11 Oktober 2021

Binatang Jalang

……

Aku ini binatang jalang

Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku

Aku tetap meradang menerjang

……

Dulu di pelajaran Bahasa Indonesia, ada pelajaran sastra. Saya suka membaca beberapa buku atau puisi yang sempat disebutkan di pelajaran itu. Sebagian besar sudah terlupakan, mungkin cuma teringat judul atau penulisnya saja. Tapi sepenggal puisi Chairil Anwar itu, teringat kuat di benak saya puluhan tahun hingga saat ini. Entah mengapa, puisi itu terasa hidup di hidup saya ini. Binatang jalang!

 

Saya bukan anjing yang biasa menggonggongi musuh tuannya. Saya bukan kambing yang perlu bergerombol dalam menjalani kehidupannya. Saya juga bukan bebek yang perlu teman untuk bersuara riuh. Saya cuma binatang jalang yang terus mengembara sendiri di hadapan Sang Penciptanya. Saya menikmati kesendirian karena saya suka melamun dan berimajinasi. Bagai binatang jalang yang walaupun mungkin pincang dan ompong, ia tetap percaya diri untuk menjalani pengembaraannya. Riuh rendah suara sekitar tidak akan riuh rendah di benak saya, karena dalam kesunyian ternyata ada hadirnya Sang Pencipta saya.

 

Ada orang yang memerlukan label kenakalan atau kejalangannya untuk bisa jadi cerita kebanggaan. Mirip kayak kesaksian yang makin bisa menjelekkan keyakinan agama terdahulunya, akan makin terasa indah dan makin laku. Saya merasa tidak pernah bisa nakal dan jalang.

“Daniel, kamu mana bisa nakal, bayaranmu lho berapa? Gajimu cukup tha dibuat main di *******?” Itu kata seorang customer saya, yang tahu bahwa kantor saya terletak di daerah lampu merahnya Surabaya. Ada juga rekan sales lebih senior yang mengatakan, “Orang laki itu gak mungkin nakal kalau gak punya duit. Tapi nanti kalau kamu sudah punya duit, apa-apa yang dulu kamu gak kepikir malah akan jadi muncul dengan sendirinya”

 

Di hari ulang tahun ini, saya bersyukur bahwa Tuhan telah menangkap saya. Dalam tangkapan Tuhan saya bisa menikmati pengembaraan binatang jalang, tidak pernah kesepian dalam kesendirian dan kesunyian, tidak pernah gentar berhadapan dengan siapa dan apapun. Tuhan yang telah menangkap saya itu, adalah Tuhan yang hadir dalam penyelidikan dan pemeriksaan relung-relung imajinasi saya.  Dalam kejalangan saya, ada doa Mazmur Daud, “Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku, ujilah aku dan kenallah pikiran-pikiranku” Tangkapan Tuhan ini juga hadir saat di kantong saya sudah ada kartu-kartu yang bisa untuk membiayai kenakalan-kenakalan baru. Saat segala berkat Tuhan itu ada, memang bisa menumbuhkan kejalangan baru. Hanya doa dan dukungan semua teman yang bisa meniadakan kejalangan yang merusak itu. Ampunilah kejalangan saya selama ini.

(kelanjutannya.....)

09 Oktober 2021

Orang Pandai

Sejak kecil orang tua saya menyekolahkan saya dengan harapan untuk jadi orang pandai. Dalam suatu krisis dan di puncak masalah itu Papa saya sempat bilang , “Papa tau lu sekarang sudah pinter, tapi lu harus ingat, kalau dulu papa endak utang uang ke *****, lu pasti gak bisa masuk TK dan tidak bisa jadi kayak sekarang.” Saya tercekat! Memang sejak kecil Papa tidak pernah memukul anak-anaknya. Papa sangat baik, berjuang untuk keluarganya. Menjadi orang pandai itu sejatinya harapan orang tua dan juga harapan saya.

Menjadi orang pandai itu menyenangkan, karena pasti akan membuat orang lain berdecak kagum. Orang akan tidak lagi memandang rendah saya, Rasanya orang akan lebih menghargai saya kalau saya bisa jadi orang pandai. Menjadi pandai itu jadi aktualisasi diri saya? Lalu bagaimana ya agar saya bisa tampil sebagai orang pandai dan bagaimana agar orang-orang itu tahu bahwa saya ini orang pandai?

 Saya bisa tampil dengan tampilan orang pandai. Bicara dengan kosa kata sulit dan tinggi agar tampak terpelajar dan dianggap lebih tahu. Dalam rapat bisa hadir dengan kosa kata asing lalu tampil dengan usaha menjelaskan arti kosa kata itu. Mungkin orang akan kagum dengan kemampuan itu. Dengan begitu saya bisa jadi orang pandai? Tapi di masa sekarang ini kalau cuma menjelaskan arti dan maksud sebuah kata atau frase, Google sudah lebih cepat dan murah.

Saya juga bisa tampil dengan janji menyajikan suatu hal dengan bagus dan indah, agar saya juga bisa dianggap pandai. Misalnya, laporan keuangan harus dibuat dengan janji rapi dan bagus hingga butuh waktu lama  untuk menyiapkannya. Waktu kerja yang lama perlu diajukan agar orang lain bisa menghargai bahwa ini dikerjakan dengan baik, sesuatu yang baik itu tidak asal-asalan jadi butuh waktu lama. Orang pandai itu kerjanya memang bagus dan perlu waktu. Tapi apa betul esensinya begitu? Esensi laporan keuangan itu cuma akuntabilitas. Saat nilai akuntabilitas itu tampil dengan dijunjung tinggi, bentuk laporan tidak akan jadi masalah utama. Saat ada semangat menampilkan laporan yang baik tapi kehilangan esensi dasar dari laporan itu, maka di hadapan orang yang mengerti suatu masalah, saya hanya sedang membangun kosmetik menutupi suatu masalah lain. Lalu saya pandai untuk apa? Kepandaian saya akan terpakai untuk menyembunyikan masalah? Kepandaian itu sejatinya untuk menggelapkan masalah agar tidak nampak, atau mencerahkan dunia agar masalah itu makin terselesaikan?

Haruskah orang pandai itu tampil di ketinggian agar orang lain bisa terdongak dan kagum? Steve Jobs, pendiri Apple, punya jalan lain. Orang pandai harus bisa menghadirkan segala sesuatu dengan sederhana. Saat merk lain berpikir dengan stylus sebagai alat penunjuk di layar, Apple hadir dengan ide bahwa manusia sudah mempunyai jari yang bisa difungsikan sebagai pointer. Lalu bagaimana? Itulah tugas orang pandai! Mencari jalan agar orang lain bisa mudah menggunakan jarinya sebagai pointer. Makin sederhana suatu barang, akan makin membutuhkan kerja canggih yang tak terlihat oleh awam.

 Jadi kalau nanti saya bisa sekolah lagi, saya akan memakai ilmu saya ini untuk apa? Dengan makin pandai saya akan bisa membuat alasan-alasan yang lebih njelimet dan saya bisa minteri orang lain, atau saya bisa membuat orang lain jadi lebih pinter dengan bertambahnya kepandaian saya?

Makin pandai orang, rasanya akan makin jago ia menerjemahkan bahasa langit menjadi bahasa sederhana yang membumi. Menjadi orang pandai rasanya hanyalah menjadi orang yang bisa membuat segalanya menjadi sederhana.

 

(kelanjutannya.....)

Mohon Maaf Lahir dan Batin

Mohon maaf lahir dan batin, itu rangkaian kata yang selalu saya dengar saat Idul Fitri. Saya pikir itu adalah adalah ciri khas Hari Raya besar tersebut. Memohonkan maaf atas segala kesalahan masa lalu di hari Raya tersebut. Setelah ikut sekian lama di Grup WA rekan-rekan sekolah dan kuliah, ternyata kalimat itu tidak hanya muncul saat Lebaran saja. Dalam beberapa ucapan hari Raya keagamaan Muslim, banyak rekan yang menyampaikan hal itu juga. Saat menjelang dan memasuki bulan puasa Ramadhan, juga saat mau Idul Adha kemarin, selalu saja ada rekan yang menuliskan kalimat itu di rangkaian haturan selamatnya.

 Saya yang Kristen sering tercenung, rasanya kalimat ini jarang saya ucapkan. Bisa jadi karena junjungan Agung saya, Yesus Kristus itu, adalah Juru Selamat Dunia, pengampun dosa umat manusia, jadi teladan yang saya jalani adalah mengampuni orang lain. Mengampuni itu memang hal besar, dengan mengampuni itu saya bisa menyelesaikan masalah sosial dan luka batin saya. Butuh kebesaran hati untuk mengampuni dan menyampaikan pengampunan bagi orang lain. Dengan bisa mengampuni seakan saya sudah menjalani keteladanan dari sang junjungan Agung saya.

Saya tercenung, dengan mengampuni saya memang bisa lebih enak, saya bisa jadi yang superior. Posisi mengampuni adalah posisi diatas, mengatasi pihak yang diampuni, pihak yang bersalah. Kalau saya bisa mengampuni saya bisa ada di posisi yang di atas. Saya suka posisi di atas itu! Dalam suatu kondisi, saat ada rekan yang komplain tentang perilaku saya, saya cukup bilang, ”Kenapa baru saat ini ada yang komplain, sudah lima puluh tahun lebih saya hidup dan tidak ada masalah dengan hal ini sebelumnya?” Dengan mengatakan ini, seakan saya mau bilang bahwa yang salah itu yang komplain, dulu gak masalah koq! Lalu kalau masalah itu berlalu, maka itu juga akan menguntungkan saya. Saya akan nampak sebagai orang yang bisa mengampuni orang lain yang suka mengada-ada. Saya adalah pengampun dari pihak yang lain. Betul? Bukankah bisa jadi kalau selama ini tidak ada yang komplain, bukan berarti saya sudah baik, bisa jadi banyak orang yang sungkan mengkritik saya? Atau malah mereka bukan orang yang peduli dengan perilaku saya? Daripada memberi masukan, apa tidak lebih seru kalau perilaku itu dijadikan bahan pergunjingan saja?

Apa memohon maaf lahir dan batin itu bukan sikap Kristen? Saat saya pertama kali berkomitmen  jadi Kristen, saya mohon ampun atas segala dosa dan salah saya dan mengundang Yesus hadir menguasai hati saya. Juga di tiap kebaktian minggu saya mengikuti ritual pengakuan dosa pribadi bukan ritual pengampunan salah untuk orang lain. Mengampuni memang diharuskan sebagai respon dari pengampunan atas pengakuan dosa dan salah saya. Memohon maaf lahir dan batin juga pintu dari semua proses pembaharuan akal budi, yang saya jalani di seantero hidup ini. Saya memang harus memohon maaf lahir dan batin, saat saya sudah merasa bahwa saya perlu mengampuni orang yang kecewa dengan perilaku saya. Padahal perilaku itu terjadi karena kedegilan hati saya untuk mau berubah oleh pembaharuan budi demi hidup yang berketeladanan.

Mohon maaf lahir dan batin ya……….

 

(kelanjutannya.....)

Algojo

Dulu saya pernah membaca cerita tentang kehidupan seorang imigran Aljazair di Perancis. Karena sulitnya kehidupan, dia bekerja sebagai operator Guillotine, alat pemenggal kepala terpidana mati. Miris dan ngeri, itulah resiko dari pekerjaannya. Kisah itu masih membekas di benak saya. Saat-saat akan mengakhiri suatu masa pelayanan, kembali menguak ingatan-ingatan yang pernah memberatkan saya saat menjadi seorang algojo.

Sejak menjalani pelayananan kemajelisan yang sambung menyabung, sering ada keputusan-keputusan berat yang harus diambil. Keputusan yang walau merupakan kesepakatan bersama, tapi tidak semua rekan lainnya berani untuk mengeksekusinya, melaksanakannya. Perlu seorang algojo, yang tangannya harus berdarah-darah.

Ada satu kasus dimana seorang ibu protes keras akan rencana pernikahan anak perempuannya, alasan pribadinya memang kuat. Tetapi sebagai gereja kita tidak dapat menghalangi pernikahan anak yang sudah dewasa dan memenuhi semua persyaratan baku yang sudah ditetapkan. Percakapan dan mediasi sudah banyak dilakukan. Tidak ada satu alasanpun bagi gereja untuk menolak pemberkatan nikah keluarga baru tersebut. “Pak Daniel, tidak akan satu kalipun saya menginjakkan kaki ke Dipo lagi!” Saya sedih, banyak rekan tidak berani menyampaikan keputusan bulat itu ke Beliau yang memang temperamental itu. Terpaksalah saya sebagai ketua waktu itu yang harus maju menyampaikannya. Sedih  karena bagaimanapun, saya juga punya dua anak gadis.

Suatu kali ada kenalan lama, teman baik, yang harus saya hadapi juga. Rekan lain tidak ada yang berani berhadapan beragumentasi dengannya. Saya harus menyampaikan keputusan Majelis untuk menolak keinginannya untuk memasang tambahan sound system gereja.

“Tolong kamu sampaikan, apa keburukan dari yang akan saya lakukan itu buat Dipo?” Saya tahu, maksud dia baik, tetapi prosedur yang ada, tidak memungkinkan usulan improvisasinya. Banyak hal diutarakan dan dikomunikasikan tapi tetap buntu. Dengan culun dan bingung, berharap pada pengertian sebagai teman lama, saya cuma bisa bilang ,”Kamu benar, tapi aku cuma pingin minta pengertian bahwa, kalau aku nuruti kamu, yang sakit hati bakal banyak jumlahnya, sedang kalau aku nolak kamu, yang sakit hati mungkin cuma kamu.” Dan benar, dia mengakhiri pertemuan itu dengan bilang “Sudah coret saja nama saya dari Dipo” Sedih dan miris.

Tangan algojo atau eksekutor itu yang berdarah, walau itu bukan keputusan pribadinya. Raja Daud juga ditolak memperoleh kesempatan untuk membangun Bait Allah, hanya karena tangannya berdarah akibat semua pertempuran dan perang yang dijalaninya. Padahal perang itu juga atas kehendak Tuhan. Adilkah? Haruskah saya menjaga agar tangan ini tetap bersih dan indah? Saat itu yang muncul, saya cuma sadar bahwa saya ini cuma alat. Terserah Sang Pemilik! Kalau saja bisa menjadi perangkat di tempat yang indah dan bersih, itu pasti menyenangkan. Tapi kalaupun harus ada di tempat yang bengis dan menakutkan, Sang Pemilik yang tahu sepenuhnya spesifikasi yang sudah ada di saya.

Jadi Algojo itu bisa kecanduan, kecanduan otoritas dan akan selalu bilang bahwa itu tugas mulianya. Saat seperti itu Daud pernah bilang “Selidiki dan ujilah hatiku.” Dengan itu saya berusaha menjaga agar kecanduan itu bisa terhindarkan. Selidiki dan Ujilah hatiku Tuhan, agar tangan ini berani melakukan apa yang harus dan tak terhindarkan untuk saya lakukan tapi terjauhkan dari keinginan pribadi.

 

(kelanjutannya.....)