28 November 2008

Cerita tentang Emak

Hari ini pas 11 tahun meninggalnya nenek saya. Saya memanggilnya Emak. Seorang wanita berkebaya yang banyak mendidik saya tentang kehidupan ini. Saya tinggal bersamanya sejak kelas 5 SD sampai lulus SMA, 8 tahun lamanya.
 
Emak sudah menjanda sejak usia sekitar 35 tahun. dengan 3 orang anak, yang terkecil, papa saya, berusia 10 tahun. Rumah asalnya saat ini jadi gudang tembakau perusahaan rokok besar ditengah-tengah jarak antara Bondowoso Jember. Rumah itu ditinggalkannya begitu saja mengungsi ke kota Bondowoso, tanpa mau mengurusi kepemilikannya lagi. Disana ia telah kehilangan semuanya, harta benda dirampok, rumah di bakar, suami ditembak mati. Terlalu pahit untuk didatanginya lagi. Untunglah, Emak mendapat bantuan 4 ekor sapi perah dan rumah untuk ditinggali. Dengan memelihara sapi perah dan menjual Susu Sapi, ia membesarkan anak-anaknya, keponakan-keponakannya juga cucu-cucunya.
 
Saya mendapat kenang-kenangan sebentuk cincin berlian dan giwang bermata permata. Mungkin harganya mahal, tapi saya tidak terlalu mengingatnya, karena memang Emak jarang memakai dan membanggakannya. Saya lebih mengingat banyak peribahasa dan ungkapan-ungkapan yang ia sampaikan. Ada yang berbahasa mandarin, Hokkian, madura dan bahasa Indonesia. Yang paling saya ingat dengan tepat pasti yang madura dan Indonesia, karena saya mampu berbahasa itu.
Banyak pelajaran berharga tentang nilai-nilai kehidupan yang saya dapatkan dari Emak.
 
Emak pernah cukup aktif di GKI Bondowoso, pernah jadi majelis di jamannya Pak Wiede Benaja, pendeta yang sangat dihormatinya. Ia pun selalu hormat pada "Boksu", begitu biasanya ia memanggil Pak Pendeta. Siapapun beliau itu. Pernah ada pendeta muda yang bermasalah dengan jemaat di Bondowoso, tapi Emak tetap menghormatinya, selalu dikiriminya susu dan buah mangga atau rambutan, tidak terpengaruh oleh gonjang-ganjing yang ada.Tentang kerohanian, Emak pernah menjelaskan tentang satu karakter (huruf) dalam aksara Cina, "Lai" yang berarti datang. Karakter ini terdiri dari 3 bagian, ditengahnya ada goresan mirip salib dan di kiri kanannya agak kebawah ada dua goresan lagi. Kalau berdiri sendiri, dua goresan itu masing-masing akan berbunyi "ren" yang berarti orang. Emak bilang, "inilah sebabnya bahwa tiap orang harus datang di bawah salib".
 
Sehari-hari dalam bermain bersama saudara, saya kadang bertengkar. Emak menasehati untuk tetap rukun. Mumpung masih kecil. Menurut Emak, justru pada saat kita masih kecil, maka kita bisa merasakan arti persaudaraan yang sebenar-benarnya. Nanti kalau kita sudah besar, kita akan punya ipar, suami atau istri saudara-saudara kita. Saat itu semuanya mungkin akan berubah. Tentang ipar-ipar itu Emak "bernubuat", "Sa te pote na kapor, gi' be'eng". Seputih-putihnya kapur (saat itu belum ada cat tembok), masih kusam (mangkak)". Benarkah nubuatan itu? Hanya kita yang bisa merasakan sejujurnya.
 
Sehari-hari saya membantu Emak berjualan susu sapi. Saya mendapat kepercayaan yang besar untuk bisa membantunya. Dia tidak pernah menyuruh kami bersaudara untuk membantunya, karena untuk membantunya kita harus bangun pagi sekali. Dia tidak pernah membangunkan saya. Saya berusaha bangun jam 3.30 kalau mau membantunya. Emak percaya juga, waktu saya minta menguruskan pajak perusahaan itu. Dari pada uangnya untuk membayar orang kantor pajak. Saya pelajari buku pedoman pajak, saya isikan SPT-nya. Waktu itu saya kelas 1 SMP. Saya antar ke kantor pajak pakai sepeda mini dan bercelana pendek.
Orang Pajaknya tanya,"Siapa yang mengisi?"  
"Saya"
"Kamu tahu, kalau sampai salah isi, dendanya besar, segini... segini..... segini..." Saya ketakutan selama berbulan-bulan, tanpa berani cerita ke Emak. Tahun-tahun berikutnya saya tetap mengisinya lagi. Sampai perusahaan itu ditutup, Emak tidak pernah punya masalah dengan pajak. Waktu saya tanya kenapa harus bayar pajak, Emak bilang, "Karena Engkong pesan, kalau mau berbisnis harus mau bayar pajak"
 
Di perusahaan susu itu, ada beberapa loper (pengantar) susu yang nakal. Uang setorannya sering tidak pas. Selalu berhutang, tambah lama hutangnya tambah besar. Saya mengusulkan untuk memecatnya saja. Emak selalu menolak, alasannya, "Baju robek bisa ditambal, tapi kalau perut lapar, mata bisa gelap". Pedoman ini selalu saya ingat dalam mengelola pekerjaan saya saat ini. Penghargaan akan kebutuhan manusia, walaupun itu karyawan kita.
 
Dalam berteman, Emak pernah bilang untuk menghindari, "Pandhen dhuri, endhe' ngaek ta' endhe' e kaek" Pandan berduri, mau mengait, tidak mau dikait. Di daun pandan itu ada duri yang menghadap ke belakang, seperti kail. Duri itu mampu mengait orang, tapi sulit untuk dikaitkan. Jangan egois.
 
Keteguhan Emak pada prinsip hidup mungkin enak untuk diceritakan, tapi harga sesungguhnya yang harus dibayarnya sungguh besar. Setelah G30S, sekolah Tionghwa di tutup. Tante saya, anak perempuan Emak satu-satunya. Tuako, begitu saya harus memanggilnya. Adalah guru di sekolah Tionghwa, dia tetap berkeinginan menjadi guru. Untuk itulah ia memohon ijin untuk kembali ke Daratan Tiongkok. Emak melarangnya. Emak sangat mencintainya dan tidak ingin berpisah darinya. Sampai suatu saat, Emak tidak dapat menolak untuk mengingkari prinsip hidupnya sendiri. Saat Tuako bilang, "Kalau Mama percaya ini bumi Tuhan dan disana juga bumi Tuhan, kenapa Ngo (saya) tidak boleh pergi?" Perkataan itu dibenarkannya, dan dilepasnya Tuako untuk pergi. Diberinya kenang-kenangan yang sangat dibanggakannya. Sebuah bros bintang emas, yang diperolehnya saat juara lomba pidato dalam rangka ulang tahun Ratu Wihelmina di kelas 5 SD. Mungkin itu kelas terakhirnya, karena Emak tidak punya ijasah, papanya melarang untuk terus bersekolah, karena ia perempuan. Bros itu dibanggakannya karena disematkan oleh Kapten Cina, pemimpin komunitas Tionghwa di Bondowoso waktu itu. Perpisahan itu, adalah pertemuan terakhir antar mereka, Mama dan anak perempuan yang dicintainya. Mereka tidak pernah saling berjumpa lagi sampai maut memisahkan mereka.
 
Saat hidup harus berprinsip, saya bersyukur saya mendapat teladan yang baik dari Emak. Teladan untuk mencari, menemukan dan mentaati prinsip hidup ini, seberapapun mahal harganya. Seperti doa yang sering saya panjatkan, saat inipun saya berdoa, "Tuhan, sampaikan salam saya untuk Emak".
(kelanjutannya.....)

27 Oktober 2008

Cerita tentang Belajar Komputer

Saya baru mengenal komputer tahun 1987, saat pertama kali kuliah di ITS. Kiranya cerita ini bisa menginspirasi banyak teman.
 
Saya dari sekolah negeri di Bondowoso, itupun masih 3 km di luar kota ke arah Situbondo. SMPP, Sekolah Menengah Persiapan Pembangunan, sebuah sekolah percobaan. Pemerintah dulu punya rencana untuk membuat SD 8 tahun dan kemudian SMPP 4 tahun. Dari sana saya masuk ITS, saya kagum dengan kampus itu, karena gedenya koq rasanya lebih gede dari kota Bondowoso. Rasanya semua ada disana, dan rasanya rugi kalau tidak memanfaatkan fasilitas yang ada. Termasuk fasilitas di Pusat Komputasi ITS. Mahasiswa boleh pakai komputer dengan tarif 400 rupiah per jam.
 
Ketika masuk ITS saya belum pernah lihat dan pegang komputer. Barang yang terlalu canggih untuk ditemukan di Bondowoso. Karena itu saya pingin bisa belajar memakainya. Saya cari buku komputer. Saya pikir belajar komputer itu mulai dari BASIC, saya baca buku itu. Tapi ternyata saya salah, saya baru tahu kalau pertama-tama harus belajar DOS. Saya belajar juga DOS, baca buku sampai lumayan ngerti. Tapi ya... cuma diangan-angan saja, karena saya juga belum pernah praktek. Saya beranikan diri untuk beli jam di PUSKOM ITS. Saya PD aja, untuk mulai praktek semua yang sudah saya baca.
 
Setelah antri dengan berdesak-desakan, saya akhirnya bisa duduk di depan komputer untuk pertama kalinya seumur hidup. Saya bawa buku untuk belajar, bawa disket DOS juga. Waktu itu disketnya 5,5 inci, gede tapi tipis. Disketnya saya masukkan, saya turunkan kunci disk drive-nya. Saya tunggu lama, kog tidak ada reaksi apa-apa. Saya memang tahu komputernya ini pasti belum nyala. Tapi masalah terbesar yaitu, di buku-buku itu tidak ada petunjuk cara menyalakan komputer. Semua yang bisa saya pencet, sudah saya pencet, tapi komputernya belum nyala juga. Mau tanya ke orang lain koq rasanya malu. Saya menunduk terus, pura-pura baca buku, sambil lirik kanan lirik kiri, siapa tahu ada yang baru datang juga. Akhirnya datang juga pengunjung baru, saya lihat terus apa yang dia lakukan. Ternyata dia menjulurkan tangan kanannya ke belakang komputer. Saya coba juga meraba-raba sisi kanan belakang komputer itu. Ooooo, ternyata disisi kanan belakang komputer itu ada tombol power yang harus dinaikkan. Ya..... ampun.... saya baru tahu. Nah, hari itu saya belajar komputer untuk pertama kalinya dengan materi utama Cara Menyalakan Komputer.
 
Hari-hari berikutnya saya rajin belajar komputer. Antri berdesak-desakan. Selalu saja ada kejadian menarik waktu antri itu. Setiap kali antri kita harus menyerahkan kartu tanda pembelian jam kita dan menandatangani daftar hadir. Setiap selesai tanda tangan selalu ada yang saya rasa aneh. Pasti orang di kanan kiri saya menoleh ke saya. Sekedar melihat saya, tidak ada kata-kata yang terlontar. Tapi mungkin saya bisa menebak yang terbersit dibenak mereka, "Tanda tangane koyok tulisan arab, tapi wong e koq cino..."
 
Beberapa bulan kemudian, Paulus memberi saya alamat temannya yang punya toko komputer, Dian Computer di Kedungdoro. Saya ke sana dan diterima sebagai Trainer Freelance. Waktu itu komputer masih XT kemudian AT, banyak orang yang belum bisa komputer, jadi kalau beli komputer akan dapat bonus training 5 Jam. Tugas saya adalah memberi kursus singkat itu, 5 jam per customer. Saya dibayar Rp. 5.000,oo per jam. Materinya terserah customernya. Biasanya DOS, Wordstar, Lotus 123, Dbase... atau apa saja sak mintanya dia. Saya tidak perlu datang ke kantor, cukup telpon alamat yang harus saya datangi dan buat janjian sendiri. Datang ke kantor hanya untuk ambil honor saja.
 
Sampai suatu saat saya dapat tugas training untuk satu perusahaan di sekitar Kapasan. Bos muda yang punya pabrik rotan besar. Saya datang dan mengajar disana. Saat itu dia mengeluh kalau tidak mengerti sama sekali tentang komputer. Lalu saya menjawab, "Tidak apa-apa, komputer itu gampang koq, saya aja tidak sekolah komputer, tapi bisa komputer." Saya merasa ingin membesarkan hatinya dengan omongan itu. Tapi besoknya saya dipanggil ke kantor dan ditegur sama bos saya. "Daniel, kamu jangan bicara begitu, orangnya marah, karena dianggap kita kirim orang yang tidak qualified." Saya sedih sekali, maksud saya ternyata ditanggapi lain. Saya walaupun belajar sendiri tapi khan saya bisa dengan tidak kalah dari yang sekolah/kursus. Masak semua harus sekolah formal dan ada ijasahnya? Tapi ini pelajaran berharga buat saya.
 
Soal Blog, saya memang pingin bisa buat website, terutama untuk promosi pekerjaan saya. Saya tetap yakin kita di Indonesia bisa menandingi kualitas bengkel di luar negeri. Kalau orang Jerman bisa buat part yang sangat presisi, saya yakin bukan orang Jermannya yang pinter, tapi alat dan program mereka yang canggih. Jadi kalau kita bisa pakai mesin yang sama canggihnya, pasti kita bisa menang sama mereka. Mereka masih harus beli software-nya, lha semua software ada bajakannya disini. Paling tidak ini "keuntungan" dari harapan saya. Tapi saya tidak punya kekuatan memaksakan alokasi waktu untuk belajar itu. Sampai Tri bilang soal blog. Saya masih juga ogah-ogahan. Sampai bulan lalu, di Kompas ada artikel soal Facebook, website untuk pertemanan. Saya coba masuk website itu dan saya search nama teman saya, Andrew Elnatan. Iseng saja. Wah..... Ketemu, ada nama itu di LA, USA. Saya lihat fotonya koq beda.... tapi saya yakin di dunia ini masak ada orang lain dengan nama itu. Dia ini teman sebangku saya sampai kelas 4 SD di YPPI sulung. Kelas 4 itu kita berpisah. Dia pindah Ke Australia, saya pindah ke Bondowoso. Hampir 30 tahun kita tidak pernah bertemu. Dan Internet mempertemukan kita lagi. Ini mujizat.
 
Kekaguman saya akan internet mendesak saya untuk bisa belajar buat blog itu. Saya benar-benar tidak tahu harus mulai dari mana. Saya coba-coba saja. Tanya ke Tri bisa menjadi jalan masuk, tapi saya orang yang sulit diajari. Saya sulit kalau mendengarkan penjelasan orang lain, saya lebih mudah belajar sendiri dari buku atau artikelnya. Tri memang banyak membantu, paling tidak akhirnya saya tahu tempat dimana dia "kulakan" ilmunya. Saya ke situs itu dan belajar sendiri. Akhirnya jadi juga. Bagi yang mau belajar masuk saja ke: ilmukomputer.com, disana banyak orang yang mau berbagi ilmu.
 
Saya yakin, tiap orang juga pasti bisa, asal mau meluangkan waktu untuk belajar. Internet ini memang luar biasa. Hal-hal yang mustahil di masa lalu kini semuanya jadi bisa.
 
Salam,
Daniel T. Hage
(kelanjutannya.....)

21 Oktober 2008

It's all about money

Semua komisi dan bidang sudah memasukkan program kerjanya. Tim program pasti bekerja keras untuk mengolahnya. Banyak masukan dan keinginan yang sudah akan dilaksanakan untuk tahun depan. Banyak "Laskar Pajang" yang katanya boleh tetap punya impian. Banyak juga "kehendak Bohir" yang harus dilakukan.
 
Saya tidak ingin mencampuri semua pihak yang sedang bekerja dan berharap. Saya hanya duduk sebagai penonton yang bisa berkomentar dengan bebas. Apa yang akan banyak kita dengar? Kondisi perekonomian global yang melesu?  Bagaimana dengan rencana pemasukan kita tahun depan? Beranikah kita berharap bahwa pemasukkan kita akan mencukupi untuk membiayai semua impian kita?
 
Seorang teman saya acap berkoar-koar,"Kita ini khan anak, kita buat saja daftar segala kebutuhan kita, lalu kita minta sama Bapa kita yang empunya jagad raya ini" "Masak Ia tidak akan mencukupkan kita?" Sebagai teman yang baik, saya menghargai dia dengan jawaban, "KCL!" Kacian Deh Lu! Idenya tidak laku! Selalu saja dia diingatkan bahwa kita sudah diberi otak sama sang Bapa. Kita harus punya hikmat untuk memikirkan dan merencanakannya. Maka jadilah kita selalu memikirkan dan merencanakan pemasukan kita.
 
Kalau kita ini perusahaan, maka perencanaan pemasukkan akan berkaitan erat dengan penjualan produk kita. Dengan proyeksi nilai penjualan kita, kita akan tahu berapa pemasukan kita. Bagaimana dengan kita? Apa produk yang kita jual dan apa usaha kita untuk meningkatkan pemasukan kita melalui pendekatan produk kita? Apakah tidak satupun yang akan kita lakukan untuk memperbesar pemasukkan kita? Kita berharap dengan pasif, tetapi kita punya target. Kita bagaikan duduk menunggu jatuhnya daun dewa ndaru di Gunung Kawi, ketika daun itu kita dapat, kita pulang dengan damai. Mengapa kita tidak mengguncang pohon itu atau memanjatnya untuk memetik daunnya? Takut kualat? Atau kita yang tidak tahu kalau kita bisa berbuat begitu?
 
Kalau kita mau berpikir dan merencanakan pemasukkan kita, mari kita definisikan produk kita sebagai gereja. Jangan terbawa untuk mendefinisikan dengan vulgar, misalnya keselamatan atau masuk surga, nanti kita bisa kena tempelak sama Martin Luther lagi. Tapi misalnya bila kebersamaan dan kekeluargaan dan misi keluarga dalam bergereja menjadi salah satu produk kita, maka kita bisa menjualnya itu ke jemaat kita. Kita  bilang ke jemaat, kita bisa menjalin keakraban dan kekeluargaan diantara kita. Kita bisa mengajak jemaat untuk membiayai program kita itu. Contohnya, saat Kopi Darat itu sebagai produk bisa didefinisikan dan dijual, maka berapa banyak dari kita yang mau membayar mahal untuk pencapaian tujuan acara itu? Kita sudah pernah melakukan dan berhasil, kita hanya perlu keberanian untuk melakukan dengan skala yang lebih besar.
 
Memikirkan dan merencanakan pemasukan kita? Benarkah itu?
Jangan-jangan yang kita lakukan bukan memikirkan dan merencanakan untuk mencukupkan segala kebutuhan kita, tetapi malah merencanakan untuk "membatasi" penerimaan kita.
 
Kalau kita memang sungkan untuk meminta pada Bapa kita, mengapa kita tidak berusaha dengan kekuatan kita (dan ini serius), seperti Yakub yang berani berkelahi melawan malaikat Tuhan. Apa jadinya kalau kita enggan berdoa tapi juga enggan "berkelahi"?
 
Berdoa atau berjuang? Bagi yang males mikir, jawabnya pasti kedua-duanya. Tapi..... jujurlah..... ini benar-benar pilihan dan keduanya benar asal serius.
 
Tulisan ini tidak bermaksud mempertentangkan doa dan usaha kita. Marilah kita melihatnya sebagai talenta yang kita punyai, bagi yang bertalenta berdoa, doakanlah kami yang berusaha. Bagi yang memang bertalenta untuk bekerja, berjuanglah karena ada kami yang selalu mendoakan anda.
 
 
Salam,
Daniel T. Hage
(kelanjutannya.....)

19 Oktober 2008

Pengintai Kita

Lagi-lagi alkisah di suatu waktu di Dipo. Dahulu kala, di KPR ada seorang Tante yang sangat menyayangi dan memperhatikan KPR, Tante Betty Kwee. Beliau selalu mendampingi KPR, mendampingi. Cuma itu yang dilakukannya, tidak pernah memaksakan kehendak ataupun usulan. Tiap rapat KPR, beliau selalu hadir. Kalau tidak bisa hadir beliau akan selalu berkata, "Daniel, Tante tidak bisa datang.... tapi nanti Tante akan masakkan." Jadinya, beliau selalu hadir. Kalau tidak orangnya.... ya paling tidak masakannya. Ada yang mau nulis tentang Tante Betty?

Hari itu, sepulang kebaktian kita kumpul di rumah Tante Betty. Ada masalah cukup "genting" saat itu. Soal tulisan Pak Robert Setio. Tulisan di warta jemaat soal karya penyelamatan Yesus. Tulisan itu idenya mirip kayak yang diungkapkan pak Widi di Acara yang lalu. Rasanya memang Pak Robert mendahului zamannya. Beberapa pemuda tidak setuju dengan tulisan itu. Kita sepakat untuk protes atas isi renungan di warta jemaat itu. Strateginya kita susun. Saya sepakat bahwa yang nulis harus pribadi-pribadi. Kita sebagai KPR tidak akan menulis surat resmi. Rasanya ada beberapa teman yang menulis surat ke majelis waktu itu.

Beberapa saat kemudian, Apa pengajuan kependetaan Pak Robert Setio. Lagi-lagi ada beberapa teman yang kurang setuju dan itu dikaitkan dengan tulisan di warta jemaat tsb. Saya ingat ada 11 rekan yang menulis surat ke majelis. Jumlah itu saya ingat, tapi nama-namanya mungkin saya lupa. Kita tetap sepakat untuk tetap kompak, walaupun tidak semua rekan setuju. 11 rekan itu diundang rapat majelis. Saya endak ikut-ikut lho.....  Sampai disini, kejadian itu tetap saya anggap biasa. Tidak ada yang aneh.

Sampai suatu saat, ada yang melaporkan bahwa 11 anak itu mendapat undangan persekutuan doa di rumah Prof. Paul Tahalele (dokter jantung ternama itu). Sampai saat ini, saya tidak tahu siapa yang membocorkan 11 nama itu dan ide siapa yang mengundang mereka ini. Kejadian ini menjadikan sesuatu yang aneh bagi saya. Saya sepakat dengan mereka bahwa saya akan hadir juga di acara tersebut.

Saya bersama beberapa teman hadir di rumah mewah itu. Di acara itu, beberapa wajah saya kenal, walaupun saya tidak tahu nama mereka satu persatu. Yang saya tahu, ada Prof. Sahetappy, ada dr. Martin Setiabudi, ada beberapa orang UK Petra. Acara pertemuan itu seperti persekutuan pada umumnya. Ada renungan. Ada pujian. Ada makan malamnya juga. Semuanya biasa, sampai kemudian pada acara setelah makan malam. Tenyata pada hadirin di arahkan untuk menandatangi penolakan akan pengesahan tata gereja GKI. Semuanya sih setuju-setuju saja, bisa jadi karena yang bicara adalah Prof. Sahetappy. Saat itu saya langsung bicara, Saya menolak acara itu karena kalau mau ditolak ya... tolong dijelaskan isinya apa? Suasana mulai penuh kasak kusuk, ternyata dimana saja sama saja. Perlu seorang yang berani ngomong. Begitu ada yang berani ngomong... mereka juga jadi berubah pikiran. Maka malam itu....acara tanda tangan itu batal. Saya juga tidak tahu bagaimana kelanjutannya. Saya tidak pernah diundang lagi.

Kejadian itu membuat saya tahu, siapa pengintai kita. Siapa musuh yang ada diantara kita. Bukan untuk memecah belah sesama orang kristen tetapi sebagai pengurus kita harus tepat dalam memetakan musuh dan kawan kita.

Ada pihak yang selalu mengintai dan bergerilya di dalam kita. Mereka yang merasa selalu benar dan merasa perlu "mempertobatkan" kita. Hingga saat ini.
(kelanjutannya.....)

Kesendirian

Ada hal yang selalu bisa saya nikmati dengan indah di hidup saya saat ini. Kesendirian dan kesunyian. Saya sangat bisa menikmatinya dan memanfaatkannya.

Saya bangun sekitar jam 5 an, setelah itu saya sibuk menyiapkan bekal untuk kedua anak saya, Sylvie sudah bangun jam 4.30an dia mencuci beras lalu menyalakan rice-cooker kemudian ditinggal ke pasar. Saya dirumah, menyiapkan minum dan tas bekal anak saya. Setelah itu membangunkan mereka, menyuruh mereka mandi, pakai seragam dan sarapan. Kadang mereka makan nasi, kadang roti, kadang rotinya di panggang, kadang cuma minum cereal atau susu atau milo. Saya menikmati hal itu, karena cuma itu yang bisa saya lakukan dengan rutin untuk anak saya, juga karena sehari-hari saya balik kerumah sudah cukup malam. Dulu nenek saya melakukan hal ini juga bagi saya dan saudara-saudara saya.

Sampai sekitar jam 6.15 mereka sudah harus berangkat. Saat itulah semua hal indah selalu saya nikmati. Ketika rumah sudah sepi antara jam 6.30 sampai jam 7.30 (jam dimana telpon sudah akan banyak berbunyi). Biasanya saya duduk dilantai, berdoa, baca alkitab. Saya malas kalau harus baca alkitab pakai buku panduan. Saya baca urut saja dari kejadian sampai wahyu dan terus berulang. Satu hari satu pasal saja. Syukur kalau dapet yang pendek. Kalau dapet yang mazmur 119 ya..... mau apa lagi. Syukur kalau baca yang bisa direnungkan. Kalau pas baca bilangan dan yang ada cuma ukuran-ukuran dan silsilah keluarga.... ya... endak apa-apa juga. Entah sudah berapa kali saya katam (ini kalau istilahnya muslim). Kebiasaan ini sudah berjalan mulai sekitar kelas 3 SMP. Setiap hari kecuali minggu dan pas keluar kota. Bukannya males bawa alkitab, tapi saya sendiri kehilangan kesendirian dan kesunyian saya. Setelah itu saya baca koran atau baca buku atau melamun.

Banyak penyelesaian masalah yang saya hadapi sehari-hari, diperoleh pada saat-saat itu. Dalam kesendirian itu, banyak simulasi percakapan dan diskusi dan perdebatan saya nikmati. Semuanya, dari hal yang baik sampai yang jahat. Perdebatan tentang complain customer, pengaturan penawaran, perdebatan dengan majelis....juga ada. Saat-saat itu saya mensimulasikan semua perdebatan yang mungkin terjadi. Kalau saya jawab begini, mereka akan jawab bagaimana? Kalau dijawab begitu, saya harus menjawab apa? Dalam kesendirian itu semua "flow chart" dan "road map" tercipta. Dan itu hasil yang saya ingat untuk bekal menghadapi hari-hari saya. Kerangka tulisan ini pun hadir pada saat-saat itu. Lamunan itu memang banyak menghabiskan emosi. Ada yang membuat marah, tersenyum bahkan menangis. Itulah jam-jam indah saya dalam kesendirian.

Saya punya customer pabrik rokok besar yang kalau meminta saya datang, selalu saya yang harus menunggu mereka. Mungkin ini strategi mereka untuk bisa dianggap penting. Saya tidak pernah merasa takut untuk menunggu. saya bisa baca buku, baca ebook, mendengarkan audiobook, ataupun kalau semuanya tidak memungkinkan, saya masih bisa melamun. Saya lebih senang menunggu sendirian dari pada ada orang yang menemani dan mengobrol basa-basi. Dalam lamunan saya bisa memikirkan banyak hal. Kesendirian dan kesunyian itu benar-benar bisa saya nikmati dan manfaatkan. Saya pernah mendapat order cukup besar hanya karena saya disuruh datang jam 11 siang dan baru ditemui jam 3 sore. Saat itu saya isi dengan baca buku. Mungkin bos itu kasihan liat saya......

Kesendirian dan kesunyian itu juga yang membuat saya betah di GKI. Saya lebih memilih ikut misa di kathedral dari pada ikut kebaktian di bethany. Lha, saya endak tahu bagaimana menikmati jingkrak-jingkrak itu. Kalaupun dulu saya sering ke diskotek.. ya saya cuma duduk ngobrol atau ya ngelamun saja. Selama tidak ada orang yang mengajak saya bicara, saya bisa "suppress the ambient" suasana hingar bingar itu. Kesendirian itu sungguh lebih nikmat bagi saya.

Apa benar saya terlahir begini?

Saya sangat suka berteman, banyak teman saya dan banyak yang saya lakukan bersama teman-teman. dulu waktu SMP, saya diajak ikut les. Saya sebenarnya malas,karena saya merasa nilai saya sudah cukup baik. Tapi karena di tempat lesnya ada meja pingpong dan anak yang punya rumah itu sangat "menarik", maka saya ikut les itu. Les inggris dengan buku 999. Semua ada enam buku dan kita selesaikan semuanya. Bukan lesnya yang menarik, tapi main pingpong dan "anak" itu yang membuat kita bisa selalu kompak. Menyenangkan sekali. Lesnya jam 18.30 sampai 19.30. Kita sudah datang jam 17.30 an dan pulang jam 20.15an. Pulang karena jam segitu papa dan mama si tuan rumah pulang dari tokonya yang di desa. Pulangnya saya naik becak atau jalan kaki. Saya lebih suka jalan kaki saja. Dari pecinan ke jalan bungur mungkin cuma 15 menit jalan kaki. Saya ingat, saat itulah saat yang terasa aneh. Baru saja kita bisa tertawa bersama, bicara bersama, kini semuanya terasa sepi. Hati ini terasa kosong. Waktu itu semua toko di Bondowoso waktu itu  sudah tutup jam 20.00. Jalanan gelap, belum lagi kalau pas hari itu ada pemadaman bergilir. Saat itu kesendirian  terasa aneh bagi saya. Perasaan kosong dan sepi menggantikan suasana meriah bersama teman-teman tadi.

Kejadian itu terus berulang,  Tidak ada kejadian istimewa apa-apa. Yang ada cuma saya mulai mengikuti pelayanan di gereja dan dalam suatu acara camp saya pernah menjawab tantangan untuk menerima Yesus sebagai Juru Selamat. Kemudian saya mengikuti kateksasi dan dipermandikan.Tidak ada apa-apa yang terjadi, tetapi perasaan sepi dan kosong itu benar-benar sudah tidak pernah datang lagi. Seberat apapun perasaan saya, saya tidak pernah merasa sepi dan kosong lagi.

Sebenarnya, cerita ini tidak pernah terpikir sebelumnya. Sampai pada suatu hari, beberapa tahun silam, saat anak saya mulai ikut sekolah minggu. Hari itu sepulang sekolah minggu anak saya mengulang lagu yang diajarkan oleh guru sekolah minggunya. Kira-kira bunyinya: "seperti donat, seperti donat..... hati yang tidak mengenal yesus.... ada lubang di tengahnya....."  (ada yang tahu kata-kata persisnya?)

Kini donatnya sudah jadi donatnya Jco, tengahnya buntu!

(kelanjutannya.....)

Camp Sendang Biru

Kira-kira itu tahun berapa ya? Pasti sekitar 1991-2an. Abad yang lalu. KPR dulu punya proyek desa binaan, padahal apanya yang mau membina, lha wong kita cuma segerombolan anak muda yang kumus-kumus. Dipilihnya Sendang Biru, bisa jadi karena disana desa yang mayoritas kristen, juga bisa jadi kita ikut-ikutan Pelayanan Mahasiswa (Pelma). Pelma adalah pelayanan bersama antara GKI dan GKJW, dua minggu sekali bergantian mengadakan kebaktian mahasiswa di GKI Ngagel dan GKJW Ngagel. Pembinanya Pak Abdi Widyadi (Pak Nyok) dan Pdt. Art Verburg. Mereka punya acara sosial disana, menanam pohon mangga dan penyuluhan. Saya dan beberapa teman aktif di Pelma seperti: Rahmat, Nanang, Joko Sibarani, Niske (malah dapet belahan jiwanya) , jadinya mungkin kita ketularan ikut-ikutan memilih sendang biru.

Waktu itu KPR ingin mengadakan Camp yang lain dari biasanya. Biasanya kita camp di tempat camp/retreat yang sudah ada. Semacam di penginapan, kala itu kita coba dengan hal yang laen. Kita mau berkemah. Acaranyapun beda. Saya bukan orang yang percaya pada pembinaan instan. Saya tidak pernah percaya pada camp pembinaan. Saya percaya pada camp hura-hura. Karena melalui hura-hura yang bukan huru-hara, saya pasti dapat membina hubungan. Hubungan yang akrab akan memungkinkan kita membina mereka di pertemuan rutin. Kita mulai dari camp, menangkap mangsa kemudian menjinakkannya di persekutuan doa. Strategi ini yang saya percayai.

Acara disusun oleh seksi acara, siapa ya waktu itu? Tirtaning? Sepenuhnya saya tidak terlalu ikut-ikutan disisi isi acara, saya hanya memonitor di bentuk acara. Persiapan kita cukup matang. Sampai pada seminggu menjelang acara. Kita belum dapat ijin keramaian, karena kita mau berkemahnya di lapangan desa. Tirtaning yang mengurus perijinan itu, sampai 3 hari menjelang acara, ijin dari kepolisian polres malang (yang di kepanjen) belum didapat juga. Tirta memang sudah ke sana  mengurusnya, tapi rasanya petugasnya yang tidak ada ditempat. Saya tetap pada pendirian, kita terus saja. Pertimbangan saya, jumlah kita tidak terlalu banyak, mungkin 50 an. Kita juga direstui oleh pendeta GKJW setempat, dan desa itu mayoritas kristen jadi... pasti pendeta adalah sosok yang disegani.

Seorang ibu Majelis Penghubung KPR bilang, "Daniel, Tante berdoa agar ijinnya tidak keluar!" Syukurlah ada Ibu Majelis yang Baik. Minimal dia Ibu yang baik, karena pasti dia gemetar karena 3 anak gadisnya sudah mendaftar Camp itu. Mana ada Ibu yang tega 3 anak gadisnya bakalan terlunta-lunta di desa. Jauh dari kamar dan rumah yang bersih dan teratur. Untunglah ada Tuhan yang lebih baik, Tuhan yang mampu melihat kebaikan yang hakiki. Ketulusan dan kebaikan yang ada di hati tiap Panitia Camp. Sungguh, semua panitia dan pengurus benar-benar mempersiapkan acara ini dengan baik. Sebelum berangkat ada technical meeting, peserta diberi tahu keadaan yang sebenarnya. Informasi akan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh.

Acarapun berlanjut, ketiadaan ijin keramaian dari kepolisian menjadi rahasia kita. Tidak boleh keluar, saya yang bertanggung jawab. Bukannya sok, tapi begitulah kita.

Camp inipun dimulai. Tim pionir berangkat duluan, mereka menyiapkan 3 tenda besar. Satu tenda putra, satu tenda putri dan satu tenda untuk pertemuan. Acaranya pun berjalan lancar, ada pertemuan, ada bakti sosial. Kita membangun lapangan Voli di samping gereja. Kita bekerja bersama pemuda gereja setempat. Disini kita tidak membina lewat ceramah, tapi lewat kehidupan dan aktivitas kehidupan yang sebenar-benar. Disana tidak ada WC umum yang memadai untuk kita semua. Didekat lapangan hanya ada sumber air tempat warga desa sana mandi dan mencuci. Tidak ada bangunan permanennya. Tidak ada kamar mandi berpintu dan beratap yang permanen. Di technical meeting, kita sudah tekankan bahwa tidak boleh ada yang ngintip orang mandi. Hidup kita akan menjadi sorotan orang desa sana. Sampai berita ini diturunkan, tidak ada laporan: ada yang mengintip sesamanya saat mandi. Memang ada selentingan ada seorang remaja yang berusaha untuk mengintip, memang dia berwajah "mesum" (sori, bukannya mendakwa, tapi cuma meminjam istilahnya extravaganza). Tapi rasanya itu juga masih isu.

Walaupun kita tidur bersama se tenda, tidak ada peserta yang melaporkan kehilangan harta bendanya. Cuma satu laporan kehilangan, seingat saya: Jane. Dia kehilangan arloji, tapi itupun ketinggalan saat mandi, jadi bisa juga "diamankan" oleh penduduk setempat. Rasanya peserta memang benar-benar belajar untuk bertanggung jawab bagi sesamanya. Jangan dipikir saat itu anak KPR alim-alim, kalau ketuanya aja "urakan" apa lagi gerombolannya. Tapi sekali lagi, melalui camp ini kita berlatih untuk saling menghargai dan bertanggung jawab.

Acara dan suasana berjalan dengan aman dan terkendali, kita rencananya 3 hari 2 malam. Sampai pada sore terakhir. Sore itu ada beberapa orang yang mendatangi kami, mereka mau bermain bola, karena katanya memang ada rencana pertandingan sepak bola antar desa sore itu. Karena lapangannya kita pakai untuk acara berkemah, mereka balik dengan kecewa. Celakanya, dari beberapa teman pemuda gereja sana, katanya mereka ini kecewa berat. Kemudian ada yang menyampaikan bahwa orang-orang itu marah dan akan menyerang membubarkan kita. Saya kumpulkan beberapa teman panitia. Ada Bowo, Glorius, Gandung ..... dan beberapa teman lain. Kita sepakat untuk merahasiakan hal ini. Kita juga menyusun rencana bila hal itu terjadi, rencana evakuasi peserta ke rumah Pak Pendeta. Acara malam itu talent show. Semua harus berjalan sesuai rencana. Seksi acara tetap harus melaksanakan tugas seperti tidak ada apa-apa. Berita ini tidak boleh  bocor ke peserta. Saat acara berlangsung, beberapa diantara kita berjaga-jaga. Suasana malam di desa yang gelap gulita itu mencekam kita. Kegelapan itu juga memungkinkan kita untuk bisa melihat bila ada kendaraan yang akan datang. Katanya mereka akan membuyarkan acara kita dengan datang pakai truk. Kita harus siap kalau memang mereka menyerang. Gandung memegang pisau besar yang dibawanya untuk kerja bakti. Glorius bawa palu, saya bawa kayu bakar yang cukup besar. Juga beberapa teman lainnya dengan persenjataannya. Kita sempat guyon: "Eh, kalau memang benar mereka dateng, apa kita berani memukul mereka?" Gandung bilang, "rasanya aku kog ya endak tega kalau mbacok orang...." Petang itu. sementara acara berlangsung, api unggun dan talent show, kita  berjaga-jaga dan berdoa. Benar, saya berdoa, karena kalaupun kita bawa kayu dan senjata, tapi siapakah kita dibandingkan orang desa yang kekar-kekar itu? Setiap ada sorot lampu mobil mendekat, saya was-was.

Syukurlah, sampai acara berakhir, tidak ada kejadian apa-apa. Acara camp itu sukses. Kita mampu  berlatih tentang arti kehidupan yang sebenarnya. Ketika balik ke Surabayapun, kita sepakat untuk merahasiakan kejadian ini. Kita takut menjadi bumerang untuk perijinan acara sejenis di kemudian hari.

Suatu cerita tentang bagaimana kita bisa membina lewat kegiatan yang bukan pembinaan.

(kelanjutannya.....)

Ghost Buster

Alkisah di sekitar tahun 1990-an. Saat itu berlangsung camp utk remaja, sebagai ketua KPR saya mendampingi mereka. Peserta dan panitianya adalah anak-anak SMP dan SMA kelas 1. Acaranya di Simon Petrus, Batu.

Sore itu, pada saat sessi berlangsung ada peserta yang jatuh sakit. Katanya kakinya kejang dan dia terus menerus mengerang kesakitan. Seorang teman
bilang bahwa dia memang kejang di sessi-sessi sebelumnya tapi tidak separah ini. Saya heran karena dia mengeluh kakinya kejang, tapi betisnya lemas.
Pengalaman saya, kalau orang kejang kaki pasti betisnya kaku (karena sejak SD saya rutin berenang dan sering membantu orang yang kejang di kolam renang). Saya merasa ini sesuatu yang agak lain. Saat itu ada pendeta yang sedang menunggu istrinya yang menjadi pembicara pada acara itu. Saya minta beliau untuk mendoakan anak remaja ini, dengan acuh dia bilang bawa saja kedokter. Saya tahu, pasti itu jawaban yang mungkin diberikan, tapi saya yakin penyakit ini gejalanya tidak biasa. Saya merasa mungkin ada sesuatu yang lain.

Karena pak pendeta GKI ini tidak mau mendoakan, saya ingat bahwa diseberang tempat camp ini ada III (Institut Injili Indonesia) yang salah satu dosennya
pernah menulis buku tentang okultisme, Pondsius Takaliuang. Saya dan beberapa teman kesana dan bermaksud minta bantuan dia, ternyata dia tidak ada dan waktu saya tanya di komplek perumahan itu, apa ada pendeta yang bisa membantu saya? Saya diberitahu beberapa rumah. Semua rumah itu saya datangi dan semua orang yang dimaksud tidak ada dirumah.
Saat itu Inggrid bilang: kalo cuma mau berdoa, kita sendiri pasti bisa berdoa. Perkataan ini benar-benar bermakna bagi saya saat itu. Saat itu saya langsung mengajak mereka kembali ke tempat camp itu dan mengumpulkan beberapa pengurus dan panitia (yang rata-rata SMA dan SMP) untuk berdoa bersama. Tante penjaga tempat camp tsb bersimpati dan mau berdoa bersama. Kira-kira kita 7-10 orang. Ada Cik Syeni, ada Erlen, ada Inggrid, ada siapa lagi ya......?

Kita duduk mengelilingi rekan (ada yang ingat namanya?) yang mengerang kesakitan itu. Kita berdoa berantai mohon kesembuhan bagi rekan ini. Tante penj
aga itu mengajak kita untuk menyelinginya dengan menyanyi, jadi selain berdoa kita menyanyikan lagu pujian. Sampai beberapa menit kemudian rekan yang sakit itu, bersuara seperti suara anak kecil (bukan suara yang wajar) dan berkata: "Saya mau keluar asal kamu jangan nyanyi". Saya kaget juga, tapi tante itu yang membimbing kita untuk mengatakan "tidak!". Kami terus berdoa dan menyanyi. Tawar menawar dengan suara anak kecil itu terus berlangsung dan kami selalu mengatakan "tidak!". Sampai suatu saat mata anak itu jadi jalang dan menatap saya dan berkata: "Siapa kamu?" Saya kaget tapi terus berdoa bersama..... Saya merasa ada kekuatan yang muncul disuara dan disorot mata rekan ini...... Kira-kira setelah satu jam kami berdoa dan bernyanyi, tiba-tiba anak itu bersuara melengking dan kemudian sorot matanya kembali normal dan dia tertidur. Saat itu kami yakin sesuatu sudah terjadi, kami bersyukur untuk jawaban doa kami. Rekan ini sembuh. Dan menurut penuturan dia di kemudian hari bahwa memang dia pernah dipasangi susuk oleh pamannya.

Saya tidak pernah melihat hantu atau percaya pada hal-hal gaib. Tetapi pengalaman ini membawa saya untuk percaya bahwa ada "sesuatu" yang lain itu. Dan yang menarik bahwa doa kita yang masih remaja dan awam ini mampu mengalahkan "kekuatan" itu.

Pengalaman ini benar-benar membekas dihidup saya. Pengalaman bahwa memang dilingkungan GKI hal-hal yang gaib kurang dipercaya atau diperhatikan.
Seperti sang pendeta yang tidak mau mendoakan rekan tadi. Mungkin ini memang merupakan ciri khas GKI kita. Tapi jangan lupa, kita punya Tuhan yang sama dan Dia mampu melakukan apapun.
(kelanjutannya.....)

Musuh Besar Saya

Saya mulai berdomisili lagi di Surabaya tahun 1987, selulus SMA. Saya tinggal di Kutisari, GKI yang paling dekat adalah GKI Jemursari, tetapi GKI yang paling mudah di jangkau dengan kendaraan umum adalah GKI Diponegoro. Itulah sebabnya saya ke GKI Dipo.
 
Saya tidak punya teman seorangpun di Surabaya, itulah yang membuat saya cepat bisa masuk pelayanan di GKI dipo. Saya senang bisa mendapat habitat baru di Surabaya. Banyak teman dan kegiatan yang bisa saya kenal. Saya pun diajak menjadi pengurus KPR (komisi Pemuda Remaja). Sampai suatu saat saya pernah dipercaya untuk 2 kali menjadi ketua KPR. Banyak hal indah yang pernah terjadi dan terus saya kenang. Salah satunya Judul diatas. Musuh Besar Saya. Saya menulis ini bukan untuk sesuatu yang negatif tapi bukti keindahan hubungan yang pernah terjadi di GKI Dipo yang benar-benar tiada taranya. Mengatasi segala rasa negatif yang mungkin pernah disalahtafsirkan.
 
Saya aktif di persekutuan doa KPR. Setiap sabtu sore jam 17.00 di gedung pertemuan, yang waktu itu masih jadi lapangan Badminton.Hal yang terindah mungkin bukan acara PD-nya, tapi kumpul-kumpul setelah acara itu. Kadang kita cangkruk di selasar gedung pertemuan itu. Guyonan. Tapi tidak berarti kita bisa cangkruk dengan leluasa. Karena saat PD bubar maka di balkon gedung gereja ada latihan Paduan Suara Efrata. Kita tidak tahu, apa salah kita. Tapi kita sering dimarahi oleh Derijen-nya. Katanya kita sering ribut dan mengganggu latihan mereka. Belum lagi kalau ada teman yang berani menyalakan sepeda motor dari depan gedung pertemuan, pasti gerombolan itu dimarahi. Biasanya Tjie Joung dengan Suzuki bebeknya, atau Andre Nagaginta, yang paling keras suaranya adalah RX-nya Anderson.
 
Hobi marahnya Derijen Efrata itu bukan cuma pada mereka yang cangkruk kurang kerjaan, tapi juga kalau sampai ada anak KPR yang berani mendekor gereja saat mereka latihan. Padahal mereka cuma mendekor dan mengejar waktu karena besok sudah harus siap untuk kebaktian atau acara khusus lainnya. Rasanya kalau Efrata latihan tidak boleh ada ganguan sedikitpun.
 
Saya sendiri tidak pernah sekalipun secara langsung dimarahi...... Tapi saya selalu jengkel karena merasa teman-teman itu tidak salah-salah amat.... Namanya juga anak muda.
 
Benih permusuhan itu mulai timbul dan dipupuk oleh berjalannya waktu. Ternyata senior-senior saya di KPR juga punya benih permusuhan dengan Efrata. Jadilah mereka memupuk saya juga. Saat mulai didengungkannya ide bahwa semua PS harus masuk di mugrej, saya ditekan oleh para senior dan perasaan negatif itu untuk menolak ide itu.... karena mugrej katanya identik dengan Efrata. Walaupun sebenarnya saya juga tidak tahu menahu dengan anggota Efrata yang lain.... yang saya lihat... ya....Pak Derijen Efrata itu saja... Waktu itu saya juga punya prinsip bahwa Mugrej bukan cuma harus mengurusi PS. Menurut saya Mugrej harus mengurusi semua yang berkaitan dengan musik gereja... Ya Vokal Group, Ya... group musik. Di sini Pak Derijen itu tidak sepakat dengan saya. Malah dia bilang kalau gereja itu memegang supremasi musik dunia. Dan musik itu yang nomer satu ya... Paduan suara, bukan VG. Malahan dia agak memandang rendah PS KPR yang biasanya nyanyi dengan minus one (kayak karaoke-an). Saya sempat bilang kalau tugas gereja itu tidak ada hubungannya dengan memegang supremasi musik..... Saat itulah saya mulai kumat sombongnya. Karena saya merasa dia cuma bisa marah tapi tidak kuat di konsep.
 
Waktu terus berjalan dan rasanya selalu ada sekat antara KPR dan Efrata. Sampai suatu saat saya mendatangi Pak Budi Arlianto secara pribadi di bangku depan di dekat meja tempat sampul persembahan bulanan. Saya bilang apa yang  bisa saya lakukan untuk mencairkan hubungan yang ada... Di jawab:.... Lho... khan tidak ada masalah apa-apa... Ya...saya sendiri tidak bisa melanjutkan diskusi itu. Saya tidak tahu bagaimana cara memecahkan kebuntuan yang ada.
 
Bertahun-tahun kemudian saya mulai jarang melihat Pak Budi, tapi benih itu sudah kadung tumbuh di hati saya. Tumbuh bagaikan ilalang bersama gandum kayak kotbah pak Josafat minggu yang lalu. Waktu jadi operator LCD, saya sering jengkel sama Efrata. Bisa jadi karena sudah ada benih itu. Efrata sering memberikan file teks lagu yang akan dinyanyikan beberapa menit sebelum kebaktian dimulai. Tapi karena yang memberikan flash disk seorang anak muda.... ya... saya endak berani nylatu dia. Bukan takut sama orang tuanya (ampun pakk ampuuunn) .... tapi saya takut menularkan permusuhan ini ke generasi berikutnya. Biarlah saya dan generasi ortunya yang bermasalah.... Suatu saat, waktu saya tugas operator, ada seorang muda sebaya saya, berseragam bagus, dan nitip flash disk untuk minta ditayangkan saat mereka menyanyi. Saat itu saya langsung berpikir bahwa dia ini antek-antek Efrata, nah ini kesempatan marah! Langsung saya bilang, " lho pak, harusnya khan sudah diserahkan hari Rabu. Bukan sekarang!" Bapak itu sabar dan bilang maaf, saya pun menyisipkan tayangan itu. Saat ditayangkan, baru saya tahu kalau mereka dari GKI Ressud bukan Efrata. Wah, saya merasa sangat bersalah dan langsung turun minta maaf sama Bapak itu.
 
Beberapa bulan yang lalu  saat saya selesai pelayanan Beasiswa, saya iseng melongok ke dalam gereja. Ada pemandangan yang mengejutkan: Pak Budi Arlianto melatih PS Pemuda Remaja. Ah, rasanya saat itu saya langsung ingat akan penggenapan nubuatan Yesaya: Serigala akan tinggal bersama domba dan macan tutul akan berbaring di samping kambing. Anak lembu dan anak singa akan makan rumput bersama-sama......... GILBEN! Gila bener! Saya berpikir syukurlah.... jaman sudah berubah, perasaan sayapun juga sudah waktunya berubah.
 
Beberapa saat lalu saya hadir di  penghiburan bagi Keluarga Almarhum Bp. John Ekasuryantara di GKI Pondok Tjandra bersama Mama Mertua saya. Mama Mertua saya adalah teman semenjak SMA dengan Pak John dan Bu Wieke. Mereka sangat akrab jadi saya mengantar Mama Mertua ke acara itu. Kita duduk di bangku kedua dari depan. Dan Pak Budi Arlianto pas duduk di depan saya. Mama Mertua saya bilang, " rasanya koq kenal orang ini (maksudnya Pak Budi)". Saya bilang: "ya... katanya sih anaknya Pendeta di Bondowoso..." "Siapa?" "Ya, Mama tanyako dewe." Mungkin saya memang bukan mantu yang baik. Untunglah kemudian datang Pak Simon duduk di sebelah Pak Budi. Pak Simon yang memperkenalkan, " Ini lho orang Bondowoso!" Lalu terjadilah perbincangan antara pak Budi dan Mama Mertua saya. Dan ternyata mereka memang saling mengenal karena Pak Budi pernah tinggal di Bondowoso. Perbincangan terus berjalan sampai Pak Budi berkata:"Teman di Bondowoso yang masih saya ingat yaitu: Hwie Gie". Mama mertua saya langsung bilang; "Lha ini lho anaknya...." sambil menunjuk saya.
Ah, GILBEN lagi! Gila bener! Kalau saja dari dulu saya tahu Pak Budi teman almarhum Papa saya, mana berani saya punya perasaan yang aneh-aneh tentang dia.
 
Sejak saat itu, beberapa kali saya bertemu Pak Budi. Saya menyapanya, rasanya dia membalas sapaan saya dengan senyum yang sangat indah. Bisa jadi senyumnya tetap sama seperti tahun-tahun yang lalu, tapi mungkin format hati saya yang sudah berubah.......(makanya perlu defragmented...)
 
Salam hormat saya buat Pak Budi Arlianto.
 
Ampunilah saya,
Daniel T. Hage
(kelanjutannya.....)

Kail dan Ikan

Kail dan Ikan sering menjadi pertanyaan saat kita di gereja berdiskusi perihal program kerja bagi masyarakat.
 
Ikan sebagai lambang dari pemberian yang cuma kado dan yang akan habis dengan berjalannya waktu, pemberian yang siap pakai.
Kail sebagai lambang bagi pemberian yang tidak memanjakan si penerima, tetapi akan membuka peluang bagi si penerima untuk mampu mencari ikan sendiri.
 
Kita harus berpikir untuk bisa memberikan kail bagi masyarakat yang akan kita layani. Kita berpikir keras agar kita berhikmat untuk bisa memilah-milah mana kail mana ikan.
 
Tapi apa betul kita harus berpikir tentang kail dan ikan? Dan mengapa kita harus berpikir kail dan ikan? Tidak adakah point pemikiran lain yang lebih penting dari pemikiran Kail dan Ikan? Benar?
 
Saat gereja berpikir tentang kegiatan bagi masyarakat, apa yang ada di benak kita? Hanya dengan memberi? Hal yang penting kalau kita memang berminat dengan masyarakat kita, terutama yang miskin adalah apakah kita mau menjadi sesama bagi mereka? Gereja harus bisa menjadi sesama bagi mereka. Gereja harus membuka diri untuk bisa menerima mereka di dalam gereja. Ketika mereka masuk ke dalam gereja, disana mereka akan menemukan dengan sendirinya. Mereka bisa menemukan kail sekaligus ikan di dalam gereja. Yang jelas ikan dan kail itu akan langsung mereka rasakan.....
 
Bisa jadi kita memang harus berpikir tentang ikan dan kail, karena kita memang hanya mau memberi untuk mereka. Memberi dan bukannya menerima mereka untuk menjadi bagian kita. Kita seakan-akan sudah membangun tembok antara gereja dan masyarakat miskin itu. Dan saat gereja terpanggil untuk melayani masyarakat miskin maka yang terpikir adalah apa yang bisa kita lemparkan keluar tembok, kail atau ikan. Bukannya kita berpikir bagaimana meruntuhkan tembok itu.
 
Semakin seru perdebatan kail dan ikan, akan semakin bermanfaat bagi gereja. Karena gereja memerlukan itu untuk menghilangan perasaan bersalahnya pada masyarakat miskin. Gereja merasa bersalah karena katanya gereja harus berpihak pada orang miskin, tapi gereja terlalu suci dan bersih untuk bisa hidup bersama mereka. Gereja memerlukan program yang mirip politik etisnya penjajah Belanda dulu.
 
Yang dibutuhkan masyarakat adalah penerimaan gereja akan mereka. Tidak perlu kail tidak perlu ikan. Karena saat mereka di dalam gereja mereka bisa menemukan ikan dan kail sekaligus.
 
Kita akan berbantahan dengan berkata apa benar gereja membangun tembok terhadap masyarakat miskin. Bisa jadi saya yang mengada-ada. Tapi apa benar kita bisa bangga kalau kebaktian minggu kita bertambah penuh, tapi tambahannya adalah jemaat yang berbaju lusuh? Bisa menerimakah kita kalau ada komisi yang didominasi anak-anak miskin dan disana juga ada anak-anak kita?
 
Saat kita berbicara tentang masyarakat miskin..... yang penting adalah..... siapa mereka bagi kita? Obyek? Sesama? atau bukan apa-apa?
 
Masih mau kail atau ikan?
(kelanjutannya.....)

Cerita Tentang Lawan Melawan

Sikap Lawan Melawan seakan banyak mewarnai hidup saya. Mungkin ini anugerah
atau nasib saya. Tubuh saya yang tinggi, suara yang keras, sorot mata yang
tajam (untuk ini anak saya sering protes, "kalau papa ngomong jangan
mendelik-mendelik gitu") membuat saya punya modal dasar untuk menggertak
orang (apalagi kalau digabung dengan bahasa madura saya). Saya anak
laki-laki tertua dari 4 bersaudara yang yatim. Saya selalu harus bisa tampil
membela saudara-saudara saya. Mungkin ini modal dasar saya. Tapi apa iya
begitu?

Saya menyukai matematika. Karena kalau ulangan saya tidak perlu belajar.
Yang penting saya bisa prinsipnya, saya pasti bisa mengerjakan apapun
soalnya. Yang saya sukai prisip. Saya bisa lebih sederhana mengingat
sesuatu, menyelesaikan sesuatu bila saya sanggup memegang prinsip yang ada.
Prinsip atau konsep sering menjadi pertanyaan awal dan selanjutnya menjadi
acuan kerja berikutnya. Juga dalam pelayanan. Banyak prinsip yang membawa
saya harus masuk dalam suasana Lawan Melawan. Sekarang memang ada istilah
Win-Win Solutions, tapi untuk mencari Win-pun kita harus punya prinsip. Itu
prinsip saya.

Siapa lawan saya? Agar sedikit update, saya akan cerita tentang pelayanan
yang saat ini, di Komisi Beasiswa.

Saat masuk di Komisi Beasiswa, saya baru tahu kalau banyak sentuhan harus
dilakukan. Kita melayani masyarakat yang kurang beruntung. Mereka dari
kalangan bawah, kita bisa kasihan sama mereka, tapi jangan lupa juga, mereka
juga banyak nakalnya. Saat syarat untuk mengambil uang minggu itu adalah
mengumpulkan fotokopi raport, ada anak yang bilang ke ayahnya, " Lho, Pak,
lali ngowo raport". Ayahnya menjawab, " Yo ngomong ae guru e loro (maksudnya
sakit bukan dua lho...)!" Saat urutan dia, diapun mengatakan begitu. Anak
yang baik sama orang tuanya. Bulan depannya saya ungkapkan kasus itu didepan
acara pertemuan rutin. Saya tidak menyebut nama anak itu, tapi anak dan
Bapak itu ada. Yang mau saya lawan adalah penipuan itu. Saya bilang,
"kalaupun memang lupa, kenapa tidak bilang lupa saja?" "ya... bisa tidak
diberi uang lah....." "Ya... kalau itupun terjadi ya... itu
konsekwensinya.... hidup ini memang kejam". " Masak gitu aja takut?".

Belum lagi kalau ada orang tua yang datang bilang kalau anaknya sakit
lah.... ikut tryout lah...... ikut tanding basket lah..... Orang tuanya
bilang, "pak, anak saya tidak bisa datang." Saya selalu menjawab, "Ya..
tidak apa-apa bu... pak..." Biasanya mereka akan melanjutkan dengan omongan,
"jadi nanti bisa saya yang ngambil uang nya...." Saya selalu siap jawaban, "
Ya... tidak bisa lah... khan peraturannya sudah gitu". "tapi saya butuh uang
itu...." "ya ibu khan memang harus memilih penting yang mana..... kalau main
basket lebih penting dari uang itu... ya main basket saja, khan uangnya bisa
bulan depan" Prinsip yang hendak saya sampaikan bahwa: hidup memang harus
memilih, dan mereka harus berlatih memilih.

Belum lagi kalau ada orang tua yang bilang: "Pak, bulan depan anak saya
tidak bisa datang bagaimana pak?" "ya... tidak apa-apa...." "Uangnya...?"
"Ya... kalau menurut ibu bagaimana saya njawabnya....." "Pak, masak tidak
ada dispensasi?" "ya... kalau yang menghadap saya semua ibu-ibu itu.... lha
saya mesti njawab apa...?" Saya selalu menjawab semua perbincangan itu
sambil senyum-senyum saja.

Satu prinsip yang hendak saya tegakkan adalah bagaimana kita menegur mereka
tanpa menyinggung perasaan mereka. Mereka adalah orang yang mudah
tersinggung juga. Mereka juga manusia yang punya harga diri. Sikap mereka
harus kita lawan, tapi kita harus mengasihi dan menghormati dan menghargai
mereka sebagai manusia juga. Sekarang ini pertanyaan-pertanyaan seperti itu
sudah jarang muncul lagi. Pasti mereka sudah bisa menebak jawaban saya.

Itu kalau orang "kecil", bagaimana dengan orang "kuat"....?
Suatu waktu beberapa tahun yang lalu, saat Yahya Juanda tugas, dia mendapat
masukan bahwa ada jemaat yang mau menjadi donatur Beasiswa. Yahya memberikan
itu ke kantor gereja dan kantor gereja meneruskan itu ke saya. Saya hubungi
beliau. Saya jelaskan semua prosedur yang kita lakukan. Saya sangat berharap
ia mau menjadi donatur, karena kita sangat membutuhkan itu. Saya diminta
datang ke rumahnya jam 9 pagi. Di suatu komplek perumahan mewah. Saya datang
jam 9 kurang dikit. Dia belum datang, kata pembantunya. saya di suruh
menunggu, tapi bukan di dalam pagar. Diluar pagar, saya mengerti bahwa
mungkin prosedurnya memang begitu. Saya menunggu...... untung di seberang
rumahnya ada yang masih membangun, saya menunggu sambil berbincang-bincang
dengan mandornya, sekaligus belajar tentang cara membangun rumah. Sampai
sekitar 10.30 dia datang. 10.30! Saya ke sana lagi. Syukurlah, sekarang saya
sudah
boleh masuk rumah itu. Seorang ibu muda, dia tidak meminta maaf, malah
mengajak saya berdoa. Ya saya nurut saja.... namanya juga orang minta
sumbangan.... Dia minta saya mengulang menceritakan semua prosedur yang kita
lakukan di komisi beasiswa. Dia kurang setuju dengan proses pemberian dana
yang langsung setahun di depan, maunya dia mencicil tiap bulannya. Saya
menjawab, "ya, itu prosedur yang sudah kita sepakati dengan majelis, agar
tidak
merepotkan". Dia menjawab, "Kalau tidak mau repot ya jangan pelayanan". Saya
tidak menjawab.... , masak saya mau menjawab, " ya bu, saya akan sampaikan
ke majelis omong ibu itu". Dia juga minta saya memberikan jaminan bahwa anak
yang akan dibantunya itu belajar 5 menit sehari untuk tiap mata
pelajarannya. Saya tidak bisa memenuhi permintaan ibu itu, lha sistemnya
bagaimana? Sayapun merasa tidak perlu mengusahakan permintaan itu, karena
diapun tidak merasa perlu mendidik dirinya untuk disiplin dan meminta maaf
atas keterlambatannya. Sayapun pamit. Saya masih sering melihat dia di
kebaktian tapi tidak pernah sekalipun saya berminat untuk datang dan minta
donasi dari Beliau. Saya cuma ingat omongan Soekarno (mumpung ini lagi 17
an), "Amerika kita setrika, Inggris kita linggis, ...Go To Hell with your
aids!" Bukannya sombong, sayapun setuju dengan omongan, "orang kaya koq mau
diatur", Tapi saat mungkin tidak ada orang yang berani melawan dia. Biarlah
saya yang melawan dia.

Itu kalau menyangkut orang lain, bagaimana dengan diri saya sendiri?
Sekitar sebulan yang lalu, waktu itu dana donasi belum mencapai targetnya
yang 65 juta. Kita sudah harus segera menseleksi siswa-siswa yang akan
diterima. Semua formulir yang masuk saya bawa. SD, SMP, SMA, yang baru, yang
lama, yang terlambat. Semua sudah saya golongkan dalam map masing-masing.
Semua pengurus ikut menyeleksi, kita tentukan dulu berapa anak yang akan
kita terima, berapa yang baru, berapa yang lama. Di tumpukan itu ada 2
bersaudara yang mendaftar dan saya sudah pernah survay ke rumahnya. Rumahnya
di suatu perumahan, tapi itu pinjaman, karena rumah itu digunakan untuk
gudang. Seluruh bagian rumah dan halamannya penuh barang. Dia mungkin
tinggal di sela-sela barang-barang itu. Saat itupun saya ditemui di depan
rumahnya.
rasanya tidak mungkin duduk didalam rumah itu. Anak itu dua bersaudara,
ayahnya (katanya teman SMA dengan pak Henock) calo STNK, ibunya baru
meninggal karena kanker kandungan. Disekolah semua temannya tidak tahu dia
membawa bekal apa. Setiap ia makan, didekatkannya mulutnya dengan tas kresek
hitam yang dibawanya. Seluruh kekayannya mungkin habis untuk pengobatan
ibunya. Secara pribadi saya ingin sekali mendukung anak itu melalui program
beasiswa. Saat rapat itu saya sudah menjelaskan tentang dua anak itu.
Kakaknya sekolah di sekolah terkenal. Semua rekan akhirnya bilang kalau yang
diterima adiknya saja (yang sekolah di karangpilang), dengan alasan bahwa
kalau kakaknya ya... salahnya sendiri koq sekolah di sekolah mahal. Padahal
untuk pindah ke sekolah lain tidak mungkin karena dia sudah kelas 6. Ingin
saat itu saya ngotot. Tapi saya berusaha menahan diri. Biarlah semua rekan
yang memutuskan. Bagi saya, tidak layak untuk mencuri kemuliaan bagi diri
sendiri. Saya tidak pernah menjanjikan apapun kepada anak yang saya survay,
saya selalu bilang kalau ini uang jemaat dan bukan uang saya pribadi dan
saya cuma salah satu pengurus yang harus merundingkan semua dengan
rekan-rekan pengurus lainnya.
Kesimpulan dari rapat itu memberatkan saya, ingin rasanya saya ngotot lagi.
Tapi prinsip saya melawan saya sendiri untuk melakukan itu. Saya hanya bisa
mendoakan anak itu, semoga Tuhan membukakan jalan yang lain. Beberapa hari
kemudian, saya menjemput anak saya, saya tahu anak itu mungkin ada juga.
Saya mampir membelikan biskuit yang kira-kira anak saya suka, dengan harapan
anak itu juga suka. Saya suruh anak saya mencari anak itu dan memberikan
kantongan kresek itu. Diperjalanan pulang, anak saya bertanya alasan saya
memberikan biskuit itu. Saya cuma bisa bilang,"Saat papa seusia anak itu,
papa juga sudah tidak punya mama lagi". Walaupun di hati saya ada kekecewaan
karena tidak bisa menolongnya lebih lanjut.

Saya mendoakan anak itu karena memang saya tahu dia butuh bantuan walaupun
sedikit yang bisa diberikan. Terlalu mudah bagi saya kalau cuma mau
menyelipkan satu nama anak di daftar yang memang saya buat sendiri. Tapi
saya sudah berkomitmen untuk menghormati rekan-rekan lainnya, dan pasti
Tuhan mampu membantu dia melalui jalanNya sendiri. Sampai saat terakhir
pengumuman sebelum acara pertemuan agustus akan dilakukan, kita mendapat
lonjakan dukungan dana yang terkumpul, 90 juta-an, melebihi target, itupun
belum termasuk kalau KA menyumbang lewat hasil penjualan koran bekasnya.
Kita rapat lagi, kita sepakat untuk menaikkan jumlah sumbangan dan menambah
beberapa siswa lagi. Saya memang ingat anak itu, tapi saya tidak pernah
berkeinginan untuk ngotot lagi. Tiba-tiba Bu Warso berkata tentang anak itu.
Beliau yang menyarankan agar anak itu ditambahkan karena kita memang
mendapat dana yang berlebih dan anak itu menurutnya memang layak dibantu.
Rekan-rekan yang lain setuju. Saat itu hati saya tersentuh. Bisa jadi Tuhan
memang punya jalan sendiri. Dan yang jelas saya sudah menang melawan diri
saya sendiri. Menang untuk tidak mencuri kemuliaan dan menyalahgunakan
wewenang.

Sekian cerita saya, mungkin banyak perlawanan yang masih harus saya hadapi.
Doakan saya.

Salam,
Daniel T. Hage
(kelanjutannya.....)

11 Oktober 2008

Saya Traktir Buku

Hari ini pas saya berulangtahun. Takutnya, sebelum ayam berkokok tiga kali, sudah banyak yang menodong traktiran. Untuk itulah saya mentraktir semuanya untuk menikmati sajian ini. Bukan makanan jasmani tapi makanan elektronik. Sebab khan: manusia hidup bukan dari Nasi saja, tapi juga dari setiap keakraban dan kebersamaan yang keluar dari di milis ini.

Ini maincourse-nya:
"Buku"

Saya suka mengoleksi buku. Ini kata yang lebih jujur dan tepat. Karena kalau dulu, saya punya waktu untuk membaca buku tapi tidak punya uang untuk terus beli buku. Sekarang saya punya sedikit uang untuk beli buku tapi sudah tidak punya waktu untuk membacanya semua. Saya suka koleksi buku, sebab paling tidak itu menentram hati saya, paling tidak saya ingat judul dan pengarangnya. Juga paling tidak, kalau suatu saat saya menghadapi masalah saya selalu bisa tahu buku yang harus saya baca untuk menyelesaikannya.

Sekarang sudah ada pula e-book, ini menyenangkan saya, karena saya sekarang bisa punya banyak koleksi handbook (terutama engineering) yang kalau dulu harganya mahal sekali, sekarang bisa saya download gratis. Hal yang menyenangkan. Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana cara mencarinya. Ini yang selalu harus saya asah, kadang dari 4share, esnip, kadang dari rapidshare dan lain-lainnya. Bagaimana pula cara browsing di situs-situs yang harusnya tidak bisa di browsing itu, karena mereka hanya sebagai situs penyimpan saja. Ini yang kini mengasyikkan.

Setiap bulan saya beli buku. Saya hampir hafal judul buku-buku Engineering di toko buku besar di Surabaya, bukan saya yang hebat, tapi bukunya yang sedikit. Minimal Gramedia dan Togamas saya kunjungi dengan rutin. Dalam membeli buku saya punya kategori sederhana. Buku yang membuat saya pintar dan buku yang tidak membuat saya pandai. Saya membeli kedua jenis buku itu. Dan satu lagi kategori buku "Sampah". Ini buku yang tidak akan saya beli atau akan saya sesali setiap pembeliannya yang sudah terlanjur.

Buku yang membuat pandai adalah buku yang menyajikan keahlian, teori-teori dan dasar-dasar pemikiran yang mendasar. Membaca buku ini akan menambah kemampuan teoritis saya. Membaca buku seperti ini kadang sangat menjemukan dan melelahkan karena saya harus membaca sambil berpikir keras. Saya perlu membaca buku ini. Buku ini bisa buku engineering bisa juga buku umum. Misalnya buku tentang 4 jenis kepribadian, buku tentang cara konseling, buku cara memformat hardisk, resep masakan dll. Bagi yang suka engineering, cobalah beli buku terbitan India. Isinya bagus, harganya murah.

Saya juga punya buku yang saya anggap tidak membuat saya pandai. Buku-buku ini biasanya buku-buku motivasi. Banyak MLM yang hobi mewajibkan buku-buku seperti ini. Dengan membaca buku ini, saya tidak merasa mendapat ilmu baru. Yang saya dapatkan adalah refreshing dari nilai-nilai yang ada di dalam benak kita. Saya menjadi lebih termotivasi oleh nilai-nilai itu. Banyak buku dan seminar yang masuk dalam katagori ini. Misalnya buku Chicken soup, buku novel pramudya, buku-bukunya Amway. Juga cerita silat.

Saya membeli dua jenis buku itu karena buku motivasi adalah buku untuk memoles kita dan juga saya harus bertangggung jawab meningkatkan mutu saya sendiri. Kalau batu permata, semakin bagus dan pandai polesannya, pasti semakin indah. Tapi kalau batu kali, sebagus-bagusnya polesannya, paling-paling cuma jadi monumen logonya odol DARKIE (sekarang Darlie ya..?). Saya harus berusaha naik kelas dari batu kali terus dan terus jadi batu yang lebih mahal lagi. Kalau orang yang berhenti dengan motivasi saja, akhirnya ia bagaikan gelembung yang indah, mampu membumbung tinggi namun mudah meletus.

Ada juga buku Sampah. Buku jenis ini misalnya: Kiat menjadi kaya dalam sekejab. Sukses itu mudah, Hidup kaya mati masuk surga. Saya benci buku seperti itu, karena hampir semua yang menulis buku untuk menjadi kaya adalah bukan orang yang terkaya di dunia ini (ukurannya ya.. listnya FORBES). Bisa jadi ia jauh lebih kaya dari saya, tapi bisa jadi ia kaya karena nulis buku itu. Bukan kaya duluan baru nulis buku. Apa lagi yang mau nulis soal rahasia kesuksesan, sebagian besar bukan siapa-siapa. Paling-paling sukses mimpin "bebek". Belum tentu mantan CEO perusahaan besar itu hebat, khan saat dia masuk perusahaan itu sudah besar. Juga buku yang ditulis oleh orang yang kepribadinya tidak menarik. Contohnya: Bukunya GG (Goenarjoedi Gunawan), eh no offense ke pak Jatno (ini cuma contoh). Saya ikut milis yang cukup besar (apakabar), saya ikut duluan lalu masuk si GG ini, dari silang pendapat yang ada, dari cara dia posting ke peserta lainnya, saya tidak merasa salut dengan kepribadiannya, jadinya saya males baca apalagi beli buku dia. Memang "mutiara tetap mutiara walau keluar dari mulut anjing". Tapi kalau kita bisa mendapatkannya dari etalase toko emas tante Hanni, khan lebih enak dari pada mengambil dari mulut anjing. "Iya, Tapi khan lebih mahal?" Endak lha..... khan saya kenal Boss-nya, masak endak dapet diskon besar?

Nah, sekarang mungkin jadi baru tahu, kenapa saya sering nolak kalau diajak seminar oleh sebuah MLM yang besar. Terakhir saya diajak seminar, saya bilang:" Saya mau ke Macau, nanti saja, kalau saya menang judi, uangnya untuk ikut seminar itu". Waktu di Macau saya sayang kalau beli Coin untuk judi. Lha untuk Judi saja saya sayang apalagi untuk ikut seminar. Endak kebalik tha? Ya enggak la.... khan dua-duanya sama kategorinya: untuk Refreshing.

Kita memang harus belajar dari orang lain, untuk itu saya berusaha baca biografi dan autobiografi, bukan baca "kiat-kiat instan" yang ada. Saya kagum sama Singapore, makanya saya cari bukunya Lee Kuan Yew. Saya kagum sama India, makanya saya baca buku tentang Gandhi. Saya kagum sama China, tapi belum dapat bukunya Deng Xiao Ping.

Ada yang bilang: "Don't judge the book by its cover" kalau begitu ya : "by its price", sebab bukunya khan diplastiki, lha mau apanya lagi? Kata anak saya "by its thickness"!

Akhirnya: Maaf, dengan tidak mengurangi rasa hormat, tidak menerima ucapan selamat lewat email, karangan bunga, karangan buku, karangan tulisan dll. Semua sumbangan harus uang dan akan disalurkan ke rekening pribadi, biar bisa beli buku lebih banyak lagi. Hi hi hi hiiiiiiiii

Salam,
Daniel T. Hage
(kelanjutannya.....)

29 September 2008

Cerita tentang Kebersamaan

Sejak awal di Dipo, saya cukup tertarik dengan PS KPR. Mereka sering membuat kegiatan yang cukup besar. Sayangnya saya tidak bisa menyanyi dan sulit bagi saya untuk ikut PS. Saya hanya bisa bantu-bantu saat mereka pentas.

Banyak hal yang menarik minat saya, mereka pernah mendekorasi gereja jadi kayak mall (waktu itu Surabaya masih punya TP dan Delta), mereka pernah memindah orientasi jemaat, bukan dengan menghadap mimbar seperti sekarang, tapi kearah balkonnya PS. Terlepas dari benar salahnya tindakan itu, saya jadi tertarik dengan orang yang berani aneh-aneh itu. Ini yang membuat saya selalu ingin membantu kalau mereka punya acara. Sekedar jadi seksi sibuk mereka.

Suatu saat mereka memasang lampu sorot yang cukup banyak dan besar. Saya tidak tahu koq waktu itu tidak ada teknisi yang memasang jalur kabel powernya. Saya tertarik untuk ikut membantu pasang kabel untuk lampu-lampu itu. Dari SD saya sudah senang dengan elektronika dan listrik. Saya belajar sendiri dari buku dan teman saya yang tukang servis radio. Proyek elektronika saya yang pertama, Lampu Strobo (lampu blitz yang bisa diatur nyalanya). Papa yang membelikan kitnya di Surabaya, mungkin Papa saya suka sama lampu itu. Selama mengerjakan proyek itu, puluhan kali saya kesetrum. Mungkin proyek itu sangat berbahaya bagi pemula (papa saya pasti tidak tahu soal ini). Tapi karena itu saya jadi tidak terlalu takut sama listrik.

Lampu-lampu sorot itu, karena dayanya yang besar maka harus dipasang dengan listrik 3 fasa. Listrik 3 fasa adalah listrik yang memakai 4 buah kabel (satu kabel netral dan 3 kabel fasa yang kalau di-tespen nyala), bukan seperti listrik dirumah kita yang kabelnya dua (satu netral dan satu fasa). Saya yang menyambung kabel-kabelnya dan mengutak-atik panel utama gereja yang terletak dibelakang konsistori (sekarang jadi ruang anak). Secara pribadi saya hanya pernah membaca dari buku soal listrik 3 fasa itu. Saya memang mengerti cara perhitungannya dan cara mengukurnya secara teori. Saya tidak pernah mempraktekkan karena memang dulu saya tidak pernah punya saluran listrik 3 fasa. Saat itu saya merasa berani memasang kabel dan memodifikasi panel utama gereja itu, karena ada Arifin yang mendampingi saya. Dia memang tidak melakukan apa-apa cuma mendampingi saja. Saya yakin kalau sampai saya salah pasang, pasti dia yang akan memperingatkan saya. Saya sangat PD aja.

Sesudah pementasan kita membongkar kabel-kabel itu. Saat itulah Arifin bilang, "Daniel, untung ada kamu, kalau aku sendiri tidak berani utak-utik panel ini. Aku tidak ngerti 3 fasa itu." Saya langsung kaget, saya bilang, "lha, saya berani sebab khan ada kamu, tak pikir kamu ngerti soal ini".

Gila, cerita ini baik apa buruk ya....? Kalau dari sisi saya, saya tidak ngawur saat itu. Saya mengerti teorinya. Saya memang hanya butuh teman yang membesarkan hati saya untuk berani bertindak dan Arifin sudah melaksanakan tugasnya saat itu. Saya cuma ingat tentang kebersamaan itu. Kebersamaan yang mampu untuk saling menguatkan.

Salam,
Daniel T. Hage
(kelanjutannya.....)

Kasih

Kasih
 
Sabtu sore saya tiba di Bondowoso, tidak langsung menuju rumah, tapi cangkruk di warung amsle-nya emak mertua. Beberapa orang berbincang-bincang, topiknya mudah saya tebak, pembunuhan di Ngagel Jaya itu. Dasar kota kecil! Saya tidak terlalu minat ikutan karena memang pas capek sekali.
 
Minggu pagi saya mengantar mertua dan istri ke pasar. Saya menunggu di dekat pintu masuk pasar. Melihat banyak hal yang jarang saya lihat, tawar menawar dan salesmanship para pedagang itu sambil pula menyegarkan perbendaharaan bahasa madura saya. Pasar ini terletak dekat dengan Pecinan, tempat toko milik keluarga Januar itu. Toko 99, tidak terlalu jauh dari pintu pasar. Tidak minat dan tidak tega kalau saya harus mengulas pembunuhan itu. Tapi setelah lama saya memikirkan itu, ada hal yang menarik dengan kasus itu.
 
Ia membunuh karena kasihnya pada anak dan istrinya. Ia pasti tidak ingin melihat mereka menderita. Suami dan ayah yang baik yang tidak ingin istri dan anaknya menderita. Saya salut dan bisa memahaminya. Demi kasihnya itu, ia berani membayar dengan harga yang sangat mahal. Hanya karena kasih.
 
Tapi mengapa akhirnya masyarakat tidak bisa menerima keadaan ini? Yang salah masyarakat atau dia yang menjadi produk masyarakat itu? Saya hanya mampu merefleksikannya dengan apa yang ada dibenak saya. Lingkungan kecil saya, gereja. Apa yang gereja sudah lakukan dan bisa untuk dilakukan lagi?
 
Gereja memang selalu mendengungkan soal kasih. Apa kasih itu? Kasih yang bagaimana? Kasih itu sesuatu yang Indah. Dimana keindahan kasih itu?
Masyarakat yang Hedonis (pengejar kenikmatan hidup), membawa gereja untuk menyediakan berita penunjang gaya hidup itu. Saat masyarakat tergila-gila dengan ide kesuksesan, gereja sanggup menyediakan ajaran bahwa kita punya allah yang mau kita jadi orang sukses. Walaupun kita harus mereduksikan kesuksesan itu dengan nilai-nilai finansial. Kasih itu direduksikan menjadi kemauan untuk memberikan segala yang nikmat bagi sesama kita. Dirumah, kita terbiasa membuat anak kita tidak menangis. Bila jatuh, yang disalahkan lantainya, ada kodoknya lah. Bila minum obat, ditipu... ini permen koq, ini enak koq. Mengapa kita tidak terbiasa dengan ketidaknyamanan? Dunia ini kejam dan kita perlu menyiapkan diri menghadapi kekejaman itu. Saat jatuh, ya memang sakit, makanya perlu hati-hati. Saat minum obat, ya memang pahit dan tidak enak, tapi ini harus diminum agar sembuh.
 
Dimana letak kasih di saat ada ketidaknyamanan itu? Kasih itu ada di dalam kebersamaan kita ini. Kita siap menemani anak yang menangis karena kesakitan akibat jatuh. Saat anak itu minum obat, ada teman yang menemani. Saat ada badai keuangan menerpa kita, kita merasakan kasih saat ada teman yang menemani kita. Bisa jadi bukan berarti teman itu bisa mengutangi kita, dia sekedar menemani saat banyak teman menghilang. Itu kasih kita sebagai sesama. Kita melakukan bagian kita sebagai manusia. Biarlah Tuhan yang bekerja disisi Tuhan. Kalau Tuhan itu Maha Kuasa, Dia pasti bisa dipercaya untuk menuntun kita dan menyiapkan kita keluar dari masalah itu.
 
Keindahan kasih itu, apa bisa dilihat dengan hakiki? Tetap indah walaupun kita menderita secara finansial. Tetap indah walaupun menderita secara jasmani (sakit). Tantangan gereja untuk menyediakan kasih dengan hakiki melalui ajaran dan jemaat binaannya.
 
Bondowoso, 29 September 2008
 
Salam,
Daniel T. Hage
(kelanjutannya.....)

22 September 2008

Lha mau apa lagi?

Bisa jadi saat ini kita sudah harus mulai berpikir tentang program yang akan dibuat untuk tahun mendatang. Kita menyadari bahwa sesuatu yang baru atau inovatif itu mungkin akan dapat meningkatkan peran serta jemaat ditiap kegiatan mendatang. Tapi apa benar kita memang mau berpikir tentang program yang baru? Bukankah di tiap tahun, Tema Program Pelayanan bisa berbeda dan bertambah indah, tapi kegiatan pelayanan kita tetap sama saja. Partisipasi jemaat tetap begitu-begitu saja. Kegiatan terasa kurang ada gregetnya. Kita selalu berhadapan dengan pertanyaan: Lha mau apa lagi?

 

Kita berpikir bahwa inovasi itu milik semua komisi dan panitia di lingkungan gereja kita. Semua komisi dan panitia harus kreatif mengembangkan tema sentral yang dibuat oleh majelis jemaat. Mereka harus punya segala yang baik yang dibutuhkan dan disarankan oleh buku-buku manajemen dan pengembangan diri. Rata-rata mereka pasti sudah tahu tentang hal itu. Masalahnya apakah mereka mampu melaksanakan semua itu. Mereka pun akan bertanya: "Lha mau apa lagi?"

 

Banyak gereja diawal pembuatan program kerja tahunan hanya berhenti sampai membuat tema utama. Kemudian semua kegiatan diharapkan akan menyesuaikan dengan tema sentral itu. Kita akan bangga bahwa tema sentral itu sudah dibuat dengan indah seakan Repelita dan Pelita di jaman Suharto, sudah lengkap dan indah tinggal penjabarannya saja. Hal ini baik, tapi apa yang ada di lapangan? Partisipasi jemaat tetap tak ada perubahan yang berarti. Lha mau apa lagi?

 

Pernahkah kita mencoba memulai manajemen pelayanan kita dengan Manajemen Proyek? Kita tentukan suatu proyek yang cukup besar untuk bisa dilakukan oleh semua komisi dan lapisan jemaat di gereja kita. Suatu contoh kita akan membuat proyek: Perayaan Natal yang meriah di akhir tahun mendatang. Proyek ini bukan tujuan pelayanan kita. Proyek ini adalah alat mencapai tujuan utama pelayanan kita. Tujuan pelayanan ini kita tentukan sesuai dengan Tema Utama kita. Segenap jemaat harus berpartisipasi pada proyek ini. Yang bisa nyanyi akan mempersiapkan paduan suara atau vocal group. Yang bisa dekorasi akan mempersiapkan tata panggungnya. Yang bisa berdoa akan masuk dalam Tim Doa. Yang bisa masak akan mengisi komsumsi ditiap acara latihan dan kegiatan pendukung. Majelis akan membuat proyek ini melibatkan semua jemaat, sehingga pembinaan akan berjalan mengisi kebutuhan disana.

 

Ketika suatu kerja besar dipersiapkan pasti akan terjadi masalah, disinilah pembinaan jemaat akan berlangsung. Kita dibina untuk memaafkan dan meminta maaf, kita akan tahu untuk tidak sombong atau belajar bergaul dengan orang sombong. Proyek ini harus cukup  besar untuk bisa menampung semua lapisan jemaat. Para lanjut usia pun bisa berperan sebagai komunikator ke orang tua murid sekolah minggu. Pemuda dan remaja bisa disatukan dengan menjadi tim perlengkapan atau antar jemput latihan.

 

Proyek itu bisa juga Pelayanan Anak yang Holistik. Guru sekolah minggu akan menjadi guru pembimbing. Pemuda bisa memberikan les matematika. Ibu-ibu bisa memasak untuk program perbaikkan gizi. Jemaat yang sibuk bisa masuk ke tim doa malam. Bahkan yang tidak bisa apa-apa bisa juga dapat berkomitmen untuk datang menjadi pendamping para anak asuh. Bisa juga ada jemaat yang mau setia mempersiapkan ruang kegiatan itu dengan cuma menyapu atau mengepelnya. Terlalu sepele atau malah merendahkan? Nah, disini pembinaan akan masuk dengan konsep dan arti melayani. Melalui proyek ini segenap jemaat diharapkan bisa berpartisipasi dengan segala sifat baik dan sifat buruknya. Tim pembina kerohanian akan bertanggung jawab mengisi kebutuhan pembinaan yang ada, termasuk juga belajar untuk menyelesaikan konflik yang akan tumbuh di dalam kebersamaan itu.

 

Dengan manajemen proyek ini, dibutuhkan orang yang mau berkomitmen kuat. Disini jemaat akan belajar tentang pelayanan itu sendiri. Yang penting bukan sekedar berhenti dengan membuat Tema Utama, tetapi mari kita cari sebuah kegiatan yang bisa memayungi kita untuk mencapai tujuan utama kita. Dengan melayani, kita akhirnya bisa belajar melayani.

(kelanjutannya.....)

Kenakalan

Lahir baru bisa berarti hidup baru. Hidup dengan segala sifat baru dan meninggalkan sifat lama yang dirasakan sudah usang. Bisa jadi memang membawa beban baru. Lahir baru banyak menuntut dengan segala gambaran kebaikan yang harus kita lakukan. Beban berat untuk melakukan itu biasanya kita sadari sebagai salib yang harus kita pikul.

Ada suatu masa di hidup saya, dimana saya mengalami krisis identitas paska lahir baru itu. Beban untuk menjadi anak baik terasa begitu tidak enak dan "compatible" dengan saya. Saya anak yang suka iseng dan clometan. Saya suka buat banyak hal yang mungkin membuat keonaran. Suatu siang saya pernah diskusi dengan seorang teman ,"Eh, sekarang ini kelas lagi sepi-sepi aja, kita buat apa ya.... biar rame?" Besoknya kelas heboh karena ada seorang cewek yang terima surat cinta entah dari siapa...... Tidak ada yang tahu siapa pengirimnya.... sayapun tidak berharap dia tahu, yang saya nikmati cuma kehebohan kelas itu saja. Sayapun bisa berenang dengan semua gaya dengan baik. Saya mampu "selulup" di ujung kolam renang yang 50 meter dan muncul di ujung yang lain. Saya berlatih berenang bukan karena suka berolah raga, cuma karena merasa enak saja kalau bisa mengganggu teman di kolam renang. Saya pernah buat alat yang kalau orang berjabat tangan dengan saya dia kesetrum. Belum lagi saat ada tetangga teman saya (orang arab), hobinya menyalakan radio dengan suara keras dan lagunya irama padang pasir yang "aneh itu". Kita berpikir bagaimana caranya buat alat untuk mengganggu dia. Maka jadilah alat yang kalau dipasang...... radio dia jadi bunyi "krosok-krosok krosok ........".Lahir baru menjadikan saya harus meninggalkan kelakuan itu dan menjadi anak alim. Hal ini banyak menyiksa saya.

Sampai suatu saat saya mendengar tentang ide "Be Yourself". Menjadi diri sendiri. Ide ini menjadi begitu pas dengan saya yang capek untuk menjadi anak yang alim. Saya kemudian mengambil sikap untuk tetap jadi "anak nakal tapi bukan anak kurang ajar". Saya mulai memilah mana yang nakal dan mana yang kurang ajar. Saya pingin tetap nakal karena untuk menjadi nakal itu dibutuhkan kreatifitas dan kecerdasan, bukan kurang ajar yang konotasinya vulgar dan tidak terpelajar. Kalau ngerjai teman itu kreatif.... kalau memaki dan mengumpat itu kurang ajar..... Itulah yang kemudian saya jalani. Suasana ini menjadikan saya bisa jadi orang kristen yang tanpa beban. Walaupun batas antara kenakalan dan kekurang-ajaran itu sangat tipis.

Sekarang saya masih tetap nakal. Saya sering mengejek teman.... mencemooh dia.... melecehkan dia.... Apa saya kurang ajar?
Saya pernah satu kantor dengan seorang teman yang terlalu "lemah". Bos kita orangnya terlampau "kuat". Bos kita sering marahi dia..... menekan dia..... Padahal saya tidak pernah dibegitukan. Kalau teman ini salah, pernah dipotong gajinya..... Ah, terlalu kejam menurut saya. Saya lalu rajin menggoda dia, menggangu dia, mengejek dia. Teman ini memang sakit hati dengan saya, tapi saya tahu dia terlalu lemah untuk berani melawan saya. Kalah hawa! Hal ini berjalan berbulan-bulan, sampai suatu sore. Saat itu saya menggoda dia lagi, lalu dia mengambil helmnya dan memukulkannya ke saya. Saya menghindar tapi masih kena juga. Jari kelingking saya bengkak. Cukup sakit, tapi saya senang karena dia sudah berani melawan orang yang mengoda dia. Setelah itu dia selalu berani melawan saya. Saya senang sebab sekarang ia telah berubah. Sayapun sering melecehkan seorang teman karena kekurangannya, handycap-nya. Saya melakukannya kadang di depan teman-teman yang lain. Kelihatannya kurang ajar dan vulgar. Saya menjadikan kelemahannya menjadi bahan guyonan bersama. Mungkin ini menyakitkannya. Saya terus dan sering melakukan itu sampai hal itu sudah tidak ng"efek" lagi ke dia. Dan dia terbiasa dengan guyonan itu dan tidak minder atas kelemahan itu. Malah dia yang membalas dengan mengejek kelemahan saya.

Saya melakukan itu karena saya yakin akan suatu prinsip, "cara mengobati luka adalah dengan cara sering menyentuh luka itu". Sentuhan pertama mungkin akan membuatnya berdarah lagi, setelah kering sentuh lagi, mungkin sakit sekali tapi sudah tidak berdarah sebanyak yang lalu. Entah pada sentuhan keberapa.... luka itu sudah jadi bebal dan kebal. Sudah tidak terasa lagi kalau itu pernah luka. Menyentuh luka orang lain, berani? Tidak semudah itu! Saya berani kalau saya yakin orang itu tahu benar kredibilitas kita. Kita sudah berteman baik. Bisa jadi dia marah, tapi dia masih sungkan untuk menampar saya. Kalau tidak begitu mungkin saya sudah biru lembam, babak belur digampar banyak orang. Kredibilitas itu juga muncul saat orang lain tahu bahwa kita bukan cuma sekedar suka mengganggu tapi juga mau diganggu dan dikerjai oleh orang lain.

Suatu sore saat saya pulang kerja, anak saya menyapa, "Halo Papa si Tupai". Saya jawab "Halo..." Saya berpikir lama maksud sapaan dia itu..... Karena tidak ketemu juga, saya tanya sama dia, "lho Tupai itu maksudnya apa?" Dia menjawab, "Lha, Papa khan giginya kelihatan dua.... kayak Tupai......" Haaaaaaa? Saya semakin yakin dia memang anak saya (tidak ketukar di Rumah Sakit), sebab khan DNA-nya aja sudah sama.


Salam,
Daniel T. Hage

(kelanjutannya.....)