Pagi itu anak saya bilang, “Aku koq kalau mau berangkat kerja selalu deg-deg-an.” Saya jawab, “Apa ada yang salah kerjaannya?” Kita kemudian masuk di percakapan yang membahas kata salah ini.Topik salah ini memang selalu menarik buat saya, karena itu yang tiap hari saya hidupi di bengkel saya. Hidup berdamai dengan yang namanya salah dan kesalahan.
Bengkel itu berbisnis dengan jasa. Mengerjakan pesanan yang selalu berubah. Dengan makin ganasnya persaingan dan tekanan beban biaya overhead, maka sudah seharusnya saya menerima pekerjaan yang makin mahal. Caranya bukan dengan menjual dengan harga yang lebih mahal dari bengkel lain, tapi mengerjakan yang lebih sulit dan rumit yang bengkel lain kesulitan untuk mengerjakannya. Sayalah yang mencari order dan berhubungan dengan konsumen, tapi yang mengerjakan adalah para anak buah saya. Sayalah yang berjanji, tapi anak buah saya yang menyajikannya. Hal yang rumit adalah saat ada kesalahan yang terjadi. Saat anak buah saya salah dan dia tidak lapor, saya yang akan dimarahi oleh konsumen. Maka budaya kerja yang harus saya bangun di bengkel saya adalah bagaimana sebuah kesalahan itu ditangani. Budaya mau selalu lapor akan kesalahan yang sudah dibuat! Tidak boleh ada orang yang tidak menceritakan kesalahannya. Ini bukan untuk memarahi atau mempermalukannya, tapi untuk mengatasinya dan untuk mempelajari agar itu tidak terulang lagi. Budaya ini dibangun dengan sulit, karena saat orang salah dimarahi dia tidak akan mudah melapor. Saat orang salah pasti tidak dimarahi, dia bisa meremehkan dan cenderung teledor. Budaya mau mengakui kesalahan ini yang diusahakan dengan berapapun biayanya. Ini harus dibangun, karena ini yang bisa meningkatkan kualitas bengkel.
Tantangan soal salah ini memang besar. Saya bisa jadi memang suka berbuat salah. Karena saya merasa bisa makin berwibawa kalau saya bisa melanggar dan berbuat salah. Saya akan makin merasa hebat kalau saya bisa melanggar prosedur. Apa hebatnya saya kalau saya bisanya cuma tunduk pada prosedur yang ada? Saya bisa jadi juga membutuhkan kesalahan orang lain. Jangan sampai orang lain jadi baik dan tidak berbuat salah lagi, nanti saya tidak bisa punya alasan pembenar diri lagi. Makanya, budaya berdamai dengan salah itu, akan menjadi suatu proyek sulit yang berbiaya mahal. Mahal karena yang dibayarkan bukan cuma sebatas harga yang dapat dinilai dengan uang. Ada harga yang lebih mahal yaitu keenganan saya untuk bisa menumbuhkan pembaharuan diri agar bisa berkontribusi pada kelompok atau sekitar saya. Tantangan untuk menangani salah dengan mendasar adalah tantangan kedewasaan jiwa. Mendewasakan jiwa saya agar orang lainpun terpanggil untuk mau jadi dewasa. Masihkah saya kecanduan salah?
Mutu sebuah perusahaan atau organisasi bisa dilihat saat ada kesalahan yang terjadi. Bagaimana kesalahan itu diterima atau ditanggapi atau ditangani. Ada yang berpikir bahwa organisasi yang baik adalah yang tidak pernah salah. Apakah itu mungkin bila bawaan saya sebagai manusia yang berdosa ini sudah lekat melekat dengan dosa dan salah? Di bengkel, saya sering bilang, cara mengurangi komplain adalah dengan tidak terima order! Karena makin besar perusahaan akan makin banyak komplainnya. Tapi bagaimana komplain itu dikelola itu yang menunjukkan kelasnya. Pengalaman saya sebagai sales mengatakan, jangan takut saat ada yang komplain, karena bila pelanggan yang komplain itu ditangani dengan baik, mereka malah akan jadi pelanggan yang setia. Mereka dapat terpesona dengan cara penanganan kesalahan yang dilakukan. Penanganan kesalahan bisa jadi upaya promosi yang lebih kuat dari sarana promosi biasa.
Karunia terindah Tuhan adalah menang dari dosa dan salah, bukan dibuat tidak pernah salah atau juga bukan dibuat mampu untuk bisa salah dengan bangga. Hai maut dimana sengatmu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar