26 Januari 2021

Mengenang Agus Muljono Sang ISO Implementer

Sudah beberapa kali saya diminta bercerita tentang mendiang teman baik ini. Cerita yang langsung keluar seingatnya saja di acara Kebaktian Penghiburan via Zoom. Tapi cerita itu benar-benar tertanam di benak saya, jadi bisa langsung keluar dengan lancar saja kapan saja. Tapi, baru saja,  pembicaraan lewat telpon dengan istrinya yang sedang berjuang melawan Covid membuat saya ingin menuliskan cerita itu. Cerita tentang seorang biasa yang luar biasa. Tidak pernah terpikir ternyata teman ini sampai segitunya.

 

Kita saling mengenal tahun 1987, saat saya mulai kuliah. Beliau kakak kelas saya se fakultas. Agus Teknik Kelautan, saya Perkapalan. Masing-masing Angkatan hanya satu kelas. Jadi kita bisa sering bertemu. Kadang saya digonceng naik Honda SuperCup merahnya dari atau ke gedung W perkapalan yang jauh dari lokasi angkot di Arief Rahman Hakim. Di kampus kita bertemu, dan di gereja kita juga bertemu. Maka jadilah kita akrab. Saya juga sering menemaninya datang ke kost cewek yang dia incar. Tempat kost Tante Sun di jalan Prapanca itu.

 

Hal besar yang Agus berikan pada saya pribadi adalah saat saya sudah mulai malas kuliah. Semester delapan saya sudah selesaikan semua mata kuliah saya, sisa Tugas Akhir saja. Saya kemudian kerja penuh waktu. Ternyata bekerja itu melelahkan dan menyita banyak waktu dan tenaga dan fokus. Saya sudah berpenghasilan dan rasanya sudah tidak butuh ijazah ITS lagi. Agus yang bilang, kalau kita perlu lulus itu bukan karena kita butuh ijazah, tapi agar memuaskan dan memberikan kebanggaan pada orang tua kita yang sudah menyekolahkan kita dari kecil. “Memberikan kebanggaan buat papamu” itu pesan Agus yang saya ikuti dan mendorong saya lulus di semester empat belas, nyaris DO.

 

Lulus ITS itu membuat saya punya semangat lain. Mengejar cita-cita awal untuk bisa jadi dosen. Saya sejak awal sudah siap dengan kursus Bahasa Jerman di Goethe Institut. Saya sudah M1 dari tingkatan tertinggi M2 saat itu. Jaman Habibie, rasanya saya akan sekolah lanjut di Jerman. Itu cita-cita awal saya. Nilai saya cukup untuk jadi dosen. Masalah yang ada cuma tentang gaji, gaji yang katanya delapan puluh lima ribu sebulan itu tidak cukup. Saat itu gaji saya sudah seratus tujuh puluh lima ribu sebulan belum lagi yang dari memberi les. Seratus ribunya buat kuliah adik saya. Rasanya tidak terlalu masalah karena banyak dosen yang bisa menerima banyak proyek yang hasilnya bisa lebih besar lagi. Agus kembali menasehati ,”Kalau kamu tidak bisa jadi yang terbaik, lebih baik tidak usah. Menjadi dosen dengan banyak proyek hanya akan jadi bahan pergunjingan mahasiswa saat bolos ngajar. Percuma!” Kali inipun saya menuruti nasehatnya. Saya tetap jadi sales.

 

Kita sama-sama melarat, tapi Agus masih lebih baik, karena dia masih punya sepeda motor. Kita sama-sama giat bekerja karena sudah malas miskin. Kita harus mampu mengatasi kondisi keuangan kita masing-masing. Saat kita saling berbagi cerita tentang kepahitan hidup ini diapun berkata , ”Sepahit-pahitnya hidupku. Hal yang aku syukuri adalah mendapatkan istri Novi.” Agus orang yang setia dengan tempatnya bekerja. Masuk mulai dari bagian gudang sampai menjadi seorang ISO Implementer. Agus hafal semua prosedur ISO. Sering pertemuan kita diwarnai tentang topik ISO ini. Saya juga minat karena ini penting untuk bengkel dan bisnis saya. Sering dia menyarankan banyak hal. Hal yang terasa malah membuat ribet hidup saya. Tapi ya saya merasa itu karena dia seorang ISO Implementer di kesehariannya.

 

Setelah Dipo kena bom, Agus bicara banyak tentang prosedur evakuasi yang benar. Saya bingung, bagaimana mau menerapkannya di lahan yang sudah terbatas ini. Saat ada kegiatan ke luar kota dengan naik bis, Agus memaksa saya untuk memberikan “safety induction”, penjelasan bila ada keadaan darurat. Hal yang biasa dilakukan di pabrik-pabrik besar yang saya datangi. Kalau bukan dia, pasti saya sudah marah saja, nambah-nambahi kerjaan. Pernah dia yang saya suruh bicara saja.     

 

“Telah berpulang ke rumah BAPA di surga, Agus Muljono, usia 56 tahun pada hari selasa tgl 12 januari 2021 pukul 01.10 WIB karena Covid. Jenazah dikremasi dikeputih dengan protocol Covid. Uang duka dapat ditransfer ke rekening BCA nomor 788**68*** atas nama Ivan Muljono, atau rekening BNI nomor 032*****37 atas nama Michael Muljono.” Itu teks yang di WA ke Novi hari Jumat, sebelum Selasanya dia pergi. “Nanti kamu tinggal ngisi tanggal dan jamnya ya..” Gila! Koq bisa ya? Tapi saya bisa mengerti dia. Seorang ISO implementer sejati! Dia sudah bisa mempersiapkan hal-hal yang terburuk sekalipun.

 

Setelah kepergiannya, ada rekening bank yang masih berisi lumayan. Rekening yang selalu disiapkan untuk persembahan Gereja. Dulu saat membangun rumah, ternyata melebihi anggaran yang disiapkan. Tapi Agus tetap memberikan semua uang yang ada di rekening itu untuk persembahan. Dia juga sudah memberikan pesan tentang tagihan kartu kreditnya. Detail-detailnya sudah dijelaskannya pada anak-anaknya.

 

“Kenapa kamu menangis?”

“Aku gak nangis koq”

“Aku tau kamu menangis. Gak perlu menangis, karena aku sudah menyiapkan semuanya”

Itu sepenggal percakapan di pertemuan terakhir di IGD RSI itu antara Agus dan Novi.

 

Agus telah pergi dengan segala ketenangannya. Tenang karena sebagai ISO Implementer sejati sudah mempersiapkan segalanya sesuai  ilmu yang dipelajarinya dan dijalaninya. ISO Implementer yang juga tahu bahwa jiwanya juga sudah diselamatkan dan disambut oleh Sang Juru Selamatnya. Imannya juga sudah selaras dengan pengetahuannya yang memandunya pada kepastian suatu proses. Proses kepastian keselamatan jiwanya. Tidak ada keraguan dan ketakutan saat dia percaya bahwa proses yang dijalaninya sudah benar.

 

(kelanjutannya.....)

23 Januari 2021

Sukarela 4.0

 

Sukarela adalah sebuah nilai yang pernah tertanam di benak saya puluhan tahun yang lalu. Saat mulai mengenal pelayanan  di gereja, nilai kesukarelaan itu yang ditumbuhkan. Bersama banyak teman bersama-sama melayani, melakukan hal-hal untuk orang lain dengan tidak memikirkan imbalannya. Pernah saya menjadi panitia Natal untuk sekolah-sekolah Negeri, kita mengumpulkan dana untuk pelaksanaan acara itu. Setelah pelaksanaan ternyata ada kelebihan uang, kita membuat acara pembubaran panitia dengan membagikan kelebihan dana itu dalam bentuk sembako bagi penduduk di desa terpencil di sebuah air terjun. Kita malah rugi ongkos transport ke sananya. Kalau di kampus panitia pencari dana bisa mendapatkan imbalan berupa sepuluh persen dari dana yang di dapat. Tapi di pelayanan ini, kita tidak pernah memikirkannya.

 

Pelayanan itu setahu saya sepenuhnya sukarela dan malah tombok. Kesukarelaan ini bukan nilai yang saya kembangkan. Saya hanya belajar dari para pendahulu saya. Pernah saat mau berangkat survei tempat Camp, seorang Tante bertanya,"Kamu bawa uang ?" Saya tidak berani menjawab, cuma diam saja. Beliau langsung membuka tasnya dan memberikan uang lima ratus ribu Rupiah. Saat itu bensin seliter hanya lima ratus Rupiah. Beliau juga yang selalu minta diberitahukan jadwal rapat kami. Beliau antusias datang, bukan untuk mengarahkan rapat, hanya berusaha selalu menyediakan makanan untuk kami semua. Tante itu memang kaya, tapi beliau juga memerlukan banyak uang untuk cuci darah seminggu dua kali. Kalau melihat apa yang sudah beliau korbankan, maka apa yang saya lakukan bukan apa-apa lagi. Saya cuma rugi waktu, itupun kalau tidak ikut pelayanan saya juga pasti pengangguran yang kesepian.

 

Sekarang jaman berubah. Semua memang serba mahal dan semua juga tidak ada yang gratis. Pipis saja harus bayar! Untuk menuju ke gereja saja sudah butuh biaya, belum lagi pelaksanaan acaranya nanti. Masihkah sukarela  itu relevan? Saya menjadi bertanya dulu itu kenapa ya saya mau sukarela? Rasanya tergantung dari sisi mana saya menempatan diri saya. Kalau saya ada di sisi penyelenggara gereja yang butuh mengadakan acara dan acara itu harus bagus dan menarik, mungkin saya harus membayar apa yang harus saya selenggarakan dengan baik. Gereja adalah event organizer yang butuh bagus dan memang kebagusannya harus diusahakan dengan membayar para pendukungan acaranya. Lain lagi kalau saya menempatkan diri sebagai kumpulan orang yang bisa punya kesempatan untuk memuliakan Tuhan melalui talenta dan semua yang dipunyainya. Kalau Gereja adalah kumpulan orang-orang yang mau bersyukur, asal ada wadahnya saja, semua orang akan mengungkapkan syukurnya dengan gembira. Mengungkapkan syukur masak masih butuh bayaran?

 

Di gereja juga masih ada acara unduh-unduh. Ini bagian dari perayaan syukur jemaat atas segala berkat Tuhan di kehidupan ini. Simbol yang sering ditampilkan ada banyak hasil bumi yang disimbolkan sebagai ungkapan syukur. Ada sayuran, ada buah-buahan, bisa ada telur ayam, bisa ada pisang, bisa ada mangga. Dulu memang itu hasil yang selalu didapatkan, saat jaman agraris. Jaman saat kakek moyang saya berburu di hutan dan mengumpulkan hasil tani dan ternaknya. Tapi kini saya sudah getol seminar tentang jaman four point zero, jaman 4.0. Jaman digital yang katanya IoT, Internet of Things. Kalau bicara tentang jaman memang 4.0 yang keluar. Kalau bicara tentang unduh-unduh dan pengucapan syukur, yang dibawa ke gereja masih sayur, buah dan hasil bumi. Hidup keseharian sudah IOT tapi penghayatan persembahan saya hanya sampai pada versi jaman Hunter and Gathering. Berpadanankah ini? 4.0 ini butuh unduh-unduh yang IoT. Saya perlu membawa ketrampilan digital saya ke gereja sebagai persembahan syukur saya. Saya sudah harus berpikir apa yang saya bawa ke unduh-unduh di gereja nanti bukan pisang atau singkong, karena saya tidak bercocok tanam. Saya sehari-hari bergaul dengan dunia digital dan inovasi teknis, ketrampilan dan hasil teknologi ini yang perlu saya bawa ke unduh-unduh gereja. Bisa jadi itu metal welded product, bisa jadi itu CNC machined stainless steel part. Apa itu? Itulah kekinian profesi saya. Jadi itulah persembahan sukarela yang bisa saya persembahkan sebagai ungkapan syukur di gereja. Mempersembahkan kesukarelaan IoT untuk bersyukur pada Tuhan mungkin perlu mulai saya lakukan.

 

 

 

 

 

(kelanjutannya.....)

16 Januari 2021

Meme Masuk Koran

Meme itu panggilan untuk anak saya yang kecil. Sekitar sepuluh tahun lalu, sekolahnya berencana mengadakan peringatan ulang tahun yang besar besaran, mungkin itu angka ulang tahun yang memang indah. Di Grand City. Tiap jenjang pendidikan mungkin diminta untuk mengisi acara itu, anak SD diminta mengisi dengan tari-tarian. Tiap sekolah diminta utusannya. Kata gurunya dengan bisik-bisik, yang diplih adalah yang cantik, tinggi dan tidak gemuk. Meme terpilih mewakili sekolahnya untuk audisi. Undangan sudah saya terima, suatu hari jam setengah sembilan di kantor pusatnya. Meme sudah bingung sejak pagi ingin segera berangkat saja. Dia begitu senang dengan tugas itu. Saya mengantar dengan segera agar tidak mengecewakannya. Sampai di kantor itu kita lapor satpam. Rasanya dia kepala satpam yang sering saya ingat wajahnya. Dia menyuruh kami untuk menunggu di luar, di halaman kantor itu, bukan di ruang tunggu yang kosong itu. Katanya undangannya khan masih jam sebelas. Saya tidak membawa undangan itu, tapi saya ingat membacanya jam setengah sembilan. Kami menunggu lama, menjelang jam sebelas memang datang siswa-siswa lain dari sekolah lain. Mereka memang bilang bahwa undangannya jam sebelas. Saya sadar bahwa ini ada kesalahan. Saat kami disodori daftar hadir, saya tulis di lembaran itu. "Kalau mengundang tolong diperhatikan jamnya, kami diundang jam setengah sembilan. Ini khan lembaga pendidikan!" saya menulis itu karena sudah jengah melihat banyak budaya kerja yang tidak sesuai label religius lembaga pendidikan itu. Saya melihat di budaya kerja meraka yang suka pamer otoritas dengan marah dan memerintah orang. Suka petentang-petenteng menunjukkan wibawanya. Yang pengurus ngomongnya kasar ke kepala sekolah, guru dan karyawan, yang kepala sekolah menekan guru dan karyawan. Yang guru atau karyawan ataupun satpamnya juga sok kuasa terhadap siswa dan wali murid. Budaya kerja yang tidak pas dengan label religiusnya saat itu.

 

Protes saya ditanggapi, Tapi dengan budaya yang sudah saya tebak polanya. Koordinator kepala sekolah datang dan bilang akan mengusut masalah ini. Kemudian kepala sekolah yang menandatangani undangan itu melepon bahwa itu kesalahan bagian tata usahanya. Bagian tata usahanya yang saya kenal baik yang menelpon dengan memohon-mohon maaf yang sebesar-besarnya. "Wes tha Bu, Ibu gak perlu minta maaf, yang tanda tangan lho kepala sekolah apapun yang ada, dia yang harus punya mental bahwa itu salah dia. Saya gak masalah dengan Ibu koq" Masalah itu diselesaikan dengan terdakwanya adalah petugas TU yang terbawah. Tidak ada budaya kepemimpinan yang mau melindungi anak buahnya. Dan ujung-ujungnya memang sudah tertebak. Meme tidak lolos audisi itu.

 

Senin pagi itu, seperti biasa saya mengantar sekolah. Di lampu setopan TVRI saya beli koran Surya, karena cuma seribu. Saya tidak suka memberi uang ke pengemis, tapi kalau orang jual koran, ya saya beli saja, karena dia sudah beriktiar bekerja. Walau jarang terbaca, karena di rumah sudah berlangganan Kompas.

"Papa, kalau Papa gak protes-protes, fotonya Meme ada di koran ini!"

Saya kaget. Di halaman utama Surya memang ada foto besar tentang perayaan ultah sekolah itu. Dan foto yang dipajang adalah foto tarian anak SD itu. Meme nampak kecewa. Saya hanya bisa bilang, "Tiap perjuangan memang ada harga yang harus dibayar." Memang dengan berlalunya waktu, mungkin pasti bukan karena saya, orang-orang berkarakter buruk itu sudah semakin tidak mendapat tempat di lingkungan sekolah religious itu. Syukurlah, walaupun Meme sulit memahaminya.

 

Kemarin pagi-pagi sekali seorang teman WA "Ndang tuku o Koran!" (cepat belilah koran). Ternyata Meme masuk koran. Dia memang terpilih sebagai penerima vaksin covid19 yang pertama di Jatim. Hanya karena anugerah, karena banyak nama yang dihubungi sebelumnya tidak bisa. Banyak nomer HP yang tidak aktif, ada juga yang menolak karena vaksin itu Sinovac, kalau Pfizer mau. Walau ada yang sehari menjelang acara bilang kalau akhirnya mau kalau itu Sinovac, terlambat sudah. Bahkan di saat acara itu saya bertemu dengan reporter Metro, saya bilang, "Harusnya saya sudah mengajukan nama kamu sebagai influencer untuk menerima vaksin itu, tapi HP kamu tidak bisa dihubungi dan Majelis Gereja kamu bilang kamu sudah pernah terpapar covid.". Saat tenggat waktu Sabtu jam delapan pagi itu mulai terlampaui ,"Wes Pak, anakmu ae yo sing tak ajukno?" Anak saya yang kecil memang bersedia, namun kakaknya melarang, "Jangan lho, vaksinnya masih gak jelas!" Kita berdebat, tapi karena Meme mau dan berani, saya mengijinkan saja. Toh, niatan kita baik dan yang meminta adalah dokter yang baik.

 

Yah, kalau Meme terpilih semoga itu membayarkan hutang kenakalan saya padanya dulu. Semoga Meme bisa jadi influencer yang baik.

 

 

 

 

(kelanjutannya.....)

13 Januari 2021

Saya Pingin Melihat Hantu

Saya pernah tinggal di sebuah rumah tua. Rumah yang dibangun di jaman Belanda, saat jaman Jepang pernah dibuat jadi interniran. Punya halaman depan luas, ada lapangan bulutangkisnya, ada banyak pohon mangga, jambu, nenas dan banyak lagi. Di samping rumah juga ada pekarangan yang banyak pohonnya. Di bagian belakang ada kandang sapi tempat nenek saya memelihara sapi perah. Kalau malam rumah ini keliatan seram, karena lumayan gelap pekarangannya. Di sisi rumah ada gudang, kira-kira seperti garasi dua mobil, pintu depannya ada salibnya, di kuda-kuda utamanya ada tulang rahang babi besar. Dulu itu kamar tempat pekerja kandang tinggal. Kemudian sudah tidak ada lagi yang berani tinggal di sana, karena di suatu subuh, Pak Wi ditemukan tewas gantung diri.

Di rumah itu ada pesan Emak (nenek saya), "Kalau makan malam, jangan dihabiskan ya, disisakan sedikit nasi atau lauknya. Taruh aja di atas meja makan."

"Kenapa Mak?"

"Rumah ini ada penunggunya, seorang Nonik Belanda Cantik, kalau tidak ada makanan, dia bisa marah"

Alkisah katanya saat jaman Jepang ada orang belanda yang dibunuh di rumah ini.

Bertahun-tahun saya tinggal di rumah ini dan tidak satu kalipun saya melihat hantu. Saya sering pulang malam sendirian, saya juga bangun pagi jam tiga kalau mau membantu Emak menyiapkan jualan susu. Seperti apa hantu itu?

 

Saat kuliah dan kemudian bekerja di Surabaya saya berteman sangat baik dengan rekan insinyur elektro yang terpandai yang saya kagumi. Saya sales dan dia ahli reparasi. Saya cari order, dia yang kerjakan. Asalnya dari Ambon. Kita sangat akrab sekali. Suatu sore saat saya tiba di depan pagar rumahnya dia berteriak, "Hai, kamu baru dari orang mati ya.. Pulang aja kamu, jangan masuk rumah saya!" Oh, o, koq bisa dia tahu kalau saya baru dari Adi Jasa? Saya ya pulang saja. Suatu siang karena ada pekerjaan di suatu pabrik rokok terkenal di Pandaan, saya jemput dia dan kita bersama ke sana untuk bekerja. Saat melintas di gerbangnya ,

" Ini kita mau ke mana?"

" Ya, ke pabrik lha… ini khan kerja.."

" Ini Kuburan!"

" Oiii, ini PABRIKK!!"

Di saat jalan pulang, saat melalui gerbang pabrik itu lagi, saya lihat, di balik tembok tinggi pagar itu, ternyata memang kuburan.

 

Teman ini bercerita bahwa dari kecil dia bisa melihat dunia yang lain. Mahluk halus itu, mungkin juga hantu. Saya bertanya bagaimana caranya agar bisa melihat seperti itu. "Kamu bisa berdoa untuk minta kemampuan itu, tapi sudahlah, kamu jangan. Lebih baik tidak bisa!"

"Kamu akan bingung dan ketakutan sendiri, saya sering tidak bisa membedakan mana yang manusia mana yang bukan" Ini yang katanya menakutkan dari kemampuan itu.

 

Di suatu masa di kehidupan ini, saya pernah ditempatkan di suatu keadaan yang punya masalah kronis dan laten. Entah masalahnya apa, yang jelas kondisi itu ruwet tak terselesaikan bertahun-tahun dan entah sampai kapan lagi. Lalu saya berdoa mohon hikmat Tuhan, kalau boleh saya bisa mengerti dan dibukakan akar masalahnya. Berharap untuk melihat apa yang mungkin tak terlihat sebelumnya. Entah bagaimana doa ini terjawab atau tidak. Yang jelas saya masuk di fragmen-fragmen kehidupan yang tak terjadi sebelumnya. Kilas-kilas kejadian yang membawa saya melihat posisi-posisi pemain di keakutan yang ada. Saya berpikir untuk bisa melihat itu penting agar dapat mengerti dan memahami. Tapi apa saya alami kemudian membawa nuansa lain. Saya bingung, saya sedih, saya jijik, saya muak, saya marah. Pemandangan  yang menjijikkan itu menguras semua rasa baik di hati ini. Peran-peran sandiwara yang dimainkan satu persatu seakan terkuak. Jijik bergidik hati ini.

 

Jangan bangga kalau bisa melihat yang tak terlihat. Karena bisa jadi talenta itu menuntut kekuatan yang lain. Perasaan senang karena bisa melihat hantu itu telah menyandera hidup seorang rekan. Juga perasaan sok mampu ingin melihat suatu masalah sudah juga menghujam jalan hidup saya. Semua yang sudah terlihat itu tidak mungkin dihapus untuk direset lagi. Yang ada adalah semangat untuk maju mengingat semua tanggung jawab yang tetap ingin dihidupi. Bisa jadi bukan hantu seperti di film-film yang sedang saya tonton. Hantu-hantu yang menjelma di fragmen kehidupan ini yang bisa mengocok segala rasa ini.

 

Memangnya kalau kemudian saya bisa melihat yang tidak terlihat sebelumnya itu, akankah itu membutakan semua hal baik yang sudah Tuhan tanamkan dihati ini? Ketika satu pintu dibukakan, sebuah perjalanan baru sedang disiapkan. Seharusnya kekuatan saat melewati pintu-pintu sebelumnya akan menjadi bekal perjalanan ini.  Saya bersyukur karena saya tidak bisa melihat hantu….

 

 

(kelanjutannya.....)

12 Januari 2021

Bersahabat dengan Anjing

Hachiko memang sangat terkenal. Lebih mendunia dari pada Bleki, Broni ataupun Mopi. Dulu ada RinTinTin, Boomer, Lassie atau Scooby Doo. Anjing-anjing yang kesetiaannya teruji dan membanggakan. Saya pingin punya anjing sebagai sahabat dalam keseharian. Menyenangkan bila melihat ada yang bisa membawa anjingnya ikut acara jalan pagi bersama. Anjing itu memang teman setia.

 

Tapi beberapa kali saya ternyata gagal menjadi sahabat yang baik untuk anjing. Seorang tante meneriaki saya, "Daniel, anjing ini sebenarnya mau ngajak kamu guyon, koq malah kamu tendang!" Lha saya jijik kalau dijilat-jilati sama dianya. Belum lagi saat saya merasa terganggu saat bertamu di sofa kain yang pemiliknya banyak memelihara anjing. Di kursi itu saya temukan ada bulu anjingnya. Keadaan yang tidak mudah saya terima. Apa lagi ada seorang teman yang dalam kebanggaannya membuat saya minder berat. Dia menceritakan beberapa macam makanan kaleng dan camilan untuk anjing Herdernya. German shepherd yang makanannya jauh lebih mahal dari nasi pecel sarapan saya.

 

Gagal dan takut memelihara anjing sungguhan, kadang membuat saya bisa mencari jalan lain. Saya merasa bisa mencari teman yang bisa memenuhi kebutuhan saya akan kesetiaan anjing itu. Saya butuh rekan yang bisa melindungi saya dari serangan cercaan orang lain. Saya perlu rekan yang bisa menggonggong untuk saya. Rekan yang bisa membela saya dari semua kritik dan masukan negatif untuk saya. Seperti yang Bleki dan Broni bisa lakukan yaitu bisa menggigit orang lain atau musuh saya, namun pasti bersikap baik  terhadap saya. Saya butuh rekan yang bisa jadi RinTinTin, yang pinter membela saya, namun juga tidak akan pernah menggigit saya. Berteman seperti ini terasa nyaman buat saya. Rekan seperti ini bisa memuaskan keinginan saya dari memelihara anjing.

 

Mempunyai sahabat seperti ScoobyDoo rasanya menyenangkan. Saya dan dia tidak perlu saling menggigit dan menggonggong. Saya suka bila sahabat saya mampu melindungi saya dari kritik dan kami tidak perlu saling mengkritik. Dia rasanya paham bahwa saya adalah manusia yang lemah jadi jangan berharap saya melakukan hal yang lebih baik dari saat ini. Saya hanya manusia lemah yang bukan malaikat yang baik. Jadi jangan menggonggongi berharap saya jadi lebih baik dari saat ini. Kami ternyata bisa saling menerima dan melindungi. Oh indahnya persahabatan ini.

 

Entah mengapa relasi Doggy Style ini sempat mengemuka di benak saya, karena kegagalan memelihara anjing yang sebenar-benarnya? Lalu manusia dan sesama saya yang akan saya doggy-kan? Tapi sungguh, saya punya kebutuhan untuk dibela dan dilindungi. Tapi apa saya harus membayar dengan menurunkan derajat sesama saya? Ah, saya tidak juga merugikan dia. Saya juga akan menempatkan dia bukan sebagai malaikat, jadi saya tidak perlu dan jangan pernah meminta dia berubah jadi lebih baik. Biarlah saya menerima dia sebagai mahluk yang lemah yang tidak perlu mampu untuk menjadi lebih baik lagi. Dan kami bisa saling melindungi. So sweet rasanya.

 

Tapi Alkitab pernah bilang untuk hidup kudus. Hidup kudus yang katanya berarti melakukan firman Tuhan. Saya sudah sopan, halus budi pekertinya dan murah senyum dalam pelayanan. Rasanya sudah itu permintaan Firman Tuhan itu. Berarti saya sudah melakukan firman Tuhan itu? Sampai saat saya ingat ada lagi Firman Tuhan yang meminta untuk "berubalah oleh pembaharuan budimu". Saya memang bukan malaikat yang katanya baik, tapi justru karena Tuhan menciptakan saya sebagai manusia, maka saya butuh manusia lain yang menunjukkan kelemahan saya dan dia mau berkarya dalam perbaikan budi saya. Saya butuh manusia lain yang hadir sebagai manusia mendampingi pertumbuhan kedewasaan kehidupan ini. Manusia bukan anjing…….

 

 

(kelanjutannya.....)

02 Januari 2021

Pak Nyok, Pdt Em. Hosea Abdi Widhyadi, Nyoo Hian Swie

 

Perkenalan saya pertama kali dengan beliau di sekitar 1985, di acara perkemahan aneh. Berkemah di pelataran GKI Banyuwangi.  Entah apa yang terjadi dengan penyelenggara, katanya ijinnya tidak keluar jadi karena banyak peserta luar kota yang sudah datang maka kemah tetap dilanjutkan di halaman gereja. Perjumpaan ini mengesankan sekali. Sosok Pendeta yang bisa begitu santai, berbeda dengan sosok “surgawi” dari lazimnya kebanyakan Pendeta di benak saya. Hal ini pernah memicu niat di hati saya tentang sebuah cita-cita, “Saya sih pingin jadi pendeta kalau pendeta itu bisa begitu.” Sampai suatu saat ada juga Majelis di Bondowoso yang kemudian bercerita, “Kamu belum pernah liat dia melempar mic di persidangan ya..” Ini salah satu yang menggerus cita-cita saya itu. Tapi beliau tetap punya posisi idola di hati saya. Peristiwa pelemparan itu dibenarkannya saat perayaan kawin emas beliau di Dipo puluhan tahun kemudian.

 

Pertemuan kami berlanjut lagi, saat saya kuliah dan beliau menjadi Pendeta Pelayanan Mahasiswa. Di acara peneguhan beliau, saya membuat tulisan liputan. Beliau senang sekali karena saya mengulas poin “cacing tanah” yang menjadi filosofi pelayanan beliau yang disampaikannya di kotbahnya. Cacing tanah yang mungkin tidak terlihat, lamban, lemah dan juga dirasa menjijikan, cacing tanah yang terus bekerja menggemburkan tanah yang mampu dijangkaunya disekelilingnya. Filosofi ini tetap saya ingat sebagai warisan Pak Nyok.

 

Waktu terus bergulir dan selalu mempertemukan kami kembali. Entah bagaimana koq saya bisa terdampar di Dipo dan beliau melalui Sonax Sapora juga di Dipo. Terlebih saat beliau emeritus dan makin sering beribadah di Dipo. Kita sering ngobrol berdua di taman cangkrukannya Dipo itu. apa saja kita obrolkan, bukan hal-hal yang rohani saja. Apa saja termasuk kenakalan-kenakalan yang pernah terjadi.  Suatu saat beliau mengatakan hal yang menggetarkan saya lagi, “Daniel, yang selalu ingin saya lakukan adalah, kalau ada orang yang melihat saya, apakah orang itu melihat Yesus di dalam saya.” Saya tercekat. Tidak menyangka bahwa itu filosofi hidupnya, di balik tampilan ‘urakan”nya. Memang cerita tentang mic itu terlintas lagi, tapi landasan hidup itu membuat kisah mic itu pudar. Filosofi perjuangan seorang manusia dengan segala keberadaannya untuk terus berjuang menampilkan Yesus Sang Junjungan Agung. Filosofi ini juga menjadi warisan Pak Nyok di lubuk hati saya.

 

Lima Hari setelah peristiwa Bom di Dipo, Pak Nyok berakrobat lagi. Di acara doa bersama dengan semua umat beragama itu. Beliau memekikkan “Suroboyo WANI….. Teroris J*N**K.!!”. Itu ikrar khas Suroboyo yang bergema, menyatukan segala masyarakat untuk bersatu berani melawan terorisme. Setelah acara berakhir, kegemparan baru muncul. Sejumlah rekan majelis menanyakan kepatutan seorang Pendeta menggunakan kosa kata Suroboyoan itu di dalam gereja. Saya tidak berani berkomentar, karena segala nuansa cerita saya di atas itu tentu tidak ada di benak orang lain. Saya sepenuhnya bisa memahami, menerima bahkan menyetujui apa yang beliau lakukan, karena Sang Junjungan Yesuspun pernah marah mengobrak-abrik pelataran Bait Allah, bahkan dengan cemeti. Namun ini memang polemik. Polemik yang berakibat bahwa pak Nyok tidak berkotbah di Dipo lagi. Salahkan saya yang saat itu ketua tidak bisa membela Idola saya ini. Maafkan dan ampuni saya Pak Nyok.

 

Ada juga kejadian saya yang mengecewakan beliau. Saat menghantar beliau pulang dari pelayanan di Dipo, bersama Bu Yuna dan Bu Ester Gunawan, suasana gembira itu pernah rusak gara-gara omongan saya. Beliau bertanya,” Daniel, kamu suka dengan permainan Saxophone saya?” entah bagaimana saya kumat lugunya dengan menjawab,” Pak, saya itu sak jane gak suka dengan bunyi alat musik yang diseret-seret, saya sukanya dengan suara musik yang tegas seperti gitar dan piano”  Beliau kurang senang dengan jawaban saya ini, ampunilah saya Pak Nyok. Tapi suwer… walaupun saya gak ngerti musik, tapi musik yang saya sukai adalah Jazz. Karena saya mengagumi “keteraturan di dalam kekacauan” di musik Jazz.

 

Akhirnya, di atas segalanya, Pak Nyok tetap telah memberikan warisan panutan di hidup saya. Cacing Tanah ini sudah menyelesaikan tugas mulianya dan berjumpa dengan Junjungan Agungnya.

Tuhan, sampaikan salam hormat saya pada Pak Nyok.

 

(kelanjutannya.....)