12 Juli 2015

Memperkenalkan Sensasi Kemenangan karena Kerja Keras

Minggu ini sangat membahagiakan saya,  anak saya diterima di Unair Fakultas Hukum melalui jalur SBMPTN. Dulu waktu jaman saya jalur ini bernama SIPENMARU. Bukan Unairnya yang membanggakan saya, tapi pencapaian dan segala kisah dibalik semuanya itu. Yang membanggakan saya hanya bahwa anak saya bisa mengapai pilihan pertamanya. Apapun pilihannya, itulah cita-citanya.
    
Kebahagiaan ini juga menjadi suatu titik balik dari ketakutan dan keraguan akan pendidikan dan kualitas mental yang diterimanya selama ini. Anak saya bersekolah di sekolah Kristen ternama di kota ini, dari TK hingga SMA, itu karena istri saya guru jadi kami mendapat fasilitas pendidikan murah. Sekolah-sekolah ini bermutu sangat baik. Tapi ada kemirisan dan kegalauan panjang di hati saya tentang mental anak saya. Kegalauan yang selalu saya ungkapkan di setiap kesempatan yang ada. Saya bicara pada sesama rekan guru istri saya, kepada para wali kelasnya, kepada kepala sekolah, kepada pengurus dan petinggi utama yayasan penyelenggaranya. Mungkin mereka malah bosan dan balik mencibir saya. Anak saya (dan rasanya kebanyakan siswa dari sekolah itu) tidak memiliki semangat untuk berjuang dan berusaha keras dalam mengapai cita-cita setinggi-tingginya. Waktu kelas enam SD dan belum ujian, dia sudah tahu bahwa dia sudah bakal diterima di jenjang SMP. Waktu kelas tiga SMP dan belum Ujian Nasional, dia sudah tahu bakal diterima di SMA yang dia inginkan. Bahkan, waktu kelas tiga SMA, kalau dia mau mendaftar di Universitas yang senama dengan SMAnya itu, dia pasti sudah akan diterima di bulan Oktober, tujuh bulan sebelum pengumunan kelulusan SMAnya. Betapa indah dan amannya hidupnya. Kesehariannya selalu indah dengan film dan TV Korea yang ditontonnya. Rapornya tidak pernah jelek, namun seharusnya dia bisa mencapai nilai yang lebih dari itu.
 
Sejak memasuki kelas tiga SMA, saya menanyakan dengan serius tentang jurusan perkuliahan yang akan diambilnya. Di awal kelas tiga itu, sudah banyak pameran pendidikan dari universitas swasta ternama di sekolahnya. Mereka sudah berusaha menjaring mahasiswa baru, melalui iming-iming diskon uang masuk, tanpa test dan kemudahan lainnya. Anak sayapun tergiur untuk masuk universitas melalui jalur itu, karena sebagian besar temannya melakukan itu. Saat itu, dengan serius saya mulai mengajaknya bicara. "Pernahkah kamu berpikir untuk melakukan sesuatu yang bisa kamu banggakan hasilnya? Bangga untuk diceritakan ke orang lain dan anak-anakmu nantinya?" "Kalau kamu mau cobalah daftar ke Universitas negeri, bukan karena itu lebih baik mutunya, tapi hanya karena masuknya jauh lebih sulit." Universitas swasta-swasta itu memang sama baiknya karena akreditasinya ada juga yang A.
Saya tahu anak saya ragu, lingkungan di universitas negeri bukan lingkungan yang biasa untuk anak saya. "Kamu mau sekolah apa?"
"Hukum atau Psikologi."
"Kalau kamu mau belajar ilmu begitu, masyarakat ini memang mayoritas Muslim dan pribumi. Lha, kalau kamu tidak bisa nyaman dengan komunitas itu, bagaimana kamu bisa mengembangkan ilmu-ilmu itu?"
"Kalau kamu sekolah di Universitas swasta, paling banter temanmu yang paling top cuma pengacara dan notaris, tapi kalau di universitas negeri kamu bisa punya teman pejabat, menteri atau malah presiden."
Matanya berkaca-kaca, saya tahu, emosinya bergolak. Akhirnya ia mau menerima tantangan saya untuk mendaftar ke universitas negeri.
 
Saya harus merencanakan jalan agar dia  bisa masuk ke negeri. Banyak masukkan perihal universitas yang akan ditujunya. Ada yang bilang hukum yang terbaik adalah UI, ada yang bilang UGM, ada juga Unpad. Tapi akhirnya, dia mantap dengan Universitas Airlangga. Atas saran seorang rekan yang dulu sama-sama guru les dan sampai saat ini tetap mengajar, saya memasukkan dia kebimbingan belajar yang disarankannya. Nama bimbingan belajar itu baru saya kenal. Bisa jadi karena saya sebenarnya memang alergi berat dengan les-les macam itu. Pernah sekali, waktu dulu anak saya pingin ikut les bersama teman-temannya saya bilang, "Kamu bilang ke teman-temanmu itu: guru lesmu itu belum tentu lebih pinter dari papaku!" Uppss, "somsek" ya…. Sombong sekali! Kali ini alasan teman saya, di bimbingan belajar itu anak disiapkan mentalnya untuk menghadapi soal. Saya juga menyadari ada jenis ujian TPA yang tidak mungkin saya mengajarinya. Paket bimbingannya seminggu dua kali  tiga jam selama hampir setahun, tiap bulan ada try-out. Ini suatu yang cukup berat. Karena di sekolahnya juga sudah ada pelajaran tambahan hingga jam setengah empat. Dia les mulai jam empat hingga setengah delapan malam. Di sebulan terakhir malah setiap hari termasuk Sabtu dan Minggu. Dia mau menjalaninya dengan tekun.
 
Hari-harinya memang harus belajar terus, sementara teman-temannya sudah santai karena sudah pasti masuk Universitas, apapun hasil Ujian Nasionalnya. Untuk menambah semangat belajarnya, saya tidak mendaftarkan dia ke universitas swasta lainnya sebagai cadangan.
 
Saya sebagai orang tua kadang merasa kejam juga. Saya juga punya rasa takut, bagaimana bila anak saya gagal dan tidak mendapatkan tempat di universitas swasta yang baik? Perasaan itu pasti tak terkatakan ke anak saya, tapi makin mencekam saya. Beberapa hari menjelang ujian sembilan Juni, saya mengumpulkan data universitas swasta yang masih buka pendaftaran, ternyata masih banyak. Saya sudah siap akan menyuruh dia mendaftar di swasta sehari setelah dia melaksanakan ujian SBMPTN itu.
 
Membimbing anak dengan jalan ini memang terasa menegangkan. Tidak semua teman dekat mendukung saya.
"Aku koq gak pernah punya keinginan atau malah kebanggaan anak masuk Unair, aku pingin anakku sekolah di Amrik."
"Anakmu itu cewek, kamu harus mempertimbangkan lingkungan pergaulannya.."
"Kuda bertemu kuda, bagaimana kamu bisa menjaga bahwa kamu bisa mempertemukan dengan kuda yang berkualitas?"
Kalau yang bicara itu bukan orang-orang yang dekat dengan saya, hal itu pasti akan berlalu bagai angin. Tapi kali ini kalimat-kalimat itu benar bisa menjadi perenungan yang mendalam. Tapi saya sudah bulat! Mencintai dan mendidik anak bukan dengan membabi buta melindunginya. Saya harus mampu menanamkan banyak nilai yang berat dan sulit buatnya. Saya mau anak saya belajar arti sebuah perjuangan keras di hidupnya, dan sensasi rasa kemenangan yang membahagiakan dan membanggakan di hidupnya. Sekali dia mengenal sensasi rasa itu, saya yakin dia mau terus mengejar dan melipatgandakannya di jalan hidupnya yang mendatang. Bukankah namanya Gavrilla yang berarti "God is my strength"?
(kelanjutannya.....)

04 Juli 2015

Agama adalah Candu Masyarakat


Pagi ini di Kompas, ada cuplikan berita jadul 4 Juli 1978, "PNS Wajib Penataran P4". Saya jadi ingat akan mata pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila) dari SD sampai SMA dulu, juga beberapa kali Penataran P4. Topik yang sempat terlintas adalah semangat para guru PMP itu untuk menanamkan bahaya laten komunisme. Mereka menerangkan bahwa komunis itu tak berTuhan dan juga punya faham bahwa "Agama adalah Candu Masyarakat". Itu pasti dalam rangka membendung ajaran Marxis.
 
Pagi ini jargon itu terngiang lagi, "Agama adalah candu masyarakat?" Candu atau opium itu sekarang di sebut Narkoba. Candu juga dipakai sebagai obat penghilang rasa sakit di peperangan dulu, bahkan sampai sekarang. Berarti candu itu bisa menghilangkan kepekaan syaraf tubuh kita dalam mengirimkan rasa sakit yang ada di tubuh kita. Kepekaan sensor syaraf itu dikurangi bahkan dihilangkan agar tubuh kita tidak merasakan apa yang seharusnya dirasakan. Candu mampu menghilangkan kepekaan.
 
Suatu sore saya bertemu seorang teman lama yang sekarang sudah berposisi sebagai manager di sebuah laboratorium klinis ternama di negeri ini.  Laboratorium ini yang hasil pengujiannya bisa dipercaya dan tidak perlu pengujian ulang bagi pasien Indonesia yang akan dirawat di RS Mount Elizabeth Singapura.
"Aku sumpek, di marahi orang gereja yang periksa rutin. Kemarin pas hasilnya ada sedikit masalah dan aku sarankan untuk periksa lebih detail. Dia periksa ke dokter spesialis dan diminta untuk mengulang semua "check-up"nya, katanya hasil dari tempatku gak jelas. Dia ngamuk sama aku karena dikira hasilku ngawur. Tapi, hasil dari Lab lainnya juga sama dengan hasil yang dari tempatku. Itu kan akal-akalan Dokter Spesialisnya aja, dia kan gak dapet komisi dari Labku. Di tempatku gak ada komisi untuk dokter. Padahal lo dia orang gereja juga."
"Ya… kamu laporkan pendetamu aja"
"Mana berani Pendetaku negur, lha dia itu donatur besar gerejaku"
 
Saat ini, bulan puasa. Saya kadang kagum dengan anak buah saya yang sedang berpuasa. Meraka bekerja di bengkel yang butuh banyak pekerjaan fisik, tapi mereka tetap berkomitmen berpuasa. Kadang saya juga agak jengkel bila ada diantara mereka yang kerjanya jadi melambat, ingin marah rasanya. Memang  mereka puasa, tapi kan gajiannya tidak berkurang, malah beban perusahaan yang bertambah di bulan ini karena harus menyediakan THR. Bisakah tetap ada kepekaan saya akan keberadaan mereka yang sedang berpuasa?
 
Lain lagi saat saya harus mendatangi kampus saya yang negeri di bulan puasa ini. Tidak ada kantin dan pedagang makanan yang berjualan. Saat saya mengobrol di ruang dosen yang bukan muslimpun, tidak tersedia minuman yang biasanya tersedia di bulan-bulan lainnya. Tidak adakah kepekaan akan kebutuhan dan kondisi orang lain yang tidak berpuasa?
 
Banyak kisah kehidupan di keseharian yang terjadi karena hilangnya kepekaan akan kondisi orang lain. Yang menghilangkan kepekaan itu ternyata adalah tindakan yang diyakini untuk melindungi kebesaran dan keagungan serta kelanggengan agama. Ketidakberanian menegur hanya karena takut dihentikannya bantuan buat kelangsungan gereja. Hilangnya kepekaan akan kondisi mereka yang berpuasa, hanya karena dia bukan seagama. Hilangnya kepekaan akan kondisi yang tidak berpuasa hanya karena agar tidak menurunkan kadar dan kualitas bulan puasa suatu agama. Saat itu apa bukan agama sudah menjadi candu yang menurunkan dan menjadikan syaraf kepekaan kemanusiaan tidak berfungsi?
 
Bila saja agama itu bukan candu, maka saat menjalankannya ada berjuta rasa yang akan muncul. Berjuta rasa karena seluruh syaraf dan sensor rasa itu tidak tertekan dan terhilangkan oleh agama, malah terbebaskan. Bisakah berjuta rasa yang mendewasakan umat itu benar terbebaskan? Harusnya bisa, karena kita tidak sedang memakai candu. (kelanjutannya.....)

12 Mei 2015

LGBT


Lagi BeTe ya? Jelas bukan la. Itu tema kegiatan GKI Membaca Diri yang diadakan di Hotel Sativa, Pacet, 30 April sampai 1 Mei 2015. Singkatannya: Lesbian Gay Bisexual Transgender. Ada juga yang menyebutnya LGBTIQ, Lesbian Gay Bisexual Transgender Intersex Questioning.
Kegiatan GKI Membaca Diri ini, adalah kegiatan rutin dari Klasis Madiun untuk membedah banyak persoalan praktis di lingkungan jemaat yang terasa pelik bagi gereja (dalam hal ini GKI) untuk bersikap. Kali ini kita mendengarkan pendapat Pdt. Stephen Suleeman dan Ibu Khanis Suvianita dari GAYa Nusantara Foundation.
 
Dua pembicara ini memaparkan kenyataan adanya sekelompok orang yang termasuk dalam kelompok LGBTIQ ini. Pada awalnya kondisi ini dianggap sebagai suatu penyakit yang harus disembuhkan, tetapi saat ini ilmu psikologi menyatakan bahwa ini bukanlah suatu penyakit melainkan orientasi seksual yang berbeda. Sekitar tiga persen manusia ada terlahir di dalam kelompok ini, bahkan Ibu Khanis menyatakan bahwa ada peneliti yang menyatakan jumlah itu sampai sepuluh persen. Bila banyak orang merasakan bahwa jumlah ini meningkat akhir-akhir ini, hal ini hanya disebabkan oleh makin beraninya kelompok ini untuk "coming out" menyatakan identitasnya.
 
Memang banyak bias yang terjadi. Banyak orang yang menganggap bahwa seorang pria yang feminin "melambai" adalah pasti seorang gay. Pernah ada juga guyonan, "Pria yang mengenakan satu anting di sebelah kanan adalah gay. Lha kalau yang satu anting di sebelah kiri? O.. Itu gay kidal."  Banyak juga yang menganggap wanita yang tomboi adalah lesbian, padahal banyak lesbian yang sangat feminin.
 
Alkitab memang menyatakan kutukannya akan kelompok ini, yang terkenal adalah kisah Sodom dan Gomora yang sering diceritakan dimusnahkan karena melakukan hal ini. Pdt Stephen menunjukkan bahwa Sodom dan Gomora bukan mutlak masalah homosexualitas, karena Lot menyerahkan anak perawannya untuk mereka perkosa. Masalah perkosaan selalu muncul sebagai bagian ketika suatu kelompok ingin menunjukkan kekuasaannya atas kelompok lainnya. Banyak ayat dan tradisi menyiratkan bahwa dosa Sodom dan Gomora adalah kekejaman dan kesombongannya.
 
Di beberapa bagian Alkitab juga tersirat hubungan antara dua manusia sejenis yang begitu mendalam. Rut dan Naomi yang penggambaran hubungan di antara mereka dengan "hingga maut memisahkan mereka" (persis seperti penggambaran hubungan pernikahan). Daud dan Yonathan yang di gambarkan bahwa cinta Daud dalam hubungan itu melebihi cintanya pada seorang wanita.
 
Pengalaman menyatakan bahwa kegagalan ditemukan saat kita berusaha menyembuhkan kelompok ini. Banyak orang berpikir mereka sudah menyelesaikan masalah dengan menikahkan kelompok LGBTIQ ini dengan lawan jenisnya dan berharap mereka menjalani kehidupan seperti orang normal lainnya. Banyak kasus menunjukkan bahwa ini bukanlah penyelesaian masalah, hanya menyembunyikan atau menekannya sementara. Banyak diantara pasangan ini akhirnya bercerai, setelah mereka merasa telah menyelesaikan tugasnya dalam menjalankan fungsi sosial yang dianggap normal oleh keluarga atau masyarakatnya. Ada juga kasus dimana seorang Bapak yang paruh baya yang mengambil keputusan untuk menjalani hidupnya  sebagai seorang gay setelah selesai menikahkan anaknya. Ia merasa telah selesai menjalankan tugasnya sebagai manusia yang "normal" dan kini ingin hidup dalam lingkungan yang hakiki seperti suara hatinya.
 
Kondisi ini memang membawa gereja dalam keadaan untuk memikirkan ulang tentang pandangannya terhadap LGBT. Bagi saya ini tantangan besar gereja, sama seperti ketika gereja menganggap bahwa bumi adalah pusat dari tata surya sedang ilmu pengetahuan mengatakan bahwa mataharilah yang menjadi pusat tata surya kita. Perlu banyak pergumulan untuk menerima dan bergaul bersama dengan mereka yang LGBTIQ ini. Memang tidak mudah karena banyak norma di masyarakat kita yang belum dapat menerima hal ini. Sama juga saat alkitab tidak menentang budaya perbudakan di jamannya. Demikian juga saat budaya penolakan atas kepemimpinan perempuan. Tetapi alkitab juga memberanikan diri untuk bisa mencetuskan pilihan yang inklusif saat injil bisa diberitakan di luar komunitas Yahudi.
 
Semoga Roh Kudus memampukan kita untuk menilai dan menimbang segala sesuatunya untuk kemuliaan Tuhan. Bagaimana pendapat anda?
(kelanjutannya.....)

Cerita tentang Rapat


Melayani di GKI berarti harus membiasakan diri mengikuti rapat dan menerima rapat sebagai bagian dari kegiatan saya. Terkadang rapat itu menjadi suatu yang menjejali aktivitas keseharian saya. Bisa jadi tiada hari tanpa rapat. Banyak hal yang saya pelajari dari banyak rapat yang saya ikuti. Banyak keputusan yang harus dipertimbangkan dan diambil dalam rapat.
 
Bisa jadi memang saya berdebat dan berbagi ide di rapat-rapat itu. Itulah fungsi rapat yang saya ikuti.Terkadang masalahnya begitu rumit sehingga butuh banyak pemikiran dan pertimbangan. Saat itulah saya belajar akan banyak hal. Belajar akan dasar pemikiran dan pertimbangan etis yang melandasinya. Belajar untuk menghormati pendapat dan perasaan orang lain. Belajar untuk mengalah demi kebaikan bersama. Belajar juga cara membuat orang lain senang dengan mau merendah di bawah egonya.
 
Saat rapat menjadi sangat dominan, banyak orang yang mencibirkan akan rapat-rapat itu. Seakan-akan saya hanya bisa rapat tanpa pelayanan yang nyata. Tapi bukankah melalui rapat saya juga bisa mendengar dan mengerti akan jalan Tuhan yang tersuarakan melalui peserta rapat lainnya? Melalui rapat saya bisa mencari kehendak Tuhan. Benarkah demikian? Beberapa kali saya memimpin rapat dan terjadi kebuntuan. Saya sendiri tidak ada ide bagaimana harus bersikap. Saat seperti itu saya cuma dapat berdoa dalam hati  "Tuhan tolonglah". Saat ada peserta rapat yang marah, saat ada seseorang yang terasa keras kepala, semuanya nyatanya dapat terselesaikan juga. Rapat bukan ajang beradu mulut saja, karena melalui rapat, semua pemikiran bisa dikomunikasikan dan didiskusikan dengan matang. Melalui rapat, masalah yang pelik dan rumit dapat disikapi dengan mantap. Melalui rapat kesehatian dapat dicapai.
 
Karena pentingnya rapat itu, saya sangat menikmati semua proses rapat-rapat saya. Hingga suatu waktu saya mengamati ada sekelompok orang yang bila di dalam rapat hanya duduk diam saja. Mereka hadir namun jarang bersuara ataupun berpendapat dalam rapat. Mereka juga nampak pasif terhadap semua perbincangan yang berlangsung. Tapi mereka selalu setia untuk hadir di rapat-rapat itu. Terkadang memang mereka mencoba menggugat hasil rapat itu saat rapat sudah usai. "Harusnya khan tidak seperti itu tho, Pak?" Saya selalu menjawab, "Lho, koq gak bicara?" Inilah yang kemudian membawa saya untuk mencoba menanamkan semangat bahwa bertengkar di rapat itu adalah sesuatu yang sehat. Berdebat dan bersilang pendapat di rapat itu diperlukan. Semua orang harus berani mengutarakan isi hati dan pikirannya saat rapat. Jangan takut berdebat, jangan takut bertengkar. Ayo kita bertengkar di rapat, asal kemudian kita kompak atas semua keputusan yang diambil. Pertengkaran sudah harus dilupakan saat keputusan diambil atau saat kita keluar dari ruang rapat. Ayo kita berani bertengkar di rapat.
 
Sampai suatu saat, seorang Ibu yang Penatua berbincang santai dengan saya. Kita berbincang apa saja, lha saya itu kan seumur anaknya. Sampailah kita ke topik rapat itu. Ibu ini menyampaikan perihal suasana rapat yang menakutkan Beliau dan rekan-rekannya. Perihal sekelompok Ibu-Ibu yang saat rapat selalu jadi pengunjung setia yang acap membisu. Saya sampaikan kalau saya gemas dengan kelompok ibu-ibu yang gak pernah berani bersuara, harusnya mereka ini ikut meneriakkan apa yang mereka mau dan harus menyatakan pendapat dengan aktif saat rapat. "Ayo, Ibu harus berani." Tapi ternyata ada hal yang tak terpikirkan dan tak pernah terlintas dibenak saya.
 
Ibu itu berkata ,"Bagaimana kita berani berbicara, kita itu sudah langsung takut saat para bapak itu bicara dengan suara yang keras, apalagi kalau Bapak itu tuh yang bicara.."
"Ya, gak boleh lah Bu, ya harus beranilah bicara."
"Kita ini Ibu-Ibu yang dalam kesehariannya harus menjaga ketenangan rumah tangga. Kita ini sudah terbiasa saat suami marah dan bicara keras, kita yang harus diam mengalah. Kalau kita ikut mendebat, rumah kita tidak bakalan bisa tenang damai."
Penjelasan itu benar-benar menyentakkan saya. Kehadiran sosok seorang istri yang mendamaikan rumah tangga itulah yang selalu membawa para Ibu peserta rapat itu cenderung diam mengalah.
 
Di satu sisi saya tetap berharap para Ibu yang berani dan perkasa di rapat, di sisi yang lain saya selalu bersyukur ada sosok perempuan pembawa damai. Mereka yang telah teruji membawa damai di keluarganya dan kini menghadirkannya di rapat-rapat itu. Semoga para Bapak menyadarinya, tidak di rumah, tidak juga di rapat, jangan suka ngotot ya.. Karena itu menakutkan sebagian besar penduduk bumi yang perempuan itu.
(kelanjutannya.....)

01 April 2015

Mari Kita Guyon


Guyon atau bergurau menjadi suatu yang pernah mengganjal di hidup saya. Hobi untuk clometan, nyletuk dan komentar nakal pernah membawa saya pada suatu persimpangan jalan kehidupan. Akankah saya terus memelihara dan mengembangkan kebiasaan ini ataukan saya harus meninggalkannya dan memulai hidup di jalan yang "benar" dengan serius dan semuanya harus serius? Seakan-akan hobi bergurau itu menurunkan kualitas kepribadian saya, rasanya orang yang serius dan selalu serius itu jauh lebih berwibawa dari yang bergurau.
 
Sampai pada suatu titik, pelajaran dari Romo Katholik semasa SMP terngiang kembali. Be yourself, itu salah satu materi pelajaran agama yang saya ingat dari Beliau. Maka jadilah saya berketetapan untuk menjadi apa adanya saya dengan guyonan saya. Tapi ini kadang juga bermasalah saat guyonan saya kebablasan. Memang saya seharusnya: Guyon ya Guyon, tapi kalau Serius ya Guyon……
 
Jawaban besar yang harus selalu saya tegakkan dan gaungkan dengan keputusan ini, harus kuat. Secara pribadi saya harus bisa mempertanggungjawabkan keputusan saya untuk menjadi pribadi yang suka guyon, bertumbuh dan menjadi berkat dengan guyonan saya. Lalu bagaimana? Bukankah banyak orang yang bisa tersingung dengan gurauan saya?
 
Kejadian malam itu mungkin bisa menggambarkan situasi ini. Malam itu saat kita selesai melayani Kebaktian Rabu Abu, ada penatua yang menanyakan perihal abu yang dipakai untuk dioleskan di dahi itu. Abu itu sebenarnya adalah abu dari pembakaran daun palem yang dikerjakan oleh Pnt. Yanuar. Tapi tidak semua Penatua mengetahuinya, saya menjawab ,"O, itu abu dari Adi Jasa ya?". Ada yang tertawa, kemudian menimpali dengan, "Bukan, itu dari Kembang Kuning, dari Eka Praya." Suasana jadi tambah riuh dengan tawa dan canda. Lalu ada Bu Irwan yang menjelaskan perihal abu tulang sisa kremasi yang beda dengan abu lainnya. Ada juga Bu Ester yang menjelaskan soal abu dari Pdt. Benyamin. Katanya warnanya memang beda dengan abu kayu, juga lebih berat dari debu lainnya. Sampai kita menyelesaikan semua tugas, kita berpisah. Bisa jadi semua orang pulang dengan ingatan bahwa guyonan tadi cuma sekedar pencair suasana. Kita bisa tertawa dalam candaan itu. Bagi saya guyonan tadi malam itu sangat berkesan. Saya mendapatkan sesuatu yang lebih dari sekedar guyonan. Seingat saya kepergian Pdt. Benyamin pasti meninggalkan duka yang mendalam. Sayapun sebenarnya tidak berani menanyakan hal itu ke Bu Ester. Saat dalam guyonan itu Bu Ester bercerita tentang Pak Ben, maka saya menjadi tahu bahwa kepergian Pak Ben sudah menjadi sesuatu yang diterima dengan utuh. Gurauan menjadi sarana untuk membuktikan kemampuan seseorang mengatasi masalahnya.
Orang yang mampu menertawakan dirinya sendiri adalah seorang yang terbukti mampu menerima dirinya sendiri seutuhnya.
 
Setiap orang mempunyai kelemahan fisik yang kadang menjadi beban baginya. Gurauan yang menyinggung kelemahan itu bisa menjadi sesuatu yang menyakitkan. Kemampuan untuk menerima kelemahan fisik itu bisa tercermin saat seseorang mampu membawa kelemahan fisik itu dalam gurauannya. Seberapa dalam kemampuan mental untuk menerima masalah dan kelemahan dapat diukur dengan seberapa mampu gurauan tentang masalah dan kelemahan itu tersaji. Senyum memang selalu bisa muncul, tapi hati yang tulus mampu mengukur kadar ketulusan dan beban senyuman itu. Sama seperti saat Bu Irwan bisa mengatakan bahwa Beliau memang penatua yang paling berbobot. Fisik yang berbobot sudah bukan beban, melainkan sudah menjadi bahan yang ringan untuk gurauan yang berbobot.
 
Mari berlatih untuk guyon agar hidup ini menjadi lebih ringan.
(kelanjutannya.....)

Live In Puhsarang


12-13 Maret 2015 Departemen Oikmas Klasis Madiun mengadakan acara Live In Puhsarang. Puhsarang di Kabupaten Kediri adalah desa dimana Gua Maria terletak. Acara tahunan Live in kali ini mengajak jemaat GKI untuk mengenal komunitas Katholik yang mengadakan acara Misa Malam Jumat Legi. Acara Live In tahunan ini memang selalu mengajak umat GKI untuk tinggal dan mengenal komunitas lain di luar Kristen Protestan. Tahun-tahun sebelumnya kita pernah "Live In" di Pondok Pesantren, Vihara Budha, Masyarakat Hindu Tengger, Klenteng Kwan Im, Masyarakat Samin Bojonegoro. Di acara-acara ini, kita bisa mengenal tentang mereka, tentang pemahanan, ajaran dan budaya mereka. Di sana kita bisa bertanya apa saja untuk bisa mengenal mereka, tetapi kita tidak diperkenankan untuk berdebat mempertentangkan kebenaran yang masing-masing kita anut.
 
Gua Maria Puhsarang memang menjadi tujuan ziarah umat Katholik, walaupun yang datang kesana tidak hanya umat Katholik. Banyak juga pengunjung bukan katholik yang nampak dari busana yang dikenakannya. Bisa jadi mereka menganggap tempat ini adalah tempat wisata. Suasananya memang sangat indah, banyak tanaman membuatnya sebagai taman besar yang asri. Di lingkungan itu ada juga gereja katholik, makam uskup dan biarawan biarawati serta tempat penitipan abu. Ada juga pasar yang menjual souvenir dan perlengkapan yang mungkin dibutuhkan untuk mrngikuti ibadah di sana. Suasana yang menyatu dengan masyarakat sekitarnya membuat Gua Maria ini menjadi tempat yang penuh damai.
 
Acara utama kita adalah mengikuti Misa Malam Jumat Legi. Misa ini dilakukan pada Kamis Malam menjelang Hari Jumat Legi. Legi adalah nama hari pasaran dalam masyarakat Jawa. Misa itu diadakan mulai pukul sepuluh malam hingga berakhir menjelang jam dua dini hari. Diadakan pada malam Jumat Legi, tidak karena masalah klenik dan tahayul, tetapi murni agar mudah diingat saja. Memang malam Jumat Legi mempunyai arti khusus dalam budaya masyarakat Jawa. Disinilah peran inkulturasi Katholik dengan budaya setempat. Katholik mengisi dan memberi warna baru pada budaya yang sudah tumbuh di masyarakat setempat.
 
Sore hari sebelum mengikuti Misa itu, kami mendengarkan penjelasan perihal sejarah, keberadaan dan ritual yang diadakan di Gua Maria ini. Kami mendengarkan penjelasan perihal posisi Bunda Maria yang diistimewakan lebih dari posisinya di Kristen Protestan. Mereka meneladani Bunda Maria, karena Beliau telah mau menjadi pelaku dan penganjur bagi terlaksananya kehendak Allah. Beliau mau menerima dan melakukan kehendak Allah sebagai Bunda Yesus Kristus. Beliau juga menganjurkan pelayan di pesta perkawinan di Kana untuk menuruti apapun perkataan Yesus. Saat kedua sikap itu dilakukannya, maka hal besar sedang terjadi.
 
Suasana penjelasan dan dialog berjalan dengan indah, sang moderator, Pak Raden Satriadi, mampu membawa suasan hangat penuh canda. Saya sempat menyampaikan kesan saya tentang teman-teman saya yang katholik, saya pernah bersekolah SD san SMP di sekolah Katholik. Sayapun masih hafal doa Salam Maria. "Pak, kesan saya teman-teman Katholik saya itu koq gak rohani ya? Baca Alkitab aja bingung." Pdt. Simon Filantropa sempat menimpali, " Yah, itu karena Daniel salah pilih teman aja." Beberapa peserta juga menanyakan perihal informasi seputaran pemahaman iman katholik dan ritual di Puhsarang itu.
 
Malam itu hujan lebat, menjelang misa hujan memang mereda, namun gerimis masih terus terjadi. Ribuan umat duduk di taman itu, ada yang dibawah pohon, ada yang memang membawa kursi lipat, ada yang membawa tikar, banyak yang membawa payung, tetapi banyak juga yang mengenakan jas hujan. Rata-rata mereka memang sudah siap akan cuaca yang ada. Keesokan harinya saya diberi tahu bahwa yang mengambi hosti sekitar tiga ribu lima ratus orang, jadi peserta Misa itu bisa jadi lima ribu orang lebih.
 
Menjelang misa, ada seorang Romo yang menceriterakan tentang proses pemanggilan dan keputusannya untuk menjadi Imam Katholik. Hal yang menarik bagi saya, mengingat banyaknya kebutuhan tenaga pendeta di GKI, namun minim sekali minat jemaat untuk menjadi pendeta. Sharing itu cukup lama sekitar tiga puluh menit dan sangat menarik untuk bisa membangkitkan minat dan kebanggaan umat untuk menjadi Imam. Romo muda itu bercerita dengan percaya diri, kontras bila diperhadapan dengan nilai kebanggaan masyarakat yang makin hedonis.  Saya berharap kita bisa melakukan dan menjemaatkan kebutuhan gereja akan tenaga Pendeta dengan semangat seperti itu.
 
Saya bukan orang yang bisa dan biasa begadang walau di tengah malam yang sejuk dan segar. Saya menyiapkan sebungkus kacang yang akan saya makan untuk mengusir kantuk. Kacang OKE sudah siap, namun sepanjang acara misa itu saya tidak berani menyentuhnya. Saya melihat, semua umat mengikuti Misa dengan sangat hikmad, tidak juga ada yang berbisik-bisik ataupun bermain gadget. Situasi itu yang menekan saya untuk tidak makan kacang yang sudah saya bawa. Hal yang mengejutkan adalah saat pembacaan intensi (ujub), ini mirip doa syafaat di ibadah kita. Umat boleh menitipkan pokok-pokok doanya, dan semuanya dibacakan dan didoakan dengan lengkap. Doa ini bisa sekitar hampir satu jam. "Kami berdoa untuk bapak… yang sedang sakit tangannya… kami berdoa untuk … yang mengharapkan pasangan hidup yang seiman… kami berdoa untuk … agar tanahnya bisa segera laku…." Begitulah kira-kira doa yang diucapkan. Semua umat mengikutinya dengan khusuk. Bila saya berpikir teman-teman katholik saya tidak rohani, bagaimana saya bisa menjelaskan situasi ini? Di taman ini ribuan orang bisa dengan tertib dan hikmad mengikuti misa dibawah hujan gerimis. Sanggupkah mereka melakukan ini selama empat jam bila dihatinya tiada nilai-nilai spiritual yang kokoh?
 
Malam hingga dini hari itu saya belajar akan nilai-nilai spiritual umat yang bagaikan harta di dalam bejana tanah liat. Nampak sederhana dan remeh, namun tak satupun meragukan kualitasnya. Bapak Daniel (bukan saya lo…) yang menggantikan romo paroki untuk memberi penjelasan pada kami sempat sharing. Saat anaknya lulus SMP dan berkeinginan bersekolah di SMA Van Lith Muntilan. Berbulan-bulan beliau berdoa berharap gajinya naik agar dapat memenuhi keinginan anaknya bersekolah di sana. Rasanya doanya tak terjawab.  Hingga suatu saat di tengah permenungannya, saat beliau mau merokok, beliau mendengar suara di hatinya "Bila kamu merokok berarti kamu mengambil jatah hidup anakmu". Beliau terhenyak, rasanya inilah jawaban atas semua doanya. Uang untuk membeli rokoknya sebulan sekitar lima ratus ribu. Itu bisa beliau alihkan untuk biaya sekolah anaknya. Suatu jawaban doa yang membutuhkan tekad untuk melaksanakan kehendak Tuhan.
 
Sungguh indah bisa melihat kekayaan spiritual di komunitas lain di sekitar kita.
(kelanjutannya.....)