23 Desember 2010

Karakter, Dimanakah Belajarnya?

Beberapa hari ini ada beberapa kejadian yang menarik telah terjadi. Ada seorang anak beasiswa yang lulus SMA tahun lalu, kelihatannya nilainya cukup baik. Saya menawarinya untuk bekerja di suatu bengkel milik seorang teman yang memang membutuhkan tenaga baru. Saya memberikan nomer telpon pimpinan bengkel itu kepadanya. Saya minta dia untuk menelpon langsung ke pemilik bengkel itu. Saya sudah agak lupa akan hal ini sampai saya kemudian ingat dan menelpon pemilik bengkel itu. Saya menanyakan tentang anak itu. Dia menceritakan bahwa memang ada yang menelpon dia, tapi dia tidak suka. Anak itu menelpon jam sepuluh malam, saat jam tidur dan teman itu berkesimpulan bahwa ,"Anak itu tidak punya karakter yang baik, saya tidak suka punya karyawan seperti itu." Saya tidak dapat berkata apa-apa lagi, mungkin saya salah sebab tidak memberitahu anak beasiswa itu tentang tata krama menelpon.Atau apakah karena dia berasal dari lingkungan pergaulan yang menengah kebawah yang menyebabkan dia tidak terdidik hingga punya karakter yang baik? Bisakah kemiskinan membawa seseorang jadi kampungan dan tidak berkarakter baik?
 
Di hari yang lain seorang teman bercerita tentang kejadian yang menimpa temannya. Temannya tinggal di Kanada dan menjadi keluarga yang ditempati oleh mahasiswa magang dari universitas swasta terkenal di Indonesia. Mereka adalah mahasiswa program magang di Kanadaselama beberapa bulan. Bisa dipastikan bahwa mahasiswa ini dari kalangan keluarga yang kaya hingga bisa kuliah di universitas swasta itu dan mengikuti program magang di luar negeri. Mahasiswa itu sudah diberitahu bahwa keluarga di Kanada itu tidak ada pembantu rumah tangganya, jadi segala sesuatu harus dikerjakan sendiri oleh penghuni rumah. Di hari pertama, sudah mulai ada masalah. Sang suami membantu membawakan semua koper ke kamarnya yang di lantai dua, sang mahasiswa tidak mengucapkan terima kasih apapun. Hari-hari berikutnya pun begitu, dia tidak berinisiatif untuk membantu tuan rumah mengerjakan pekerjaan rutin rumah tangga. Rekan itu mengeluhkan tentang karakter mahasiswa ini. Ternyata uang sekolah yang mahal dan sekolah yang terkenal tidak menjamin menghasilkan manusia yang berkarakter baik. Untunglah dengan penampilan yang keren itu tertutupilah kebusukan karakternya.
 
Sampai di sutu hari, saya dimintai pendapat tentang kinerja seseorang. Pendapat ini memang diminta dengan serius dan rasanya itu akan menentukan perjalanan karier orang itu. Saya tahu bahwa orang yang harus saya nilai itu termasuk orang yang istimewa. Dia pandai, dia mampu mengerjakan tugasnya dengan baik dan lebih dari sekedar baik. Tapi menurut penilaian saya karakter dia kurang baik. Dia kurang bisa menerima pendapat orang lain. Dia juga bukan orang yang bisa menghormati orang yang status sosialnya lebih rendah dari dia. Dia juga bukan orang yang suka membantu dengan ringan tangan pekerjaan orang lain. Seandainya dia diberi soal tentang bagaimana harus bersikap terhadap semua kondisi diatas, saya yakin dia akan menjawab dengan jawaban yang baik dan bernuansa karakter yang baik. Tapi itu tidak muncul di kehidupan sehari-harinya. Andaikan dia gagal dalam kariernya karena penilaian atas karakternya, lalu ini salah siapa? Tanggung jawab siapa? Dia lulus dari universitas yang baik dan pasti disana dia juga belajar dengan baik. Seluruh proses belajar mengajar telah dia lalui dengan baik, tapi kenapa masih ada sesuatu yang kurang baik yang melekat pada dirinya? Salahkah dia secara pribadi?
 
Ada juga seorang muda yang dari penampilannya bisa ditebak kalau dia "kurang satu strip". Dia memang terlahir dengan tingkat kecerdasan dibawah normal. Jelas bukan salah dia dan bukan salah orang tuanya, hingga dia terlahir begitu. Suatu saat saya berkata ke istri saya," Dia pasti dari keluarga yang sangat baik, mamanya pasti mengajar dia sopan santun dan tata krama dengan baik." Dia sangat sopan. Dia sering bilang," Ko Dan, yok makan dulu" saat dia mau makan sesuatu. Juga di banyak hal dia terlihat sopan, walau tampak dia "O'on". Saya yakin dia hidup di keluarga yang mampu mendidik karakter yang baik. Terpujilah keluarga itu!
 
Salahkan saya, kalau misalkan saya lahir dan besar di keluarga yang tidak mendidik karakter saya dengan baik? Lalu dimana saya harus belajar berkarakter yang baik? Sekolah sudah tidak menjamin. Pergaulan sehari-hari, juga untung-untungan. Jawaban terbaik ya: "berkarakterlah seperti Yesus". Masalahnya, saat ini Yesus itu sudah tidak nampak dan tak terlihat oleh mata saya lagi. Lalu dimana saya bisa melihat Yesus untuk saya teladani? Sanggupkah gereja menjadi suatu agen pembaharu bagi karakter saya? Sanggupkah semua interaksi saya di gereja membawa saya pada "makin serupa dengan Yesus"? Gereja harus mampu, karena kalau tidak, lalu pada siapa lagi saya bisa belajar?
(kelanjutannya.....)

18 November 2010

Dosaku Ucul

Itu judul dan penggalan syair lagu yang dibawakan oleh kelompok musik keroncong dari Sitiarjo, Malang selatan di kebaktian kita Agustus lalu. Terasa lucu waktu saya mendengarnya. Kog rasanya tidak keren. Kalaupun itu adalah pengakuan iman mereka, terasa terlalu sederhana (untuk menghaluskan kata yang lebih lugas "kampungan"). Saya merasa lebih mampu untuk menyampaikan pengakuan iman yang lebih indah dan intelek dari itu.

Lagu itu terus terngiang di benak saya, menciptakan suasana yang lucu. Sampai kemudian saya teringat kalimat yang mengikutinya: "Dosaku Ucul, Kecebur Segara Kidul". Mereka dari pantai selatan yang kondisi ombaknya lebih ganas dari pada pantai utara pulau Jawa. Kondisi alam sekitar mereka itu yang dapat merefleksikan pengakuan iman mereka. Bagaimana dosa itu lepas dan tercebur di pantai curam berombak besar seperti banyaknya pantai di laut selatan. Dosa yang lepas dan tercebur itu sudah tidak punya kuasa untuk kembali lagi. "Segara Kidul" itu telah menelan dan menghanyutkan dosa mereka, menggambarkan kesempurnaan karya penebusan dosa Yesus Kristus.

Pengakuan iman saya mungkin lebih intelek, tapi itu karena saya dapatkan dari buku dan pelajaran agama. Pengakuan iman mereka lebih lugu dan murni, karena mereka dapatkan itu dari alam sekitar mereka. Alam yang menurut Pemazmur sudah terlebih dahulu memberitakan karya dan pekerjaan tangan Tuhan sebelum semua buku menuliskannya. Kiranya Roh Kudus memampukan untuk melihat dan merasakan karya Tuhan melalui alam ciptaanNya ini.

(kelanjutannya.....)

Ini Sudah Jaman Digital

Dulu saya sering membantu menjaga "kios cuci cetak" foto. Dialog yang sering terjadi adalah:

"Saya mau mencetak foto"

"Bisa, mana negatifnya?"

Negatif yang dimaksud adalah klise atau film negatif. Disebut film negatif karena berbalikan dengan gambar fotonya, bila di foto hasilnya hitam maka di filmnya putih, demikian sebaliknya. Semua foto bisa dicetak asalkan ada negatifnya.

Itu sudah jadul, kini di jaman digital sudah tidak perlu pakai klise lagi, tinggal mencetak dari file digital. Tapi apa benar begitu? Bukankah masih banyak kenangan yang terekam karena ada sisi negatifnya? Masih banyak nama orang yang terekam dan teringat di benak hanya karena hal-hal negatif yang berkaitan dengannya. Ayat diatas mengajak untuk menggantikan semua yang negatif itu dengan semua yang positif.

Mari kita gantikan semua pikiran dan ingatan negatif kita dengan semua yang positif tentang sesama dan kenangan kita. Bukan hanya karena ini sudah jaman digital, tapi pasti karena Tuhan yang menghendakinya demikian.

(kelanjutannya.....)

17 November 2010

Kalau Nanti Saya Sudah Tua

Kalau nanti saya sudah tua, saya mau jadi apa ya? Sebenarnya ini tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Baru setelah hari minggu kemarin, hal itu jadi terlintas dan mungkin enak kalau mulai dipikirkan. Minggu kemarin itu ada pertemuan rutin Beasiswa. Seperti biasa, saya menemani siswa SMP dan SMA di kebaktian remaja di lantai 4. Tidak ada yang istimewa sampai ketika kebaktian baru mulai, Bu Eunice Soelmarso muncul. Lho, saya agak kaget. Seharusnya Bu Sul memimpin di pertemuan untuk anak SD jam 10 nanti. Ternyata Beliau sudah dijemput jam 8 kurang, padahal saya sudah mengingatkan agar menjemputnya jam 9. Saya jadi merasa bersalah. Beliau harus menunggu lama. satu jam lebih. Yang menjemput beralasan agar tidak terlambat. Ya memang tidak terlambat, apalagi kalau dijemputnya sehari sebelumnya dan nginep di gereja.....
Saat pembagian uang untuk siswa SMP dan SMA, saya melihat ada anak yang sudah 2 kali tidak hadir. Bila ia tidak hadir sekali lagi, maka ia akan digugurkan. Sebenarnya kasihan juga. Setelah pembagian itu, saat Bu Sul memimpin acara untuk anak SD, ada seorang bapak yang menemui saya. Ternyata ia orang tua anak yang dua kali tidak datang itu. Dia bercerita bahwa anaknya tidak mau datang ke gereja. Anak itu sering pulang malam bersama temannya, katanya bermain internet. Ayahnya sangat mengkawatirkannya. Bapak itu sering memarahi anak perempuan itu. Bahkan sampai memukulnya, terakhir dia menggunting rambut anaknya. Anak itu kemudian menjadi malu dan tidak mau ke gereja. Saya tidak tahu harus menjawab bagaimana. Saya tahu maksud Bapak ini baik, tapi ia juga salah dalam mengungkapkannya. Kasihan juga keadaan bapak itu, dia seorang mekanik Trailer yang saat ini PHK karena kontrak kerjanya habis. Dia tentu sangat menyayangi anak gadisnya. Dia ingin melindungi dari pergaulan yang kurang baik.
Setelah Bu Sul memimpin acara, saya menyampaikan cerita itu. Memang awalnya dengan maksud sekedar bercerita menemani beliau sambil menunggu untuk diantar pulang. Bagaimanpun saya merasa bersalah karena Beliau telah dijemput dengan sangat pagi. Ternyata Bu Sul sangat menaruh perhatian dengan masalah ini. Beliau mau membantu menyelesaikan masalah ini. Saya bergegas mencari Bapak itu lagi, untunglah beliau belum pulang. Saya mempertemukannya dengan Bu Sul. Latar belakang Bu Sul sebagai seorang guru memampukannya berbicara dengan baik dengan Bapak itu. Bu Sul bisa memberikan nasihat dengan baik. Bapak itupun terlihat sangat antusias mendengarkan solusi yang disampaikan Bu Sul. Bu Sul menyampaikan agar Bapak itu meminta maaf kepada anak gadisnya. Bu Sul malah menawarkan bila anak itu mau, anak itu bisa tinggal dirumahnya untuk sementara waktu sambil beliau menasehatinya. Suatu tawarkan yang sangat berani, yang menggambarkan kemauan untuk membantu. Kemauan untuk berkorban dan repot karena masalah orang lain. Ibu ini sudah berumur tapi masih tetap bersemangat. Beliau masih kuat untuk naik turun tangga sampai ke lantai 4 gedung pertemuan. Beliau juga masih mau untuk direpoti oleh orang lain. Apa tidak capek ya?
Beberapa saat yang lalu saya mengenal suami istri yang juga sudah masuk pada usia emas. Semua anaknya telah berumah tangga sendiri. Kini mereka hanya tinggal berdua saja. Mereka masih terlihat sangat sehat dan kuat. Saat saya menyampaikan beberapa ide untuk mengisi waktu luangnya, Sang Istri langsung menjawab, "Wah, males dah, nanti bisa-bisa saya lagi yang repot." Melalui banyak perbincangan saya bisa menebak bahwa keluarga ini memang banyak mendapatkan penghasilan dari usaha sang istri. Ibu ini memang seorang wanita yang sangat enerjik untuk membantu mencukupi kebutuhan keluarganya. Sang Bapak adalah seorang lelaki yang lebih kalem dan mungkin juga menjadi banyak merasa tertekan dengan semangat dan ambisi istrinya. Kini di saat mereka memasuki usia emas, sang istri ingin beristirahat dari segala kelelahannya mencari tambahan penghasilan. Sang suami juga mengisi waktunya dengan banyak menonton televisi hingga sering tertidur di kursi kesanyangannya. Bapak ini ingin juga beristirahat dari semua aktivitas yang dulu menekannya. Mengejar setoran yang sudah ditargetkan oleh sang istri. Kini, mereka memang tidak berkekurangan secara materi. Anak menantunya sanggup membiayainya. Usia Emas bagi mereka adalah saat untuk istirahat dan jangan repot lagi. Sudah capek.
Dua kondisi, dua keadaan yang tidak bisa diperbandingkan untuk dicari mana yang benar dan mana yang salah. Dua kondisi yang mungkin cuma bisa jadi pilihan saya nanti. Saya mau jadi yang mana? Kalau nanti saya tua saya mau jadi apa? Jadi orang seperti Bu Sul yang tetap bersemangat bekerja dan melayani. Ataukah saya akan beristirahat saja, karena saat ini saya sudah bekerja terlalu keras dan terlalu capek.
Akankah saya masih tetap ingat bahwa bekerja adalah bagian dari hidup ini. Bukan hasil kerja yang menjadi sesuatu yang akan saya nikmati, tetapi proses bekerja itu sendiri yang menjadikan hidup ini bisa lebih berarti dan berguna bagi sesama dan diri saya sendiri.
(kelanjutannya.....)

01 November 2010

Dua Produk

Minggu lalu ini saya harus ke luar kota lagi. Berangkat dengan pesawat yang pagi-pagi sekarang ini OK-OK saja, karena sudah ada lounge yang menyediakan makan pagi gratis. Lumayan lah namanya juga gratis. Pagi itu ada seorang pemuda menyapa saya. Awalnya saya agak pangling. Dia dulu remaja yang aktif di Dipo, anak mantan seorang majelis. Ya, saya ingat dia, walaupun masih mengingat-ingat namanya. Untung saya sudah makan agak kenyang jadi kita bisa mengobrol sambil menunggu panggilan boarding.
Dia memberikan "Company Profile" perusahaannya. Dia arsitek. Dia bercerita tentang proyek-proyeknya. Tapi sempat juga dia bertanya, "Masih di GKI, Ko?" Saya sudah sering mendengar dan menebak arah pertanyaan ini. Demi untuk menyenangkan dia, saya berusaha menjawabnya dengan nada yang saya buat bisa mengesankan rasa minder, "Ya, masih" Dia bercerita kembali dengan lebih antusias, lalu dia menyampaikan ,"Semua ini berkat Tuhan" Saya rasa ini saat yang tepat. Lalu saya bertanya ,"Berkat? Berkat itu apa ya?" Dari sinar matanya saya tahu dia kaget, mungkin dia heran koq ada ya aktivis yang dia kenal bertanya seperti itu. Atau dia malah bersyukur bahwa ya memang begitu itu kualitas orang GKI. Dia kemudian menjelaskan perihal contoh-contoh berkat yang dia terima. Proyek-proyek besar yang bisa dia dapatkan. Secara pribadi saya tidak bergurau dengan pertanyaan saya. Saya bertanya bukan karena saya tidak tahu, tapi semoga pertanyaan saya membuat ia sempat berpikir tentang arti kata itu. Di jaman internet dan komputer ini, budaya "Copy Paste" sungguh kuat. Orang dengan mudah menyampaikan suatu data dan informasi dengan model "Copy Paste". Informasi mudah didapatkan lalu dengan mudah juga dia utarakan. Copy and Paste! Bisa jadi Informasi itu tidak sempat dia cerna dan bahkan mungkin dia malas mencerna dan mengolah informasi itu. Saya bermaksud, semoga dengan pertanyaan saya minimal dia sempat memikirkan arti kata itu menurut pribadinya, bukan menurut mimbar gerejanya atau siapapun juga. Menurutnya berkat sepenuhnya adalah tampak dari bisnisnya yang terus membaik. Baginya Tuhan sungguh baik karena Ia sudah membuat bisnisnya jadi baik. Syukurlah.
Pertemuan itu berakhir dengan panggilan Boarding saya dan kita berpisah. Saya juga sudah lupa akan pertemuan itu. Sampai pada waktu saya akan kembali ke Surabaya. Dalam perjalan balik dari Samarinda ke Balikpapan, saya menggunakan taksi. Pengemudinya panggilannnya Mas Dewor, tapi katanya, dia punya nama Baptis Samuel. Awalnya saya pikir guyon. Orangnya besar, berkulit sangat gelap dan berkumis lebat. Pokoknya dia lebih sangar dari Pak Brengos yang saya kenal. Sebelum di Samarinda, dia di Ngawi dan berprofesi sebagai pengamen di terminal Ngawi. Dia mengaku jemaat GKJW Ngawi, dia membuktikannya dengan menyanyikan lagu "Gusti Peparingi Jagad" lagu yang nadanya saya sangat kenal dan pasti ada di NKB. Di perjalanan yang dua jam lebih itu, banyak hal menarik yang saya dengar dari dia. Pendidikannya pasti rendah, mungkin karena dia bergaul didalam dunia yang keras. Dia bercerita juga tentang berkat, dia mengakui saat ini sebagai pengemudi penghasilannya tidak lebih baik dari dulu waktu dia jauh dari Tuhan. Walaupun lebih sedikit yang dia terima, tapi dia bisa menabung lebih banyak. Dia cerita bahwa setiap pagi dia selalu berdoa, karena manusia itu penuh dengan kesalahan. Dia berdoa pagi memohon pengampunan dan merasa sebagai manusia yang berdosa, dia tidak bercerita berdoa untuk memohon berkat. Dalam kesederhanaannya, dia bisa bersaksi tentang Kristus dan kekristenan bila ada penumpang yang mengajaknya bicara soal Yesus. Dia berani menceritakan pandangan Kristen tentang alkitab, saat ada penumpang yang ingin memperdebatkannya. Dia sekarang lebih sering ke gereja yang di Plaza meski dia merindukan untuk kembali ke GKJW di Ngawi. "lho, khan di gereja itu orangnya kaya-kaya, gak minder tha?" "Istri saya memang bilang begitu, tapi saya bilang, Walaupun orang makan makanan enak dan mahal, yang dikeluarkan besok paginya tetap berbau tidak enak, jadi buat apa malu?" Bahasanya memang sesederhana cara berpikirnya.
Dia juga bercerita bahwa dia juga berpofesi sebagai "centeng", tukang tagih atau debt collector. Tapi bukan untuk suatu lembaga, melainkan ke beberapa kuli bangunan yang gajinya tidak dibayarkan oleh mandornya. Dia berani menghadapi mandor itu, walaupun mandor itu berasal dari etnis yang biasanya dikenal sebagai orang yang "sangar". "Sampeyan gak wedi tha?" "Yo, nek kono ngancam, aku ngomong, saya ini bukan cuma endak pernah hidup enak, makan enak aja saya tidak pernah, lha kamu mau apa?' Dia berani melakukan pembelaan buat sesamanya. Dia juga bercerita, bahwa di dekat rumahnya pernah ada ceramah yang isinya menjelek-jelekkan kekristenan. Dia cuma bisa berdoa dan melaporkan itu ke Tuhan, ternyata kemudian sound sistemnya jadi rusak. "Lha, tapi khan ceramahnya masih terus jalan tho?" dia menjawab ,"Ya, endak apa-apa, tapi khan itu didengar kelompoknya sendiri, tidak menyinggung kelompok lain" Saya salut dengan toleransinya. Kekristenan itu baginya identik dengan kasih, itu yang dia utarakan. "Nanti kalau ada teroris Kristen, ndak perlu dihukum mati, biar saya aja yang mbunuh dia..." lho........??? Namanya juga mantan preman. Hehehehehe....
Di dua kesempatan, waktu berangkat dan waktu pulang ini, saya bertemu dengan dua orang Kristen yang berbeda. Yang satu hedonistik, "matrek" tapi berTuhan. dan satu lagi manusia yang bersahaja dan manusiawi. Dua-duanya produk gereja. Kalau kemudian saya harus memilih, kira-kira produk gereja yang mana yang hendak gereja saya hasilkan? Manusia Hedonistik religius atau Manusia Religius yang manusiawi dan membumi? Manusia yang memperalat Tuhan demi kepuasan materi yang dia kejar atau manusia yang tetap manusia biasa tapi dengan hati dan tabiat baru yang diubahkan?
(kelanjutannya.....)

23 Oktober 2010

Di Sana Ada Buah Lepiu

Setelah seminggu "bertamasya", sekarang saya bisa menulis lagi. Seminggu itu saya masuk ke pedalaman Kalimantan. Melihat betapa luas dan kayanya negara kita. Diawali dengan undangan di acara ulang tahun kabupaten yang meriah. Ada drumband, ada tarian masal berbagai etnis. Ada Dayak, Bugis, Cina, Arab, Melayu, Tidung. Mereka menari dengan kompak, pasti ini pesta yang membutuhkan uang yang banyak. Di lapangan itu ada dua tenda besar untuk pameran, dua tenda itu disewa dengan harga 700 juta. Wih, hebat khan?
 
Perjalanan saya menuju desa terakhir ke arah hulu sungai di kabupaten itu. 5 jam perjalanan dengan Speed Boat. Harusnya memang hanya sekitar 3 jam saja, tapi karena ada masalah dengan mesin speed boat yang saya tumpangi, kita harus beberapa kali berhenti. Mesinnya tidak mogok, hanya sesekali, terbatuk-batuk. Beberapa kali memang kita berhenti untuk mengganti busi dan membongkar karburatornya.  Hari itu kita berencana untuk survei di tiga desa, dimulai dengan desa yang terjauh. Jadwalnya cukup ketat, sebelum gelap kita sudah harus kembali, kalau tidak maka kita harus bermalam di salah satu desa itu. Saya sempat protes, kenapa kita harus berhenti, toh mesin tidak mogok. Mengapa tidak langsung saja? Motoris, begitulah sebutan untuk pengemudi speed boat, menjelaskan bahwa kita akan melewati Giram Raya. Kalau mesin sampai mati di sana, maka akan sangat berbahaya bagi kita. Saya cuma melihat dari sisi jadwal, saya sendiri tidak mengenal daerah itu. Setelah sempat membongkar karbiurator, kita melanjutkan perjalanan memasukli daerah Giram Raya. Giram berarti jeram. Bagian sungai yang berbatu-batu dan berarus deras sekali. Bagi beberapa orang, melewati jeram saat arung jeram adalah hal yang menyenangkan. Karena sudah tahu bahwa faktor keselamatan sudah diperhitungan dan diutamakan di acara arung jeram ini. Berbeda dengan rombongan kita saat itu. Kita yang harus menaklukkan jeram itu, atau jeram itu yang menaklukkan kita. Lebar sungainya saja sudah beda. Di kalimantan lebar sungainya bisa puluhan kali lebar sungai di Jawa. Mungkin sungai di Jawa cuma "selokan" dibandingan sungai utama di Kalimantan. Belum lagi batu-batunya. Di Giram Raya bebatuannya "buuuuuesar-buuuesaaaaaar". Ada yang serumah, bentuknyapun bermacam-macam. Semuanya seperti tersusun dan tertumpuk dengan sengaja. Mungkin ini yang namanya Menhir seperti di buku sejarah dulu atau di cerita kartun Obelix. Mengarungi Giram Raya sungguh mendebarkan. Motorisnya harus berpengalaman, bila salah mengambil jalan kita bisa celaka. Perahu bisa menabrak batu atau kandas karena ada baru yang tak terlihat, atau juga terhempas oleh derasnya arus aliran sungai itu. Giram itu sepanjang kurang lebih 1 kilometer. Perjalanan yang mendebarkan. Puluhan orang sudah celaka di jeram itu. Banyak diantara mereka adalah dokter yang bertugas ke pedalaman.
 
Tepat menjelang tengah hari, saya mencapai desa itu, Long Pelban. Desa yang tertata rapi. Dihuni oleh suku Dayak Bukulit. Rombongan kami 8 orang dengan 2 speedboat. Sementara ada tim teknis yang bekerja, saya juga bekerja. Saya bersosialisasi dengan penduduk yang ada, bagaimanapun kita adalah pendatang di tanah mereka. Desa itu cuma dihuni 49 KK, cuma ada sekolah SD dengan 5 orang guru. Semua penduduknya Kristen dari Gereja Kemah Injil Indonesia. Saya berusaha untuk bisa berkomunikasi dengan semua orang di rombongan ini dan juga orang-orang yang kami temui. Ini bukan pekerjaan mudah karena dari latar belakang pendidikannya saja kita beda. Mulai dari Motoris yang mungkin cuma sekedar bisa baca tulis hingga beberapa orang lulusan luar negeri, ada yang Master ada juga PhD.
 
Disana saya bertemu dengan orang yang dianggap ketua adat. Awalnya dia mendekati saya untuk menawarkan buah, namanya aneh, saya jelas tidak minat, bagaimana saya bisa membawanya pulang? Ransel saya sudah penuh dan belum lagi perjalanan pulang itu masih harus berganti antara speedboat dan pesawat. Saya malas kalau harus bawa oleh-oleh yang mungkin malah merepotkan saya. Tapi setelah berkali-kali saya ditawari, saya pikir ini kesempatan untuk bersosialisasi dengan mereka. Saya setujui saja. Sekilo lima puluh ribu. Dari nada suaranya saya tahu itu harga yang masih bisa ditawar, tapi saya tidak menawarnya. Buah itu buah Lepiu (Kayak bunyi: I Love You....). Warnanya merah Maron. Bentuknya bulat pipih berdiameter 2 - 4 cm. Buah ini harus direbus dulu. Rasanya memang enak seperti kacang rebus dan agak manis. Ada yang menyamakan bentuknya seperti jengkol tapi kecil dan tidak beraroma. "ini buah dari akar" Bapak itu menjelaskan. "Oh, Ini umbi, dari dalam tanah?" "Bukan, Ini pohon akar" "Saya tidak mengerti maksud Bapak!" Saya bingung, dan Bapak itu juga bingung. Pohon akar? Lalu Bapak itu menggambarkan pohon akar itu dengan gerakkan tangan yang meliuk-liuk. "Oh, maksud Bapak pohonnya merambat? Seperti rotan?" "Ya.... Betul" Ah, akhirnya saya tahu bahwa pohon Lepiu itu merambat. Mereka memungutnya dari hutan, buah itu sebenarnya seperti buah Petai, tapi mereka memungut biji-biji buah yang sudah tersebar di bawah. Seharian bila mereka masuk hutan mereka hanya mendapatkan sekitar 4 kg saja. Di hutan pohon itu banyak, tetapi jarang sekali berbuah. Harga buah Lepiu di kota sekitar 70 ribuan. Mahal juga, tapi itulah bagian Indonesia yang terpencil dan mahal. Kalau mau beli di desa itu, memang 50 ribu dan rasanya masih bisa ditawar lagi, tapi sewa speebboat ke sana 1,8 juta.
 
Desa-desa di hulu sungai itu, teratur rapi, beda dengan desa-desa di daerah muara. Penampilan masyarakatnyapun beda, di Long Pelban dan Long Leju, penampilan mereka lebih bersih. Syukurlah kalau gereja mampu menjadi berkat disana. Tapi apa mereka akan bisa terus begitu? Di hari terakhir, saat kita melaporkan hasil pekerjaan kita, disebutkan bahwa disana akan dibangun pembangkit listrik tenaga air yang terbesar di dunia. Berarti beberapa desa di hulu sungai itu akan segera terendam dan berubah jadi waduk raksasa. Entahlah apa yang akan terjadi, tapi itu masih rencana yang sangat panjang. Lalu dimana lagi saya akan mendapatkan buah lepiu? Seorang warga memberitahu, bahwa bila seseorang sudah makan buah itu, maka suatu saat dia pasti akan kembali ke desa itu lagi. Yah, semogalah, karena saya juga senang jalan-jalan ke sana.
(kelanjutannya.....)

11 Oktober 2010

Tidak Takut Mati?

Membicarakan perihal kematian di hari ulang tahun bagi banyak orang adalah hal yang tabu, tapi kalau kematian itu sesuatu yang diluar kekuasaan kita, apa yang bisa kita lakukan untuk mempengaruhinya? Kita cuma bisa menyiapkan sikap dalam menghadapinya.

Dulu, waktu saya berusia belasan tahun, di suatu acara persekutuan doa pemuda remaja, Pak Pendeta Timotius Istanto meminta yang hadir untuk menuliskan apa yang akan kita lakukan kalau kita tahu bahwa umur kita hanya kurang seminggu saja. Semua orang menuliskannya di selembar kertas dan kemudian oleh beliau itu bacakan dan diulas bersama.

Hampir kesemuanya bernada sama, mereka semua menulis bahwa akan berbuat baik dalam berbagai bentuknya. Tulisan saya tidak juga dibacakan. Sampai terakhir, Pak Tim bilang,"Ini akan saya bacakan pendapat yang paling jelek, -Saya tidak akan melakukan apa-apa-". Karena kertas itu tidak diberi nama, maka tidak ada yang tahu siapa penulisnya. Banyak yang tertawa. Banyak yang mengganggap penulisnya tidak serius dan asal menulis tanpa berpikir, makanya menurut Pak Tim itu adalah pendapat yang paling jelek. Itu adalah tulisan saya.

Saya menulisnya dengan serius dan penuh kesadaran. Saya menganggap kenapa saya harus munafik dengan berbuat baik bila akan mati? Mengapa saya tidak jadi orang jahat saja? Apa hanya karena saya akan mati? Kalau saya tidak mau jadi jahat, dan saya memilih jadi orang baik bukankah itu pilihan hidup saya, bukan atas ketakutan akan kematian? Pikiran itu yang ada di benak saya saat itu. Kematian bukanlah hal yang menakutkan bagi saya saat itu. Dulu Papa saya menjelaskan soal kematian Mama saya dengan bilang ,"Saat ini di Sorga sedang ada pesta untuk menyambut Mama."

Tapi itu dulu, waktu saya masih remaja dan tidak punya apa-apa. Kini, meskipun belum juga kaya, saya sudah merasa mulai punya beberapa harta. Ada harta yang "ternilai" ada juga harta yang "tak ternilai". Ada yang bisa dihitung nilai uangnya (seperti yang saya laporkan di laporan tahunan pajak saya) dan ada juga harta yang tak ternilai. Harta yang berupa lingkungan ataupun orang-orang yang mengasihi dan saya kasihi. Rasanya harta yang tak teruangkan ini yang paling banyak saya punyai. Ada istri, ada anak-anak, ada teman dan rekan seperti anda, ada juga "musuh" yang penuh perhatian mengintai saya setiap saat. Semuanya ini menjadi sesuatu yang tak ternilai yang membuat hari-hari saya menjadi begitu indah. Hari-hari saya indah karena ada anda semua. Dan itulah harta yang saya miliki. Dengan berlalunya waktu dan usia, makin menumpuklah harta-harta saya.

Di hari ulang tahun ini, saat saya merefleksikan ulang sikap saya, masihkah tidak takut mati? Rasanya bukan ketakutan akan kematian yang sering membayang dibenak saya, tetapi apa saya berani berpisah dengan semua harta-harta saya? Dimana harta saya berada, disitu ada hati saya. Apapun alasannya, bisa jadi saat ini saya mulai takut mati. Takut karena hati ini sudah makin terikat pada harta-harta itu. Semoga Tuhan tetap senantiasa berkenan memberikan pencerahan di usia dan "harta" yang makin bertambah ini.

(kelanjutannya.....)

04 Oktober 2010

Melihat Namun Tak Melihat

.....kamu akan melihat dan melihat, namun tidak menanggap (Roma 28:26)

Sudah berhari-hari saya berdoa memohon mujizat Tuhan. Barang itu sudah saya cari berhari-hari. Di bengkel, di rumah, di mobil, belum juga ketemu. Rasanya hanya mujizat Tuhan yang bisa menemukan barang itu. Barang itu adalah contoh pekerjaan bengkel yang diserahkan ke saya. Tak pernah satu kalipun saya menghilangkan barang contoh. Itu hal yang tabu. Tapi kali ini kenapa bisa hilang? Sudah cukup lama barang itu diserahkan ke saya. Saya sudah agak lupa bentuknya. Pemiliknya bilang bentuknya seperti mata rantai yang bisa dirangkai. Saya berusaha mengingatnya walaupun agak sulit. Tapi di benak saya langsung tergambar sebuah mata rantai yang bisa dibongkar pasang. Yah, bentuknya pasti mirip huruf C.

Pagi itu pemilik barang kembali menelpon untuk memintanya kembali, nadanya sudah sangat ingin marah. Saya masuk ke gudang lagi meminta sekretaris saya meneliti semua kotak dan rak. Dia bilang, "Sudah dan tidak ada, Pak." Saat itu, mata saya tertuju pada barang yang ada di rak, di depan mata saya, saya pegang barang itu. Nah, ini barang itu. Ketemu! "Lho, ini koq bisa disini?" "Pak, itu memang sudah dari dulu disana." "Tapi koq kamu bilang tidak ada?" "Bapak khan bilang bentuknya kayak huruf C, itu bentuknya kotak." Yah, sayapun sudah berkali-kali melihat ke rak itu. Tapi saya tidak pernah menyangka bahwa itu barang yang saya cari, sebab saya juga selalu mencari barang yang bentuknya seperti huruf C. Saya salah membayangkan bentuk barang yang hendak saya cari. Syukurlah itu cuma barang, bagaimana jadinya kalau itu hal yang lebih penting lagi?

Saya telah hanya melihat apa yang ingin saya lihat dan mengabaikan yang lain. Di benak ini sudah ada filter yang akan memilah semua informasi yang akan masuk ke otak. Bagaimana bila filter itu yang salah dan malah menghalangi informasi yang seharusnya diterima? Kebenaran dan kesucian filter itulah yang harus selalu dijaga. Kehadiran Firman Tuhan dan Roh Kudus akan berkuasa mengisi dan menjaga filter ini. Tuhan hadirlah selalu di benak ini.

Mujizat telah terjadi saat Tuhan membetulkan "filter" di benak saya dengan yang murni yang dari padaNYA.

(kelanjutannya.....)

Dia Koq Marah?

Saya sangat sering mengunjungi pameran permesinan dan teknologi. Terasa sangat menarik dan menyenangkan melihat banyak produk baru dan inovasi baru. Untuk itu saya harus mengeluarkan banyak biaya. Minimal untuk biaya pesawat dan akomodasinya. Bisa ratusan ribu sampai jutaan rupiah, apalagi kalau di luar negeri. Kebiasaan ini berjalan dengan begitu saja, hingga satu teman mengingatkan bahwa itu hanya untuk memuaskan keinginan mata saja. Tidak mungkin kita selalu membeli mesin baru atau menggunakan teknologi yang selalu berganti itu. Meski saya punya alasan untuk tetap selalu bisa belajar dari pameran-pameran itu, masukan itu sempat mengguncangkan saya. Terutama karena biaya-biaya yang tidak murah itu.

Sampai suatu saat saya menemukan solusi atas masalah ini. Cara untuk sekedar mengkompensasi biaya saat mengunjungi pameran itu. Saya membawa juga brosur produk saya, saya akan bagikan di pameran itu. Saya yakin di pameran itu hadir juga banyak calon pelanggan saya. Saya bisa mencari pelanggan di pameran itu juga. Saya bisa membagikan brosur di sana, tapi saya bukan peserta pameran. Saya tidak punya stand. Biaya sewa stand di pameran seperti ini bisa mencapai puluhan juta rupiah. Nah, saya yang harus cari cara bagaimana bisa membagi brosur tanpa ditangkap petugas sekuritinya. Ini butuh strategi khusus. Dengan membagi brosur itu, perasaan saya lebih tenang. Bila dapat satu pelanggan saja, saya yakin biaya yang dikeluarkan sudah pasti dapat tergantikan. Yang ada bagaimana saya bisa membagi brosur dengan aman dan elegan.

Hari itu saya hadir di pameran lagi. Di ransel saya sudah ada beberapa puluh brosur siap bagi. Hari itu hari pertama pameran. Biasanya kita tidak boleh masuk sebelum upacara pembukaannya selesai. Acara pembukaannya agak terlambat, mungkin ada pejabat yang belum datang. Pengunjung sudah boleh masuk. Saya berkeliling, melihat produk dan mencari jalan membagi brosur. Ternyata ada stand yang dijaga oleh 2 orang alumni ITS, yang seorang adik kelas saya. Ting! Ini peluang saya. Saya mengobrol di stand itu, sambil berlagak sok kenal dan sok akrab sampai kemudian saya yakin bisa mendapat ijin untuk mendompleng di sana membagi brosur saya. Saya cukup tahu diri untuk tidak meletakkan brosur di stand mereka, bagi saya cukup boleh berdiri di depan stand mereka dan bisa mencegat pengunjung yang lewat. Seakan-akan saya juga bagian dari stand itu.

Pameran tidak terlalu ramai. Memang ada beberapa orang yang sudah saya beri brosur. Sampai kemudian ada seorang Bapak yang cukup tambun masuk ke stand itu, berbincang dengan dua rekan tadi. Terasa mereka ada memperbincangkan saya, saya ikut masuk dan mendengarkan perbincangan mereka. "Anda tidak boleh seperti itu!" Bapak itu berkata ke dua rekan itu sambil menunjuk kearah saya, saya kaget. "Saya tadi sudah lewat di depan sana, tapi anda tidak menyapa saya" bapak itu berkata pada saya. Dia mengeluarkan kartu namanya, "Saya yang mengeluarkan ijin untuk bisnis seperti ini" Memang pameran ini pameran spesifik, bisa jadi ini bidang yang menjadi wewenang beliau. Di kartu namanya saya baca jabatan dia, Kasubdin..... "Maaf pak, Maaf atas kesalahan saya," Di mulut saya minta maaf, tapi di hati saya menertawakannya. Pejabat ini gila hormat, Pamong Praja Feodal! Dia mulai berkisah lagi, "Anda jangan suka membeda-bedakan orang, itu tidak benar......." Saya mengangguk-angguk saja sambil menunduk, seakan-akan saya takut sama dia. Apanya ya yang beda dan perlu dibedakan?

Mungkin upacara pembukaan sudah selesai dan banyak pejabat yang berkeliling melihat pameran, salah satunya bapak ini. Bagi saya, tidak mungkin saya asal membagi brosur seperti SPG berok mini itu. Mereka merasa sudah bekerja kalau sudah membagi habis setumpuk brosur. Sedangkan saya tahu persis ongkos cetak brosur saya, saya akan berikan hanya ke orang yang saya rasa punya potensi membeli produk saya. Rupanya waktu Bapak itu melintas, feeling saya tidak memerintah saya untuk memberi dia brosur. Itu membuatnya tersinggung.

Siang itu saya baru sadar akan pencitraan diri yang kita bangun untuk diri kita sendiri. Saat orang merasa adalah pejabat yang harus dihormati dan disapa, beliau akan berharap semua orang melakukannya. Padahal di benak orang lain ada banyak sudut pandang yang lain. Bapak itu merasa beliau yang berwenang mengeluarkan ijin dan orang tidak dapat berbisnis bila tidak mendapat ijinnya. Dia benar. Tapi ada kebenaran lain yang setara. Bagi saya ijin bukan segalanya. Bisnis tetap bisnis, ia tetap bisa jalan dengan caranya sendiri. Jangankan ijin beliau (lha dia khan lain daerah dengan saya...), meja kerja saja saya tidak punya. Saya sering mengendalikan bisnis dengan cuma "nglempo" berlap-top di lantai kamar tidur saya. Dengan begitu saja saya sudah bisa mengatur bisnis saya dan saya tidak minder dengan itu.

Saya membeda-bedakan orang? Beda berdasarkan apa ya? Saya berpikir lama juga. Mungkin dia melihat wajah saya yang "mongoloid" ini, kemudian berpikir bahwa saya bos dari dua orang pemilik sah stand itu (yang tidak mongoloid itu). Jadi dia merasa perlu untuk "mengajari dan memarahi" saya didepan dua orang itu, untuk sekedar menunjukkan betapa berkuasanya ia. Ya.... bisa jadi begitu. Beliau yang merasa bahwa saya berbeda sehingga saya yang harus dipaksa untuk tidak membeda-bedakan. Bukankah perbedaan itu baru bisa terasa kalau kita mulai dengan pikiran bahwa kita berbeda? Sekali lagi ini masalah "mindset" dalam melihat dunia.

Ah, kenapa ya pejabat yang dibayar dengan uang rakyat masih juga minta dihormati rakyat? Bukankah yang bayar adalah Bos? Rakyat yang bayar, maka harusnya rakyat yang Bos.

(kelanjutannya.....)

29 Juni 2010

6 Topi Berpikir - 1

Ini buku yang sudah lama sekali, entah masih ada atau tidak di toko buku. Baru-baru ini saya dapat audiobook-nya dan jadi teringat akan buku itu.
Saya akan coba berbagi isi buku ini dalam beberapa tulisan.
Edward de Bono mengembangkan cara berpikir yang disebut Lateral Thinking. Berpikir dengan cara menyamping. Ibarat jalan raya, Lateral Thinking menyodorkan jalan lain disamping jalan atau cara berpikir yang selama ini kita tempuh. Seperti "frontage road" di A. Yani yang baru jadi ini.
Bernafas, berjalan, dan berpikir adalah sesuatu yang kita bisa dengan sendirinya. Seakan itu sudah ada dengan sendirinya. Banyak orang percaya bahwa semakin tinggi tingkat kecerdasan orang (IQ) akan semakin pandai dia dalam berpikir. Pendapat ini salah, karena ibaratnya mengemudi, IQ tinggi berarti mobilnya bagus dan mahal. Sedangkan kemampuan berpikir ibarat ketrampilan sopir mengemudikannya. Mobil mewah tapi sopirnya ugal-ugalan, malah akan mendatangkan celaka. Mobil biasa tapi dengan cara mengemudi yang benar, akan mampu memberikan hasil yang lebih baik. Yang penting bukan mobil mogok. Ini memang nyata dalam kehidupan sehari-hari, banyak orang jenius yang gagal menjadi manusia yang sempurna, bisa jadi karena dia berpikir bahwa dialah yang paling pandai berpikir dan mampu mengatasi masalahnya sendiri. Jadi, tidak perlu terlalu pandai, cukup dengan otak yang biasa dan cara berpikir yang baik, kita mampu jadi orang yang menghasilkan karya jenius.
Dasar dari Lateral thinking adalah 6 topi berpikir. Disebut enam topi karena cara berpikir ini ada 6 macam dan itu digunakan apabila kita menghendakinya. Tiap kesempatan kita diajak untuk memilih topi berpikir mana yang hendak dipakai. Tiap orang harus siap dan terlatih dengan 6 topi itu. Ibarat topi, cara berpikir itu dapat dengan mudah dipakai atau dilepas, diganti sesuai yang kita maui.
Enam topi itu adalah:
1. Topi Putih, mirip dengan kertas kosong, kita memakai topi berpikir putih untuk menerima semua data atau masukkan. Kita memposisikan otak kita untuk menerima data atau masukan yang ada.
2. Topi Merah, ini berpikir dengan emosi, kita menggunakan perasaan (bukan logika) untuk menentukan pendapat kita tentang suatu masalah.
3. Topi Hitam, cara berpikir dengan logika negatif, kita menggunakan logika untuk mempertimbangkan akibat negatif apa yang bisa muncul dari keputusan yang akan kita ambil.
4. Topi Kuning, cara berpikir dengan logika positif. Kita menggunakan logika untuk mempertimbangkan hal-hal positif atau peluang yang bisa muncul atas ide yang sedang kita pikirkan.
5. Topi Hijau, Ini berpikir kreatif. Kita menggunakannya untuk berpikir sesuatu yang baru dan inovatif.
6. Topi Biru. Ini berpikir tentang berpikir. topi ini kita pakai untuk berpikir dalam suatu proses pengambilan keputusan.
Aplikasinya: Bisa jadi dalam suatu rapat kita berkata: "Mari kita pakai topi putih untuk masalah persembahan." Maka yang diperlukan adalah semua data dan realitas yang ada untuk dipaparkan.
Bisa juga: "Mari kita pakai topi Merah untuk ide kebaktian di hari Sabtu." Maka tiap orang harus mengungkapkan perasaannya dan intuisinya (bukan dengan logika) atas ide itu. Tapi kita juga bisa bilang ;"Kita perlu pakai topi hijau untuk mengatasi masalah pemuda." Ini sekedar contoh. Tiap masalah bisa ditelaah dengan 6 topi berpikir itu secara bergantian. Bisa dengan urutan topi putih, merah, hitam. Atau Merah, Putih dan kuning. Terserah kita, sesuai dengan kondisi yang ada.
Semoga berguna.
(kelanjutannya.....)

24 Juni 2010

Cerita tentang King Lung

Kejadian ledakan di jalan Slompretan nomer delapan itu sangat mengagetkan saya. Kamis pagi seorang teman menelpon tentang ledakan semalam sebelumnya. Katanya salah satu korbannya yang terluka adalah Imron. Saya kaget, pagi itu saya menyuruh anak buah saya untuk segera ke tempat kejadian. Tujuannya mencari kabar tentang King Lung. Dia teman saya. Memang sudah cukup lama saya tidak berjumpa dia. Beberapa saat kemudian anak buah saya memberikan kabar bahwa kondisi tempat itu memang sangat parah. King Lung belum ditemukan, Imron juga akhirnya meninggal. Wajah dua orang rekan itu masih sangat jelas terbayang. Imron dan King Lung.
Saya mengenal mereka cukup lama, karena kita sama-sama merintis bengkel CNC-Computer Numerical Control (mesin bengkel yang bisa diprogram). Imron anak buah King Lung. King Lung adalah orang kepercayaan Bos di Jakarta. Dia tidak berpendidikan tinggi. Dia dulu hanya operator mesin, kemudian dia belajar memprogram mesin. Dia orang yang baik. sopan, pekerja keras dan mau belajar. Postur tubuhnya bagus dan orangnya murah senyum. Beberapa kali saat dia mengalami masalah dengan pemograman, dia selalu datang ke tempat saya. Dia mampu belajar dengan baik.
Bengkelnya dulu mengerjakan neck-ring. bagian atas tabung LPG yang menghubungkan antara tabung dan bagian yang terbuat dari kuningan. Awalnya satu neck ring dikerjakannya dalam 1 menit. Terakhir kalinya dia berhasil mengerjakannya dalam waktu 11 detik. Rasanya itu proses pembuatan neck ring yang tercepat di Indonesia. Dia bersama teman-temannya bekerja 24 jam. Bergantian antara yang tidur dan yang bekerja. Mereka satu tim yang sangat kompak dan cekatan.
Bosnya tinggal di Jakarta. Orangnya sangat low-profile. Setiap kali ke Surabaya, saya selalu ditelpon untuk menemuinya. Karena itu saya sering mampir di Slompretan itu. Selalu saja dia memesankan Mie Hongkong di jalan Waspada itu. Kita sering ngobrol sambil makan mie itu. Kalaupun saya ke Jakarta, sayapun harus menelponnya. Memang tidak selalu saya menelpon, karena kadang saya sudah sangat capai. Kalau dia tahu saya di jakarta biasanya dia jemput saya dan kita menghabiskan sepanjang malam di Pecenongan. Makan bubur, es campur dan ngobrol. Dia sangat baik. Bisnis diantara kita tidak besar-besar amat, tapi persahabatan itu sangat akrab. Dari makan bersamanya sampai nyaris ditangkap Satpam gara-gara dia berkelahi di suatu Plaza. Menakutkan tapi lucu juga.
Banyak kali saya sering datang di Slompretan itu. Sekedar mengobrol dengan teman-teman disana. Saya juga punya rasa tersendiri dengan jalan itu. Papa saya pernah bekerja di toko Batik di depan bengkel itu dan kemudian pindah kontrak di samping bengkel itu. Dulu kalau hari libur dan pas saya ke Surabaya, saya sering membantu di toko Batik itu. Mama saya juga penah bekerja di Bank di ujung jalan itu. Dulu namanya masih Bank Umum Koperasi Kahuripan. Di jalan itu memang ada sepenggal kenangan hidup saya. Sering saya menghabiskan sore hari disana. Bila saya belum pulang ketika hari mulai gelap, selalu tukang parkirnya datang meminta ongkos parkir sebelum dia tinggal pulang. Saya selalu memberinya uang dan bonus umpatan di hati saya.
Terakhir saya dengar King Lung pacaran dengan Gadis Madura. Mamanya di Jakarta tidak menyetujuinya. Tapi dia tetap nekad. Bosnya tidak bisa berbuat apa-apa. Saya juga tidak, walaupun ingin rasanya menasehatinya. tapi saya tidak tahu mau bicara dari mana? Saya sangat berat dengan pernikahan yang tidak disetujui orang tua. Banyak kali itu mendatangkan luka atau mungkin kutuk. Saya lebih memilih menuruti orang tua dan selalu akan menasehati begitu bila ada masalah seperti itu. Tapi ke King Lung saya tidak berani bilang apa-apa. Akhirnya mereka menikah.
Setelah ledakan itu saya berusaha menelpon Bos di Jakarta itu. beberapa nomernya tidak bisa dihubungi. Hingga jumat pagi, ada satu nomer yang bisa, tapi tidak diangkat. Saya lalu hanya kirim SMS "Kho, saya ikut sedih, tapi selalu ada kekuatan dari Tuhan." Ini ungkapan tulus saya, walaupun saya tidak tahu apa agamanya. Beberapa detik kemudian dia menelpon saya, lama sekali saya mendengar ceritanya. Terutama tentang King Lung. Hari itu beberapa kali dia menelpon saya, memberitahukan tentang perkembangan King Lung. Sampai petang harinya dia SMS hotel dan nomer HP mama King Lung. Saya tidak mengenal mamanya, tapi saya sangat ingin menemuinya. saya menemuinya di kamar jenasah RSUD Dr. Sutomo. Dia tidak terlalu tua. "Ai, saya Daniel teman King Lung, saya dapat nomer Ai dari Kho...... di Jakarta" Wanita itu sangat tegar dan bijak. Di bagian lain di teras kamar jenazah itu, ada dua ibu berkerudung dan bapak berkopiah dan beberapa orang lagi. Mereka rombongan istri King Lung yang berasal dari Probolinggo. Mereka semua menunggui datangnya peti jenazah yang akan dipakai King Lung. Awalnya saya menyangka mama King Lung akan sinis dengan keluarga itu. Sayapun berbincang dengan dia tanpa menyinggung Istri King Lung sekalipun. "Satu hal yang belum dia turuti adalah bahwa dia berjanji akan memberikan menantu yang akan menyenangkan hati saya, saya belum tahu karena saya belum pernah tinggal dengan menantu saya." Diapun bercerita kalau King Lung sudah meminta nama untuk anaknya yang akan lahir sekitar dua minggu lagi. Mamanya sudah memberi satu, tapi dia meminta empat nama dan nama pilihannya sudah disimpan di HPnya.
Lorong di depan kamar jenazah itu gelap, saya baru tahu kalau Bos Besar King Lung ada di sana. Dia kakak dari Bos yang saya telpon itu. Bos ini yang paling dihormati oleh semua saudaranya. Sayapun menghampirinya dan berjabat tangan. Mama King Lung juga dan kemudian dia bilang ,"Kho, tolong diingat anak King Lung ya.... Tolong dibantu istrinya, dia mau melahirkan" Bos itu mengiyakan dan langsung menghampiri wanita yang hamil tua itu, dia mencatat alamatnya.
Saat peti jenazah sudah siap dan jenazah sudah dikeluarkan, saya sempat melihat wajah King Lung. Sudah membengkak dan berbau. Istrinya langsung pingsan. Keluarganya membopongnya, mama King Lung mengoleskan minyak kayu Putih di dahinya. Ibu dan Bapaknya sibuk menyadarkannya dengan berbahasa madura. Mereka orang desa, masih 35 KM dari Probolinggo ke selatan. Bapak Ibu itu ternyata diantar oleh "Pak Tenggih" (Pak Tinggi= Pak Lurah) desanya. Ah, musibah ini menyadarkan saya betapa manusia itu adalah mahluk sosial, yang kodratnya membantu sesamanya. Ada Pak Lurah yang bersimpati pada warganya dengan menghantar ke Surabaya. Ada wanita yang mungkin punya alasan untuk membenci menantunya, tapi kewanitaannya mampu merasakan apa yang dirasakan menantunya itu. Ada Bos besar yang mau bersimpati pada pegawainya yang setia sampai akhir hayatnya.
Malam itu, setelah peti jenazah ditutup, mereka berpisah satu sama lain. Dua keluarga yang berbeda budaya dan banyak lainnya itu saling berpelukan. King Lung sudah menyatukannya.
King Lung akan dimakamkan di Tangerang di kampungnya. Mamanya minta dia dimakamkan bukan dikremasi agar anaknya suatu saat kelak dapat mengetahui kubur papanya.
King Lung kita masih bersahabat.
(kelanjutannya.....)

Oleh-oleh dari Medaeng

Sabtu kemarin ini kami berenam berkunjung ke seorang rekan yang ditahan di Lapas Medaeng. Tjie Joung yang menjadi pencetus kegiatan ini. Rasanya ini jadi reuni lagi setelah tahun lalu kita membuat "sinetron' untuk TVRI. Suasana sudah terasa ketika kita berkumpul dan menunggu teman yang belum datang. Di samping pos satpam, acara di mulai dengan makan menu spesial GKI Dipo yang baru dan lagi favorit, Bakwan Babi! Nah, bagi yang masih di luar Surabaya, perlu diumumkan bahwa di depan gereja setiap hari ada Bakwan Babi yang mangkal. Semua bilang enak. Ini bukan bakso babi kayak jamannya Arifin dulu, ini kuahnya lumayan bening. Makanya cepetan datang ke Dipo lagi ya.... Berenam ada: Tjie Joung, Robert Harmani, Yahya Juanda, Andreas Nagaginta, Prianto dan saya.
Awalnya, acara nyaris batal, karena Yahya mendapat SMS bahwa teman kita baru periksa darah karena dia terkena sakit kuning. MR harus istirahat total dan tidak boleh dibesuk. Tapi karena salah satu diantara kita berprofesi pengacara, maka ia yang menelpon salah satu pejabat di sana untuk meminta ijin khusus. Katanya sih Ok, boleh masuk. Maka kita berangkat dengan satu mobil saja, agar bisa tetap reuni dengan meriah.
Sepanjang jalan kita berbincang, bercanda, saling mengejek, saling menggoda, ada juga yang mencoba mengenang kejadian "jadul".
"Satu hal yang sudah berubah, aku sudah meninggalkan kebiasaan 'minum-minum'ku..."
Langsung ada yang menimpali:
"Yo.... ngono, mosok gara-gara koen mlaku nabrak koco e gedung pertemuan, aku sing di celuk Pak Ben"
"Pak Ben ngomong; tolong jangan seperti itu, jangan minum-minum gitu..... Aku njawab: Ya Pak Ben, dia sudah saya beritahu kalau mau mabuk jangan di gereja, di luar sana..... Eh, Pak Ben malah ngamuk dan ngomong : Lho, walaupun di luar juga TIDAK BOLEH!"
Ada juga yang bilang, "Kita ini sudah kepala 4 semua, tapi koq guyonannya masih kayak waktu usia belasan tahun...."
"Pokoknya khan kalau sudah di depan anak-anak harus bersikap lain yo..."
ini untuk pertama kalinya saya ke Medaeng. Luas dan Besar sekali. Di pintu depan kita melapor dan lagi-lagi sang "pengacara" yang jadi pemimpin, dia yang mengurus dan mendatangi semua loket dan meja yang ada. Saat Andree mau masuk gerbang pertama, dia langsung ditolak, karena mengenakan celana 3/4, harus bercelana panjang. Tapi petugasnya bilang, "Itu sewa celana di depan sana" Di seberang Lapas itu ternyata ada persewaan celana panjang, Rp. 5.000,oo. "tapi pak, apa ada ukuran yang pas?" sambil dia memandang lingkar perutnya. "Beres, semua ukuran ada disini..." Benar, ada! Celananya lumayan bagus. Yang memakai langsung punya ide cemerlang, "Eh, yok opo nek langsung mole ae..... lumayan, limang ewu entuk celono iki..."
Melintas gerbang pertama kita diminta meninggalkan KTP dan diperiksa, HP tidak boleh dibawa masuk. Kita memang sudah meninggalkannya di mobil.Cuma sang "pengacara" yang boleh membawa HP karena dia menyebut nama seorang pejabat disana. Saat mau melewati gerbang kedua, tangan kita di stempel "SIAP", entahlah apa artinya. Yang jelas kalau sampai stempel ini hilang..... berarti kita juga siap untuk tidak bisa keluar.
Kita menunggu di teras dan tidak masuk ke area kunjungan karena di sana sangat berjubel, MR yang di panggil untuk menemui kita. Itu juga karena ada usaha dari sang pengacara. Apapun bisa diatur oleh pengacara,. Rasanya mataharipun kalau mau terbit harus tanya dulu sama pengacara. Syukurlah kita punya teman yang begini.
MR keluar dengan kulit yang tampak pucat kekuningan, dia sakit kuning. Menularkah? Saya sendiri rada-rada takut. Kita berbincang-bincang di teras itu. Dia masuk sini karena kasus pemalsuan kartu kredit. Ini yang kedua kalinya, dia sudah pernah menjalani hukuman 20 bulan. "Saya sebenarnya sudah mau mandeg deg! Tapi saya tidak tahu mau kerja apa lagi...?" Entahlah saya harus bersikap apa? Dulu kita bermain bersama di KPR. Dulu kita pelayanan bersama. Kenapa dia bisa begini? Apakah pelayanan kita dulu itu tidak berpengaruh pada bagaimana seharusnya kita hidup? Apa memang pelayanan itu jauh dari kehidupan yang sebenar-benarnya? Pemalsuan pasti butuh kepandaian, kenapa dia tidak bisa memanfaatkannya untuk yang positif? Ah, saya juga cuma bisa bengong saja. Kita pamit pulang setelah memberi bingkisan kue dan penganan buat MR.
Di perjalanan pulang kita tetap penuh canda, apa lagi beberapa teman sudah mulai gerah sama kelakuan sang pengacara. "Yo, kene sek daerah kekuasaanmu, tapi nek wis liwat CITO merono, koen tak entek no....." Bener juga kita bergantian "membantai" Sang pengacara saat mobil sudah melintasi CITO di bundaran Waru. Kita menutup acara itu dengan makan siang bersama dan balik ke gereja. Di gereja Bis Damri yang mengantar anak-anak KA dari bakti sosial sudah datang. Benar juga, di depan anak-anak itu, kita sudah harus bersikap lain lagi, meninggalkan semua kenakalan tadi. Kapan kita reunian lagi ya....?
(kelanjutannya.....)

08 Mei 2010

Cerita tentang Membaca Alkitab (No.2)

Cerita kedua mulai terjadi di awal tahun 2009. Saya mempunyai keponakan perempuan yang cukup pandai yang bakal lulus SMA di pertengahan tahun 2009. Saat itu dia bersekolah di SMA Negeri di Bondowoso. Keluarganya kurang mampu. Sayang sekali kalau anak itu sampai tidak dapat melanjutkan sekolah, karena harusnya dia mampu untuk itu. Satu-satunya cara yang saya pikirkan adalah dia harus masuk universitas negeri agar biayanya murah. Untuk itu pasti tidak mudah. Nilainya memang bagus, tapi dia bukan yang rangking 1.

Bertahun-tahun sebelumnya, kalau saya bertemu dia, saya selalu menasihati dia untuk belajar dengan keras sekali. Jangan pernah puas dengan hasil cukup bagus yang sudah diterimanya. Dia harus rangking 1, karena kalaupun dia rangking satu, itupun tidak berarti apa-apa bila dibandingkan dengan pelajar yang dari Surabaya. Saya dulu lulus dengan NEM tertinggi di Bondowoso, tapi saat saya di ITS saya tahu bahwa itu tidak berarti apa-apa. Banyak anak yang jauh lebih tinggi nilainya dari saya. Saya tidak ingin pengalaman itu terulang di dia. Bertahun-tahun saya memompa semangatnya. Saya juga berusaha mencarikan jalan untuk dia. Beruntung adik saya tinggal di perumahan di seberang ITS, jadi kalau dia bisa masuk ITS berarti dia bisa menumpang di rumah itu dengan sangat dekat. Saya sudah minta "Tante" saya untuk menegosiasikan hal itu ke adik dan adik ipar saya. Mereka menyetujuinya. Jadi masalah utamanya adalah bagaimana agar dia diterima di ITS. Mutunya bagus, uang kuliahnya murah, kost-nya gratis.

Awal 2009 adalah puncak perjuangan itu. ITS membuka beberapa jalur pendaftaran. Semua jalur itu saya minta dia ikuti, kecuali jalur kemitraan yang kemungkinan diterimanya besar tapi harus membayar sekitar 35 juta. PMDK S1, PMDK D4 PENS, SMNPTN, Seleksi reguler D4 PENS. Semuanya itu diikutinya. Di samping itu ada juga masalah lain. Ada beberapa orang di gerejanya yang bersedia membiayai dia kalau dia mau sekolah teologia (Aleithea atau SAAT). Secara pribadi dia tidak menyukai tawaran itu. Dia suka bidang teknik. Dia ingin masuk ITS.

Dua jalur PMDK (seleksi masuk tanpa tes) itu, gagal dia tempuh. Bisa jadi juga karena SMA di Bondowoso memang tidak terlalu punya prestasi yang menonjol. Saya minta dia bersiap untuk ikut SMNPTN (dulu jaman saya namanya Sipenmaru). Dia bersiap untuk itu. Saat selesai tes, dia bilang kalau beberapa soal tidak dijawab, karena takut dipotong nilainya bila salah. Yang dia kerjakan hanya sekitar 80%. Saya agak kecewa dengan cerita itu. Sambil menunggu pengumuman SMNPTN, dia mengikuti seleksi masuk D4 Politeknik. Saat selesai tes dengan yakin dia bilang bahwa dia bisa mengerjakan semua soalnya. Saya senang dengan itu.

Dia sangat yakin bisa diterima di Politeknik, buku-bukunyapun sudah dipinjamkan ke adik kelasnya. Hingga suatu siang dia SMS saya, bahwa dia tidak diterima di tes itu. Dia kecewa berat. Dia merasa juga pasti tidak diterima di SNMPTN karena tesnya tidak sebisa tes untuk D4 itu. Dia bilang mau bekerja saja. Saat itu saya mulai merasa bakal ada masalah yang besar.

Saya mulai ketakutan. Saya merasa sudah melakukan kesalahan yang besar. Saya merasa sudah terlalu memompa semangatnya dan menggelembungkan harapannya. Saya takut bila harapan itu gagal dia capai, dia akan jatuh terhempas. Dia juga mulai tertekan, jemaat di gerejanya juga mulai menekan dengan memojokkan bahwa itu rencana Tuhan agar dia masuk sekolah teologia. Saya dalam kondisi yang takut juga. Takut akan dampak buruk itu. Ini sangat membebani pikiran saya.

Saat itu bacaan Alkitab saya sampai pada Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan dan Ulangan. Kepercayaan akan janji Tuhan dan kesaksian bagaimana Tuhan memimpin Umat Israel keluar dari Mesir. Terutama kisah tentang dua orang pengintai "Kaleb dan Yosua" menginspirasi saya. Sayapun hanya bisa berdoa ," Tuhan, bolehkah saya minta mujizat itu? Karena itu bukan untuk saya." Bagaimana ya? Apa saya bisa percaya akan pimpinan Tuhan?

Keraguan itu terjawab saat suatu pagi dia menelpon sambil menangis , saya awalnya berpikir negatif tentang tangis itu. " Om, Ovi diterima." Puji Tuhan, dia diterima di ITS. Semester lalu IPnya diatas tiga dan mendapat beasiswa yang tidak dia ajukan.

Sekali lagi, bacaan Alkitab itu bisa pas di pergumulan hidup saya. Seakan ada dosis dan kurikulum yang tepat yang sudah tersedia.

Beberapa saat yang lalu di Facebook saya menulis ,"Kalau dulunya cocok, apa sekarang masih bisa cocok juga ya...?" Ada yang berpikir ini ada hubungannya dengan "pasangan hidup" saya. Hahahahaha...... Tapi sesungguhnya itu berkaitan dengan bacaan-bacaan yang saya baca urut tiap harinya ini. Kalau sudah begini apa boleh saya ragu lagi?

(kelanjutannya.....)

Cerita tentang Membaca Alkitab (No.1)

Membaca Alkitab punya banyak kisah di hidup saya. Dulu saya pernah memulainya dengan panduan buku Saat Teduh. Pernah juga Renungan Harian. Kini saya membacanya tanpa tuntunan buku apa-apa. Dibaca urut dari Kejadian hingga Wahyu lalu balik ke Kejadian lagi. Sehari satu pasal. Ini diakibatkan karena saya sering lupa atau tidak sempat beli buku-buku tuntunan itu.

Saya membacanya cuma Senin sampai Sabtu, Minggu khan sudah ke gereja. Tidak juga pasti tiap hari itu saya membacanya, banyak kali saya sulit membacanya, terutama kalau hari libur. Saya sangat menikmati kesendirian, jadi kalau banyak orang atau ada orang lain di rumah, saya malah sulit berkonsentrasi. Waktu terbaik saya adalah jam 6.30 sampai jam 7.30. Saat semua sudah berangkat dan anak buah saya belum datang. Saya bisa sendiri dan konsentrasi dengan baik. Kalau pas hari libur, maka suasana yang tidak sepi itu malah mengganggu saya. Bukan karena saya malu kalau ketahuan membaca alkitab. Dulu memang perasaan itu ada, tapi sekarang saya berani koq membaca di depan rumah. Bukan untuk pamer, tapi untuk berani mengalahkan rasa malu itu.

Membaca dengan urut memang punya masalah tersediri. Pernah terpikir, bahwa bacaan itu tidak bertema dan berkurikulum jelas. Buku panduan memang sudah ter susun dengan tema dan ide yang jelas tiap periodenya. Membaca dengan urut kadang membingungkan. Bila saat itu kita sampai di kitab Bilangan, maka yang kita baca pasti membingungkan. Hanya angka dan ukuran saja. Kadang satu pasal yang kita baca cuma berisi silsilah dan nama-nama orang saja. Kita dapat apa di hari itu? Yang ada mungkin cuma kebosanan dan ketidak-mengertian.

Saya akan bercerita tentang pengalaman saya. Saya akan menulisnya dalam dua bagian, karena ada dua pengalaman hidup tentang hal ini. Dua bukan berarti hanya ada dua cerita ini saja di hidup saya. Dua untuk menunjukkan bahwa pengalaman itu tidak satu-satunya, dan kalau sudah pernah dua maka pasti akan ada kisah-kisah berikutnya di hidup ini. Semoga ini berguna.

Tahun 2007 adalah tahun "Vivere Peri Coloso" (mengutip kata Bung Karno) di hidup saya. Tahun dimana hidup itu begitu sulit dan menekan berat. Padahal tahun 2007 itu saya masuki dengan hati yang penuh semangat dan pengharapan. Di akhir tahun 2006 saya bertemu dengan seorang tua yang kaya sekali dan dia sepakat untuk membantu memodali saya. Saya suka mencari banyak hal baru yang belum sempat banyak orang lain tahu. Saya suka mempelajarinya. Saya sempat belajar suatu teknik yang saat itu saya percaya akan "boom" di tahun-tahun mendatang. Tentunya perihal perbengkelan. Topik ini kini memang benar-benar mengisi hampir semua majalah "Metalworking". Prediksi saya kini terbukti benar. Saat itu saya benar-benar senang karena dia mau membelikan mesin apa saja yang saya butuhkan. Itu memang ditepatinya.

Tahun itu saya mencurahkan semua tenaga dan daya untuk mempersiapkan bengkel itu. Semua terkonsentrasi ke sana. Praktis saya tidak terlalu memikirkan pemasukan. Saya hidup dari tabungan dengan harapan ini akan segera tergantikan bila bengkel itu jalan. Beberapa kali saya juga ke luar negeri untuk sekedar melihat-lihat proses yang ada. Berarti ada pengeluaran ekstra untuk itu. Sekitar pertengahan tahun, bengkel itu siap jalan. Mesin utama sudah terpasang. Sayapun berencana menutup beberapa usaha saya, agar saya bisa konsentrasi di sana. Beberapa teman "kongsi" sudah saya ajak bicara perihal ini.

Order pertama sudah saya dapat, tenaga kerja sudah ada. Saya minta mereka bekerja dan saya pergi ke Jakarta untuk melihat pameran perbengkelan. Sepulang dari sana saya kaget, ternyata pekerjaan itu belum selesai dan tidak dikerjakan. Saya urus hal ini. Tenyata anak buah saya tidak boleh bekerja oleh menantu pemilik modal karena dianggap order itu terlalu murah. Saya mendiskusikan hal ini dengannya. Sejak awal saya tidak ada urusan dengan dia. Semua rencana dan kesepakatan hanya antara saya dan mertuanya. Diapun bukan menantu yang dipercaya oleh mertuanya, kalau diruang itu ada dia, mertuanya selalu memberi kode untuk ganti topik pembicaraan. Dari perbincangan dengan menantu itu, terungkap kecurigaan bahwa banyak hal yang saya selewengkan. Dia mencurigai saya menerima komisi dari pembelian mesin dan peralatan yang ada. Juga dari harga pekerjaan yang masuk saya melakukan "undervalue". Saya mempersilahkan dia memeriksa langsung ke orang-orang itu, karena semua nama dan alamat ada dengan jelas. Saya memberikan jaminan bahwa saya tidak akan melakukan hal itu. Dia tidak percaya itu. Saya sadar inilah awal malapetaka itu. Saat itu saya langsung bilang bahwa saya mengundurkan diri. Tidak ada hal yang bisa dibangun bila tidak ada rasa percaya. Dia masih mendesak dengan mempertanyakan hal saham pembagian hasil yang dijanjikan ke saya. Saya tegaskan bahwa tidak perlu memberi saya hasil apa-apa kalau saya tidak bekerja. Saya tidak menuntut apa-apa, karena saya tidak pernah berpikir mencari keuntungan sesaat. Saya bercita-cita bengkel itu akan jadi bengkel besar, bukan sekedar bengkel biasa. Hari itu saya putuskan mundur.

Masalah besar itu mulai saya hadapi. Yang terdekat adalah bagaimana saya harus menyelesaikan order yang sudah saya terima. Saya berjanji Minggu sudah akan ada yang selesai, hari itu sudah Jumat. Untung ada teman yang mau membantu lembur untuk saya. Sayapun tidak punya kendaraan untuk memindahkan material besi yang ada, hampir 2 ton. Untung ada teman yang bersedia meminjamkan pick-upnya. Saya harus bolak-balik berkali-kali karena mobil itu tidak mampu bila harus mengangkutnya sekaligus.

Saya jadi berhutang ratusan juta, karena saya yang menandatangani semua kontrak pembelian mesin dan peralatan. Saya menegosiasikan ulang dengan teman-teman suplier itu. Semua mesin itu bukan di saya. Semuanya bisa diaudit sesuai dengan tagihan yang ada. Semua barang ada di bengkel yang saya tinggalkan. Untunglah mereka masih mempercayai saya.

Tekanan itu sangat berat bagi saya. Secara mental saya sangat sakit hati atas pengkhianatan ini. Secara finansial saya juga tertekan, karena tabungan saya juga sudah habis. Kondisi saya sangat buruk. Saat itu saya punya masalah dengan order dari bengkel saya yang lain (yang untung belum saya tutup). Saya harus bernegosiasi untuk masalah itu. Saat saya bernegoisiasi saya tidak dapat melakukannya dengan baik. Seorang teman memberitahu, " Masak kamu gitu saja tidak bisa, padahal kamu pernah bisa negosiasi yang lebih berat dari itu." Ya, saya pernah bernegosiasi persuasif agar seorang pelanggan mentransfer langsung (bukan dengan LC) pembayaran yang ratusan ribu USD hari itu juga. Itu pernah berhasil. Kondisi saya memang "kusut" sekali. Secara mental saya sudah mirip kertas kusut yang rapuh. Terlalu mudah untuk robek dan hancur. Terlalu sulit bagi saya untuk bisa berpikir jernih lagi.

Saat saya mau bangkit untuk kembali menata bengkel tadinya yang hendak saya tutup, anak buah saya dibajak oleh bengkel baru itu. Saya sempat bilang ke anak- buah saya itu, "Pikirkan baik-baik, karena ini cuma cara untuk menghancurkan saya." Dari banyak sisi saya tertekan, berat sekali.

Lalu apa hubungannya dengan pembacaan Alkitab itu?

Masalah itu terjadi dipertengahan 2007. Saat itu saya sampai pada kitab Mazmur. Mazmur yang 150 pasal, berarti saya membacanya dalam kurun lima bulan di tahun 2007. Saat masalah itu ada, tiap pagi saya membaca Mazmur. Dan kata-kata yang paling banyak diulang-ulang di Mazmur adalah : ".....bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setiaNya......." Topik tentang kasih setia Tuhan ada di saat saya menghadapi masalah yang berat sekali. Aneh, koq bisa pas ya....? Apa ini kebetulan saja? (bersambung)

(kelanjutannya.....)

Usia Emas

Kemarin saya diajak mengunjungi orang yang dianggap tertua yang masih hidup dalam keluarga besar saya. Usianya 92 tahun, dia juga pasti perintis dari GKI Di Bondowoso. Sebenarnya saya agak malas untuk berangkat, karena sekarang ia tinggal di Jember. Jember itu 35 KM dari Bondowoso, rasanya jauh di luar kota, padahal mungkin itu juga jarak yang harus saya tempuh tiap harinya bila harus ke bengkel di Sukolilo dan Gedangan.
Saya juga bingung, tidak tahu harus menyapanya siapa. Dulu, saat belum menikah saya menyapanya 'Kukong" karena dia lebih muda dari nenek saya dan dia menyapa nenek saya "cik-nga" (kakak tengah). Mertua saya menyapa nenek saya dengan "Po" yang berarti nenek saya setara dengan Nenek dari Merua saya. Makanya, alkisah dulu saya menyapa mertua saya dengan "Koh dan Cik" saja, sekarang koq malah harus "Papa dan Mama". Saat itu saya bingung mau menyapa dengan "Kukong" atau siapa lagi? Tradisi dan realitas yang membingungkan.
Hal yang menarik adalah saat kita keluarga besar ini harus berjabatan tangan dengan beliau, Ingatannya sudah banyak berkurang, dan kemampuan bicaranya juga sudah sepotong-sepotong. Saat satu per satu berjabat tangan sambil mengucapkan Selamat Natal, kita selalu bertanya "Ingat?". Kemudian beliau mengucapkan kata kunci yang sepotong itu. Kadang kata kunci itu berupa nama yang berjabat tangan. Kadang juga itu benar-benar sebuah kata kunci yang mewakili orang tersebut. Semua gembira dengan sepotong kata yang berhasil diucapkan beliau. Saat saya menjabat tangannya, setelah agak lama dan beberapa kali menanyakan, "Ingat?" Beliau mengatakan "Liang Ing". Itu nama Kakek dan Nenek saya, berarti dia mengingat saya, walaupun lupa nama saya. Yang menarik saat seseorang menjabat tangannya dan saat ditanya, "Ingat?" Beliau langsung menjawab,"Suka Marah" Semua tertawa, dan semua hampir setuju dengan kata kunci perihal orang itu. Siapa dia? Saya takut kualat kalau menyebarluaskannya......
Setelah semua berjabat tangan, semua beralih ke ruang tamu, karena saat itu jadwal beliau untuk "senam" fisioterapi.
Saya memilih untuk tetap di kamarnya bersama pelatihnya, saya hanya duduk melihat saja. Saya senang dengan orang "Berusia Emas". Usia Emas, itu kata-kata yang saya dapat dari "nguping" (mendengar dengan tidak sengaja) obrolan seorang jemaat. Sehari sebelumnya, ada perayaan Natal BAMAG (Badan Musyawarah Antar Gereja) se Kabupaten Bondowoso. Natal gabungan semua gereja Protestan dan Katolik, dihadiri sekitar 900 orang. Kebetulan tahun ini yang menjadi panitia pelaksananya adalah GKI Bondowoso dan ketua panitianya Papa Mertua saya. Saya sudah "bosen" dengan perayaan Natal makanya memilih untuk bantu-bantu kerja saja, daripada "dipaksa" duduk ikut acara. Saat itu pengisi acaranya gabungan dari semua gereja, lalu ada jemaat (rasanya dia orang Katolik) yang bilang," Saya senang dengan pendeta itu (Pak Martin Nugroho), dia bilang Usia Emas, daripada di gereja saya. Saya dibiilang Manula, Usia lanjut? kayak nunggu mati ae." Ya, usia emas. Mereka adalah kelompok orang berusia emas!
Ada orang yang senang melihat anak kecil, tapi saya lebih senang melihat orang berusia emas. Bener lho, kalau dilihat dua kelompok ini khan sama "indah"nya. Kita senang bila mendengar anak kecil yang bicaranya belum lancar, mereka yang berusia emas bicaranya juga tidak lancar. Ada yang suka melihat cara jalannya anak kecil, tertatih-tatih, mereka yang berusia emas juga berjalan dengan tertatih-tatih. Ada yang senang melihat bayi yang berusaha dengan keras membalikkan tubuhnya, yang menonton akan memberinya semangat, itu juga terjadi dengan yang berusia emas kala harus berjuang keras membalikkan tubuh di tempat tidurnya. Yang berbeda hanya, bila kita tertawa melihat pola anak kecil itu, maka semua orang disekitar kita akan ikut tertawa bahagia juga. Sedangkan bila kita tertawa melihat tingkah pola mereka yang berusia emas itu, maka laknat dan kualat yang kita dapatkan.
Saat itu saya duduk sendiri melihat "Kukong" yang renta itu. Beiau hanya bisa berbaring saja. Pikiran saya galau. Saya ingat buku yang saya baca di liburan ini, tentang Soe Hok Gie yang meninggal di usia 27. "Kukong" ini sudah hidup tiga kali lebih lama dari Soe Hok Gie. Tapi bila hidup hanya berbaring saja begitu, apakah yang bisa diharapkan dari hidupnya kini? Benarkah umur panjang hanya kesia-siaan? Soe Hok-Gie pernah menulis, "Seorang Filsuf Yunani pernah menulis, ..... nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua adalah dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda." Dan Soe Hok-Gie memang mati muda.
Apa gunanya usia emas itu? Benarkah ini adalah kesia-siaan? Tubuh renta itu sia-sia dan hanya menjadi beban bagi keluarganya? Beberapa menit berlalu tanpa jawaban di kamar itu, tapi ternyata itulah jawabannya. Bila beliau sudah tiada, tidak mungkin saya datang berkunjung ke rumah itu. Beliau tetap menjadi berkat bagi keluarga besar kita. Kerentaannya yang menjadi pemersatu keluarga besar kita. Kelemahannya telah menjadikan kita bergantian menolongnya. Beliau tetap menjadi berkat melalui kelemahannya. Itu bagi saya yang tidak merawatnya sehari-hari.
Bagi keluarga yang harus merawatnya sehari-hari, dibutuhkan kesabaran yang luar biasa. Inikah kesia-siaan lagi? Saya bersyukur melihat keluarga yang mau berkorban merawat belkiau. Tidak sekedar merawat, tapi juga mau mengusahakan segala sesuatu yang terbaik bagi beliau. Mendatangkan pelatih fisioterapi seminggu tiga kali, mengajaknya mengobrol. Semuanya menjadi teladan bagi kita yang muda tentang bagaimana memperlakukan mereka yang berusia emas. Bisa jadi anak saya juga belajar bagaimana merawat saya nanti bila saya berusia emas. Kerentaan beliau telah menjadikan kesempatan untuk mengajarkan keteladanan memperlakukan kita sendiri saat kita mencapai usia emas itu nanti. Kerentaan beliau memberikan kesempatan bagi kita untuk menabur apa yang bisa kita tuai nanti. Menaburlah dengan baik.
Bondowoso, 30 Desember 2009.
(kelanjutannya.....)

Harga sebuah kesempurnaan

Pernahkah kita memimpikan suatu kebaktian yang sempurna pelaksanaannya? Tidak ada sound system yang mendenging, Tidak ada operator LCD yang terlambat menampilkan slide. Tidak ada pemandu pujian yang salah nada. Tidak ada pembaca leksionari yang salah baca. Semuanya lancar jaya. Zero accident!
Bila itu sekali di suatu hari Minggu, mungkin kita sudah bisa. Dua hari minggu, mungkin kita juga sudah pernah bisa. Bagaimana kalau sebulan? Bagaimana bila "Zero Accident" di sepanjang tahun? Apakah kita bisa ataukah kita mau untuk bisa? Harus bagaimanakah kita untulk bisa sempurna tanpa cacat di sepanjang tahun?
Ada ilustrasi tentang hal ini. Di bidang teknik ada kondisi tentang keadaan Vakum (hampa udara). Vakum adalah kondisi yang menyatakan suatu keadan tekanan udara yang dibawah tekanan udara luar. Tekanan udara luar (atmosfir) kita adalah 1 Atmosfir atau 1 Bar. Vakum itu adalah kondisi dibawah 1 Bar. Vakum itu berkisar antara 1 Bar dan O Bar (hampa mutlak/absolut seperti di luar angkasa sana). Jadi Vakum itu cuma suatu keadaan yang berkisar antara satu dan nol Bar saja. Bayangkan ini cuma soal antara angka satu dan nol.
Mau tahu soal harga Vacuum Pump (pompa vakum)? Pompa vakum yang termurah adalah vacuum cleaner di rumah kita. Harganya mungkin berkisar antara ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Berapa tekanan yang dicapainya? Berkisar setengah Bar atau 500 mili Bar (mBar, satu Bar sama dengan seribu mili Bar). Ada juga pompa untuk penyedot tinja yang dipakai di mobil penguras WC. Harganya jutaan rupiah, tekanan yang bisa dicapai oleh pompa jenis ini adalah satu mili Bar, seperseribu Bar. Berarti pompa jenis ini mampu memindahkan udara hingga 999 mili bar. Harganya berkisar jutaan atau maksimal puluhan juta rupiah saja.
Ada juga proses yang memerlukan vakum yang lebih tinggi. Proses pelapisan anti pantul di lensa kaca mata saya. Proses pengeringan sayuran di mie instan, sayurannya tetap hijau dan wortelnya tetap oranye walaupun itu kering. Proses ini memerlukan kondisi vakum hingga sekitar 0,0001 mBar (sepersepuluh ribu mili bar). Harga pompa vakumnya bisa mulai berkisar puluhan juta rupiah hingga ratusan juta rupiah. Beda ukuran vakum dengan pompa sebelumnya, tidak sampai 1 mili bar. Pompa sebelumnya bisa menurunkan 999 mbar, pompa jenis ini mampu 999,999 mbar. Selisih kemampuan pompanya cuma 0,999, tapi harganya sudah berlipat-lipat mahalnya.
Ada juga pompa vakum yang lebih tinggi lagi. Turbo Molecular Pump atau juga Cryogenic pump. Pompa ini dipakai untuk pembuatan semiconductor. Hasilnya ya... prosessor yang menjadi 'otak' Laptop atau komputer kita ini. Harganya memang puluhan atau ratusan ribu, tapi US Dollar, bukan Rupiah lagi. Vakumnya sampai berapa? Sekitar sepuluh pangkat minus delapan mBar atau seperseratus juta miliBar. Selisih vakum dengan pompa sebelumnya "hanya" 0,0009999. Jauh lebih kecil lagi, tapi harganya sudah berlipat-lipat-lipat-lipat lagi mahalnya.
Untuk mencapai suatu tahapan vakum yang lebih tinggi, sebagai prasyarat suatu proses, ada kenaikan yang mencolok dari harga pompanya. Kenaikan harga itu tidak berbanding linier dengan kenaikan hasil vacuum yang dicapai. Tiap kenaikan kondisi vakum itu, memerlukan suatu sistem pompa yang berbeda prinsip kerjanya. hal itu yang mengakibatkan beda harga yang mencolok. Inilah cerita tentang pompa vakum yang cuma ratusan ribu sampai ratusan juta Rupiah.
Kembali ke mimpi kita diatas. Bila kita pernah berhasil membuat satu kebaktian yang sempurna, kemudian kita mau membuat 10 kebaktian yang sempurna, kemudian seratus, kemudian seribu. Mungkin kita berpikir itu masalah mudah. Dari fenomena alam Vakum tadi, saya meragukan bahwa itu bukan masalah mudah. Mengejar sesuatu yang sempurna itu terkadang tidak linier. Kalau mau 10 kali lebih baik terkadang 10 kali kerja lebih keras masih kurang. Kalau mau 20 kali lebih baik, bukan berarti perlu kerja 20 kali lebih keras mungkin malah perlu seratus kali kerja yang lebih keras.
Tidak ada maksud untuk menakuti tiap niat untuk mencapai kesempurnaan. Cerita ini cuma untuk mendukung agar kita tidak capai dalam mencapai kesempurnaan. Kesempurnaan itu punya harga yang tak ternilai mahalnya. Berani atau tidak kita membayarnya.
(kelanjutannya.....)

Alangkah Menjengkelkannya seorang Injili dan Fundamentalis itu

Hari ini (25 April 2005) pas dua tahun meninggalnya Papa saya. Saya mencoba mengenangnya melalui tulisan ini.

Papa saya memilih menjadi seorang yang injili dan fundamentalis walau sebenarnya dia dilahirkan dalam lingkungan GKI. Beberapa tahun silam, dalam suatu buku peringatan ulang tahun GKI, saya membaca nama Kakek saya sebagai orang yang ikut dalam GKI mula-mula di Jatim. Berarti Papa saya juga besar dalam suasana GKI.

Kegemaran Papa membaca buku rohani cukup kuat, saat pertama kali dibelinya Alkitab dengan Bahasa Indonesia Sehari-hari, semuanya habis dibacanya dalam waktu seminggu. Ada suatu masa (sekitar tiga puluh tahun silam) dimana Papa getol baca buku-buku Watchman Nee, katanya itu aliran Methodist, tapi beberapa tahun kemudian sampai akhir hayatnya buku yang banyak dibacanya adalah terbitan Kalam Hidup, Yakin, STT Jaffray dan I3 Batu. Saya jarang pernah ikut membacanya, cuma kebagian cerita dan dampak sikapnya.

Sejak Mama saya meninggal, waktu itu saya berumur 11 tahun, terpaksa saya tinggal dengan nenek dan hidup dalam lingkungan GKI, pernah ada pendetanya yang berwarna 'liberal' tapi pernah juga ada pendeta yang lulusan SAAT (sekarang jadi dosen di STT Bandung), tapi itu tidak pernah terasa bedanya karena Emak/Nenek saya selalu hormat dan nurut pada "Boksu". Sekali seminggu Papa saya datang, lalu makin lama makin jarang, sampai saya lulus SMA dan kuliah di Surabaya dan saya tinggal kembali dengan Papa. Nah, inilah mulainya rasa seperti judul di atas itu terasa.

Semangat untuk menginjili orang lain, semangat yang dilandasi bahwa tiada Nama lain yang oleh karenanya kita bisa selamat selain nama Yesus, begitu menggebu! Tiap sore diputarnya radio FEBC siaran bahasa Sunda, hanya karena tetangga sebelah itu orang Sunda yang belum "diselamatkan", saya sendiri cukup stress oleh suara radio yang cukup keras yang tidak saya mengerti itu.

Suatu saat, waktu ada kelebihan cat setelah mengecat pagar, semua pot bunga yang ada di tulisi ayat-ayat alkitab, kalau sampai ada orang yang bertanya itu apa, maka dengan hafal dan cepat Papa akan menerangkannya.

Hal ini membuat saya cukup sumpek dan bingung.

Sikap dan semangatnya sering membuat saya risih, tapi semangat itu tidak pernah membuat dia menghalangi saya untuk aktif di GKI. Suatu kali ada kegiatan besar, saya ketua panitianya, saya tidak pulang malam itu, besoknya Papa menelpon ke gereja, waktu dia tahu bahwa saya ada di gereja, Papa diam saja, pasrah pada Tuhan yang dikenalnya. Saya baru pulang di hari yang ketiga, Papa malah kelihatan sangat mendukung, dan waktu Hari H, papa datang dan mengikuti acara itu, komentarnya : Itulah hebatnya GKI!

Saya tahu, Papa juga menanggung beban masalah keluarga yang berat, tapi beban itu akhirnya terselesaikan juga, hanya karena Papa selalu mendoakannya. Semangat untuk "beriman" yang lebih dari gaya GKI-saya membawa Papa mampu mengatasi masalah keluarga saya.

Suatu hari Papa mengajak berdoa tiap pagi, saya pun menurutinya walau dengan berat hati. Salah satu pokok doanya adalah mendoakan seorang saudara "yang terhilang", cukup lama dan bertahun-tahun kita telah berpisah tanpa ada kabar berita, saya tahu Papa sangat ingin bertemu dengannya. Sampai suatu pagi Papa mendapat surat kaleng yang memberitahukan bahwa "yang terhilang itu" ada di sebuah rumah sakit di Jember. Besoknya Papa ke Jember dan memang mereka bertemu. Sebuah pertemuan yang mengesankan. Doa Papa terkabul!

Papa tidak pernah tahu siapa penulis surat itu. Bisa jadi ada seseorang yang tahu tentang pergumulan Papa dan menuliskannya untuk Papa. Atau mungkin ada seorang tukang pos yang sempat "Mi'rajd" dan membawakan surat itu langsung dari Tuhan yang tentunya isinya pasti inerrancy and infallibility. Bisa mungkin juga ada seseorang yang digerakkan oleh Roh Kudus dan menuliskan ilham itu dengan segala keterbatasannya. Saat ini surat itupun tidak diketahui keberadaannya, sehingga tidak mungkin diuji keotentikannya, Tapi sebagai sebuah surat, ia telah menyelesaikan tugasnya dengan gemilang.

Mendekati akhir hayatnya, Papa sering mengeluh tidak bisa tidur, saya cuma menghibur, dengan membelikan banyak buku-buku theologi terbitan BPK yang mungkin berat-berat. Beberapa hari kemudian Papa bilang "Kalau buku Theologi terbitan BPK memang bagus-bagus". Kalimat itu menjadi kalimat "bersayap" bagi saya. Bukan sekedar basa-basi. Seakan Papa berkata: Memang orang GKI bisa menjabarkan segalanya lebih runtut dan masuk akal.

Saya juga sama jengkelnya dengan mereka yang jengkel terhadap yang injili dan fundamentalis yang ngototnya tidak runtut dan "bondo ngeyel", tapi saya salut dengan gaya 'beriman'-nya mereka.

Ada juga dari mereka yang seperti Papa yang bilang "Itulah hebatnya GKI'

Saya pun menghormati "warna" Papa dengan tidak membaptis anak saya pada waktu bayi (biarlah mereka dibaptis saat mereka secara pribadi mengaku percaya).

Semoga Papa di Surga tidak jengkel dengan tulisan ini.

(kelanjutannya.....)