15 Juli 2022

Kaizen

Kaizen itu sering muncul di banyak pelajaran tentang manajemen. Khususnya di banyak perusahaan yang menaruh perhatian pada peningkatan mutu produknya. Kaizen itu adalah slogan yang ditanamkan di semua bagian dalam perusahaan itu. Dikit-dikit selalu Kaizen! Setiap hal akan diselesaikan dengan jalan Kaizen. Kaizen suka mencari masalah yang ada, Kaizen harus menemukan hal yang kurang sempurna, Kaizen harus menjadikan semuanya jadi lebih baik.

 

Dengan Kaizen, masalah akan dicari dan sengaja dibuka, tentunya untuk diselesaikan dan dicari jalan penyebab dan solusinya, agar tidak terulang lagi. Kondisi yang ada, makin hari harus makin baik. Dengan Kaizen tidak ada orang yang perlu merasa malu kalau disebutkan masalahnya, karena semua orang tidak sempurna, jadi semua orang pasti pernah salah dan semua orang perlu memikirkan penyelesaian masalah itu agar semuanya bisa jadi makin baik. Kaizen tidak memberi ruang untuk menstigma pihak pengungkap masalah dengan kesombongan, karena masalah satu bagian akan menjadi pemikiran bagi semua bagian dalam menyelesaikannya. Kaizen juga tidak memberi ruang bagi pihak yang ingin menikmati suasana tidak mau berubah. Kaizen selalu menuntut perubahan.

 

Kaizen itu Bahasa Jepang, kalau dibaca dengan lafal mandarin (dengan karakter huruf yang sama) jadinya Kaishan (Pinyin-nya: Gaishan), artinya meningkatkan mutu. Arti Kaizen sebenarnya adalah perbaikan yang berkelanjutan. Selalu saja ada hal yang bisa diperbaiki dan jadi makin sempurna. Di Kaizen musuh dari yang terbaik itu bukan yang jelek, tapi yang sudah baik. Setiap hal harus makin baik dan jadi tambah baik.

 

Kaizen itu tidak beragama. Jadi haruskah Kaizen itu tidak ada di gereja? Yang utama di Gereja itu adalah ibadahnya. Di Ibadah mingguan, selalu saja ada liturgi pengakuan dosa. Jemaat diminta mengaku dosa dan kesalahannya, bisa jadi memang yang diakui ya itu-itu saja. Dari tahun-tahun silam bisa jadi pengakuan dosanya cuma tentang sifat-sifat buruk yang itu-itu juga. Saya yang sukanya nipu, akan selalu mengaku dosa sudah menipu lagi. Saya yang sukanya tidak mau mengaku salah, ya lagi-lagi doa minta ampun  untuk itu lagi, itu lagi. Kenapa ya koq saya tidak berdoa, “Tuhan yang Maha Tahu, Tuhan khan sudah tahu kalau saya begini, kenapa koq Tuhan gak tahu sama tahu saja. Saya tidak perlu mengaku dosa ini-ini lagi. Ya Tuhan maklumi saja saya ini, Tuhan yang Maha Kasih bisa maklum dengan kondisi saya ini”. Ternyata liturgi pengakuan dosa itu tetap menuntut pengakuan dan setelah itu ada Berita Anugerah bahwa saya sudah diberi anugerah untuk bisa jadi lebih baik. Itu Kaizen di ibadah Minggu! Kaizen ada di Ibadah Minggu.

 

Kalau di luar hari Minggu Kaizen menuntut perubahan di segala aspek pelayanan, bisakah saya menolaknya? Dulu begini tidak masalah, koq sekarang ini dimasalahkan? Mengapa Kaizen itu perlu dipaksakan, ini bukan perusahaan, Coy! Semangat Protestan yang melakukan segala sesuatu dengan segenap hati seperti untuk Tuhan bukan untuk sesama, itulah Kaizen. Kalau di perusahaan saja bisa diminta melakukan yang terbaik, bisakah di gereja yang katanya untuk Tuhan itu ditumbuhkan semangat yang terbaik? Kaizen…..

 

(kelanjutannya.....)

25 Juni 2022

Cermin

Banyak juga cermin yang sudah saya pasang di rumah ini. Berbagai macam bentuknya, ada yang berdiri sendiri, ada yang menjadi kesatuan seperti di meja rias. Tujuannya memang untuk memperhatikan wajah sendiri. Pernah ada protes karena cermin yang saya pasang di atas wastafel, terpasang sesuai tinggi badan saya, jadi kalau istri saya yang bercemin pasti cuma bisa melihat tembok. Cermin memang bisa menimbulkan masalah sendiri.

 

Menjelang anak-anak gadis beranjak remaja dan dewasa, cermin punya kisah sendiri. Salah satunya saat mereka mulai belajar merias wajah, khususnya menggambar (atau apa ya namanya?) alis mata. Banyak macam model alis mata dicoba, dan saat ini ada template atau cetakan beragam alis mata itu. Rasanya cuma tinggal menjiplak saja. Tapi tidak semudah itu, di depan cermin itu sering banyak konflik. Banyak komentar yang saling silang saat sebentuk alis sudah tergambar. Ada yang cuma kometar datar, ada lagi komentar yg tajam menusuk telinga. Belum lagi kalau alis itu sudah dianggap bagus lalu datang ke sebuah resepsi dan foto di resepsi itu sampai juga ke Oma yang di luar kota, lalu muncullah tanggapan. Oma memang ahli tata rias wajah. Seumur hidupnya beliau membuka salon kecantikan jadi tanggapannya tentang alis mata itu pasti merupakan tanggapan yang kompeten. Seliweran tanggapan itu bisa menimbulkan masalah tersendiri.

 

Menonton Drakor, Drama Korea, memang menarik walau tidak langsung berhubungan dengan cermin-cermin itu. Drakor itu bisa menginspirasi dari para artisnya yang cantik-cantik dan pastinya bentuk alis matanya indah-indah. Cermin yang ada di meja rias bisa jadi berguna sebagai sarana untuk membandingkan bentukan alis mata dengan ingatan alis mata artis Drakor yang cakep itu. Di depan cermin itu segala komen bisa muncul dan semuanya terarah untuk menciptakan alis yang terbaik. Cermin bisa jadi alat untuk terus meningkatkan mutu bentuk alis mata. Di Drakor itu, ada juga sutradaranya yang bisa dibuat panutan. Sutradara yang bisa hidup banyak uang dari drama-drama yang diciptakannya. Sutradara itu juga bisa menginspirasi untuk bisa memampukan membuat drama berjilid-jilid dengan judul “Aku yang Terzolimi”. Setiap komen yang muncul di depan cermin itu bisa didramakan sebagai upaya zolim terhadap yang sudah berupaya menggambar alis. Di satu jilid drama itu bisa juga ada cerita tentang saya sebagai kepala keluarga diminta untuk membuat peraturan bahwa tidak boleh ada yang komen tentang alis yang sudah dibuat. Komen adalah zolim, karena mereka sudah berusaha, katanya semua usaha itu harus dihargai. Kalau ada yang ngeyel  bilang aturan “Segala sesuatu harus merupakan persembahan yang terbaik”, maka drama itu akan bilang, “Itu khan kalau urusan menyanyi mempersembahkan pujian buat Tuhan di Gereja, ini lho cuma urusan gambar alis, jadi gak ada poin yang terbaik buat Tuhan-Tuhan an”. Bisa jadi ada episode drama tentang alis salah gambar, yang karena gak dikomen di rumah kemudian jadi komen orang lain saat jalan di Mall. Nah ini malah bisa menciptakan drama jilid baru, ya bikin saja jilid episode memasukkan pasal di amendasi UUD’45 bahwa komen tentang alis orang itu kriminal dan subversif. Alasannya, amendasi Tager GKI aja bisa masa amendasi UUD’45 gak bisa?

 

Cermin memang belum tentu baik kehadirannya. Menjadi cermin bisa dihargai, bisa juga dilaknati. Nenek dan moyang sudah berpengalaman dengan menghadirkan jargon, ”Buruk muka, cermin dibelah”. Memang dari pada saya menyuruh susah-susah belajar menggambar alis dan belum lagi biaya beli segala alat-alatnya, mending buat drama: zolim kalau komen! Tapi sanggupkah saya menanggung beban ghibah orang tentang  mutu alis mata keluarga saya? Rasanya saya akan memilih menegakkan nilai, semua harus dikerjakan dengan usaha maksimal untuk tercapainya mutu yang terbaik. Kalau hari ini standar itu masih segitu, ya besok atau lusa atau mendatang pasti tercapai, karena saya juga perlu waktu untuk terus belajar. Dunia akan makin baik kalau saya di depan cermin itu mau mendengarkan semua komen yang muncul. Lagi-lagi tentang berubah oleh pembaharuan budi.

 

(kelanjutannya.....)

31 Mei 2022

Merusak Tanpa Berbuat

Pelesir memang bisa memberikan banyak ide. Di satu temat wisata ada larangan untuk mencorat-coret bebatuan dan dinding yang ada. Dilarang berbuat itu karena bisa merusak keindahan. Tindakan yang tidak boleh diperbuatkan karena bisa merusak. Ini mengingatkan saya akan peristiwa yang lain. Apakah untuk  merusak itu perlu suatu perbuatan? 

Saya teringat, kalau saja gambaran tentang seorang ibu itu hanyalah seorang wanita yang melahirkan anak, tanpa harus membesarkannya. Kalau saja gambaran itu saya pelihara dan terus saya tanamkan di benak saya, maka saya akan bisa berpikir bahwa sewa rahim itu baik dan efisien. Tidak perlu repot-repot membangun sebuah pernikahan dan keluarga. Seorang ibu yang tidak berbuat memenuhi kewajibannya bisa menimbulkan pola pikir yang merusak kaidah yang ada. Kalau saja saya melakukan tugas penatua itu cuma untuk hari minggu dan sebatas mengumpulkan kolekte, maka saat pandemi ini berlangsung, orang bisa berpikir penatua itu tidak perlu ada dan kalaupun ada tidak perlu banyak-banyak. Kalau saja di kantor saat saya dulu bekerja sebagai sales engineer, saya tidak mau belajar  hal baru dan tidak berusaha menjawab banyak pertanyaan teknis pelanggan, bisa jadi kantor itu tidak akan lagi mencari karyawan lulusan ITS. Apa yang tidak saya lakukan dan perbuat ternyata bisa merusak sesuatu.

Kalau untuk merusak itu dapat dilakukan dengan tanpa berbuat sesuatu, lalu saya harus bagaimana? Melakukan bisa salah, tidak melakukan bisa salah juga? Saya yakin saya memang manusia lemah, bisa cenderung salah dalam berbuat, bisa salah dalam bertindak. Tapi semangat untuk mau berubah akan membuat saya bangkit saat saya salah. Bangkit dan bertumbuh dari salah demi salah yang terjadi akan lebih bertanggungjawab daripada tidak melakukan apa-apa dengan alasan takut salah. Pro aktif, itu kata yang bisa saya jadikan landasan untuk tidak merusak dengan tidak berbuat apa yang bisa saya lakukan. Pro aktif karena katanya Roh kudus itu dilambangkan dengan nyala api yg hadir dengan sinar yang menerangi. Hadirnya saja sudah menerangi. Kehadiran yang membawa karya.

Silent is golden. Itu benar, tapi itu bukan sikap baik dan tepat dalam karya layanan menghadirkan kerajaan Allah dimuka  bumi. Berkarya dan berpelayanan mumpung hari masih siang, bekerja dengan ketulusan yang berarti tidak takut salah dan tidak menyembunyikan kemalasan dengan beralasan takut salah. Bisakah saya merasa lebih bersalah kalau saya tidak berbuat apa-apa daripada salah oleh karena salah bertindak? 

Saat saya tidak dapat melepaskan diri dari peran atau profesi yang saya jalani, bisa jadi saya adalah duta dari peran dan profesi itu. Apa yang tidak saya lakukan dari peran dan profesi itu bisa jadi menurunkan nilai serta arti peran dan profesi itu. Peran dan profesi yang ideal itu bisa tercampakkan nilainya saat saya melakukannya asal-asalan. Saya merusak nilai peran dan profesi itu saat saya tidak berbuat apa yang seharusnya saya lakukan.

Anak jaman now katanya punya istilah: Gabut! Apa saya hanya cari-cari alasan untuk menikmati indahnya Gabut? Bok gitu la Daniel……
(kelanjutannya.....)

12 Mei 2022

Potret Diri

Judul ini terlintas setelah liburan panjang kemarin, setelah menjadi sopir dan kasir untuk suatu rangkaian perjalanan wisata. Beruntung saya punya teman yang hobi dan kompeten untuk mengatur rangkaian perjalanan. Dia yang selalu mengaturkan rangkaian  perjalanan ke mana saja saya pergi. “Sekarang wisata itu khan untuk menyenangkan anak-anak, jadi cari tempat yang mereka suka. Anak sekarang itu cuma cari obyek yang bagus buat foto-fotoan.” Dulu wisata itu cari tempat sejuk, cari tempat tenang, sekarang dah beda! Maka jadilah rangkaian wisata yang menghasilkan banyak foto dan spot video.

 

Foto dan potret jadi hal penting saat ini. Foto dan potret diri harus bagus, sebagus mungkin agar indah membanggakan. Foto bagus bisa berarti foto tanpa cacat. Kayak iklan kosmetik yang menampilkan Glowing Flawless Face, bercahaya tanpa noda tanpa bintik jerawat. Betapa indah bersinarnya. Lalu adakah semua punya kemewahan itu? Potret diri Flawless Face? Haruskan saya menjalani kehidupan bersama di pelayanan ini dengan potret diri Flawless face? Hidup indah tak bercacat cela di hadapan orang lain? Lha katanya ada ayat yang bilang begitu?

 

Di kehidupan pelayanan ini, perlukah saya tampil sempurna, flawless, untuk potret diri saya agar saya memuliakan Tuhan? Ternyata saya cuma manusia biasa yang cenderung salah dan banyak tidak mengertinya. Apa bisa saya tampil dengan Flawless Face? Bagaimana potret diri saya harus terpampang? Sebelum liburan untunglah ada rangkaian Paskah. Tuhan yang maha kuasa harusnya juga maha sakti. Tuhan yang harusnya juga mampu menciptakan rangkaian Paskah yang glowing, dengan narasi kesaktian mandraguna yang bisa menang dengan spektakuler di tiap tampilan episode, tanpa menjalani rangkaian peristiwa Paskah yang memilukan. Menang dengan jalan yang lebih indah glowing? Ternyata Tuhan menempuh jalan proses Paskah yang nampak hina dan pilu.

 

Wisata dan Paskah kemarin memberikan gabungan yang unik. Potret diri yang baik bukan yang sekedar nampak flawless. karena saya memang cuma manusia yang berdosa maka wajar kalau saya cenderung bersalah, tapi Tuhan menganugerahkan kasih yang siap mendukung saya dalam proses menjadi flawless. Potret diri yang baik ternyata potret masa demi masa di mana saya diprosesi menjadi flawless. Usaha dan energi saya harus diarahkan untuk mau terus berproses. Segala tenaga harus diarahkan untuk memperbaharui diri. Sudah saatnya tidak lagi membuang tenaga untuk sekedar menutupi kelemahan dan kekurangan, karena dulu saya pikir kharisma saya akan baik kalau saya flawless. Kemenangan Yesus di Paskah karena Yesus melewati dan menjalani proses rangkaian peristiwa itu dengan tekun, bukan dengan jaim bahwa di tiap episode Yesus menangan.

 

Potret diri saya akan indah bukan saat saya berhasil dipotret dengan tidak pernah meminta maaf, yang berarti saya selalu berhasil jadi orang benar, karena bisa jadi saat potret itu ada, orang melihat potret diri kebebalan. Potret diri saya akan indah bukan saat saya divideokan berhasil ngotot bahwa laporan keuangan saya sudah benar, potret diri yang ingin membuktikan betapa benarnya saya, padahal orang sinis melecehkan  tontonan itu. Potret diri yang indah adalah rangkaian foto momen kehidupan yang merekam banyak kekalahan saya, kelemahan saya, namun ada energi dan iman yang selalu membuat saya bisa berusaha bangkit menang atas kesalahan dan kelemahan itu. Potret diri yang bisa menang atas segala kelemahan yang melekat dan terlanjur ada dalam diri saya, siap tahu bisa sama kayak potret diri Yesus yang setia bersahaja di fragmen-fragmen Paskah.

 

(kelanjutannya.....)

27 April 2022

Idola

Itu harusnya nama toko di Bondowoso. Kalau soal arti sebenarnya, saya tidak terlalu menghidupinya. Saya kurang mengerti arti idola, saya tidak pernah punya orang yang fotonya bisa ingin saya pajang. Saya juga tidak pernah punya bintang film atau selebritis favorit yang bisa membuat saya terpukau histeris. Ini yang salah pasti saya. Saya terlalu miskin buat mencurahkan perhatian pada orang-orang terkenal itu. Saya terlalu sibuk dengan lamunan dan pikiran saya sendiri. Jadilah saya sekarang terkesima oleh mereka yang bisa punya idola.

 

Saya heran melihat anak saya terkesima di depan tivi saat acara K-pop atau drakor. Saya kadang bertanya, yang ganteng yang mana, untuk sekedar tahu dan memahami standar untuk bisa cakep dan menjadi idola itu. Katanya banyak artis Korea itu wajahnya sudah tidak asli lagi. Nah, siapa tahu saya bisa jadi idola asal bisa bayar untuk oplas, operasi plastik. Khan di rumah saya banyak juga plastik yang tidak terpakai, mulai dari baskom, sampai buble wrap sisa olshop. Intinya memang mencari tahu apa yang bisa membuat orang jadi idola. Kehebatan orang itu? Kelebihan orang itu yang membuat saya akan terkesima, sehingga saya bisa manut katut dengan kharismanya?

 

Dengan cara berpikir yang dibalik, idola itu dipilih bisa jadi bukan karena dia punya kelebihan yang menonjol, idola itu dipilih karena saya punya kekurangan yang terasa akut dan kronis. Kekurangan saya yang akan membawa saya untuk mencari-cari idola. Kata lagu Sekolah Minggu, “seperti donat.. seperti donat… ada lubang di hatiku….” Lubang itu mungkin akan terisi oleh Idola yang bisa saya temui. Saya yang butuh idola, bukan Idola yang menjadikan dirinya untuk dipilih.

 

Apapun alasannya, bila Idola itu sudah ada, maka terjadilah jargon sebuah roti “..buns to die for…..” seperti lagu “You are my sunshine… my only sunshine… you make me happy when sky are grey..” Syukur bila itu mendatangkan energi positif yang penuh kebaikan. Lagu sekolah minggu itu juga bilang “ seperti donat.. hidup tanpa Yesus.. ada lubang di hatiku..” ada juga jargon “pejah gesang nderek Gusti”. Itulah energi tambahan yang membual di hati yang diisi idola yang baik. Tapi bila idola itu ternyata berkelemahan dan saya sudah kadung jatuh kontrak buta dengannya, maka sayapun pasti jadi bermain senada dan setabuhan dengan idola saya itu. Ada kecanduan untuk mengikut segala kharismanya. Ada ikatan yang terasa sulit untuk saya lepaskan, kalau itu lepas, saya akan kosong lagi. Saat saya harus lepas dari idola saya, saya bisa sakau. Beranikah saya melalui sakau-sakau ini?

 

Punya idola tidak salah, tapi pesan untuk anak-anak saya tentunya “Jangan salah pilih idola”.

 

BTW, ternyata dulu saya pingin mendirikan altar sembahyangan merah itu di rumah saya, bukan untuk mendoakan arwah, tetapi sekedar memberi penghormatan dan mengenang Emak saya yang sangat berjasa. Ternyata dia Idola saya…. Eh ternyata saya juga punya idola.

 

 

(kelanjutannya.....)

26 April 2022

Bebal

Saya harus menghabiskan banyak waktu keseharian saya di dalam mobil. Waktu-waktu yang sayang kalau terlewatkan begitu saja. Tadinya saya mengisinya dengan mendengarkan musik atau radio, lalu saya menemukan CD drama Alkitab terbitan LAI, yaitu Alkitab yang dibacakan. Ada tiga CD, dua Perjanjian Lama dan satu Perjanjian Baru. Nah tiga CD ini yang sehari-hari saya putar. Mendengarkan bacaan Alkitab secara berurutan, jadi asyik juga karena banyak perikop yang bila dibaca sebagian-sebagian tidak nampak hubungannya dengan kisah-kisah sebelumnya atau setelahnya. Juga semua bagian Alkitab  jadi bisa terbaca. Entah sudah beberapa kali CD itu terputar. Asyik, apalagi kalau itu yang perjanjian lama, seperti mendengarkan Guru Sekolah Minggu mengajar.

Ada bagian-bagian Alkitab yang saya miris untuk mendengarkannya ulang, selalu ingin skip saja untuk bagian-bagian itu. Ada kisah tentang Yefta dan anak gadisnya, yang lebih miris lagi kisah tentang Simson dan Delila, kisah akhir hidup Simson. Saya miris mendengar ulang kisah Simson, yang selalu bermasalah dengan para wanita yang diperistrinya. Bisa jadi memang itu jalan Tuhan yang dijalaninya, tapi apa harus begitu ya? Saya miris dengan rayuan wanita yang menyebabkan Simson tertangkap dan matanya dibutakan. Miris!

Ada juga kisah Raja Saul yang diakhir hidupnya ditolak oleh Tuhan. Juga Raja Salomo, dan banyak rentetatan nama Raja-Raja yang melakukan kejahatan di hadapan Tuhan. Mereka raja, mereka orang yang punya pendidikan khusus, kemampuan berpikir tersendiri bahkan juga anugerah hubungan dengan Tuhan yang lebih dari rakyat biasa. Segalanya ada bagi seorang raja, tapi kenapa ia tertolak oleh Tuhan karena kelakuannya, apa lagi yang dimauinya? Saya jadi berpikir tentang judul itu. Bebal. Sifat ini hadir dan bebal ini yang membuat kondisi tidak berubah membaik. Simson adalah pemimpin dengan jabatan Hakim karena raja belum ada saat itu. Raja dan pemimpin yang bebal! Ada lagi Imam Eli dengan Hofni dan Pinehas anak-anaknya.

Saat Raja dan para pemimpin itu ada di pucuk pimpinan, makin sedikit orang yang bisa berpadanan menasehatinya. Saat posisi tinggi itu tercapai, makin besar kuasa dan rasa percaya diri yang terbentuk. Segala tindakannya makin sedikit yang bisa mengevaluasinya. Makin tinggi posisi posisi keagamaan itu seakan makin mendekatkan pada Tuhan dan bisa jadi makin merasa CS dan akrab dengan Tuhan. Makin merasa akrab, bisa jadi membuat makin peka atau malah makin menyepelekan. Karena merasa akrab maka Tuhan bisa jadi terasa makin mau menerima kebusukan dan kenakalan. Di sini bebal itu mulai bersemi. Saat di puncak saya bisa jadi bebal dari ingatan bahwa Tuhan itu kudus dan suci yang  mengharuskan segala kebaikan itu tetap dijalani. 

Bebal itu saat saya mulai menyepelekan keharusan akuntabel dalam laporan keuangan. Bebal itu saat saya gagal berdisiplin diri padahal menikmati orang lain yang dituntut untuk disiplin. Bebal itu saat saya kehilangan kepekaan untuk pembaharuan budi yang katanya menjalani panggilan kehidupan ini. Saat posisi tinggi itu berpotensi menumbuhkan bebal, ada Raja Daud yang beberapa kali berdoa: "Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku, ujilah aku dan kenallah pikiran-pikiranku". Saat Tuhan tetap diajak hadir menyelidiki dan menguji relung-relung hati ini, niscaya ada suara yang bisa mengusik dan menyingkirkan bebal ini.
(kelanjutannya.....)

Duit

Duit itu suatu yang penting di kegiatan pelayanan ini. Duit bisa membuat suatu pelayanan jadi berjalan baik, duit juga bisa menjungkalkan si pelayan. Duit memang penuh dinamika dengan segala daya tariknya. Tapi duit cuma benda yang harusnya bisa diatur oleh manusia. Apalagi kalau itu manusia-manusia yang sudah masuk di kegiatan pelayanan. Duit harus tunduk pada manusia, karena manusia tahu bagaimana harus bersikap terhadap duit. Saya ingin berbagi bagaimana duit harus dikelola sebagai pelaku pelayanan di lingkungan gereja.

Semua pelayanan butuh duit, dan semua pelaku pelayanan bisa jadi pernah dipegangi duit untuk dikelola dalam pelayanan yang dipercayakan kepadanya. "Saya bukan ahli keuangan!" itu yang bisa diutarakan saat ada yang diberi wewenang untuk mengelola duit pelayanan. Alasan itu muncul bisa jadi karena tidak tahu bagaimana harus membagi dan membuat laporan pertanggungjawaban duit itu nantinya. Bentuk laporannya bagaimana ya? Kalau ini yang menakutkan, jawabannya mudah. Laporan keuangan itu esensinya adalah akuntabilitas. Keterbukaaan untuk bisa dilacak dan diperiksa, kemampuan untuk bertanggungjawab. Jadi kalaupun tidak mengerti cara menyajikan laporan keuangan, tapi asal bisa bertangung jawab di tiap rupiah yang dipercayakannya, itulah akuntabel. Menyajikan laporan keuangan itu nomer kesekian, nomer utama adalah dasar pertanggungjawaban yang menjadi modal laporan itu. Dasarnya cuma sesederhana semua bon-bon pengeluaran atau pembelian dan catatan-catatan  bukti siapa yang menerima uang dan bukti untuk apa uang itu diberikan. Dasarnya cuma disiplin untuk bisa bertanggungjawab. Cara bertanggungjawab di keuangan adalah dengan memberikan bukti transaksi yang ada. Sekarang tiap transaksi ada struknya, tiap penerima uang bisa dimintai tanda tangan sebagai bukti penerimaan duit itu. Akuntabilitas di pelayanan ini cuma sesederhana mengumpulkan semua bon pengeluaran, dan mencatat semua detil tanggal dan siapa pengguna duit itu. Tahap berikutnya memang menuangkannya di dalam laporan keuangan. Tapi dengan dasar bukti transaksi yang rapi, itu sudah langkah tepat dalam bertanggungjawab.

Duit di pelayanan ini adalah berasal dari jemaat, yang harus dipertanggungjawabkan balik dengan mutlak. Bisa jadi suatu kegiatan pelayanan belum tersedia duitnya. Pelaksana kegiatan itu juga jadi terbebani untuk mencari duit mendanai kegiatannya sendiri. Hal yang mendasar di sini adalah bahwa siapapun yang mencari dana, ia membawa nama gereja. Siapapun penyumbangnya, ia menyumbang untuk gereja. Jadi semua uang yang didapat adalah uang gereja dan harus masuk melalui rekening gereja. Siapapun pencari dananya tidak boleh dengan bebas langsung memakai dana perolehan itu tanpa tercatat di pembukuan gereja. Ini juga demi nama baik pencari duit itu, bahwa semua duit dan natura itu adalah untuk pelayanan gereja. Donatur akan merasa nyaman bila tahu bahwa duitnya sudah  ada di gereja dan gereja sanggup memanfaatkannya dengan baik. Ini bukan uang hasil usaha pribadi. Ada prinsip bahwa tidak boleh ada pelayan yang mencuri kemuliaan. 

Saya tidak rapi dan saya tidak pernah minta bon untuk tiap pembelian saya? Masak saya naik becak minta bon? Kenapa koq tidak naik ojol saja, ini pasti ada struknya yang akuntabel! Kita khan harus kasihan dengan tukang becak… Kalau karena kasihan, maka bantu mereka mempersiapkan bonnya, minta tanda tangannya atau foto uangnya. Kan malah repot? Membantu orang memang akan merepotkan dan menambah kerjaan, tapi di sana ada nilai kasih itu. Membantu orang bukan cara mencuci salah agar bisa tidak rapi dan tidak akuntabel. Jangan sok suci dengan menutupi kenakalan dengan yang katanya perbuatan baik.

Duit memang menarik untuk dinikmati, dan disinilah kedewasaan dan kemurnian diuji. Tolok ukur cara pandang akan duit akan menjadi tolok ukur kualitas yang dipertontonkan. GKI menjunjung tinggi ketulusan dan kejujuran dalam mengelola duit yang dipercayakan pada tiap insan GKI. Semuanya bukan untuk kemuliaan GKI atau pribadi, tapi segala kemuliaan adalah untuk Tuhan.
(kelanjutannya.....)

10 April 2022

Shopee Tanam

Pagi itu anak saya datang dengan laptopnya dan meminta kesan akan presentasi yang akan dilakukannya. Saya baru saat itu dengar tentang Shopee Tanam ini. Jadi jangan berharap setelah baca tulisan ini anda akan jadi mengerti soal Shopee Tanam ini, gak dijamin! Yang bisa saya perhatikan dari presentasi itu cuma alur dan polanya saja. Malah saat itu saya yang belajar tentang hal baru. Dunia dan usaha baru yang tak terbayangkan sebelumnya. Shopee Tanam!

 

Shopee adalah aplikasi belanja online, seperti Tokopedia, Blibli, Lazada dan lainnya. Shopee membuat aplikasi permainan/game bernama Shopee Tanam. Orang bisa memilih bibit lalu menanamnya secara online, menanam juga berarti perlu menyirami dan merawatnya secara rutin. Pemainnya bisa menentukan kapan akan memanen hasilnya, ada pilihan memanen untuk jangka waktu yg cukup lama dengan imbalan hasil panen yang lebih besar. Hasilnya adalah point yang bisa dibelanjakan di Shopee.  Tujuan game ini untuk menjaga keterikatan hubungan dengan Shopee, semakin lama merawat tanaman maya ini, akan semakin lama interaksinya dengan Shopee, yang diharapkan bisa menghasilkan nilai transaksi yang lebih besar di Shopee. Ide ini menarik, membangun kedekatan dan keakraban relasi di dunia maya.

 

Dengan ibadah dan banyak kegiatan dilakukan dengan daring (online), saya berpikir bahwa komunitas daring itu begitu cair dan bebas, yang tidak bisa diatur kedekatannya. Para viewer itu bebas datang dan pergi sesuka hatinya, dan tidak ada cara mengelolanya. Sulit memang iya, tapi bukan berarti tidak ada cara. Sulit karena ini cara yang baru dan benar-benar baru, bukan seperti cara lama yang sudah lazim dilakukan. Ternyata ada juga contoh cara membangun kedekatan secara vitual.

 

Anak saya kuliah psikologi lalu apa urusannya dengan program game ini? Dia meneliti apakah ada pengaruh suasana hati (mood) dengan keputusan untuk mau memilih jangka waktu yang lama di proses menanam maya ini. Semakin lama memang Shopee akan memberikan hasil point yang lebih banyak, dan Shopee bisa mendapatkan rentang relasi yang lebih lama. Dia meneliti bagaimana cara merekayasa suasana hati ini. Misalnya dengan memberikan kiriman konten-konten yang lucu akan membuat orang menjadi punya mood baik yang mempengaruhi agar keputusannya mau mengambil rentang waktu penanaman yang lama.

 

Saya jadi terperangah, walau dunia ini sudah berubah, segala perubahan itu tetap memberi peluang agar bisa menemukan usaha-usaha baru untuk mengatur dan mengendalikannya.  Yang penting mau belajar. Apa yang saya bisa lakukan di pelayanan? Menjamin kedekatan sudah bukan dengan berlaku tidak rewel saat ada yang mengajukan pengembalian bon. Shopee Tanam sudah jauh dari itu. Konsep Shopee Tanam dah memamerkan paradigma baru yang mau tidak mau harus saya pelajari dan berusaha saya terapkan kalau masih mau ada di dunia pelayanan yang katanya sudah harus ada daringnya ini. Ternyata selalu ada jalan baru. Jalan Shopee Tanam!

 

(kelanjutannya.....)

08 April 2022

Mesin

Dari kecil saya suka melihat mesin. Sayangnya, tidak banyak mesin yang saya punya di sekitar saya. saya cuma pernah punya sepeda jengki Phoenix, saya juga pernah menemukan gramafone di gudang rumah. Dua barang itu yang pernah saya bongkar habis dan saya bisa dengan baik bongkar pasang dan memperbaikinya. Cuma dua barang itu yang bisa saya pelajari dengan baik. Dulu pernah juga saya membongkar mesik tik, tapi saya gagal memasangnya balik, saya belajar tentang besi yang bisa patah, pegas dari mesin tik itu. Belum sempat saya pelajari utuh, saya sudah dimarahi dan mesin tik itu dibawa ke tukang servisnya. Mesin selalu menarik buat saya.

 

Hal yang menarik dari sebuah mesin adalah kepastian dari hasil kerja mesin itu. Sepeda ya menghasilkan gerak yang lebih cepat dari pada orang yang jalan kaki. Gramafone menghasilkan suara yang terekam dari guratan yang ada di piringan hitam. Mesin itu dianggap rusak bila ternyata hal itu tidak dapat dihasilkan lagi olehnya. Sepeda tidak bisa jalan, atau jalannya tidak stabil. Gramafone, suaranya makin tidak merdu atau malah tidak dapat diputar lagi. Mesin yang baik akan menghasilkan sesuatu yang baik sesuai dengan yang direncanakan untuk mesin itu. Di dalam mesin ada sistem yang bekerja untuk

memberikan hasil yang diharapkan.

 

Ternyata banyak hal di kehidupan ini yang mirip mesin. Keluarga juga punya fungsi yang di harapkan. Fungsi yang dijalankan dan proses yang terjadi di dalamnya  untuk menghasilkan manusia-manusia baik. Katanya sebagai satuan masyarakat yg terkecil, keluarga akan menjadi penentu kualitas masyarakat yang akan terbentuk. Kalau mesin dan sistem di dalam keluarga benar, katanya penduduk dan masyarakat diharapkan juga jadi berkualitas. Demikian juga organisasi. Organisasi pelayanan yang baik akan menghasilkan karya-karya layanan saat menjalankan tupoksi-nya, tugas pokok dan fungsinya,` dengan baik.

 

Sistem dalam mesin itu akan jadi jaminan, agar input yang masuk menghasilkan output yang sesuai rencananya. Banyak orang akan masuk dalam karya layanan di lingkungan gereja, apa outputnya akan sesuai yang diharapkan? Sistem internal dalam mesin itulah yang menentukannya. Orang yang datang akan mengalami suatu sistem proses yang akhirnya akan membentuknya untuk jadi seperti yang diharapkan. Input selalu adalah bahan baku yang mutunya lebih rendah dari pada output yang merupakan hasilnya. Bagaimana input bisa mengalami pertambahan kualitas, internal mesin itulah yang jadi taruhannya. Apa ada suasana bersistem yang baik. Bila datang saya yang pemalas, apakah sistem bisa menjadikan saya jadi lebih rajin? Apa bila datang saya yang suka berbohong, apakah suasana komunitas ini bisa memperkenalkan saya akan budaya berkata benar? Membangun sistem dan lingkungan berbudaya akan menjadi sesuatu penentu proses pembaharuan apa yang akan terjadi.

 

Di akhir kisah hidup Simson ada cuplikan ayat: “Tetapi rambutnya mulai tumbuh pula sesudah dicukur.” Simson yang sudah terpuruk ternyata bangkit lewat jalan sistem yang sudah ada, yaitu kekuatan pada rambutnya. Di sini mujizat tidak terjadi tanpa pola sistem. Tuhan memakai pakem bahwa kekuatan Simson ada pada rambutnya, saat rambut itu tumbuh, dan dengan pertolongan Tuhan, Simson bisa berkarya lagi, karya terakhirnya. Semoga selalu ada semangat untuk percaya pada pembentukan sistem dan budaya yang baik demi panggilan untuk menghasilkan segala sesatu yang berketeladanan.

 

(kelanjutannya.....)

06 April 2022

Yang Bukan Pengorbanan yang Membebaskan

Katanya tema Paskah kita kali ini adalah “Pengorbanan yang Membebaskan”, lalu ada pertanyaan apa memang ada pengorbanan yang tidak membebaskan? Adakah fenomena suatu pengorbanan yang malah membelenggu?

 

Pengorbanan yang membebaskan itu, merujuk pada pengorbanan Yesus untuk membebaskan manusia dari belenggu dosa. Dosa, karena itu akar dari segala keterpurukan manusia di hadapan Tuhan. Yesus melakukan pengorbanan untuk sebuah pembebasan dari dosa, akar segala masalah itu. Itulah pengorbanan yang membebaskan.

 

Di dunia saat ini banyak orang yang juga mau berkorban untuk membebaskan orang lain dari masalah yang dihadapinya, tapi apa pengorbanannya itu benar-benar membebaskan orang lain? Bagaimana kita bisa memanfaatkan pengorbanan itu agar kita bisa benar-benar terbebaskan? Bebas dari akar masalah kita, bukan sekedar bebas untuk kemudian terbelenggu lagi oleh suatu kondisi baru. Ada beberapa fenomena menarik yang sedang muncul saat ini.

 

Dulu, untuk bisa mengerti suatu hal itu belajarnya sulit. Suatu contoh ingin membuat suatu jenis kue, harus cari buku resepnya dan harus cari kenalan atau keluarga yang sudah terbukti hasil kue dan masakannya enak. Kemudian belajar dari beliau-beliau ini. Kini masa itu telah lewat. Kini di Youtube sudah tersedia banyak tutorial tentang aneka cara membuat kue dan masakan. Itulah pengorbanan banyak orang untuk berbagi dan membebaskan orang lain  dari ketidaktahuannya. Tapi siapa mereka? Dulu kita belajar dari orang yang kita percaya kredebilitasnya hasil karyanya, sekarang kita bisa belajar dari Youtuber muda yang tidak ketahuan bagaimana rekam jejaknya yang penting sudah bisa kita lihat dan kita praktekkan tutorialnya. Pertanyaan sederhananya apa benar dia juru masak yang handal? Tidak salah dengan mereka, mereka tetap adalah orang baik yang mau berbagi ilmu. Tetapi di sisi generasi muda kita, apakah ada semangat untuk sadar bahwa itu adalah sekedar pintu masuk, tetap harus ada proses belajar lain yang lebih keras yang harus dijalani dengan cara-cara yang bisa jadi tidak semudah nonton Youtube. Pengorbanan itu sudah membebaskan namun kemudian membelenggu dengan kondisi lain, biusan kemudahan.

 

Kondisi kehidupan saat ini semua dimudahkan oleh komputer, laptop dan telepon pintar. Segala hal bisa dimudahkan dengan aplikasi. Anak-anak bisa menjadi begitu terbantunya dengan segala hal itu. Kemudian semua orang menjadi berminat belajar komputer, telepon pintar dan aplikasi agar bisa berbuat sesuatu untuk menggapai masa depan yang lebih baik. Cabang-cabang ilmu utama menjadi sepi peminat karena dirasa kurang sakti melawan perangkat-perangkat itu. Selama ada perangkat-perangkat itu seakan semua masalah bisa diatasi. Padahal, perangkat-perangkat itu hanya sebuat piranti penunjang. Semua alat itu harus diprogram, dan pembuat program itu haruslah orang-orang yang memahami dasar-dasar ilmu yang tepat dan mendalam. Sebuah layar sentuh itu tercipta bukan karena ada orang yang bisa memasukkan pertanyaan “Bagaimana cara membuat layar sentuh?” di google lalu muncullah tutorialnya. Selama belum ada orang yang menciptakan layar sentuh dan menuliskannya di internet, pertanyaan itu tak akan terjawab. Butuh orang yang punya ilmu fisika, elektronika, ilmu material atau ilmu lainnya untuk bisa berkolaborasi berinovasi menciptakan satu piranti macam layar sentuh itu. Pengorbanan komputer dan piranti itu untuk membebaskan orang dari kesulitannya, bisa membelengu melalui kesan bahwa inilah piranti terhebat.

 

Banyak kemudahan yang adalah hasil pengorbanan banyak orang baik yang telah membebaskan kita dari banyak kesulitan, kiranya tidak malah memadamkan semangat untuk mau bersusah payah belajar. Hal ini kiranya memberi ruang bagi nilai-nilai lama yang harusnya terus dikembangkan agar bisa lebih banyak lagi pembebasan yang bisa kita lakukan.

 

Belajar teori dan ilmu-ilmu yang katanya sudah tidak populer lagi itu, akan membuat seseorang mampu mengembangkan suatu masalah, topik atau produk dengan lebih baik, karena dari teori itulah suatu keadaan bisa dianalisa untuk bisa disesuaikan pemanfaatannya. Banyak pengorbanan yang sudah membebaskan dari banyak masalah terdahulu kiranya tidak malah membelenggu akibat keengganan untuk belajar dengan keras, mendalam dan makin dalam. Semoga Paskah menguatkan kita akan teladan pengorbanan yang membebaskan untuk makin mendatangkan kerajaan Allah dimuka bumi ini.

 

(kelanjutannya.....)

30 Maret 2022

Hypoxid Training

Awalnya ada yang mengajak saya bergabung di suatu group WA tentang mengatasi diabetes tanpa obat. Saya berminat karena saya adalah Pre-Diabetic, kalau saya tidak menjaga kondisi, maka saya akan menjadi diabetes. Saya ingin ikut group itu, tapi saya jadi aneh karena ada klausul yang mengatakan bahwa akan diminta untuk memberikan sumbangan sukarela. Entah kenapa, mungkin karena pelit, saya merasa aneh dengan grup ini. Saya tidak jadi masuk, tapi saya pelajari dari beberapa orang yang daftar. Ternyata apa yang mereka lakukan adalah menggabungkan antara diet ala Ketofastosis dan latihan nafas metode Wim Hoff.

 

Ketofastosis adalah diet dengan tidak makan karbohidrat dan gula, menggantinya dengan konsumsi lemak dan protein. Saya pernah bertemu dengan teman yang dengan semangat mengajak saya diet itu, dua hari kemudian dia berpulang di hotel dalam perjalanan dinasnya. Tidak ada hubungan jelas, tapi saya jadi takut melakukannya. Kalau Wim Hoff, katanya dia orang Belanda yang bisa tahan mendaki gunung bersalju dengan hanya bercelana pendek. Dia tahan terhadap udara dingin ekstrim, karena metode pernafasan yang dijalaninya. Saya berminat untuk mencoba latihan pernafasannya. Iseng-iseng saja, karena saya pikir juga tidak terlalu menakutkan.

 

Metodenya cuma nafas tiga puluh kali tanpa jeda, lalu menahan nafas selama mungkin, sekuatnya, lalu menghirup udara, ditahan lima belas detik, baru dilepas. itu diulang tiga kali. Masalah yang menarik adalah saat menahan nafas itu. Awalnya saya hanya bisa setengah menit, lalu empat puluh lima detik, lalu semenit, makin lama makin panjang. Saya pernah hingga 150 detik. Awalnya ini seperti latihan biasa saja, tapi saat saya mulai bisa menahan hingga dua menit, ada hal unik yang terjadi. Ternyata menahan nafas itu tidak sesederhana tidak bernafas. Tidak mudah bisa mengulangi menahan nafas selama dua menit, kegagalan akan sering terjadi. bukan gagal saat kurang beberapa detik terakhir, tapi di detik-detik awal saja sudah terasa tidak mampu. Masalah utamanya ternyata bagaimana cara mengatur pikiran. Kemampuan untuk mengatur pikiran dan berkonsentrasi akan menentukan keberhasilan menahan nafas panjang ini.

 

Tetangga saya adalah mantan penerbang Angkatan Laut dan kini menjadi pilot helikopter di Papua. Dia bercerita tentang salah satu ujian rutin untuk sertifikasi pilotnya. Mengerjakan soal matematika sederhana dalam kondisi hipoksia, kondisi kekurangan oksigen. Ini bukan sekedar kekuatan fisik, banyak orang yang fisiknya kekar, gagal dalam ujian ini. Ini masalah mengatur pikiran. “Harus sudah berkonsentrasi dari awal untuk bisa tetap mengerjakan soal matematika sederhana itu.” Pola Pikir! Ini yang menarik buat saya untuk terus melakukan latihan pernafasan ini. Latihan pikiran bukan sekedar latihan pernafasan.

 

Sudah hampir setahun saya menjalani Hypoxid Training ini. Entah apa hasilnya. Yang jelas, saat berenang, saya mengakhiri sesi renang itu dengan satu kali jalan gaya kupu-kupu, ini gaya terberat menurut saya. Dulunya ini memberatkan  saya. Sangat menguras tenaga dan nafas. Tapi sejak saya berlatih nafas ini, sesi gaya kupu-kupu itu terasa ringan. Saya juga sering mengalami diare, entah apa sebabnya, rasanya memang ada yang kurang beres dengan pencernaan saya, tapi sekarang ini diare itu jarang terjadi lagi. Memang banyak bahasan tentang keuntungan latihan nafas Hypoxid ini, tapi bukan ini yang menarik buat saya, semoga itu adalah bonus saja. Saya senang karena memang ini latihan mengelola pikiran. Pikiran ini ternyata bisa menghasilkan sesuatu yang tak terduga. Jadi teringat akan pesan: Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu.

(kelanjutannya.....)

27 Maret 2022

Renang

Saya mulai belajar renang kelas lima SD. Pindah ke Bondowoso memberikan suasana yang lain. Saya bisa bebas bermain ke mana saja. Di Surabaya, pulang sekolah cuma di rumah saja. Saya bersepeda ke Tasnan, kolam renang peninggalan Belanda yang jaraknya 7 km ke arah Jember. Bersepedanya saja sudah menyenangkan, apalagi renangnya. Saya bukan orang yang suka berolahraga, karena memang saya bukan orang yang trampil dan cekatan. Saya cuma suka iseng, suka mengganggu orang. Saya merasa enak bila mengganggu orang di kolam renang. Jadi saya berusaha belajar renang.

 

Seminggu dua kali ke Tasnan, awalnya dengan Papa saya karena saya belum bisa renang. Papa yang mengajari saya, cara mengapung, cara meluncur kemudian menggerakkan tangan dan kaki. Akhirnya saya bisa renang. Makin lama makin baik. Akhirnya bukan cuma renang semua gaya, tapi belajar untuk menahan napas saat menyelam. masuk dari satu sisi kolam renang, muncul di sisi yang lain. Selama menyelam bisa banyak keisengan yang dilakukan. menarik kaki orang, muncul tiba-tiba di tengah-tengah orang. Awalnya hanya karena iseng itulah saya belajar renang.

 

Tasnan itu kolam renang yang menyegarkan. Airnya asli dari mata air yang terus mengalir. Bukan seperti kolam renang di Surabaya yang airnya disirkulasi dan diberi zat kimia, tawas, kaporit dan lainnya. Ini murni air mengalir yang ditampung, malahan ada ikan mas besar di bagian kolam yang paling dalam, rasanya dua meter lebih kedalaman kolam yang ada menara loncatnya. Setiap Jumat di kuras, sehingga saya renangnya Rabu dan Sabtu. Saya lupa bayarnya berapa ya? Seingat saya dua puluh lima rupiah. Segemik, Bahasa Maduranya. Jalan menuju Tasnan menanjak, menjelang masuk pintu gerbangnya baru ada turunan yang curam sekali. Jalan ini yang jadi tantangan saat bersepeda pulang, apa bisa tanpa turun menuntun sepeda? Ada juga tantangan, separuh jalan pulang tidak perlu mengayuh sepeda karena jalannya menurun ke arah Bondowoso. Dari sini saya belajar prinsip: pengereman adalah pemborosan energi.

 

Setelah kembali kuliah di Surabaya, saya tidak pernah renang, karena biayanya mahal. Di ITS ada unit kegiatan selam di Taman Tirta, sekarang jadi Hotel Shangrila, tapi itu terlalu mahal buat saya. Puluhan tahun saya tidak rutin berenang lagi. Sampai ada rekan-rekan sektor Wiyung mengajak renang di Royal Residence. Mulailah saya renang lagi, tapi kali ini ceritanya lain, sudah bukan untuk iseng lagi karena ada Bapak yang badannya jauh lebih kekar dari saya. Renang rutin kali ini membebaskan saya dari seringnya saya cidera punggung, kecentit. Dengan renang saya tidak pernah kecentit lagi. Belum lagi saya mengalami Piriformis. Kesakitan di paha mulai dari pantat. Katanya itu akibat saya meletakkan dompet di saku celana belakang. Ini yang secara bertahun-tahun menekan syaraf yang ada. Sakitnya bukan main bila lagi kumat. Proses duduk kemudian berdiri akan sangat sakit. Ternyata ini bisa sembuh dengan dengan renang. Saya jamin ini sembuh karena renang! Buktinya saat pandemi, saat saya tidak renang lebih dari setahun, semua penyakit itu kambuh lagi. Selama pandemi saya kecentit beberapa kali, priformis saya juga kambuh dengan lebih menyakitkan lagi. Makanya saya nekad renang lagi.

 

Renang di masa pandemi menang menakutkan, tapi secara teori, kuman mati di kolam renang, karena kadar chlorine yang ada. Buktinya, di kolam renang tidak ada lumut, itu bukan karena disikat, tapi itu karena kadar chlorine yang membunuh lumut di kolam itu. Resiko Covid ada dari pengunjung lainnya, makanya saya renang saat kolam sepi, saat tengah hari. Anggap saja sekalian berjemur. Saya berenang minimal seminggu sekali, satu jam nonstop. bila di Royal Residence berarti itu dua puluh lima kali putaran. Bila di GOR Sidoarjo itu sebelas kali. Bila di WBM itu delapan belas kali putaran. Bila di Roca itu dua belas kali.  Kali ini saya renang bukan untuk mengisengi orang lain, tapi untuk menghindari diisengi oleh penyakit.

 

(kelanjutannya.....)

16 Maret 2022

Salah

Pagi itu anak saya bilang, “Aku koq kalau mau  berangkat kerja selalu deg-deg-an.” Saya jawab, “Apa ada yang salah kerjaannya?” Kita kemudian masuk di percakapan yang membahas kata salah ini.Topik salah ini memang selalu menarik buat saya, karena itu yang tiap hari saya hidupi di bengkel saya. Hidup berdamai dengan yang namanya salah dan kesalahan.

 

Bengkel itu berbisnis dengan jasa. Mengerjakan pesanan yang selalu berubah. Dengan makin ganasnya persaingan dan tekanan beban biaya overhead, maka sudah seharusnya saya menerima pekerjaan yang makin mahal. Caranya bukan dengan menjual dengan harga yang lebih mahal dari bengkel lain, tapi mengerjakan yang lebih sulit dan rumit yang bengkel lain kesulitan untuk mengerjakannya. Sayalah yang mencari order dan berhubungan dengan konsumen, tapi yang mengerjakan adalah para anak  buah saya. Sayalah yang berjanji, tapi anak buah saya yang menyajikannya. Hal yang rumit adalah saat ada kesalahan yang terjadi. Saat anak buah saya salah dan dia tidak lapor, saya yang akan dimarahi oleh konsumen. Maka budaya kerja yang harus saya bangun di bengkel saya adalah bagaimana sebuah kesalahan itu ditangani. Budaya mau selalu lapor akan kesalahan yang sudah dibuat! Tidak boleh ada orang yang tidak menceritakan kesalahannya. Ini bukan untuk memarahi atau mempermalukannya, tapi untuk mengatasinya dan untuk mempelajari agar itu tidak terulang lagi. Budaya ini dibangun dengan sulit, karena saat orang salah dimarahi dia tidak akan mudah melapor. Saat orang salah pasti tidak dimarahi, dia bisa meremehkan dan cenderung teledor. Budaya mau mengakui kesalahan ini yang diusahakan dengan berapapun biayanya. Ini harus dibangun, karena ini yang bisa meningkatkan kualitas bengkel.

 

Tantangan soal salah ini memang besar. Saya bisa jadi memang suka berbuat salah. Karena saya merasa bisa makin berwibawa kalau saya bisa melanggar dan berbuat salah. Saya akan makin merasa hebat kalau saya bisa melanggar prosedur. Apa hebatnya saya kalau saya bisanya cuma tunduk pada prosedur yang ada? Saya bisa jadi juga membutuhkan kesalahan orang lain. Jangan sampai orang lain jadi baik dan tidak berbuat salah lagi, nanti saya tidak bisa punya alasan pembenar diri lagi. Makanya, budaya berdamai dengan salah itu, akan menjadi suatu proyek sulit yang berbiaya mahal. Mahal karena yang dibayarkan bukan cuma sebatas harga yang dapat dinilai dengan uang. Ada harga yang lebih mahal yaitu keenganan saya untuk bisa menumbuhkan pembaharuan diri agar bisa berkontribusi pada kelompok atau sekitar saya. Tantangan untuk menangani salah dengan mendasar adalah tantangan kedewasaan jiwa. Mendewasakan jiwa saya agar orang lainpun terpanggil untuk mau jadi dewasa. Masihkah saya kecanduan salah?

 

Mutu sebuah perusahaan atau organisasi bisa dilihat saat ada kesalahan yang terjadi. Bagaimana kesalahan itu diterima atau ditanggapi atau ditangani. Ada yang berpikir bahwa organisasi yang baik adalah yang tidak pernah salah. Apakah itu mungkin bila bawaan saya sebagai manusia yang berdosa ini sudah lekat melekat dengan dosa dan salah? Di bengkel, saya sering bilang, cara mengurangi komplain adalah dengan tidak terima order! Karena makin besar perusahaan akan makin banyak komplainnya. Tapi bagaimana komplain itu dikelola itu yang menunjukkan kelasnya. Pengalaman saya sebagai sales mengatakan, jangan takut saat ada yang komplain, karena bila pelanggan yang komplain itu ditangani dengan baik, mereka malah akan jadi pelanggan yang setia. Mereka dapat terpesona dengan cara penanganan kesalahan yang dilakukan. Penanganan kesalahan bisa jadi upaya promosi yang lebih kuat dari sarana promosi biasa.

 

Karunia terindah Tuhan adalah menang dari dosa dan salah, bukan dibuat tidak pernah salah atau juga bukan dibuat mampu untuk bisa salah dengan bangga. Hai maut dimana sengatmu?

 

(kelanjutannya.....)

09 Maret 2022

Tata Gereja vs Alkitab

Di suatu persidangan Klasis yang ada acara Percakapan Gerejawinya, saya sempat berbincang dengan calon pendetanya. “Apa jawaban kamu di jemaat nanti, kalau ditanya:  harus menurut Tata Gereja GKI atau menurut Alkitab?” beliau agak bingung dan rasanya beliau pasti akan jawab: ya harus menurut pada Alkitab. Tapi karena beliau  tidak juga menjawab dengan tegas, maka saya memberitahunya, ”Ya harus menurut Tata Gereja!” Keluarganya mengenal baik keluarga saya, jadi harusnya kita bisa berbicara cukup bebas, seandainyapun pendapat saya jadi aneh, keluarganyapun bisa menegur keluarga saya. Jadi saya merasa santai saja dengan jawaban saya itu tapi memang  itulah sikap yang saya ambil bila saya masuk dalam ambigu seperti itu. Saya akan menurut pada Tata Gereja GKI!

 

Apa posisi Tager itu lebih tinggi dari Alkitab, sehingga saya akan menurutinya? Sama sekali tidak! Alkitab adalah sumber utama tertinggi  pengajaran kekristenan yang menjadi landasan hidup saya. Saya harus taat dan belajar Alkitab setiap saat. Tager GKI itu, koq saya akan selalu menurutinya? Itu dalam kerangka pemahaman bahwa perumusan Tager GKI itu adalah proses yang panjang dan mendalam. Melalui jalan yang lama dan berliku. Konsep Tager itu sudah dimintakan tanggapannya ke tiap aras jemaat. Dimintakan bahasannya di persidangan majelis jemaat setempat, lalu dibahas di persidangan Klasis, lalu tiap Klasis itu membahasnya di persidangan Sinode Wilayah, lalu para Sinode Wilayah membahasnya di dalam Persidangan Sinode. Kemudian baru diambil keputusan. Tiap Pendeta GKI bisa berperan aktif dan punya hak dan kewajiban untuk menjaga mutu Tata Gereja itu agar bisa sesuai dengan Alkitab sebagai landasan utama kehidupan bergereja GKI.

 

Tager adalah bagian dari pengejawantahan ajaran Alkitab menjadi suatu aturan praktis bagi pelaksanaan kehidupan bergereja sehari-hari. Jadi apa yang ada di Tager sudah merupakan hasil diskusi dan perdebatan panjang untuk bisa disetujui bersama. Tager adalah panduan praktis agar dalam bergereja ada pedoman yang bisa dipakai bersama, tidak perlu mengulang-ulang lagi pembicaraan dan perdebatan tentang topik-topik lama yang sudah ada. Melalui Tager, keputusan bisa diambil dengan lebih sederhana dan praktis. Ini pedoman keseharian yang sudah dipercaya bahwa pedoman ini dibuat dengan bersarikan Alkitab. Jadi bukan saatnya dan bukan pada tempatnya untuk mempertentangkan Tager atau Alkitab.

 

Saya ini Penatua dan tidak mengerti banyak soal tafsir Alkitab. Saya tidak sekolah teologi, jadi pengetahuan teologi bukan ranah saya. Saya mempercayakan hal itu pada para Pendeta untuk mendiskusikannya dan menghasilkan Tager yang punya eklesiologi dan pemahanan yang berpadanan pada Alkitab. Saya akan mendarmabaktikan pengetahuan saya di bagian lain untuk gereja. Kemampuan untuk mengatur organisasi, kemampuan teknis yang berkaitan dengan hal-hal yang dibutuhkan untuk manajeman penatalayanan yang lainnya. Ranah saya bukan teologi, tapi saya bisa terus berpikir dan menguji segala hal teologis itu dengan kritis dan kreatif, tapi saya tidak akan keminter soal teologi itu. Sama juga yang ahli teologis jangan keminter soal mengatur keuangan dan teknis kontruksi. Maka kalau saya percaya pada Tata Gereja GKI, itu karena saya menghormati segala jerih lelah perjuangan pemikiran para pendeta GKI untuk kehidupan praktis jemaatnya.

 

Tugas yang berlanjut terus dari para Pendeta adalah memberikan latar-latar pemahaman untuk tiap point yang ada di Tata Gereja dan juga terus bergumul untuk menyempurnakan point-point yang ada demi kesesuaian dengan Alkitab. Bila ada pendeta atau jemaat (maksudnya adalah  GKI Setempat) yang berani bersuara bahwa ada bagian Tager yang tidak alkitabiah, pertanyaannnya dimana dia dulu  saat proses itu terjadi? Dimana dia saat ada persidangan-persidangan itu? Di tiap persidangan Pendeta GKI punya hak untuk hadir dan punya kewajiban untuk memperjuangkan sesuatu yang dirasa tidak sesuai dengan ajaran Alkitab. Kalau memang ada penyimpangan, harusnya mereka yang jadi garda depan untuk mengusulkan amandasi dan perubahannya. Bukan malah-malah berteriak-teriak di jemaat untuk sekedar menunjukkan betapa baiknya beliau dengan tidak menyetujui Tager itu, karena itu cuma berpotensi membingungkan jemaat awam saja. Mari berjuang meningkatkan kualitas pemahaman dan pelaksanaan ajaran Alkitab agar dapat mendatangkan Kerajaan Allah di muka  bumi ini.

 

Tata Gereja GKI bukan sesuatu yang final dan kekal hingga kesudahan segala jaman. Ada banyak hal yang terus harus diperbaiki dan disempurnakan dalam kehidupan menggereja GKI. Menyempurnakan atau merubah Tata Gereja memang bukan suatu yang tabu dilakukan, karena memang ini buatan manusia yang punya keterbatasan dalam mengejawantahkan kehendak Tuhan dalam Alkitab. Banyak cerita yang mungkin bisa mengungkapkan kondisi menghidupi Tata Gereja GKi ini. Ada cerita-cerita yang saya temui di sepanjang kesempatan melayani di lingkup-lingkup luas di GKI.

 

Ada cerita tentang emeritasi pendeta. GKI memahami bahwa kependetaan itu seumur hidup, jadi tidak ada istilah pensiunan Pendeta GKI. Emeritasi adalah sebuah penghargaan dan penghormatan pada Pendeta yang sudah melayani dalam kurun waktu tertentu. Penghargaan pada pendeta yang sudah mempersembahkan kehidupannya bagi pelayanan jemaat. Di sisi yang lain ada pasal-pasal yang mengatur dan memberi ruang bagi Pendeta-Pendeta yang bermasalah atau berkondisi tertentu untuk bisa masuk dalam emeritasi dini asal sudah menjalani dua puluh tahun  masa pelayanan atau berumur 55 tahun. Dua kondisi ini bertentangan, maka ada keinginan kuat untuk bisa menegaskan konsep emeritasi itu sebagai sebuah penghargaan bukan sebagai pensiunan. Inilah pasal yang akan diubah atau diamandasi di Tata Gereja GKI. Pintu Emeritasi dini akan hilang dari Tata Gereja GKI. Pendeta bermasalah itu harus ditanggalkan bukan di emeritasi dini. Semua sinode wilayah sepaham tentang hal ini.

 

Ada juga cerita tentang Perjamuan Kudus untuk anak. Saat ini Perjamuan Kudus di GKI hanya boleh diikuti oleh yang sudah Sidi, mengaku percaya,  bukan yang hanya sudah dibaptis di masa anak-anaknya. Untuk mengikuti Sidi, harus ikut Katekisasi, untuk Katekisasi ada batasan umur minimalnya, jadi otomatis anak-anak tidak  bisa ikut Perjamuan Kudus. Dengan terus berkembangnya pemahaman teologis tentang anugerah keselamatan Tuhan, batasan atau kategori umur ini dipertanyakan. Perbincangan teologis ini terus dilakukan. Sinwil Jateng sebagai pengusung awal ide ini memperjuangkan perubahan Tata Gereja di bagian ini. Sinode wilayah Jabar belum bisa menyetujui perubahan ini. Sinwil Jatim masih terus mengkaji bahasan ini. Saat ini belum bisa dilakukan perubahan Tata Gereja untuk masalah ini. Tetapi usaha untuk mempelajari dan menggumuli topik ini tetap dilakukan dengan serius. BPMSW Jateng mengambil keputusan untuk melakukan uji coba tentang hal ini, beberapa gereja melakukannya, salah satunya GKI Pondok Indah Jakarta. Mereka melakukan Perjamuan Kudus untuk anak dalam rangka memenuhi amanat uji coba pemahaman baru ini. Sedangkan di lingkungan Sinwil Jatim, karena kita masih terikat dengan Tata Gereja yang ada, maka beberapa GKI di Jatim yang melakukan Perjamuan Kudus untuk anak, diminta menghentikannya demi kesederapan yang ada. Belum semua Sinode Wilayah bisa menerima dengan bulat Perjamuan Kudus untuk anak ini.

 

Keaktifan GKI untuk mau berpikir dan berkarya menanggapi perubahan jaman bukan cuma berguna untuk usaha merubah dan menyesuaikan tata gerejanya saja, tetapi kegiatan ini juga beruntung bisa di jaga oleh koridor Tata Gereja GKI. Saat ada beberapa wacana untuk mulai berbicara dan mendiskusikan perihal LGBT. Tiba-tiba GKI diterpa isu bahwa akan segera ada pernikahan sejenis di GKI. Isu itu dengan mudah ditepis GKI dengan merujuk pada Tata Gereja GKI tentang pernikahan yang dengan jelas melibatkan pria dan wanita, bukan pria dan pria, atau wanita dan wanita.  Di sini keberadaan Tata Gereja memang bisa memberikan kejelasan dengan gamblang untuk kasus yang ada.

 

Tata Gereja memang bisa bertugas memberi panduan praktis yang harus selalu siap dikoreksi dengan pemahaman bahwa semua yang sudah ada ini, dibuat dengan maksud baik untuk tujiuan baik pula. Kalaupun ada kekurangan, kelemahan dan kesalahan itu karena memang kita manusia yang lemah yang butuh panduan Tuhan melalui hikmat Roh Kudus yang juga bersumber dari pendalaman Alkitab sebagai firman Tuhan.

 

Di masa pelayanan ini, cerita paling seru perihal Tata Gereja ada pada saat membahas soal pernikahan. Pernikahan dengan pasangan yang pernah cerai hidup atau pernikahan dengan pasangan yang bukan Kristen. Sebenarnya yang bukan Kristen itu juga berarti Katholik. Karena walaupun sama-sama beriman kepada Yesus Kristus, secara hukum di Indonesia Agama Katholik itu bukan agama Kristen Protestan. Biasanya masalah ini meruncing saat yang diartikan bukan Kristen itu adalah Islam, Budha, Hindu atau KongHucu.

 

Ada yang berpolemik dengan meruncingkan perdebatan antara Tata gereja dan Alkitab yang menurutnya menentang pernikahan kedua ataupun Alkitab yang menjelaskan ketidakmungkinan bersatunya terang dan gelap. Polemik ini akan semakin sering terjadi dengan semakin mengindonesianya GKI. Dengan makin terbukanya GKI, maka kehadiran jemaat dengan beragam latar belakang akan berpotensi beragam latar belakang teologis dari gereja sebelumnya. Belum lagi dengan makin terbukanya informasi internet, akan makin membuat banyak jemaat termasuk kemudian Penatuanya belajar dari beragam sumber teologis. Tidak berarti kita harus menyaring antara benar dan salah. Tetapi harus dengan kedewasaan pemahaman bahwa lain lubuk lain belalang, lain rumah lain aturan. Maka dengan pemahaman sebelumnya bahwa Tata Gereja GKI adalah hasil pergumulan iman para pendeta dan jemaat GKI yang bertanggungjawab pada Tuhan dan berlandaskan Alkitab, maka tidak pada tempatnya untuk kembali memperdebatkan hal itu. Tidak ada ruang untuk Set-Back di tataran pelaksanaan Tata Gereja.

 

Memahami keberatan gereja akan perceraian juga menjadi landasan kuat untuk mempertahankan pernikahan dengan sekuat tenaga. Memahami juga keterbatasan manusia yang berdosa dan butuh pengampunan dan kesempatan memulai lagi hidup baru, juga bisa membuka peluang bagi seseorang untuk bisa memulai kehidupan pernikahannya lagi. Bila gereja memberi peluang itu maka gereja akan bisa dimanfaatkan untuk bisa melegalkan perceraian dan pernikahan kesekian kalinya? Disini letak panggilan gereja untuk menjadi agen pembaharu bagi jemaat. Gereja bukan Lembaga pemberi stempel saja. Gereja harus aktif sebagai agen pembaharu kehidupan jemaat. Maka proses percakapan pastoral menjadi tahapan yang penting saat gereja menghadapi keputusan untuk pernikahan bagi jemaat yang akan menikah. Percakapan pastoral yang bukan formalitas, percakapan pastoral yang bisa menggembalakan jemaat untuk memahami dan mempersiapkan suatu pernikahan yang benar dan menjadi berkat. Percakapan pastoral ini juga bukan percakapan pengadilan yang bila ditemukan hal yang tidak sesuai atau belum sesuai dengan norma gereja, langsung bisa ditolak permohonan pemberkatannya. Percakapan pastoral itu yang harusnya memandu jemaat itu menuju jalan dan cara berpikir yang benar.

 

Konsep untuk bisa tetap merangkul dan menjaga serta memberi kekuatan pendampingan pada jemaat itu juga yang menjadi landasan untuk mau menerima pernikahan dengan yang tidak seiman. Percakapan pastoral tetap akan menjadi titik masuk kehadiran gereja bagi masalah ini. Percakapan pastoral bukan formalitas.

 

Dalam percakapan pastoral inilah segala titik pijak gereja dikomunikasikan dan disampaikan dengan harapan itu diterima dan dijadikan panduan pernikahan tersebut. Pendeta harus bisa dengan tegas menyampaikan ajaran dan harapan gereja. Pendeta tidak bisa tidak mau tahu bila jemaat tersebut misalnya tidak mau pernikahannya didaftarkan di Catatan Sipil. Tidak juga bisa bersembunyi dengan bilang secara hukum hal itu dimungkinkan di Indonesia, karena Gereja tidak pernah bisa menerima konsep Nikah Siri. Percakapan Pastoral harus bisa menjadi ruang bagi gereja untuk menyampaikan segala panduannya. Bila panduan itu ternyata ditolak, maka gereja juga harus berani menolak pemberkatan nikah itu juga.

 

Singkatnya, seharusnya tidak mungkin ada ruang bagi Pendeta, jemaat (dalam arti umat atau GKI setempat) untuk menolak melaksanakan Tata Gereja GKI. Memberi masukan perbaikan pasti bisa, tapi bukan dengan bangga menolaknya, karena di semua liturgi Baptis Dewasa/Sidi dan Penerimaaan Jemaat, kesediaan menerima Tata Gereja GKI  ini ditanyakan. Yang menanyakan adalah Pendeta dan yang menjawab adalah jemaat tersebut. Bukan untuk mendewakan Tata Gereja GKI, tapi bagaimana bersikap itulah yang perlu direnungkan……

 

 

(kelanjutannya.....)

12 Februari 2022

Bioskop

Saya dulu tidak boleh keluar malam, jam 4 sore sudah harus pulang rumah dan mandi, dulu Bondowoso itu dingin untuk mandi terlalu malam. Jadinya tidak mungkin saya nonton bioskop, bisanya cuma koleksi selebaran film yang sedang main di bioskop-bioskop itu. Dulu, setiap ganti film akan ada mobil Colt yang keliling kota untuk woro-woro, lalu saya mengejar mobil itu untuk sekedar minta selebaran film-film itu. Banyak nama bintang film yang saya hafal, bukan karena saya sering nonton filmnya, tapi hanya dengar dari iklan mobil keliling dan selebaran itu. Sampai sekarangpun belum tentu setahun sekali saya menonton film di bioskop.

 

Bukan berarti saya tidak suka dengan bioskop, saya suka cerita. Dari banyak cerita saya bisa melihat banyak segi kehidupan dan pola pikir banyak orang. Pernah saya selalu menikmati perjalanan dengan pesawat yang ada tontonan filmnya, Batik Air awalnya ada filmnya. Juga penerbangan ke luar negeri yang berjam-jam, kadang saya nikmati dengan nonton beberapa film. Enak memang. Eh, sekarang ada banyak wadah untuk bisa nonton film dengan tidak terikat ruang dan waktu, bisa kapan saja dan dimana saja. Tinggal ndompleng akun Netflix, Viu, Iqiyi anak saya. Dari cerita film itu saya sering belajar dan mengerti banyak hal. Memahami alur pikiran dan latar masalah yang ada di kehidupan ini.

 

Saya sering masuk dalam suasana seperti nonton bioskop. Ada peristiwa-peristiwa yang saya lihat seperti saya menonton bioskop. Bioskop-bioskop kehidupan yang benar-benar nyata. Saya banyak bergaul dengan orang-orang yang lebih tua dari saya. Mereka-mereka yang lebih senior dari saya. Mereka itu yang banyak mengajari saya. Baik, bila itu adalah hal-hal yang baik dan positif, tapi banyak hal lain yang mereka ajarkan ke saya. Banyak kenakalan dan kejalangan yang mereka ajarkan yang awalnya untuk menunjukkan betapa menyenangkan dan nikmatnya hal-hal itu mereka jalani. Mereka menceritakan bagaimana mereka menjalani dan menikmati perselingkuhannya. “Bayangkan, pulang kerja, kaos kaki aja dibukakan..” Belum lagi tip dan trik detail lainnya. “Bagaimana kamu menjawab kalau sampai di kantong pakaian kotor kamu ditemukan k*nd*m?” “Pokoknya Daniel… kamu harus begini……… kalau sampai kamu ketangkap basah..” Ada juga: “ Urusan pelaporan dan pajaknya bisa kamu serahkan ke orang itu…” Waduh.. semuanya lengkap, karena bukan dari satu orang saja pelajaran-pelajaran itu, dan mereka semua adalah praktisi handal di bidangnya. Saya sendiri seru menikmati semua cerita itu.

 

Sekarang ini, seperti ada bioskop-bioskop yang saya tonton. Gambaran nyata tentang segalanya yang muncul dengan berjalannya waktu. Seorang teman yang dulu bangga dengan kisah perselingkuhannya, harus tergeletak stroke beberapa belas tahun. Istri yang dulu ditinggalnya, kini ia yang malahan merawatnya dengan telaten. Seorang teman yang  terakhir datang dengan mobil mewahnya, mentor saya untuk import barang, tampak berompi oranye di suatu berita. Belum lagi, “Pa, teman Papa yang diwawancarai Desi Anwar itu, kemarin ditangkap KPK” Itu kata anak saya di suatu hari setelah OTT KPK. Segala kisah seru, indah dan nikmat itu kini terasa tak berarti lagi. Sudah terlalu banyak peristiwa yang nampak seperti bioskop yang terputar di depan saya. Bioskop yang selalu mengingatkan saya.

 

Adegan-adegan bioskop kehidupan itu menguatkan dan mengingatkan akan Amsal  “Permulaan hikmat adalah takut akan Tuhan…”

 

(kelanjutannya.....)

06 Januari 2022

Makelar

Di awal tahun, hal yang selalu saya ingat adalah memasukkan laporan pajak, SPT. Sudah sejak kelas enam SD saya mengisi SPT. Dulu saya mengisikannya untuk Emak saya, karena saya merasa Emak dipermainkan oleh petugas pajak yang selalu datang untuk  urusan itu. Saya kemudian nekad mempelajari panduan pengisiannya dan kemudian nekad mengisikannya untuk Emak saya. Sampai Emak meninggal tidak ada surat teguran pajak yang diterimanya. Kini saya mengisi untuk saya sendiri dan saya mengisi dengan jenis pekerjaan bebas sebagai makelar. “Itu norma perhitungannya 50%!” Kata teman yang petugas pajak di selasar gereja kemarin.

 

Makelar itu jasa perantara. Saya memulai bisnis saya dengan BIMANTARA, Bisnis Makelar dan Perantara. Cari order, dapat, lalu dicarikan teman yang bisa mengerjakannya. Cuma menjadi perantara antara yang membutuhkan barang dan yang mempu menyediakan barang tersebut. Ada yang membutuhkan barang tapi tidak tahu dimana yang punya barang, ada yang punya barang tapi tidak tahu siapa yang butuh barang itu. Saya yang menjembatani dua pihak itu. Saya makelarnya.

 

Dalam banyak tokoh Alkitab, yang saya kagumi adalah Maria, Bunda Yesus. Sosok ini hilang di tradisi gereja protestan, tapi tetap tercatat dengan baik di Alkitab. Yang dikerjakan Bunda Maria hanya menjadi perantara. Bunda Maria menjadi perantara untuk kehadiran Yesus di Bumi. Bunda Maria tidak menyelamatkan umat manusia dari dosa, tapi melalui perantaraan  Beliau, Yesus hadir menyelamatkan umat manusia. Di Perkawinan di Kana, Bunda Maria tidak melakukan mujizat. Beliau hanya memohon pada Yesus dan memberitahu petugas disana untuk menuruti apa yang akan diberitahukan oleh Yesus. Maka terjadilah mujizat pertama Yesus itu. Menjadi perantara agar kuasa dan kasih Tuhan terjadi, itu yang mengagumkan dari Maria.

 

Entah mungkin ini sudah takdir dan garis tangan atau talenta saya, menjadi makelar itu juga yang mendasari semangat pelayanan saya. Menjadi makelar bagi kasih Tuhan itu yang ingin saya jalani. Bukan karena saya hebat, tapi karena cuma  itu yang saya bisa. Saat manusia tidak pernah melihat Tuhan, siapa tahu saya bisa menjadi perantara visualisasi kehadiran Tuhan itu. Perantara itu cuma mengisi ruang-ruang kosong yang menyekat suatu proses, apapun ruang kosong itu. Bisa itu membantu mempertemukan jemaat yang membutuhkan obat dengan apotek yang punya obat. Bisa juga mempertemukan yang belum sadar dengan cermin yang memantulkan potret dirinya. Makelar itu ketrampilannya cuma melihat celah yang menghambat dan celah itulah yang diisi oleh makelar itu. Entah apa lagi yang bisa saya makelari.

 

Kalau saya melakukan sesuatu semoga itu akan membawa orang lain bisa merasakan kebaikan Tuhan yang pasti jauh lebih baik dari kebaikan yang bisa saya lakukan.

(kelanjutannya.....)