30 Maret 2022

Hypoxid Training

Awalnya ada yang mengajak saya bergabung di suatu group WA tentang mengatasi diabetes tanpa obat. Saya berminat karena saya adalah Pre-Diabetic, kalau saya tidak menjaga kondisi, maka saya akan menjadi diabetes. Saya ingin ikut group itu, tapi saya jadi aneh karena ada klausul yang mengatakan bahwa akan diminta untuk memberikan sumbangan sukarela. Entah kenapa, mungkin karena pelit, saya merasa aneh dengan grup ini. Saya tidak jadi masuk, tapi saya pelajari dari beberapa orang yang daftar. Ternyata apa yang mereka lakukan adalah menggabungkan antara diet ala Ketofastosis dan latihan nafas metode Wim Hoff.

 

Ketofastosis adalah diet dengan tidak makan karbohidrat dan gula, menggantinya dengan konsumsi lemak dan protein. Saya pernah bertemu dengan teman yang dengan semangat mengajak saya diet itu, dua hari kemudian dia berpulang di hotel dalam perjalanan dinasnya. Tidak ada hubungan jelas, tapi saya jadi takut melakukannya. Kalau Wim Hoff, katanya dia orang Belanda yang bisa tahan mendaki gunung bersalju dengan hanya bercelana pendek. Dia tahan terhadap udara dingin ekstrim, karena metode pernafasan yang dijalaninya. Saya berminat untuk mencoba latihan pernafasannya. Iseng-iseng saja, karena saya pikir juga tidak terlalu menakutkan.

 

Metodenya cuma nafas tiga puluh kali tanpa jeda, lalu menahan nafas selama mungkin, sekuatnya, lalu menghirup udara, ditahan lima belas detik, baru dilepas. itu diulang tiga kali. Masalah yang menarik adalah saat menahan nafas itu. Awalnya saya hanya bisa setengah menit, lalu empat puluh lima detik, lalu semenit, makin lama makin panjang. Saya pernah hingga 150 detik. Awalnya ini seperti latihan biasa saja, tapi saat saya mulai bisa menahan hingga dua menit, ada hal unik yang terjadi. Ternyata menahan nafas itu tidak sesederhana tidak bernafas. Tidak mudah bisa mengulangi menahan nafas selama dua menit, kegagalan akan sering terjadi. bukan gagal saat kurang beberapa detik terakhir, tapi di detik-detik awal saja sudah terasa tidak mampu. Masalah utamanya ternyata bagaimana cara mengatur pikiran. Kemampuan untuk mengatur pikiran dan berkonsentrasi akan menentukan keberhasilan menahan nafas panjang ini.

 

Tetangga saya adalah mantan penerbang Angkatan Laut dan kini menjadi pilot helikopter di Papua. Dia bercerita tentang salah satu ujian rutin untuk sertifikasi pilotnya. Mengerjakan soal matematika sederhana dalam kondisi hipoksia, kondisi kekurangan oksigen. Ini bukan sekedar kekuatan fisik, banyak orang yang fisiknya kekar, gagal dalam ujian ini. Ini masalah mengatur pikiran. “Harus sudah berkonsentrasi dari awal untuk bisa tetap mengerjakan soal matematika sederhana itu.” Pola Pikir! Ini yang menarik buat saya untuk terus melakukan latihan pernafasan ini. Latihan pikiran bukan sekedar latihan pernafasan.

 

Sudah hampir setahun saya menjalani Hypoxid Training ini. Entah apa hasilnya. Yang jelas, saat berenang, saya mengakhiri sesi renang itu dengan satu kali jalan gaya kupu-kupu, ini gaya terberat menurut saya. Dulunya ini memberatkan  saya. Sangat menguras tenaga dan nafas. Tapi sejak saya berlatih nafas ini, sesi gaya kupu-kupu itu terasa ringan. Saya juga sering mengalami diare, entah apa sebabnya, rasanya memang ada yang kurang beres dengan pencernaan saya, tapi sekarang ini diare itu jarang terjadi lagi. Memang banyak bahasan tentang keuntungan latihan nafas Hypoxid ini, tapi bukan ini yang menarik buat saya, semoga itu adalah bonus saja. Saya senang karena memang ini latihan mengelola pikiran. Pikiran ini ternyata bisa menghasilkan sesuatu yang tak terduga. Jadi teringat akan pesan: Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu.

(kelanjutannya.....)

27 Maret 2022

Renang

Saya mulai belajar renang kelas lima SD. Pindah ke Bondowoso memberikan suasana yang lain. Saya bisa bebas bermain ke mana saja. Di Surabaya, pulang sekolah cuma di rumah saja. Saya bersepeda ke Tasnan, kolam renang peninggalan Belanda yang jaraknya 7 km ke arah Jember. Bersepedanya saja sudah menyenangkan, apalagi renangnya. Saya bukan orang yang suka berolahraga, karena memang saya bukan orang yang trampil dan cekatan. Saya cuma suka iseng, suka mengganggu orang. Saya merasa enak bila mengganggu orang di kolam renang. Jadi saya berusaha belajar renang.

 

Seminggu dua kali ke Tasnan, awalnya dengan Papa saya karena saya belum bisa renang. Papa yang mengajari saya, cara mengapung, cara meluncur kemudian menggerakkan tangan dan kaki. Akhirnya saya bisa renang. Makin lama makin baik. Akhirnya bukan cuma renang semua gaya, tapi belajar untuk menahan napas saat menyelam. masuk dari satu sisi kolam renang, muncul di sisi yang lain. Selama menyelam bisa banyak keisengan yang dilakukan. menarik kaki orang, muncul tiba-tiba di tengah-tengah orang. Awalnya hanya karena iseng itulah saya belajar renang.

 

Tasnan itu kolam renang yang menyegarkan. Airnya asli dari mata air yang terus mengalir. Bukan seperti kolam renang di Surabaya yang airnya disirkulasi dan diberi zat kimia, tawas, kaporit dan lainnya. Ini murni air mengalir yang ditampung, malahan ada ikan mas besar di bagian kolam yang paling dalam, rasanya dua meter lebih kedalaman kolam yang ada menara loncatnya. Setiap Jumat di kuras, sehingga saya renangnya Rabu dan Sabtu. Saya lupa bayarnya berapa ya? Seingat saya dua puluh lima rupiah. Segemik, Bahasa Maduranya. Jalan menuju Tasnan menanjak, menjelang masuk pintu gerbangnya baru ada turunan yang curam sekali. Jalan ini yang jadi tantangan saat bersepeda pulang, apa bisa tanpa turun menuntun sepeda? Ada juga tantangan, separuh jalan pulang tidak perlu mengayuh sepeda karena jalannya menurun ke arah Bondowoso. Dari sini saya belajar prinsip: pengereman adalah pemborosan energi.

 

Setelah kembali kuliah di Surabaya, saya tidak pernah renang, karena biayanya mahal. Di ITS ada unit kegiatan selam di Taman Tirta, sekarang jadi Hotel Shangrila, tapi itu terlalu mahal buat saya. Puluhan tahun saya tidak rutin berenang lagi. Sampai ada rekan-rekan sektor Wiyung mengajak renang di Royal Residence. Mulailah saya renang lagi, tapi kali ini ceritanya lain, sudah bukan untuk iseng lagi karena ada Bapak yang badannya jauh lebih kekar dari saya. Renang rutin kali ini membebaskan saya dari seringnya saya cidera punggung, kecentit. Dengan renang saya tidak pernah kecentit lagi. Belum lagi saya mengalami Piriformis. Kesakitan di paha mulai dari pantat. Katanya itu akibat saya meletakkan dompet di saku celana belakang. Ini yang secara bertahun-tahun menekan syaraf yang ada. Sakitnya bukan main bila lagi kumat. Proses duduk kemudian berdiri akan sangat sakit. Ternyata ini bisa sembuh dengan dengan renang. Saya jamin ini sembuh karena renang! Buktinya saat pandemi, saat saya tidak renang lebih dari setahun, semua penyakit itu kambuh lagi. Selama pandemi saya kecentit beberapa kali, priformis saya juga kambuh dengan lebih menyakitkan lagi. Makanya saya nekad renang lagi.

 

Renang di masa pandemi menang menakutkan, tapi secara teori, kuman mati di kolam renang, karena kadar chlorine yang ada. Buktinya, di kolam renang tidak ada lumut, itu bukan karena disikat, tapi itu karena kadar chlorine yang membunuh lumut di kolam itu. Resiko Covid ada dari pengunjung lainnya, makanya saya renang saat kolam sepi, saat tengah hari. Anggap saja sekalian berjemur. Saya berenang minimal seminggu sekali, satu jam nonstop. bila di Royal Residence berarti itu dua puluh lima kali putaran. Bila di GOR Sidoarjo itu sebelas kali. Bila di WBM itu delapan belas kali putaran. Bila di Roca itu dua belas kali.  Kali ini saya renang bukan untuk mengisengi orang lain, tapi untuk menghindari diisengi oleh penyakit.

 

(kelanjutannya.....)

16 Maret 2022

Salah

Pagi itu anak saya bilang, “Aku koq kalau mau  berangkat kerja selalu deg-deg-an.” Saya jawab, “Apa ada yang salah kerjaannya?” Kita kemudian masuk di percakapan yang membahas kata salah ini.Topik salah ini memang selalu menarik buat saya, karena itu yang tiap hari saya hidupi di bengkel saya. Hidup berdamai dengan yang namanya salah dan kesalahan.

 

Bengkel itu berbisnis dengan jasa. Mengerjakan pesanan yang selalu berubah. Dengan makin ganasnya persaingan dan tekanan beban biaya overhead, maka sudah seharusnya saya menerima pekerjaan yang makin mahal. Caranya bukan dengan menjual dengan harga yang lebih mahal dari bengkel lain, tapi mengerjakan yang lebih sulit dan rumit yang bengkel lain kesulitan untuk mengerjakannya. Sayalah yang mencari order dan berhubungan dengan konsumen, tapi yang mengerjakan adalah para anak  buah saya. Sayalah yang berjanji, tapi anak buah saya yang menyajikannya. Hal yang rumit adalah saat ada kesalahan yang terjadi. Saat anak buah saya salah dan dia tidak lapor, saya yang akan dimarahi oleh konsumen. Maka budaya kerja yang harus saya bangun di bengkel saya adalah bagaimana sebuah kesalahan itu ditangani. Budaya mau selalu lapor akan kesalahan yang sudah dibuat! Tidak boleh ada orang yang tidak menceritakan kesalahannya. Ini bukan untuk memarahi atau mempermalukannya, tapi untuk mengatasinya dan untuk mempelajari agar itu tidak terulang lagi. Budaya ini dibangun dengan sulit, karena saat orang salah dimarahi dia tidak akan mudah melapor. Saat orang salah pasti tidak dimarahi, dia bisa meremehkan dan cenderung teledor. Budaya mau mengakui kesalahan ini yang diusahakan dengan berapapun biayanya. Ini harus dibangun, karena ini yang bisa meningkatkan kualitas bengkel.

 

Tantangan soal salah ini memang besar. Saya bisa jadi memang suka berbuat salah. Karena saya merasa bisa makin berwibawa kalau saya bisa melanggar dan berbuat salah. Saya akan makin merasa hebat kalau saya bisa melanggar prosedur. Apa hebatnya saya kalau saya bisanya cuma tunduk pada prosedur yang ada? Saya bisa jadi juga membutuhkan kesalahan orang lain. Jangan sampai orang lain jadi baik dan tidak berbuat salah lagi, nanti saya tidak bisa punya alasan pembenar diri lagi. Makanya, budaya berdamai dengan salah itu, akan menjadi suatu proyek sulit yang berbiaya mahal. Mahal karena yang dibayarkan bukan cuma sebatas harga yang dapat dinilai dengan uang. Ada harga yang lebih mahal yaitu keenganan saya untuk bisa menumbuhkan pembaharuan diri agar bisa berkontribusi pada kelompok atau sekitar saya. Tantangan untuk menangani salah dengan mendasar adalah tantangan kedewasaan jiwa. Mendewasakan jiwa saya agar orang lainpun terpanggil untuk mau jadi dewasa. Masihkah saya kecanduan salah?

 

Mutu sebuah perusahaan atau organisasi bisa dilihat saat ada kesalahan yang terjadi. Bagaimana kesalahan itu diterima atau ditanggapi atau ditangani. Ada yang berpikir bahwa organisasi yang baik adalah yang tidak pernah salah. Apakah itu mungkin bila bawaan saya sebagai manusia yang berdosa ini sudah lekat melekat dengan dosa dan salah? Di bengkel, saya sering bilang, cara mengurangi komplain adalah dengan tidak terima order! Karena makin besar perusahaan akan makin banyak komplainnya. Tapi bagaimana komplain itu dikelola itu yang menunjukkan kelasnya. Pengalaman saya sebagai sales mengatakan, jangan takut saat ada yang komplain, karena bila pelanggan yang komplain itu ditangani dengan baik, mereka malah akan jadi pelanggan yang setia. Mereka dapat terpesona dengan cara penanganan kesalahan yang dilakukan. Penanganan kesalahan bisa jadi upaya promosi yang lebih kuat dari sarana promosi biasa.

 

Karunia terindah Tuhan adalah menang dari dosa dan salah, bukan dibuat tidak pernah salah atau juga bukan dibuat mampu untuk bisa salah dengan bangga. Hai maut dimana sengatmu?

 

(kelanjutannya.....)

09 Maret 2022

Tata Gereja vs Alkitab

Di suatu persidangan Klasis yang ada acara Percakapan Gerejawinya, saya sempat berbincang dengan calon pendetanya. “Apa jawaban kamu di jemaat nanti, kalau ditanya:  harus menurut Tata Gereja GKI atau menurut Alkitab?” beliau agak bingung dan rasanya beliau pasti akan jawab: ya harus menurut pada Alkitab. Tapi karena beliau  tidak juga menjawab dengan tegas, maka saya memberitahunya, ”Ya harus menurut Tata Gereja!” Keluarganya mengenal baik keluarga saya, jadi harusnya kita bisa berbicara cukup bebas, seandainyapun pendapat saya jadi aneh, keluarganyapun bisa menegur keluarga saya. Jadi saya merasa santai saja dengan jawaban saya itu tapi memang  itulah sikap yang saya ambil bila saya masuk dalam ambigu seperti itu. Saya akan menurut pada Tata Gereja GKI!

 

Apa posisi Tager itu lebih tinggi dari Alkitab, sehingga saya akan menurutinya? Sama sekali tidak! Alkitab adalah sumber utama tertinggi  pengajaran kekristenan yang menjadi landasan hidup saya. Saya harus taat dan belajar Alkitab setiap saat. Tager GKI itu, koq saya akan selalu menurutinya? Itu dalam kerangka pemahaman bahwa perumusan Tager GKI itu adalah proses yang panjang dan mendalam. Melalui jalan yang lama dan berliku. Konsep Tager itu sudah dimintakan tanggapannya ke tiap aras jemaat. Dimintakan bahasannya di persidangan majelis jemaat setempat, lalu dibahas di persidangan Klasis, lalu tiap Klasis itu membahasnya di persidangan Sinode Wilayah, lalu para Sinode Wilayah membahasnya di dalam Persidangan Sinode. Kemudian baru diambil keputusan. Tiap Pendeta GKI bisa berperan aktif dan punya hak dan kewajiban untuk menjaga mutu Tata Gereja itu agar bisa sesuai dengan Alkitab sebagai landasan utama kehidupan bergereja GKI.

 

Tager adalah bagian dari pengejawantahan ajaran Alkitab menjadi suatu aturan praktis bagi pelaksanaan kehidupan bergereja sehari-hari. Jadi apa yang ada di Tager sudah merupakan hasil diskusi dan perdebatan panjang untuk bisa disetujui bersama. Tager adalah panduan praktis agar dalam bergereja ada pedoman yang bisa dipakai bersama, tidak perlu mengulang-ulang lagi pembicaraan dan perdebatan tentang topik-topik lama yang sudah ada. Melalui Tager, keputusan bisa diambil dengan lebih sederhana dan praktis. Ini pedoman keseharian yang sudah dipercaya bahwa pedoman ini dibuat dengan bersarikan Alkitab. Jadi bukan saatnya dan bukan pada tempatnya untuk mempertentangkan Tager atau Alkitab.

 

Saya ini Penatua dan tidak mengerti banyak soal tafsir Alkitab. Saya tidak sekolah teologi, jadi pengetahuan teologi bukan ranah saya. Saya mempercayakan hal itu pada para Pendeta untuk mendiskusikannya dan menghasilkan Tager yang punya eklesiologi dan pemahanan yang berpadanan pada Alkitab. Saya akan mendarmabaktikan pengetahuan saya di bagian lain untuk gereja. Kemampuan untuk mengatur organisasi, kemampuan teknis yang berkaitan dengan hal-hal yang dibutuhkan untuk manajeman penatalayanan yang lainnya. Ranah saya bukan teologi, tapi saya bisa terus berpikir dan menguji segala hal teologis itu dengan kritis dan kreatif, tapi saya tidak akan keminter soal teologi itu. Sama juga yang ahli teologis jangan keminter soal mengatur keuangan dan teknis kontruksi. Maka kalau saya percaya pada Tata Gereja GKI, itu karena saya menghormati segala jerih lelah perjuangan pemikiran para pendeta GKI untuk kehidupan praktis jemaatnya.

 

Tugas yang berlanjut terus dari para Pendeta adalah memberikan latar-latar pemahaman untuk tiap point yang ada di Tata Gereja dan juga terus bergumul untuk menyempurnakan point-point yang ada demi kesesuaian dengan Alkitab. Bila ada pendeta atau jemaat (maksudnya adalah  GKI Setempat) yang berani bersuara bahwa ada bagian Tager yang tidak alkitabiah, pertanyaannnya dimana dia dulu  saat proses itu terjadi? Dimana dia saat ada persidangan-persidangan itu? Di tiap persidangan Pendeta GKI punya hak untuk hadir dan punya kewajiban untuk memperjuangkan sesuatu yang dirasa tidak sesuai dengan ajaran Alkitab. Kalau memang ada penyimpangan, harusnya mereka yang jadi garda depan untuk mengusulkan amandasi dan perubahannya. Bukan malah-malah berteriak-teriak di jemaat untuk sekedar menunjukkan betapa baiknya beliau dengan tidak menyetujui Tager itu, karena itu cuma berpotensi membingungkan jemaat awam saja. Mari berjuang meningkatkan kualitas pemahaman dan pelaksanaan ajaran Alkitab agar dapat mendatangkan Kerajaan Allah di muka  bumi ini.

 

Tata Gereja GKI bukan sesuatu yang final dan kekal hingga kesudahan segala jaman. Ada banyak hal yang terus harus diperbaiki dan disempurnakan dalam kehidupan menggereja GKI. Menyempurnakan atau merubah Tata Gereja memang bukan suatu yang tabu dilakukan, karena memang ini buatan manusia yang punya keterbatasan dalam mengejawantahkan kehendak Tuhan dalam Alkitab. Banyak cerita yang mungkin bisa mengungkapkan kondisi menghidupi Tata Gereja GKi ini. Ada cerita-cerita yang saya temui di sepanjang kesempatan melayani di lingkup-lingkup luas di GKI.

 

Ada cerita tentang emeritasi pendeta. GKI memahami bahwa kependetaan itu seumur hidup, jadi tidak ada istilah pensiunan Pendeta GKI. Emeritasi adalah sebuah penghargaan dan penghormatan pada Pendeta yang sudah melayani dalam kurun waktu tertentu. Penghargaan pada pendeta yang sudah mempersembahkan kehidupannya bagi pelayanan jemaat. Di sisi yang lain ada pasal-pasal yang mengatur dan memberi ruang bagi Pendeta-Pendeta yang bermasalah atau berkondisi tertentu untuk bisa masuk dalam emeritasi dini asal sudah menjalani dua puluh tahun  masa pelayanan atau berumur 55 tahun. Dua kondisi ini bertentangan, maka ada keinginan kuat untuk bisa menegaskan konsep emeritasi itu sebagai sebuah penghargaan bukan sebagai pensiunan. Inilah pasal yang akan diubah atau diamandasi di Tata Gereja GKI. Pintu Emeritasi dini akan hilang dari Tata Gereja GKI. Pendeta bermasalah itu harus ditanggalkan bukan di emeritasi dini. Semua sinode wilayah sepaham tentang hal ini.

 

Ada juga cerita tentang Perjamuan Kudus untuk anak. Saat ini Perjamuan Kudus di GKI hanya boleh diikuti oleh yang sudah Sidi, mengaku percaya,  bukan yang hanya sudah dibaptis di masa anak-anaknya. Untuk mengikuti Sidi, harus ikut Katekisasi, untuk Katekisasi ada batasan umur minimalnya, jadi otomatis anak-anak tidak  bisa ikut Perjamuan Kudus. Dengan terus berkembangnya pemahaman teologis tentang anugerah keselamatan Tuhan, batasan atau kategori umur ini dipertanyakan. Perbincangan teologis ini terus dilakukan. Sinwil Jateng sebagai pengusung awal ide ini memperjuangkan perubahan Tata Gereja di bagian ini. Sinode wilayah Jabar belum bisa menyetujui perubahan ini. Sinwil Jatim masih terus mengkaji bahasan ini. Saat ini belum bisa dilakukan perubahan Tata Gereja untuk masalah ini. Tetapi usaha untuk mempelajari dan menggumuli topik ini tetap dilakukan dengan serius. BPMSW Jateng mengambil keputusan untuk melakukan uji coba tentang hal ini, beberapa gereja melakukannya, salah satunya GKI Pondok Indah Jakarta. Mereka melakukan Perjamuan Kudus untuk anak dalam rangka memenuhi amanat uji coba pemahaman baru ini. Sedangkan di lingkungan Sinwil Jatim, karena kita masih terikat dengan Tata Gereja yang ada, maka beberapa GKI di Jatim yang melakukan Perjamuan Kudus untuk anak, diminta menghentikannya demi kesederapan yang ada. Belum semua Sinode Wilayah bisa menerima dengan bulat Perjamuan Kudus untuk anak ini.

 

Keaktifan GKI untuk mau berpikir dan berkarya menanggapi perubahan jaman bukan cuma berguna untuk usaha merubah dan menyesuaikan tata gerejanya saja, tetapi kegiatan ini juga beruntung bisa di jaga oleh koridor Tata Gereja GKI. Saat ada beberapa wacana untuk mulai berbicara dan mendiskusikan perihal LGBT. Tiba-tiba GKI diterpa isu bahwa akan segera ada pernikahan sejenis di GKI. Isu itu dengan mudah ditepis GKI dengan merujuk pada Tata Gereja GKI tentang pernikahan yang dengan jelas melibatkan pria dan wanita, bukan pria dan pria, atau wanita dan wanita.  Di sini keberadaan Tata Gereja memang bisa memberikan kejelasan dengan gamblang untuk kasus yang ada.

 

Tata Gereja memang bisa bertugas memberi panduan praktis yang harus selalu siap dikoreksi dengan pemahaman bahwa semua yang sudah ada ini, dibuat dengan maksud baik untuk tujiuan baik pula. Kalaupun ada kekurangan, kelemahan dan kesalahan itu karena memang kita manusia yang lemah yang butuh panduan Tuhan melalui hikmat Roh Kudus yang juga bersumber dari pendalaman Alkitab sebagai firman Tuhan.

 

Di masa pelayanan ini, cerita paling seru perihal Tata Gereja ada pada saat membahas soal pernikahan. Pernikahan dengan pasangan yang pernah cerai hidup atau pernikahan dengan pasangan yang bukan Kristen. Sebenarnya yang bukan Kristen itu juga berarti Katholik. Karena walaupun sama-sama beriman kepada Yesus Kristus, secara hukum di Indonesia Agama Katholik itu bukan agama Kristen Protestan. Biasanya masalah ini meruncing saat yang diartikan bukan Kristen itu adalah Islam, Budha, Hindu atau KongHucu.

 

Ada yang berpolemik dengan meruncingkan perdebatan antara Tata gereja dan Alkitab yang menurutnya menentang pernikahan kedua ataupun Alkitab yang menjelaskan ketidakmungkinan bersatunya terang dan gelap. Polemik ini akan semakin sering terjadi dengan semakin mengindonesianya GKI. Dengan makin terbukanya GKI, maka kehadiran jemaat dengan beragam latar belakang akan berpotensi beragam latar belakang teologis dari gereja sebelumnya. Belum lagi dengan makin terbukanya informasi internet, akan makin membuat banyak jemaat termasuk kemudian Penatuanya belajar dari beragam sumber teologis. Tidak berarti kita harus menyaring antara benar dan salah. Tetapi harus dengan kedewasaan pemahaman bahwa lain lubuk lain belalang, lain rumah lain aturan. Maka dengan pemahaman sebelumnya bahwa Tata Gereja GKI adalah hasil pergumulan iman para pendeta dan jemaat GKI yang bertanggungjawab pada Tuhan dan berlandaskan Alkitab, maka tidak pada tempatnya untuk kembali memperdebatkan hal itu. Tidak ada ruang untuk Set-Back di tataran pelaksanaan Tata Gereja.

 

Memahami keberatan gereja akan perceraian juga menjadi landasan kuat untuk mempertahankan pernikahan dengan sekuat tenaga. Memahami juga keterbatasan manusia yang berdosa dan butuh pengampunan dan kesempatan memulai lagi hidup baru, juga bisa membuka peluang bagi seseorang untuk bisa memulai kehidupan pernikahannya lagi. Bila gereja memberi peluang itu maka gereja akan bisa dimanfaatkan untuk bisa melegalkan perceraian dan pernikahan kesekian kalinya? Disini letak panggilan gereja untuk menjadi agen pembaharu bagi jemaat. Gereja bukan Lembaga pemberi stempel saja. Gereja harus aktif sebagai agen pembaharu kehidupan jemaat. Maka proses percakapan pastoral menjadi tahapan yang penting saat gereja menghadapi keputusan untuk pernikahan bagi jemaat yang akan menikah. Percakapan pastoral yang bukan formalitas, percakapan pastoral yang bisa menggembalakan jemaat untuk memahami dan mempersiapkan suatu pernikahan yang benar dan menjadi berkat. Percakapan pastoral ini juga bukan percakapan pengadilan yang bila ditemukan hal yang tidak sesuai atau belum sesuai dengan norma gereja, langsung bisa ditolak permohonan pemberkatannya. Percakapan pastoral itu yang harusnya memandu jemaat itu menuju jalan dan cara berpikir yang benar.

 

Konsep untuk bisa tetap merangkul dan menjaga serta memberi kekuatan pendampingan pada jemaat itu juga yang menjadi landasan untuk mau menerima pernikahan dengan yang tidak seiman. Percakapan pastoral tetap akan menjadi titik masuk kehadiran gereja bagi masalah ini. Percakapan pastoral bukan formalitas.

 

Dalam percakapan pastoral inilah segala titik pijak gereja dikomunikasikan dan disampaikan dengan harapan itu diterima dan dijadikan panduan pernikahan tersebut. Pendeta harus bisa dengan tegas menyampaikan ajaran dan harapan gereja. Pendeta tidak bisa tidak mau tahu bila jemaat tersebut misalnya tidak mau pernikahannya didaftarkan di Catatan Sipil. Tidak juga bisa bersembunyi dengan bilang secara hukum hal itu dimungkinkan di Indonesia, karena Gereja tidak pernah bisa menerima konsep Nikah Siri. Percakapan Pastoral harus bisa menjadi ruang bagi gereja untuk menyampaikan segala panduannya. Bila panduan itu ternyata ditolak, maka gereja juga harus berani menolak pemberkatan nikah itu juga.

 

Singkatnya, seharusnya tidak mungkin ada ruang bagi Pendeta, jemaat (dalam arti umat atau GKI setempat) untuk menolak melaksanakan Tata Gereja GKI. Memberi masukan perbaikan pasti bisa, tapi bukan dengan bangga menolaknya, karena di semua liturgi Baptis Dewasa/Sidi dan Penerimaaan Jemaat, kesediaan menerima Tata Gereja GKI  ini ditanyakan. Yang menanyakan adalah Pendeta dan yang menjawab adalah jemaat tersebut. Bukan untuk mendewakan Tata Gereja GKI, tapi bagaimana bersikap itulah yang perlu direnungkan……

 

 

(kelanjutannya.....)