23 Desember 2010
Karakter, Dimanakah Belajarnya?
18 November 2010
Dosaku Ucul
Itu judul dan penggalan syair lagu yang dibawakan oleh kelompok musik keroncong dari Sitiarjo, Malang selatan di kebaktian kita Agustus lalu. Terasa lucu waktu saya mendengarnya. Kog rasanya tidak keren. Kalaupun itu adalah pengakuan iman mereka, terasa terlalu sederhana (untuk menghaluskan kata yang lebih lugas "kampungan"). Saya merasa lebih mampu untuk menyampaikan pengakuan iman yang lebih indah dan intelek dari itu.
Lagu itu terus terngiang di benak saya, menciptakan suasana yang lucu. Sampai kemudian saya teringat kalimat yang mengikutinya: "Dosaku Ucul, Kecebur Segara Kidul". Mereka dari pantai selatan yang kondisi ombaknya lebih ganas dari pada pantai utara pulau Jawa. Kondisi alam sekitar mereka itu yang dapat merefleksikan pengakuan iman mereka. Bagaimana dosa itu lepas dan tercebur di pantai curam berombak besar seperti banyaknya pantai di laut selatan. Dosa yang lepas dan tercebur itu sudah tidak punya kuasa untuk kembali lagi. "Segara Kidul" itu telah menelan dan menghanyutkan dosa mereka, menggambarkan kesempurnaan karya penebusan dosa Yesus Kristus.
Pengakuan iman saya mungkin lebih intelek, tapi itu karena saya dapatkan dari buku dan pelajaran agama. Pengakuan iman mereka lebih lugu dan murni, karena mereka dapatkan itu dari alam sekitar mereka. Alam yang menurut Pemazmur sudah terlebih dahulu memberitakan karya dan pekerjaan tangan Tuhan sebelum semua buku menuliskannya. Kiranya Roh Kudus memampukan untuk melihat dan merasakan karya Tuhan melalui alam ciptaanNya ini.
Ini Sudah Jaman Digital
Dulu saya sering membantu menjaga "kios cuci cetak" foto. Dialog yang sering terjadi adalah:
"Saya mau mencetak foto"
"Bisa, mana negatifnya?"
Negatif yang dimaksud adalah klise atau film negatif. Disebut film negatif karena berbalikan dengan gambar fotonya, bila di foto hasilnya hitam maka di filmnya putih, demikian sebaliknya. Semua foto bisa dicetak asalkan ada negatifnya.
Itu sudah jadul, kini di jaman digital sudah tidak perlu pakai klise lagi, tinggal mencetak dari file digital. Tapi apa benar begitu? Bukankah masih banyak kenangan yang terekam karena ada sisi negatifnya? Masih banyak nama orang yang terekam dan teringat di benak hanya karena hal-hal negatif yang berkaitan dengannya. Ayat diatas mengajak untuk menggantikan semua yang negatif itu dengan semua yang positif.
Mari kita gantikan semua pikiran dan ingatan negatif kita dengan semua yang positif tentang sesama dan kenangan kita. Bukan hanya karena ini sudah jaman digital, tapi pasti karena Tuhan yang menghendakinya demikian.
17 November 2010
Kalau Nanti Saya Sudah Tua
01 November 2010
Dua Produk
23 Oktober 2010
Di Sana Ada Buah Lepiu
11 Oktober 2010
Tidak Takut Mati?
Membicarakan perihal kematian di hari ulang tahun bagi banyak orang adalah hal yang tabu, tapi kalau kematian itu sesuatu yang diluar kekuasaan kita, apa yang bisa kita lakukan untuk mempengaruhinya? Kita cuma bisa menyiapkan sikap dalam menghadapinya.
Dulu, waktu saya berusia belasan tahun, di suatu acara persekutuan doa pemuda remaja, Pak Pendeta Timotius Istanto meminta yang hadir untuk menuliskan apa yang akan kita lakukan kalau kita tahu bahwa umur kita hanya kurang seminggu saja. Semua orang menuliskannya di selembar kertas dan kemudian oleh beliau itu bacakan dan diulas bersama.
Hampir kesemuanya bernada sama, mereka semua menulis bahwa akan berbuat baik dalam berbagai bentuknya. Tulisan saya tidak juga dibacakan. Sampai terakhir, Pak Tim bilang,"Ini akan saya bacakan pendapat yang paling jelek, -Saya tidak akan melakukan apa-apa-". Karena kertas itu tidak diberi nama, maka tidak ada yang tahu siapa penulisnya. Banyak yang tertawa. Banyak yang mengganggap penulisnya tidak serius dan asal menulis tanpa berpikir, makanya menurut Pak Tim itu adalah pendapat yang paling jelek. Itu adalah tulisan saya.
Saya menulisnya dengan serius dan penuh kesadaran. Saya menganggap kenapa saya harus munafik dengan berbuat baik bila akan mati? Mengapa saya tidak jadi orang jahat saja? Apa hanya karena saya akan mati? Kalau saya tidak mau jadi jahat, dan saya memilih jadi orang baik bukankah itu pilihan hidup saya, bukan atas ketakutan akan kematian? Pikiran itu yang ada di benak saya saat itu. Kematian bukanlah hal yang menakutkan bagi saya saat itu. Dulu Papa saya menjelaskan soal kematian Mama saya dengan bilang ,"Saat ini di Sorga sedang ada pesta untuk menyambut Mama."
Tapi itu dulu, waktu saya masih remaja dan tidak punya apa-apa. Kini, meskipun belum juga kaya, saya sudah merasa mulai punya beberapa harta. Ada harta yang "ternilai" ada juga harta yang "tak ternilai". Ada yang bisa dihitung nilai uangnya (seperti yang saya laporkan di laporan tahunan pajak saya) dan ada juga harta yang tak ternilai. Harta yang berupa lingkungan ataupun orang-orang yang mengasihi dan saya kasihi. Rasanya harta yang tak teruangkan ini yang paling banyak saya punyai. Ada istri, ada anak-anak, ada teman dan rekan seperti anda, ada juga "musuh" yang penuh perhatian mengintai saya setiap saat. Semuanya ini menjadi sesuatu yang tak ternilai yang membuat hari-hari saya menjadi begitu indah. Hari-hari saya indah karena ada anda semua. Dan itulah harta yang saya miliki. Dengan berlalunya waktu dan usia, makin menumpuklah harta-harta saya.
Di hari ulang tahun ini, saat saya merefleksikan ulang sikap saya, masihkah tidak takut mati? Rasanya bukan ketakutan akan kematian yang sering membayang dibenak saya, tetapi apa saya berani berpisah dengan semua harta-harta saya? Dimana harta saya berada, disitu ada hati saya. Apapun alasannya, bisa jadi saat ini saya mulai takut mati. Takut karena hati ini sudah makin terikat pada harta-harta itu. Semoga Tuhan tetap senantiasa berkenan memberikan pencerahan di usia dan "harta" yang makin bertambah ini.
04 Oktober 2010
Melihat Namun Tak Melihat
.....kamu akan melihat dan melihat, namun tidak menanggap (Roma 28:26)
Sudah berhari-hari saya berdoa memohon mujizat Tuhan. Barang itu sudah saya cari berhari-hari. Di bengkel, di rumah, di mobil, belum juga ketemu. Rasanya hanya mujizat Tuhan yang bisa menemukan barang itu. Barang itu adalah contoh pekerjaan bengkel yang diserahkan ke saya. Tak pernah satu kalipun saya menghilangkan barang contoh. Itu hal yang tabu. Tapi kali ini kenapa bisa hilang? Sudah cukup lama barang itu diserahkan ke saya. Saya sudah agak lupa bentuknya. Pemiliknya bilang bentuknya seperti mata rantai yang bisa dirangkai. Saya berusaha mengingatnya walaupun agak sulit. Tapi di benak saya langsung tergambar sebuah mata rantai yang bisa dibongkar pasang. Yah, bentuknya pasti mirip huruf C.
Pagi itu pemilik barang kembali menelpon untuk memintanya kembali, nadanya sudah sangat ingin marah. Saya masuk ke gudang lagi meminta sekretaris saya meneliti semua kotak dan rak. Dia bilang, "Sudah dan tidak ada, Pak." Saat itu, mata saya tertuju pada barang yang ada di rak, di depan mata saya, saya pegang barang itu. Nah, ini barang itu. Ketemu! "Lho, ini koq bisa disini?" "Pak, itu memang sudah dari dulu disana." "Tapi koq kamu bilang tidak ada?" "Bapak khan bilang bentuknya kayak huruf C, itu bentuknya kotak." Yah, sayapun sudah berkali-kali melihat ke rak itu. Tapi saya tidak pernah menyangka bahwa itu barang yang saya cari, sebab saya juga selalu mencari barang yang bentuknya seperti huruf C. Saya salah membayangkan bentuk barang yang hendak saya cari. Syukurlah itu cuma barang, bagaimana jadinya kalau itu hal yang lebih penting lagi?
Saya telah hanya melihat apa yang ingin saya lihat dan mengabaikan yang lain. Di benak ini sudah ada filter yang akan memilah semua informasi yang akan masuk ke otak. Bagaimana bila filter itu yang salah dan malah menghalangi informasi yang seharusnya diterima? Kebenaran dan kesucian filter itulah yang harus selalu dijaga. Kehadiran Firman Tuhan dan Roh Kudus akan berkuasa mengisi dan menjaga filter ini. Tuhan hadirlah selalu di benak ini.
Mujizat telah terjadi saat Tuhan membetulkan "filter" di benak saya dengan yang murni yang dari padaNYA.
Dia Koq Marah?
Sampai suatu saat saya menemukan solusi atas masalah ini. Cara untuk sekedar mengkompensasi biaya saat mengunjungi pameran itu. Saya membawa juga brosur produk saya, saya akan bagikan di pameran itu. Saya yakin di pameran itu hadir juga banyak calon pelanggan saya. Saya bisa mencari pelanggan di pameran itu juga. Saya bisa membagikan brosur di sana, tapi saya bukan peserta pameran. Saya tidak punya stand. Biaya sewa stand di pameran seperti ini bisa mencapai puluhan juta rupiah. Nah, saya yang harus cari cara bagaimana bisa membagi brosur tanpa ditangkap petugas sekuritinya. Ini butuh strategi khusus. Dengan membagi brosur itu, perasaan saya lebih tenang. Bila dapat satu pelanggan saja, saya yakin biaya yang dikeluarkan sudah pasti dapat tergantikan. Yang ada bagaimana saya bisa membagi brosur dengan aman dan elegan.
Hari itu saya hadir di pameran lagi. Di ransel saya sudah ada beberapa puluh brosur siap bagi. Hari itu hari pertama pameran. Biasanya kita tidak boleh masuk sebelum upacara pembukaannya selesai. Acara pembukaannya agak terlambat, mungkin ada pejabat yang belum datang. Pengunjung sudah boleh masuk. Saya berkeliling, melihat produk dan mencari jalan membagi brosur. Ternyata ada stand yang dijaga oleh 2 orang alumni ITS, yang seorang adik kelas saya. Ting! Ini peluang saya. Saya mengobrol di stand itu, sambil berlagak sok kenal dan sok akrab sampai kemudian saya yakin bisa mendapat ijin untuk mendompleng di sana membagi brosur saya. Saya cukup tahu diri untuk tidak meletakkan brosur di stand mereka, bagi saya cukup boleh berdiri di depan stand mereka dan bisa mencegat pengunjung yang lewat. Seakan-akan saya juga bagian dari stand itu.
Pameran tidak terlalu ramai. Memang ada beberapa orang yang sudah saya beri brosur. Sampai kemudian ada seorang Bapak yang cukup tambun masuk ke stand itu, berbincang dengan dua rekan tadi. Terasa mereka ada memperbincangkan saya, saya ikut masuk dan mendengarkan perbincangan mereka. "Anda tidak boleh seperti itu!" Bapak itu berkata ke dua rekan itu sambil menunjuk kearah saya, saya kaget. "Saya tadi sudah lewat di depan sana, tapi anda tidak menyapa saya" bapak itu berkata pada saya. Dia mengeluarkan kartu namanya, "Saya yang mengeluarkan ijin untuk bisnis seperti ini" Memang pameran ini pameran spesifik, bisa jadi ini bidang yang menjadi wewenang beliau. Di kartu namanya saya baca jabatan dia, Kasubdin..... "Maaf pak, Maaf atas kesalahan saya," Di mulut saya minta maaf, tapi di hati saya menertawakannya. Pejabat ini gila hormat, Pamong Praja Feodal! Dia mulai berkisah lagi, "Anda jangan suka membeda-bedakan orang, itu tidak benar......." Saya mengangguk-angguk saja sambil menunduk, seakan-akan saya takut sama dia. Apanya ya yang beda dan perlu dibedakan?
Mungkin upacara pembukaan sudah selesai dan banyak pejabat yang berkeliling melihat pameran, salah satunya bapak ini. Bagi saya, tidak mungkin saya asal membagi brosur seperti SPG berok mini itu. Mereka merasa sudah bekerja kalau sudah membagi habis setumpuk brosur. Sedangkan saya tahu persis ongkos cetak brosur saya, saya akan berikan hanya ke orang yang saya rasa punya potensi membeli produk saya. Rupanya waktu Bapak itu melintas, feeling saya tidak memerintah saya untuk memberi dia brosur. Itu membuatnya tersinggung.
Siang itu saya baru sadar akan pencitraan diri yang kita bangun untuk diri kita sendiri. Saat orang merasa adalah pejabat yang harus dihormati dan disapa, beliau akan berharap semua orang melakukannya. Padahal di benak orang lain ada banyak sudut pandang yang lain. Bapak itu merasa beliau yang berwenang mengeluarkan ijin dan orang tidak dapat berbisnis bila tidak mendapat ijinnya. Dia benar. Tapi ada kebenaran lain yang setara. Bagi saya ijin bukan segalanya. Bisnis tetap bisnis, ia tetap bisa jalan dengan caranya sendiri. Jangankan ijin beliau (lha dia khan lain daerah dengan saya...), meja kerja saja saya tidak punya. Saya sering mengendalikan bisnis dengan cuma "nglempo" berlap-top di lantai kamar tidur saya. Dengan begitu saja saya sudah bisa mengatur bisnis saya dan saya tidak minder dengan itu.
Saya membeda-bedakan orang? Beda berdasarkan apa ya? Saya berpikir lama juga. Mungkin dia melihat wajah saya yang "mongoloid" ini, kemudian berpikir bahwa saya bos dari dua orang pemilik sah stand itu (yang tidak mongoloid itu). Jadi dia merasa perlu untuk "mengajari dan memarahi" saya didepan dua orang itu, untuk sekedar menunjukkan betapa berkuasanya ia. Ya.... bisa jadi begitu. Beliau yang merasa bahwa saya berbeda sehingga saya yang harus dipaksa untuk tidak membeda-bedakan. Bukankah perbedaan itu baru bisa terasa kalau kita mulai dengan pikiran bahwa kita berbeda? Sekali lagi ini masalah "mindset" dalam melihat dunia.
Ah, kenapa ya pejabat yang dibayar dengan uang rakyat masih juga minta dihormati rakyat? Bukankah yang bayar adalah Bos? Rakyat yang bayar, maka harusnya rakyat yang Bos.
29 Juni 2010
6 Topi Berpikir - 1
24 Juni 2010
Cerita tentang King Lung
Oleh-oleh dari Medaeng
08 Mei 2010
Cerita tentang Membaca Alkitab (No.2)
Bertahun-tahun sebelumnya, kalau saya bertemu dia, saya selalu menasihati dia untuk belajar dengan keras sekali. Jangan pernah puas dengan hasil cukup bagus yang sudah diterimanya. Dia harus rangking 1, karena kalaupun dia rangking satu, itupun tidak berarti apa-apa bila dibandingkan dengan pelajar yang dari Surabaya. Saya dulu lulus dengan NEM tertinggi di Bondowoso, tapi saat saya di ITS saya tahu bahwa itu tidak berarti apa-apa. Banyak anak yang jauh lebih tinggi nilainya dari saya. Saya tidak ingin pengalaman itu terulang di dia. Bertahun-tahun saya memompa semangatnya. Saya juga berusaha mencarikan jalan untuk dia. Beruntung adik saya tinggal di perumahan di seberang ITS, jadi kalau dia bisa masuk ITS berarti dia bisa menumpang di rumah itu dengan sangat dekat. Saya sudah minta "Tante" saya untuk menegosiasikan hal itu ke adik dan adik ipar saya. Mereka menyetujuinya. Jadi masalah utamanya adalah bagaimana agar dia diterima di ITS. Mutunya bagus, uang kuliahnya murah, kost-nya gratis.
Awal 2009 adalah puncak perjuangan itu. ITS membuka beberapa jalur pendaftaran. Semua jalur itu saya minta dia ikuti, kecuali jalur kemitraan yang kemungkinan diterimanya besar tapi harus membayar sekitar 35 juta. PMDK S1, PMDK D4 PENS, SMNPTN, Seleksi reguler D4 PENS. Semuanya itu diikutinya. Di samping itu ada juga masalah lain. Ada beberapa orang di gerejanya yang bersedia membiayai dia kalau dia mau sekolah teologia (Aleithea atau SAAT). Secara pribadi dia tidak menyukai tawaran itu. Dia suka bidang teknik. Dia ingin masuk ITS.
Dua jalur PMDK (seleksi masuk tanpa tes) itu, gagal dia tempuh. Bisa jadi juga karena SMA di Bondowoso memang tidak terlalu punya prestasi yang menonjol. Saya minta dia bersiap untuk ikut SMNPTN (dulu jaman saya namanya Sipenmaru). Dia bersiap untuk itu. Saat selesai tes, dia bilang kalau beberapa soal tidak dijawab, karena takut dipotong nilainya bila salah. Yang dia kerjakan hanya sekitar 80%. Saya agak kecewa dengan cerita itu. Sambil menunggu pengumuman SMNPTN, dia mengikuti seleksi masuk D4 Politeknik. Saat selesai tes dengan yakin dia bilang bahwa dia bisa mengerjakan semua soalnya. Saya senang dengan itu.
Dia sangat yakin bisa diterima di Politeknik, buku-bukunyapun sudah dipinjamkan ke adik kelasnya. Hingga suatu siang dia SMS saya, bahwa dia tidak diterima di tes itu. Dia kecewa berat. Dia merasa juga pasti tidak diterima di SNMPTN karena tesnya tidak sebisa tes untuk D4 itu. Dia bilang mau bekerja saja. Saat itu saya mulai merasa bakal ada masalah yang besar.
Saya mulai ketakutan. Saya merasa sudah melakukan kesalahan yang besar. Saya merasa sudah terlalu memompa semangatnya dan menggelembungkan harapannya. Saya takut bila harapan itu gagal dia capai, dia akan jatuh terhempas. Dia juga mulai tertekan, jemaat di gerejanya juga mulai menekan dengan memojokkan bahwa itu rencana Tuhan agar dia masuk sekolah teologia. Saya dalam kondisi yang takut juga. Takut akan dampak buruk itu. Ini sangat membebani pikiran saya.
Saat itu bacaan Alkitab saya sampai pada Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan dan Ulangan. Kepercayaan akan janji Tuhan dan kesaksian bagaimana Tuhan memimpin Umat Israel keluar dari Mesir. Terutama kisah tentang dua orang pengintai "Kaleb dan Yosua" menginspirasi saya. Sayapun hanya bisa berdoa ," Tuhan, bolehkah saya minta mujizat itu? Karena itu bukan untuk saya." Bagaimana ya? Apa saya bisa percaya akan pimpinan Tuhan?
Keraguan itu terjawab saat suatu pagi dia menelpon sambil menangis , saya awalnya berpikir negatif tentang tangis itu. " Om, Ovi diterima." Puji Tuhan, dia diterima di ITS. Semester lalu IPnya diatas tiga dan mendapat beasiswa yang tidak dia ajukan.
Sekali lagi, bacaan Alkitab itu bisa pas di pergumulan hidup saya. Seakan ada dosis dan kurikulum yang tepat yang sudah tersedia.
Beberapa saat yang lalu di Facebook saya menulis ,"Kalau dulunya cocok, apa sekarang masih bisa cocok juga ya...?" Ada yang berpikir ini ada hubungannya dengan "pasangan hidup" saya. Hahahahaha...... Tapi sesungguhnya itu berkaitan dengan bacaan-bacaan yang saya baca urut tiap harinya ini. Kalau sudah begini apa boleh saya ragu lagi?
Cerita tentang Membaca Alkitab (No.1)
Membaca Alkitab punya banyak kisah di hidup saya. Dulu saya pernah memulainya dengan panduan buku Saat Teduh. Pernah juga Renungan Harian. Kini saya membacanya tanpa tuntunan buku apa-apa. Dibaca urut dari Kejadian hingga Wahyu lalu balik ke Kejadian lagi. Sehari satu pasal. Ini diakibatkan karena saya sering lupa atau tidak sempat beli buku-buku tuntunan itu.
Saya membacanya cuma Senin sampai Sabtu, Minggu khan sudah ke gereja. Tidak juga pasti tiap hari itu saya membacanya, banyak kali saya sulit membacanya, terutama kalau hari libur. Saya sangat menikmati kesendirian, jadi kalau banyak orang atau ada orang lain di rumah, saya malah sulit berkonsentrasi. Waktu terbaik saya adalah jam 6.30 sampai jam 7.30. Saat semua sudah berangkat dan anak buah saya belum datang. Saya bisa sendiri dan konsentrasi dengan baik. Kalau pas hari libur, maka suasana yang tidak sepi itu malah mengganggu saya. Bukan karena saya malu kalau ketahuan membaca alkitab. Dulu memang perasaan itu ada, tapi sekarang saya berani koq membaca di depan rumah. Bukan untuk pamer, tapi untuk berani mengalahkan rasa malu itu.
Membaca dengan urut memang punya masalah tersediri. Pernah terpikir, bahwa bacaan itu tidak bertema dan berkurikulum jelas. Buku panduan memang sudah ter susun dengan tema dan ide yang jelas tiap periodenya. Membaca dengan urut kadang membingungkan. Bila saat itu kita sampai di kitab Bilangan, maka yang kita baca pasti membingungkan. Hanya angka dan ukuran saja. Kadang satu pasal yang kita baca cuma berisi silsilah dan nama-nama orang saja. Kita dapat apa di hari itu? Yang ada mungkin cuma kebosanan dan ketidak-mengertian.
Saya akan bercerita tentang pengalaman saya. Saya akan menulisnya dalam dua bagian, karena ada dua pengalaman hidup tentang hal ini. Dua bukan berarti hanya ada dua cerita ini saja di hidup saya. Dua untuk menunjukkan bahwa pengalaman itu tidak satu-satunya, dan kalau sudah pernah dua maka pasti akan ada kisah-kisah berikutnya di hidup ini. Semoga ini berguna.
Tahun 2007 adalah tahun "Vivere Peri Coloso" (mengutip kata Bung Karno) di hidup saya. Tahun dimana hidup itu begitu sulit dan menekan berat. Padahal tahun 2007 itu saya masuki dengan hati yang penuh semangat dan pengharapan. Di akhir tahun 2006 saya bertemu dengan seorang tua yang kaya sekali dan dia sepakat untuk membantu memodali saya. Saya suka mencari banyak hal baru yang belum sempat banyak orang lain tahu. Saya suka mempelajarinya. Saya sempat belajar suatu teknik yang saat itu saya percaya akan "boom" di tahun-tahun mendatang. Tentunya perihal perbengkelan. Topik ini kini memang benar-benar mengisi hampir semua majalah "Metalworking". Prediksi saya kini terbukti benar. Saat itu saya benar-benar senang karena dia mau membelikan mesin apa saja yang saya butuhkan. Itu memang ditepatinya.
Tahun itu saya mencurahkan semua tenaga dan daya untuk mempersiapkan bengkel itu. Semua terkonsentrasi ke sana. Praktis saya tidak terlalu memikirkan pemasukan. Saya hidup dari tabungan dengan harapan ini akan segera tergantikan bila bengkel itu jalan. Beberapa kali saya juga ke luar negeri untuk sekedar melihat-lihat proses yang ada. Berarti ada pengeluaran ekstra untuk itu. Sekitar pertengahan tahun, bengkel itu siap jalan. Mesin utama sudah terpasang. Sayapun berencana menutup beberapa usaha saya, agar saya bisa konsentrasi di sana. Beberapa teman "kongsi" sudah saya ajak bicara perihal ini.
Order pertama sudah saya dapat, tenaga kerja sudah ada. Saya minta mereka bekerja dan saya pergi ke Jakarta untuk melihat pameran perbengkelan. Sepulang dari sana saya kaget, ternyata pekerjaan itu belum selesai dan tidak dikerjakan. Saya urus hal ini. Tenyata anak buah saya tidak boleh bekerja oleh menantu pemilik modal karena dianggap order itu terlalu murah. Saya mendiskusikan hal ini dengannya. Sejak awal saya tidak ada urusan dengan dia. Semua rencana dan kesepakatan hanya antara saya dan mertuanya. Diapun bukan menantu yang dipercaya oleh mertuanya, kalau diruang itu ada dia, mertuanya selalu memberi kode untuk ganti topik pembicaraan. Dari perbincangan dengan menantu itu, terungkap kecurigaan bahwa banyak hal yang saya selewengkan. Dia mencurigai saya menerima komisi dari pembelian mesin dan peralatan yang ada. Juga dari harga pekerjaan yang masuk saya melakukan "undervalue". Saya mempersilahkan dia memeriksa langsung ke orang-orang itu, karena semua nama dan alamat ada dengan jelas. Saya memberikan jaminan bahwa saya tidak akan melakukan hal itu. Dia tidak percaya itu. Saya sadar inilah awal malapetaka itu. Saat itu saya langsung bilang bahwa saya mengundurkan diri. Tidak ada hal yang bisa dibangun bila tidak ada rasa percaya. Dia masih mendesak dengan mempertanyakan hal saham pembagian hasil yang dijanjikan ke saya. Saya tegaskan bahwa tidak perlu memberi saya hasil apa-apa kalau saya tidak bekerja. Saya tidak menuntut apa-apa, karena saya tidak pernah berpikir mencari keuntungan sesaat. Saya bercita-cita bengkel itu akan jadi bengkel besar, bukan sekedar bengkel biasa. Hari itu saya putuskan mundur.
Masalah besar itu mulai saya hadapi. Yang terdekat adalah bagaimana saya harus menyelesaikan order yang sudah saya terima. Saya berjanji Minggu sudah akan ada yang selesai, hari itu sudah Jumat. Untung ada teman yang mau membantu lembur untuk saya. Sayapun tidak punya kendaraan untuk memindahkan material besi yang ada, hampir 2 ton. Untung ada teman yang bersedia meminjamkan pick-upnya. Saya harus bolak-balik berkali-kali karena mobil itu tidak mampu bila harus mengangkutnya sekaligus.
Saya jadi berhutang ratusan juta, karena saya yang menandatangani semua kontrak pembelian mesin dan peralatan. Saya menegosiasikan ulang dengan teman-teman suplier itu. Semua mesin itu bukan di saya. Semuanya bisa diaudit sesuai dengan tagihan yang ada. Semua barang ada di bengkel yang saya tinggalkan. Untunglah mereka masih mempercayai saya.
Tekanan itu sangat berat bagi saya. Secara mental saya sangat sakit hati atas pengkhianatan ini. Secara finansial saya juga tertekan, karena tabungan saya juga sudah habis. Kondisi saya sangat buruk. Saat itu saya punya masalah dengan order dari bengkel saya yang lain (yang untung belum saya tutup). Saya harus bernegosiasi untuk masalah itu. Saat saya bernegoisiasi saya tidak dapat melakukannya dengan baik. Seorang teman memberitahu, " Masak kamu gitu saja tidak bisa, padahal kamu pernah bisa negosiasi yang lebih berat dari itu." Ya, saya pernah bernegosiasi persuasif agar seorang pelanggan mentransfer langsung (bukan dengan LC) pembayaran yang ratusan ribu USD hari itu juga. Itu pernah berhasil. Kondisi saya memang "kusut" sekali. Secara mental saya sudah mirip kertas kusut yang rapuh. Terlalu mudah untuk robek dan hancur. Terlalu sulit bagi saya untuk bisa berpikir jernih lagi.
Saat saya mau bangkit untuk kembali menata bengkel tadinya yang hendak saya tutup, anak buah saya dibajak oleh bengkel baru itu. Saya sempat bilang ke anak- buah saya itu, "Pikirkan baik-baik, karena ini cuma cara untuk menghancurkan saya." Dari banyak sisi saya tertekan, berat sekali.
Lalu apa hubungannya dengan pembacaan Alkitab itu?
Masalah itu terjadi dipertengahan 2007. Saat itu saya sampai pada kitab Mazmur. Mazmur yang 150 pasal, berarti saya membacanya dalam kurun lima bulan di tahun 2007. Saat masalah itu ada, tiap pagi saya membaca Mazmur. Dan kata-kata yang paling banyak diulang-ulang di Mazmur adalah : ".....bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setiaNya......." Topik tentang kasih setia Tuhan ada di saat saya menghadapi masalah yang berat sekali. Aneh, koq bisa pas ya....? Apa ini kebetulan saja? (bersambung)
Usia Emas
Harga sebuah kesempurnaan
Alangkah Menjengkelkannya seorang Injili dan Fundamentalis itu
Papa saya memilih menjadi seorang yang injili dan fundamentalis walau sebenarnya dia dilahirkan dalam lingkungan GKI. Beberapa tahun silam, dalam suatu buku peringatan ulang tahun GKI, saya membaca nama Kakek saya sebagai orang yang ikut dalam GKI mula-mula di Jatim. Berarti Papa saya juga besar dalam suasana GKI.
Kegemaran Papa membaca buku rohani cukup kuat, saat pertama kali dibelinya Alkitab dengan Bahasa Indonesia Sehari-hari, semuanya habis dibacanya dalam waktu seminggu. Ada suatu masa (sekitar tiga puluh tahun silam) dimana Papa getol baca buku-buku Watchman Nee, katanya itu aliran Methodist, tapi beberapa tahun kemudian sampai akhir hayatnya buku yang banyak dibacanya adalah terbitan Kalam Hidup, Yakin, STT Jaffray dan I3 Batu. Saya jarang pernah ikut membacanya, cuma kebagian cerita dan dampak sikapnya.
Sejak Mama saya meninggal, waktu itu saya berumur 11 tahun, terpaksa saya tinggal dengan nenek dan hidup dalam lingkungan GKI, pernah ada pendetanya yang berwarna 'liberal' tapi pernah juga ada pendeta yang lulusan SAAT (sekarang jadi dosen di STT Bandung), tapi itu tidak pernah terasa bedanya karena Emak/Nenek saya selalu hormat dan nurut pada "Boksu". Sekali seminggu Papa saya datang, lalu makin lama makin jarang, sampai saya lulus SMA dan kuliah di Surabaya dan saya tinggal kembali dengan Papa. Nah, inilah mulainya rasa seperti judul di atas itu terasa.
Semangat untuk menginjili orang lain, semangat yang dilandasi bahwa tiada Nama lain yang oleh karenanya kita bisa selamat selain nama Yesus, begitu menggebu! Tiap sore diputarnya radio FEBC siaran bahasa Sunda, hanya karena tetangga sebelah itu orang Sunda yang belum "diselamatkan", saya sendiri cukup stress oleh suara radio yang cukup keras yang tidak saya mengerti itu.
Suatu saat, waktu ada kelebihan cat setelah mengecat pagar, semua pot bunga yang ada di tulisi ayat-ayat alkitab, kalau sampai ada orang yang bertanya itu apa, maka dengan hafal dan cepat Papa akan menerangkannya.
Hal ini membuat saya cukup sumpek dan bingung.
Sikap dan semangatnya sering membuat saya risih, tapi semangat itu tidak pernah membuat dia menghalangi saya untuk aktif di GKI. Suatu kali ada kegiatan besar, saya ketua panitianya, saya tidak pulang malam itu, besoknya Papa menelpon ke gereja, waktu dia tahu bahwa saya ada di gereja, Papa diam saja, pasrah pada Tuhan yang dikenalnya. Saya baru pulang di hari yang ketiga, Papa malah kelihatan sangat mendukung, dan waktu Hari H, papa datang dan mengikuti acara itu, komentarnya : Itulah hebatnya GKI!
Saya tahu, Papa juga menanggung beban masalah keluarga yang berat, tapi beban itu akhirnya terselesaikan juga, hanya karena Papa selalu mendoakannya. Semangat untuk "beriman" yang lebih dari gaya GKI-saya membawa Papa mampu mengatasi masalah keluarga saya.
Suatu hari Papa mengajak berdoa tiap pagi, saya pun menurutinya walau dengan berat hati. Salah satu pokok doanya adalah mendoakan seorang saudara "yang terhilang", cukup lama dan bertahun-tahun kita telah berpisah tanpa ada kabar berita, saya tahu Papa sangat ingin bertemu dengannya. Sampai suatu pagi Papa mendapat surat kaleng yang memberitahukan bahwa "yang terhilang itu" ada di sebuah rumah sakit di Jember. Besoknya Papa ke Jember dan memang mereka bertemu. Sebuah pertemuan yang mengesankan. Doa Papa terkabul!
Papa tidak pernah tahu siapa penulis surat itu. Bisa jadi ada seseorang yang tahu tentang pergumulan Papa dan menuliskannya untuk Papa. Atau mungkin ada seorang tukang pos yang sempat "Mi'rajd" dan membawakan surat itu langsung dari Tuhan yang tentunya isinya pasti inerrancy and infallibility. Bisa mungkin juga ada seseorang yang digerakkan oleh Roh Kudus dan menuliskan ilham itu dengan segala keterbatasannya. Saat ini surat itupun tidak diketahui keberadaannya, sehingga tidak mungkin diuji keotentikannya, Tapi sebagai sebuah surat, ia telah menyelesaikan tugasnya dengan gemilang.
Mendekati akhir hayatnya, Papa sering mengeluh tidak bisa tidur, saya cuma menghibur, dengan membelikan banyak buku-buku theologi terbitan BPK yang mungkin berat-berat. Beberapa hari kemudian Papa bilang "Kalau buku Theologi terbitan BPK memang bagus-bagus". Kalimat itu menjadi kalimat "bersayap" bagi saya. Bukan sekedar basa-basi. Seakan Papa berkata: Memang orang GKI bisa menjabarkan segalanya lebih runtut dan masuk akal.
Saya juga sama jengkelnya dengan mereka yang jengkel terhadap yang injili dan fundamentalis yang ngototnya tidak runtut dan "bondo ngeyel", tapi saya salut dengan gaya 'beriman'-nya mereka.
Ada juga dari mereka yang seperti Papa yang bilang "Itulah hebatnya GKI'
Saya pun menghormati "warna" Papa dengan tidak membaptis anak saya pada waktu bayi (biarlah mereka dibaptis saat mereka secara pribadi mengaku percaya).
Semoga Papa di Surga tidak jengkel dengan tulisan ini.