Sabtu kemarin ini kami berenam berkunjung ke seorang rekan yang ditahan di Lapas Medaeng. Tjie Joung yang menjadi pencetus kegiatan ini. Rasanya ini jadi reuni lagi setelah tahun lalu kita membuat "sinetron' untuk TVRI. Suasana sudah terasa ketika kita berkumpul dan menunggu teman yang belum datang. Di samping pos satpam, acara di mulai dengan makan menu spesial GKI Dipo yang baru dan lagi favorit, Bakwan Babi! Nah, bagi yang masih di luar Surabaya, perlu diumumkan bahwa di depan gereja setiap hari ada Bakwan Babi yang mangkal. Semua bilang enak. Ini bukan bakso babi kayak jamannya Arifin dulu, ini kuahnya lumayan bening. Makanya cepetan datang ke Dipo lagi ya.... Berenam ada: Tjie Joung, Robert Harmani, Yahya Juanda, Andreas Nagaginta, Prianto dan saya.
Awalnya, acara nyaris batal, karena Yahya mendapat SMS bahwa teman kita baru periksa darah karena dia terkena sakit kuning. MR harus istirahat total dan tidak boleh dibesuk. Tapi karena salah satu diantara kita berprofesi pengacara, maka ia yang menelpon salah satu pejabat di sana untuk meminta ijin khusus. Katanya sih Ok, boleh masuk. Maka kita berangkat dengan satu mobil saja, agar bisa tetap reuni dengan meriah.
Sepanjang jalan kita berbincang, bercanda, saling mengejek, saling menggoda, ada juga yang mencoba mengenang kejadian "jadul".
"Satu hal yang sudah berubah, aku sudah meninggalkan kebiasaan 'minum-minum'ku..."
Langsung ada yang menimpali:
"Yo.... ngono, mosok gara-gara koen mlaku nabrak koco e gedung pertemuan, aku sing di celuk Pak Ben"
"Pak Ben ngomong; tolong jangan seperti itu, jangan minum-minum gitu..... Aku njawab: Ya Pak Ben, dia sudah saya beritahu kalau mau mabuk jangan di gereja, di luar sana..... Eh, Pak Ben malah ngamuk dan ngomong : Lho, walaupun di luar juga TIDAK BOLEH!"
Ada juga yang bilang, "Kita ini sudah kepala 4 semua, tapi koq guyonannya masih kayak waktu usia belasan tahun...."
"Pokoknya khan kalau sudah di depan anak-anak harus bersikap lain yo..."
ini untuk pertama kalinya saya ke Medaeng. Luas dan Besar sekali. Di pintu depan kita melapor dan lagi-lagi sang "pengacara" yang jadi pemimpin, dia yang mengurus dan mendatangi semua loket dan meja yang ada. Saat Andree mau masuk gerbang pertama, dia langsung ditolak, karena mengenakan celana 3/4, harus bercelana panjang. Tapi petugasnya bilang, "Itu sewa celana di depan sana" Di seberang Lapas itu ternyata ada persewaan celana panjang, Rp. 5.000,oo. "tapi pak, apa ada ukuran yang pas?" sambil dia memandang lingkar perutnya. "Beres, semua ukuran ada disini..." Benar, ada! Celananya lumayan bagus. Yang memakai langsung punya ide cemerlang, "Eh, yok opo nek langsung mole ae..... lumayan, limang ewu entuk celono iki..."
Melintas gerbang pertama kita diminta meninggalkan KTP dan diperiksa, HP tidak boleh dibawa masuk. Kita memang sudah meninggalkannya di mobil.Cuma sang "pengacara" yang boleh membawa HP karena dia menyebut nama seorang pejabat disana. Saat mau melewati gerbang kedua, tangan kita di stempel "SIAP", entahlah apa artinya. Yang jelas kalau sampai stempel ini hilang..... berarti kita juga siap untuk tidak bisa keluar.
Kita menunggu di teras dan tidak masuk ke area kunjungan karena di sana sangat berjubel, MR yang di panggil untuk menemui kita. Itu juga karena ada usaha dari sang pengacara. Apapun bisa diatur oleh pengacara,. Rasanya mataharipun kalau mau terbit harus tanya dulu sama pengacara. Syukurlah kita punya teman yang begini.
MR keluar dengan kulit yang tampak pucat kekuningan, dia sakit kuning. Menularkah? Saya sendiri rada-rada takut. Kita berbincang-bincang di teras itu. Dia masuk sini karena kasus pemalsuan kartu kredit. Ini yang kedua kalinya, dia sudah pernah menjalani hukuman 20 bulan. "Saya sebenarnya sudah mau mandeg deg! Tapi saya tidak tahu mau kerja apa lagi...?" Entahlah saya harus bersikap apa? Dulu kita bermain bersama di KPR. Dulu kita pelayanan bersama. Kenapa dia bisa begini? Apakah pelayanan kita dulu itu tidak berpengaruh pada bagaimana seharusnya kita hidup? Apa memang pelayanan itu jauh dari kehidupan yang sebenar-benarnya? Pemalsuan pasti butuh kepandaian, kenapa dia tidak bisa memanfaatkannya untuk yang positif? Ah, saya juga cuma bisa bengong saja. Kita pamit pulang setelah memberi bingkisan kue dan penganan buat MR.
Di perjalanan pulang kita tetap penuh canda, apa lagi beberapa teman sudah mulai gerah sama kelakuan sang pengacara. "Yo, kene sek daerah kekuasaanmu, tapi nek wis liwat CITO merono, koen tak entek no....." Bener juga kita bergantian "membantai" Sang pengacara saat mobil sudah melintasi CITO di bundaran Waru. Kita menutup acara itu dengan makan siang bersama dan balik ke gereja. Di gereja Bis Damri yang mengantar anak-anak KA dari bakti sosial sudah datang. Benar juga, di depan anak-anak itu, kita sudah harus bersikap lain lagi, meninggalkan semua kenakalan tadi. Kapan kita reunian lagi ya....?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar