Saya mulai belajar renang kelas lima SD. Pindah ke Bondowoso memberikan suasana yang lain. Saya bisa bebas bermain ke mana saja. Di Surabaya, pulang sekolah cuma di rumah saja. Saya bersepeda ke Tasnan, kolam renang peninggalan Belanda yang jaraknya 7 km ke arah Jember. Bersepedanya saja sudah menyenangkan, apalagi renangnya. Saya bukan orang yang suka berolahraga, karena memang saya bukan orang yang trampil dan cekatan. Saya cuma suka iseng, suka mengganggu orang. Saya merasa enak bila mengganggu orang di kolam renang. Jadi saya berusaha belajar renang.
Seminggu dua kali ke Tasnan, awalnya dengan Papa saya karena saya belum bisa renang. Papa yang mengajari saya, cara mengapung, cara meluncur kemudian menggerakkan tangan dan kaki. Akhirnya saya bisa renang. Makin lama makin baik. Akhirnya bukan cuma renang semua gaya, tapi belajar untuk menahan napas saat menyelam. masuk dari satu sisi kolam renang, muncul di sisi yang lain. Selama menyelam bisa banyak keisengan yang dilakukan. menarik kaki orang, muncul tiba-tiba di tengah-tengah orang. Awalnya hanya karena iseng itulah saya belajar renang.
Tasnan itu kolam renang yang menyegarkan. Airnya asli dari mata air yang terus mengalir. Bukan seperti kolam renang di Surabaya yang airnya disirkulasi dan diberi zat kimia, tawas, kaporit dan lainnya. Ini murni air mengalir yang ditampung, malahan ada ikan mas besar di bagian kolam yang paling dalam, rasanya dua meter lebih kedalaman kolam yang ada menara loncatnya. Setiap Jumat di kuras, sehingga saya renangnya Rabu dan Sabtu. Saya lupa bayarnya berapa ya? Seingat saya dua puluh lima rupiah. Segemik, Bahasa Maduranya. Jalan menuju Tasnan menanjak, menjelang masuk pintu gerbangnya baru ada turunan yang curam sekali. Jalan ini yang jadi tantangan saat bersepeda pulang, apa bisa tanpa turun menuntun sepeda? Ada juga tantangan, separuh jalan pulang tidak perlu mengayuh sepeda karena jalannya menurun ke arah Bondowoso. Dari sini saya belajar prinsip: pengereman adalah pemborosan energi.
Setelah kembali kuliah di Surabaya, saya tidak pernah renang, karena biayanya mahal. Di ITS ada unit kegiatan selam di Taman Tirta, sekarang jadi Hotel Shangrila, tapi itu terlalu mahal buat saya. Puluhan tahun saya tidak rutin berenang lagi. Sampai ada rekan-rekan sektor Wiyung mengajak renang di Royal Residence. Mulailah saya renang lagi, tapi kali ini ceritanya lain, sudah bukan untuk iseng lagi karena ada Bapak yang badannya jauh lebih kekar dari saya. Renang rutin kali ini membebaskan saya dari seringnya saya cidera punggung, kecentit. Dengan renang saya tidak pernah kecentit lagi. Belum lagi saya mengalami Piriformis. Kesakitan di paha mulai dari pantat. Katanya itu akibat saya meletakkan dompet di saku celana belakang. Ini yang secara bertahun-tahun menekan syaraf yang ada. Sakitnya bukan main bila lagi kumat. Proses duduk kemudian berdiri akan sangat sakit. Ternyata ini bisa sembuh dengan dengan renang. Saya jamin ini sembuh karena renang! Buktinya saat pandemi, saat saya tidak renang lebih dari setahun, semua penyakit itu kambuh lagi. Selama pandemi saya kecentit beberapa kali, priformis saya juga kambuh dengan lebih menyakitkan lagi. Makanya saya nekad renang lagi.
Renang di masa pandemi menang menakutkan, tapi secara teori, kuman mati di kolam renang, karena kadar chlorine yang ada. Buktinya, di kolam renang tidak ada lumut, itu bukan karena disikat, tapi itu karena kadar chlorine yang membunuh lumut di kolam itu. Resiko Covid ada dari pengunjung lainnya, makanya saya renang saat kolam sepi, saat tengah hari. Anggap saja sekalian berjemur. Saya berenang minimal seminggu sekali, satu jam nonstop. bila di Royal Residence berarti itu dua puluh lima kali putaran. Bila di GOR Sidoarjo itu sebelas kali. Bila di WBM itu delapan belas kali putaran. Bila di Roca itu dua belas kali. Kali ini saya renang bukan untuk mengisengi orang lain, tapi untuk menghindari diisengi oleh penyakit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar