yang tidak pernah saya tahu sebelumnya. Rangking itu membuat saya merasa bahwa saya lumayan pandai. Itu yang membuat saya mulai terpacu untuk belajar. Rangking itu yang membuat saya terus semangat untuk belajar dan mengejar yang lebih baik dan semakin baik. SD, SMP dan SMA saya selesaikan dengan semakin baik. Saya lulus SMA dengan nilai Ebtanas tertinggi se kabupaten Bondowoso. Bagi saya tulisan rangking lima di awal itulah yang memicu saya untuk tahu talenta saya dan terus terpacu mengembangkannya. Itu yang pernah saya alami.
Minggu ini saya kembali terhenyak oleh masalah ini. Saya memang terpanggil membantu pendidikan anak-anak kakak saya. Anak pertamanya sudah lulus ITS dan membantu saya mengurus peluncuran kapal di Kalimantan. Anak keduanya gagal masuk ITS tetapi mendapatkan beasiswa di China, sekarang dia sudah bekerja di Jakarta. Kini anak ketiganya. Semuanya perempuan. Saat ini berusia enam belas tahun. Teman sebayanya baru akan masuk SMA, dia sudah berjuang untuk masuk universitas. Dulu dia tanpa TK, hanya PAUD lalu masuk SD, Selalu rangking, hingga SMP nilai NEM matematikanya seratus! Kalau dia SMA di Bondowoso, dia bisa sekolah gratis dan malah dapat uang pembinaan tiap bulannya. Saya dan kakaknya sudah punya pengalaman tentang mutu SMA di Bondowoso. Tapi mamanya tidak tega kalau dia SMA di Surabaya, anak ini masih terlalu kecil. Jadilah diambil jalan tengah, sekolah di Jember, SMAN1 Jember, satu dari sekolah terbaik di Jatim, dengan harapan dia bisa mendapat banyak tantangan yang lebih besar. Awalnya dia bercita-cita jadi dokter. Harusnya ada kelas akselerasi di sekolah itu, kalau dia berhasil, umur lima belas dia sudah bisa masuk FK. Kemudian aturan berubah! Ternyata kelas akselarasi tidak ada lagi. Rangking tidak juga diumumkan. Belum lagi akibat pandemi, UNAS juga ditiadakan. Kelulusan ditentukan oleh nilai raport selama ini. Hal indah seperti yang diperjuangkan banyak orang. Diapun tidak terpilih di antara empat puluh siswa yang mendapat fasilitas menempuh jalur undangan ke perguruan tinggi. Lalu apa yang bisa jadi pegangan akan kemampuannya bersaing? Kini cita-citanya berubah ingin masuk ITS Elektro. Memang semuanya telah diusahakan dan disiapkan dengan baik untuk cita-cita ini. Sayapun berdoa memohon anugerah Tuhan untuk peluang anak ini. Jumat kemarin pengumunannya. Jam 15.02 saya mendapat WA dari kakak saya “Meme di terima di ITS”
“Jurusan apa?”
“Elektro”
Puji Tuhan! Saya terharu. Saya sangat bersyukur untuk anugerah ini. Lega rasanya.
Tapi itu hanya berlangsung semalam saja. Besok paginya sudah ada lagi WA “Om, meme mau daftar elektro ITB jalur mandiri.” Saya bingung, ini bukan hal mudah dan murah. Ternyata masalahnya, tahun ini beda dengan tahun lalu, nilai UTBK tidak diumumkan di awal, siswa tidak tahu nilainya saat mendaftar. Dia baru tahu saat pengumuman penerimaan, ternyata nilainya cukup bagus. nilainya jauh di atas nilai terendah yang bisa diterima di elektro ITS. Bahkan masih lumayan di atas nilai terendah yang diterima di elektro ITB dan FK UI. Ini yang tidak diketahuinya sebelumnya. Sebelumnya tidak ada acuan tentang nilai prestasi dia. Segalanya kembali dihitung, peluang, biaya dan rencana. Seharian saya mengumpulkan banyak pendapat tentang elektro ITB ini. Sampai pada kesimpulan cita-cita memang harus dikejar setinggi langit. Walaupun berat, cita-citanya tetap harus didukung. Di benak saya, ITB lebih prestisius dari pada ITS. Tapi sayang, ternyata secara administrasi sudah tertutup kemungkinan ini. Yang diterima di jalur test tidak boleh mendaftar lagi di jalur Mandiri. Kandas sudah ambisinya. Andaikan nilai itu diketahuinya sebelumnya……
Bagi sebagian orang, nilai dan rangking terasa sebagai penghambat, tapi bagi sebagian yang lain, itulah yang menggerakkan semangatnya. Bisa jadi hidup ini perlu nilai-nilai sebagai tolok ukur atau benchmarking. Saya jadi ingat akan apa yang mungkin disebut sebagai Matthew Effect :
“Karena siapa yang mempunyai, kepadanya akan diberi , sehingga ia berkelimpahan; tetapi siapa yang tidak mempunyai, apapun juga yang ada padanya akan diambil dari padanya.”