Di suatu persidangan Klasis yang ada acara Percakapan Gerejawinya, saya sempat berbincang dengan calon pendetanya. “Apa jawaban kamu di jemaat nanti, kalau ditanya: harus menurut Tata Gereja GKI atau menurut Alkitab?” beliau agak bingung dan rasanya beliau pasti akan jawab: ya harus menurut pada Alkitab. Tapi karena beliau tidak juga menjawab dengan tegas, maka saya memberitahunya, ”Ya harus menurut Tata Gereja!” Keluarganya mengenal baik keluarga saya, jadi harusnya kita bisa berbicara cukup bebas, seandainyapun pendapat saya jadi aneh, keluarganyapun bisa menegur keluarga saya. Jadi saya merasa santai saja dengan jawaban saya itu tapi memang itulah sikap yang saya ambil bila saya masuk dalam ambigu seperti itu. Saya akan menurut pada Tata Gereja GKI!
Apa posisi Tager itu lebih tinggi dari Alkitab, sehingga saya akan menurutinya? Sama sekali tidak! Alkitab adalah sumber utama tertinggi pengajaran kekristenan yang menjadi landasan hidup saya. Saya harus taat dan belajar Alkitab setiap saat. Tager GKI itu, koq saya akan selalu menurutinya? Itu dalam kerangka pemahaman bahwa perumusan Tager GKI itu adalah proses yang panjang dan mendalam. Melalui jalan yang lama dan berliku. Konsep Tager itu sudah dimintakan tanggapannya ke tiap aras jemaat. Dimintakan bahasannya di persidangan majelis jemaat setempat, lalu dibahas di persidangan Klasis, lalu tiap Klasis itu membahasnya di persidangan Sinode Wilayah, lalu para Sinode Wilayah membahasnya di dalam Persidangan Sinode. Kemudian baru diambil keputusan. Tiap Pendeta GKI bisa berperan aktif dan punya hak dan kewajiban untuk menjaga mutu Tata Gereja itu agar bisa sesuai dengan Alkitab sebagai landasan utama kehidupan bergereja GKI.
Tager adalah bagian dari pengejawantahan ajaran Alkitab menjadi suatu aturan praktis bagi pelaksanaan kehidupan bergereja sehari-hari. Jadi apa yang ada di Tager sudah merupakan hasil diskusi dan perdebatan panjang untuk bisa disetujui bersama. Tager adalah panduan praktis agar dalam bergereja ada pedoman yang bisa dipakai bersama, tidak perlu mengulang-ulang lagi pembicaraan dan perdebatan tentang topik-topik lama yang sudah ada. Melalui Tager, keputusan bisa diambil dengan lebih sederhana dan praktis. Ini pedoman keseharian yang sudah dipercaya bahwa pedoman ini dibuat dengan bersarikan Alkitab. Jadi bukan saatnya dan bukan pada tempatnya untuk mempertentangkan Tager atau Alkitab.
Saya ini Penatua dan tidak mengerti banyak soal tafsir Alkitab. Saya tidak sekolah teologi, jadi pengetahuan teologi bukan ranah saya. Saya mempercayakan hal itu pada para Pendeta untuk mendiskusikannya dan menghasilkan Tager yang punya eklesiologi dan pemahanan yang berpadanan pada Alkitab. Saya akan mendarmabaktikan pengetahuan saya di bagian lain untuk gereja. Kemampuan untuk mengatur organisasi, kemampuan teknis yang berkaitan dengan hal-hal yang dibutuhkan untuk manajeman penatalayanan yang lainnya. Ranah saya bukan teologi, tapi saya bisa terus berpikir dan menguji segala hal teologis itu dengan kritis dan kreatif, tapi saya tidak akan keminter soal teologi itu. Sama juga yang ahli teologis jangan keminter soal mengatur keuangan dan teknis kontruksi. Maka kalau saya percaya pada Tata Gereja GKI, itu karena saya menghormati segala jerih lelah perjuangan pemikiran para pendeta GKI untuk kehidupan praktis jemaatnya.
Tugas yang berlanjut terus dari para Pendeta adalah memberikan latar-latar pemahaman untuk tiap point yang ada di Tata Gereja dan juga terus bergumul untuk menyempurnakan point-point yang ada demi kesesuaian dengan Alkitab. Bila ada pendeta atau jemaat (maksudnya adalah GKI Setempat) yang berani bersuara bahwa ada bagian Tager yang tidak alkitabiah, pertanyaannnya dimana dia dulu saat proses itu terjadi? Dimana dia saat ada persidangan-persidangan itu? Di tiap persidangan Pendeta GKI punya hak untuk hadir dan punya kewajiban untuk memperjuangkan sesuatu yang dirasa tidak sesuai dengan ajaran Alkitab. Kalau memang ada penyimpangan, harusnya mereka yang jadi garda depan untuk mengusulkan amandasi dan perubahannya. Bukan malah-malah berteriak-teriak di jemaat untuk sekedar menunjukkan betapa baiknya beliau dengan tidak menyetujui Tager itu, karena itu cuma berpotensi membingungkan jemaat awam saja. Mari berjuang meningkatkan kualitas pemahaman dan pelaksanaan ajaran Alkitab agar dapat mendatangkan Kerajaan Allah di muka bumi ini.
Tata Gereja GKI bukan sesuatu yang final dan kekal hingga kesudahan segala jaman. Ada banyak hal yang terus harus diperbaiki dan disempurnakan dalam kehidupan menggereja GKI. Menyempurnakan atau merubah Tata Gereja memang bukan suatu yang tabu dilakukan, karena memang ini buatan manusia yang punya keterbatasan dalam mengejawantahkan kehendak Tuhan dalam Alkitab. Banyak cerita yang mungkin bisa mengungkapkan kondisi menghidupi Tata Gereja GKi ini. Ada cerita-cerita yang saya temui di sepanjang kesempatan melayani di lingkup-lingkup luas di GKI.
Ada cerita tentang emeritasi pendeta. GKI memahami bahwa kependetaan itu seumur hidup, jadi tidak ada istilah pensiunan Pendeta GKI. Emeritasi adalah sebuah penghargaan dan penghormatan pada Pendeta yang sudah melayani dalam kurun waktu tertentu. Penghargaan pada pendeta yang sudah mempersembahkan kehidupannya bagi pelayanan jemaat. Di sisi yang lain ada pasal-pasal yang mengatur dan memberi ruang bagi Pendeta-Pendeta yang bermasalah atau berkondisi tertentu untuk bisa masuk dalam emeritasi dini asal sudah menjalani dua puluh tahun masa pelayanan atau berumur 55 tahun. Dua kondisi ini bertentangan, maka ada keinginan kuat untuk bisa menegaskan konsep emeritasi itu sebagai sebuah penghargaan bukan sebagai pensiunan. Inilah pasal yang akan diubah atau diamandasi di Tata Gereja GKI. Pintu Emeritasi dini akan hilang dari Tata Gereja GKI. Pendeta bermasalah itu harus ditanggalkan bukan di emeritasi dini. Semua sinode wilayah sepaham tentang hal ini.
Ada juga cerita tentang Perjamuan Kudus untuk anak. Saat ini Perjamuan Kudus di GKI hanya boleh diikuti oleh yang sudah Sidi, mengaku percaya, bukan yang hanya sudah dibaptis di masa anak-anaknya. Untuk mengikuti Sidi, harus ikut Katekisasi, untuk Katekisasi ada batasan umur minimalnya, jadi otomatis anak-anak tidak bisa ikut Perjamuan Kudus. Dengan terus berkembangnya pemahaman teologis tentang anugerah keselamatan Tuhan, batasan atau kategori umur ini dipertanyakan. Perbincangan teologis ini terus dilakukan. Sinwil Jateng sebagai pengusung awal ide ini memperjuangkan perubahan Tata Gereja di bagian ini. Sinode wilayah Jabar belum bisa menyetujui perubahan ini. Sinwil Jatim masih terus mengkaji bahasan ini. Saat ini belum bisa dilakukan perubahan Tata Gereja untuk masalah ini. Tetapi usaha untuk mempelajari dan menggumuli topik ini tetap dilakukan dengan serius. BPMSW Jateng mengambil keputusan untuk melakukan uji coba tentang hal ini, beberapa gereja melakukannya, salah satunya GKI Pondok Indah Jakarta. Mereka melakukan Perjamuan Kudus untuk anak dalam rangka memenuhi amanat uji coba pemahaman baru ini. Sedangkan di lingkungan Sinwil Jatim, karena kita masih terikat dengan Tata Gereja yang ada, maka beberapa GKI di Jatim yang melakukan Perjamuan Kudus untuk anak, diminta menghentikannya demi kesederapan yang ada. Belum semua Sinode Wilayah bisa menerima dengan bulat Perjamuan Kudus untuk anak ini.
Keaktifan GKI untuk mau berpikir dan berkarya menanggapi perubahan jaman bukan cuma berguna untuk usaha merubah dan menyesuaikan tata gerejanya saja, tetapi kegiatan ini juga beruntung bisa di jaga oleh koridor Tata Gereja GKI. Saat ada beberapa wacana untuk mulai berbicara dan mendiskusikan perihal LGBT. Tiba-tiba GKI diterpa isu bahwa akan segera ada pernikahan sejenis di GKI. Isu itu dengan mudah ditepis GKI dengan merujuk pada Tata Gereja GKI tentang pernikahan yang dengan jelas melibatkan pria dan wanita, bukan pria dan pria, atau wanita dan wanita. Di sini keberadaan Tata Gereja memang bisa memberikan kejelasan dengan gamblang untuk kasus yang ada.
Tata Gereja memang bisa bertugas memberi panduan praktis yang harus selalu siap dikoreksi dengan pemahaman bahwa semua yang sudah ada ini, dibuat dengan maksud baik untuk tujiuan baik pula. Kalaupun ada kekurangan, kelemahan dan kesalahan itu karena memang kita manusia yang lemah yang butuh panduan Tuhan melalui hikmat Roh Kudus yang juga bersumber dari pendalaman Alkitab sebagai firman Tuhan.
Di masa pelayanan ini, cerita paling seru perihal Tata Gereja ada pada saat membahas soal pernikahan. Pernikahan dengan pasangan yang pernah cerai hidup atau pernikahan dengan pasangan yang bukan Kristen. Sebenarnya yang bukan Kristen itu juga berarti Katholik. Karena walaupun sama-sama beriman kepada Yesus Kristus, secara hukum di Indonesia Agama Katholik itu bukan agama Kristen Protestan. Biasanya masalah ini meruncing saat yang diartikan bukan Kristen itu adalah Islam, Budha, Hindu atau KongHucu.
Ada yang berpolemik dengan meruncingkan perdebatan antara Tata gereja dan Alkitab yang menurutnya menentang pernikahan kedua ataupun Alkitab yang menjelaskan ketidakmungkinan bersatunya terang dan gelap. Polemik ini akan semakin sering terjadi dengan semakin mengindonesianya GKI. Dengan makin terbukanya GKI, maka kehadiran jemaat dengan beragam latar belakang akan berpotensi beragam latar belakang teologis dari gereja sebelumnya. Belum lagi dengan makin terbukanya informasi internet, akan makin membuat banyak jemaat termasuk kemudian Penatuanya belajar dari beragam sumber teologis. Tidak berarti kita harus menyaring antara benar dan salah. Tetapi harus dengan kedewasaan pemahaman bahwa lain lubuk lain belalang, lain rumah lain aturan. Maka dengan pemahaman sebelumnya bahwa Tata Gereja GKI adalah hasil pergumulan iman para pendeta dan jemaat GKI yang bertanggungjawab pada Tuhan dan berlandaskan Alkitab, maka tidak pada tempatnya untuk kembali memperdebatkan hal itu. Tidak ada ruang untuk Set-Back di tataran pelaksanaan Tata Gereja.
Memahami keberatan gereja akan perceraian juga menjadi landasan kuat untuk mempertahankan pernikahan dengan sekuat tenaga. Memahami juga keterbatasan manusia yang berdosa dan butuh pengampunan dan kesempatan memulai lagi hidup baru, juga bisa membuka peluang bagi seseorang untuk bisa memulai kehidupan pernikahannya lagi. Bila gereja memberi peluang itu maka gereja akan bisa dimanfaatkan untuk bisa melegalkan perceraian dan pernikahan kesekian kalinya? Disini letak panggilan gereja untuk menjadi agen pembaharu bagi jemaat. Gereja bukan Lembaga pemberi stempel saja. Gereja harus aktif sebagai agen pembaharu kehidupan jemaat. Maka proses percakapan pastoral menjadi tahapan yang penting saat gereja menghadapi keputusan untuk pernikahan bagi jemaat yang akan menikah. Percakapan pastoral yang bukan formalitas, percakapan pastoral yang bisa menggembalakan jemaat untuk memahami dan mempersiapkan suatu pernikahan yang benar dan menjadi berkat. Percakapan pastoral ini juga bukan percakapan pengadilan yang bila ditemukan hal yang tidak sesuai atau belum sesuai dengan norma gereja, langsung bisa ditolak permohonan pemberkatannya. Percakapan pastoral itu yang harusnya memandu jemaat itu menuju jalan dan cara berpikir yang benar.
Konsep untuk bisa tetap merangkul dan menjaga serta memberi kekuatan pendampingan pada jemaat itu juga yang menjadi landasan untuk mau menerima pernikahan dengan yang tidak seiman. Percakapan pastoral tetap akan menjadi titik masuk kehadiran gereja bagi masalah ini. Percakapan pastoral bukan formalitas.
Dalam percakapan pastoral inilah segala titik pijak gereja dikomunikasikan dan disampaikan dengan harapan itu diterima dan dijadikan panduan pernikahan tersebut. Pendeta harus bisa dengan tegas menyampaikan ajaran dan harapan gereja. Pendeta tidak bisa tidak mau tahu bila jemaat tersebut misalnya tidak mau pernikahannya didaftarkan di Catatan Sipil. Tidak juga bisa bersembunyi dengan bilang secara hukum hal itu dimungkinkan di Indonesia, karena Gereja tidak pernah bisa menerima konsep Nikah Siri. Percakapan Pastoral harus bisa menjadi ruang bagi gereja untuk menyampaikan segala panduannya. Bila panduan itu ternyata ditolak, maka gereja juga harus berani menolak pemberkatan nikah itu juga.
Singkatnya, seharusnya tidak mungkin ada ruang bagi Pendeta, jemaat (dalam arti umat atau GKI setempat) untuk menolak melaksanakan Tata Gereja GKI. Memberi masukan perbaikan pasti bisa, tapi bukan dengan bangga menolaknya, karena di semua liturgi Baptis Dewasa/Sidi dan Penerimaaan Jemaat, kesediaan menerima Tata Gereja GKI ini ditanyakan. Yang menanyakan adalah Pendeta dan yang menjawab adalah jemaat tersebut. Bukan untuk mendewakan Tata Gereja GKI, tapi bagaimana bersikap itulah yang perlu direnungkan……