Sudah beberapa kali saya diminta bercerita tentang mendiang teman baik ini. Cerita yang langsung keluar seingatnya saja di acara Kebaktian Penghiburan via Zoom. Tapi cerita itu benar-benar tertanam di benak saya, jadi bisa langsung keluar dengan lancar saja kapan saja. Tapi, baru saja, pembicaraan lewat telpon dengan istrinya yang sedang berjuang melawan Covid membuat saya ingin menuliskan cerita itu. Cerita tentang seorang biasa yang luar biasa. Tidak pernah terpikir ternyata teman ini sampai segitunya.
Kita saling mengenal tahun 1987, saat saya mulai kuliah. Beliau kakak kelas saya se fakultas. Agus Teknik Kelautan, saya Perkapalan. Masing-masing Angkatan hanya satu kelas. Jadi kita bisa sering bertemu. Kadang saya digonceng naik Honda SuperCup merahnya dari atau ke gedung W perkapalan yang jauh dari lokasi angkot di Arief Rahman Hakim. Di kampus kita bertemu, dan di gereja kita juga bertemu. Maka jadilah kita akrab. Saya juga sering menemaninya datang ke kost cewek yang dia incar. Tempat kost Tante Sun di jalan Prapanca itu.
Hal besar yang Agus berikan pada saya pribadi adalah saat saya sudah mulai malas kuliah. Semester delapan saya sudah selesaikan semua mata kuliah saya, sisa Tugas Akhir saja. Saya kemudian kerja penuh waktu. Ternyata bekerja itu melelahkan dan menyita banyak waktu dan tenaga dan fokus. Saya sudah berpenghasilan dan rasanya sudah tidak butuh ijazah ITS lagi. Agus yang bilang, kalau kita perlu lulus itu bukan karena kita butuh ijazah, tapi agar memuaskan dan memberikan kebanggaan pada orang tua kita yang sudah menyekolahkan kita dari kecil. “Memberikan kebanggaan buat papamu” itu pesan Agus yang saya ikuti dan mendorong saya lulus di semester empat belas, nyaris DO.
Lulus ITS itu membuat saya punya semangat lain. Mengejar cita-cita awal untuk bisa jadi dosen. Saya sejak awal sudah siap dengan kursus Bahasa Jerman di Goethe Institut. Saya sudah M1 dari tingkatan tertinggi M2 saat itu. Jaman Habibie, rasanya saya akan sekolah lanjut di Jerman. Itu cita-cita awal saya. Nilai saya cukup untuk jadi dosen. Masalah yang ada cuma tentang gaji, gaji yang katanya delapan puluh lima ribu sebulan itu tidak cukup. Saat itu gaji saya sudah seratus tujuh puluh lima ribu sebulan belum lagi yang dari memberi les. Seratus ribunya buat kuliah adik saya. Rasanya tidak terlalu masalah karena banyak dosen yang bisa menerima banyak proyek yang hasilnya bisa lebih besar lagi. Agus kembali menasehati ,”Kalau kamu tidak bisa jadi yang terbaik, lebih baik tidak usah. Menjadi dosen dengan banyak proyek hanya akan jadi bahan pergunjingan mahasiswa saat bolos ngajar. Percuma!” Kali inipun saya menuruti nasehatnya. Saya tetap jadi sales.
Kita sama-sama melarat, tapi Agus masih lebih baik, karena dia masih punya sepeda motor. Kita sama-sama giat bekerja karena sudah malas miskin. Kita harus mampu mengatasi kondisi keuangan kita masing-masing. Saat kita saling berbagi cerita tentang kepahitan hidup ini diapun berkata , ”Sepahit-pahitnya hidupku. Hal yang aku syukuri adalah mendapatkan istri Novi.” Agus orang yang setia dengan tempatnya bekerja. Masuk mulai dari bagian gudang sampai menjadi seorang ISO Implementer. Agus hafal semua prosedur ISO. Sering pertemuan kita diwarnai tentang topik ISO ini. Saya juga minat karena ini penting untuk bengkel dan bisnis saya. Sering dia menyarankan banyak hal. Hal yang terasa malah membuat ribet hidup saya. Tapi ya saya merasa itu karena dia seorang ISO Implementer di kesehariannya.
Setelah Dipo kena bom, Agus bicara banyak tentang prosedur evakuasi yang benar. Saya bingung, bagaimana mau menerapkannya di lahan yang sudah terbatas ini. Saat ada kegiatan ke luar kota dengan naik bis, Agus memaksa saya untuk memberikan “safety induction”, penjelasan bila ada keadaan darurat. Hal yang biasa dilakukan di pabrik-pabrik besar yang saya datangi. Kalau bukan dia, pasti saya sudah marah saja, nambah-nambahi kerjaan. Pernah dia yang saya suruh bicara saja.
“Telah berpulang ke rumah BAPA di surga, Agus Muljono, usia 56 tahun pada hari selasa tgl 12 januari 2021 pukul 01.10 WIB karena Covid. Jenazah dikremasi dikeputih dengan protocol Covid. Uang duka dapat ditransfer ke rekening BCA nomor 788**68*** atas nama Ivan Muljono, atau rekening BNI nomor 032*****37 atas nama Michael Muljono.” Itu teks yang di WA ke Novi hari Jumat, sebelum Selasanya dia pergi. “Nanti kamu tinggal ngisi tanggal dan jamnya ya..” Gila! Koq bisa ya? Tapi saya bisa mengerti dia. Seorang ISO implementer sejati! Dia sudah bisa mempersiapkan hal-hal yang terburuk sekalipun.
Setelah kepergiannya, ada rekening bank yang masih berisi lumayan. Rekening yang selalu disiapkan untuk persembahan Gereja. Dulu saat membangun rumah, ternyata melebihi anggaran yang disiapkan. Tapi Agus tetap memberikan semua uang yang ada di rekening itu untuk persembahan. Dia juga sudah memberikan pesan tentang tagihan kartu kreditnya. Detail-detailnya sudah dijelaskannya pada anak-anaknya.
“Kenapa kamu menangis?”
“Aku gak nangis koq”
“Aku tau kamu menangis. Gak perlu menangis, karena aku sudah menyiapkan semuanya”
Itu sepenggal percakapan di pertemuan terakhir di IGD RSI itu antara Agus dan Novi.
Agus telah pergi dengan segala ketenangannya. Tenang karena sebagai ISO Implementer sejati sudah mempersiapkan segalanya sesuai ilmu yang dipelajarinya dan dijalaninya. ISO Implementer yang juga tahu bahwa jiwanya juga sudah diselamatkan dan disambut oleh Sang Juru Selamatnya. Imannya juga sudah selaras dengan pengetahuannya yang memandunya pada kepastian suatu proses. Proses kepastian keselamatan jiwanya. Tidak ada keraguan dan ketakutan saat dia percaya bahwa proses yang dijalaninya sudah benar.