Kebahagiaan ini juga menjadi suatu titik balik dari ketakutan dan keraguan akan pendidikan dan kualitas mental yang diterimanya selama ini. Anak saya bersekolah di sekolah Kristen ternama di kota ini, dari TK hingga SMA, itu karena istri saya guru jadi kami mendapat fasilitas pendidikan murah. Sekolah-sekolah ini bermutu sangat baik. Tapi ada kemirisan dan kegalauan panjang di hati saya tentang mental anak saya. Kegalauan yang selalu saya ungkapkan di setiap kesempatan yang ada. Saya bicara pada sesama rekan guru istri saya, kepada para wali kelasnya, kepada kepala sekolah, kepada pengurus dan petinggi utama yayasan penyelenggaranya. Mungkin mereka malah bosan dan balik mencibir saya. Anak saya (dan rasanya kebanyakan siswa dari sekolah itu) tidak memiliki semangat untuk berjuang dan berusaha keras dalam mengapai cita-cita setinggi-tingginya. Waktu kelas enam SD dan belum ujian, dia sudah tahu bahwa dia sudah bakal diterima di jenjang SMP. Waktu kelas tiga SMP dan belum Ujian Nasional, dia sudah tahu bakal diterima di SMA yang dia inginkan. Bahkan, waktu kelas tiga SMA, kalau dia mau mendaftar di Universitas yang senama dengan SMAnya itu, dia pasti sudah akan diterima di bulan Oktober, tujuh bulan sebelum pengumunan kelulusan SMAnya. Betapa indah dan amannya hidupnya. Kesehariannya selalu indah dengan film dan TV Korea yang ditontonnya. Rapornya tidak pernah jelek, namun seharusnya dia bisa mencapai nilai yang lebih dari itu.
Sejak memasuki kelas tiga SMA, saya menanyakan dengan serius tentang jurusan perkuliahan yang akan diambilnya. Di awal kelas tiga itu, sudah banyak pameran pendidikan dari universitas swasta ternama di sekolahnya. Mereka sudah berusaha menjaring mahasiswa baru, melalui iming-iming diskon uang masuk, tanpa test dan kemudahan lainnya. Anak sayapun tergiur untuk masuk universitas melalui jalur itu, karena sebagian besar temannya melakukan itu. Saat itu, dengan serius saya mulai mengajaknya bicara. "Pernahkah kamu berpikir untuk melakukan sesuatu yang bisa kamu banggakan hasilnya? Bangga untuk diceritakan ke orang lain dan anak-anakmu nantinya?" "Kalau kamu mau cobalah daftar ke Universitas negeri, bukan karena itu lebih baik mutunya, tapi hanya karena masuknya jauh lebih sulit." Universitas swasta-swasta itu memang sama baiknya karena akreditasinya ada juga yang A.
Saya tahu anak saya ragu, lingkungan di universitas negeri bukan lingkungan yang biasa untuk anak saya. "Kamu mau sekolah apa?"
"Hukum atau Psikologi."
"Kalau kamu mau belajar ilmu begitu, masyarakat ini memang mayoritas Muslim dan pribumi. Lha, kalau kamu tidak bisa nyaman dengan komunitas itu, bagaimana kamu bisa mengembangkan ilmu-ilmu itu?"
"Kalau kamu sekolah di Universitas swasta, paling banter temanmu yang paling top cuma pengacara dan notaris, tapi kalau di universitas negeri kamu bisa punya teman pejabat, menteri atau malah presiden."
Matanya berkaca-kaca, saya tahu, emosinya bergolak. Akhirnya ia mau menerima tantangan saya untuk mendaftar ke universitas negeri.
Saya harus merencanakan jalan agar dia bisa masuk ke negeri. Banyak masukkan perihal universitas yang akan ditujunya. Ada yang bilang hukum yang terbaik adalah UI, ada yang bilang UGM, ada juga Unpad. Tapi akhirnya, dia mantap dengan Universitas Airlangga. Atas saran seorang rekan yang dulu sama-sama guru les dan sampai saat ini tetap mengajar, saya memasukkan dia kebimbingan belajar yang disarankannya. Nama bimbingan belajar itu baru saya kenal. Bisa jadi karena saya sebenarnya memang alergi berat dengan les-les macam itu. Pernah sekali, waktu dulu anak saya pingin ikut les bersama teman-temannya saya bilang, "Kamu bilang ke teman-temanmu itu: guru lesmu itu belum tentu lebih pinter dari papaku!" Uppss, "somsek" ya…. Sombong sekali! Kali ini alasan teman saya, di bimbingan belajar itu anak disiapkan mentalnya untuk menghadapi soal. Saya juga menyadari ada jenis ujian TPA yang tidak mungkin saya mengajarinya. Paket bimbingannya seminggu dua kali tiga jam selama hampir setahun, tiap bulan ada try-out. Ini suatu yang cukup berat. Karena di sekolahnya juga sudah ada pelajaran tambahan hingga jam setengah empat. Dia les mulai jam empat hingga setengah delapan malam. Di sebulan terakhir malah setiap hari termasuk Sabtu dan Minggu. Dia mau menjalaninya dengan tekun.
Hari-harinya memang harus belajar terus, sementara teman-temannya sudah santai karena sudah pasti masuk Universitas, apapun hasil Ujian Nasionalnya. Untuk menambah semangat belajarnya, saya tidak mendaftarkan dia ke universitas swasta lainnya sebagai cadangan.
Saya sebagai orang tua kadang merasa kejam juga. Saya juga punya rasa takut, bagaimana bila anak saya gagal dan tidak mendapatkan tempat di universitas swasta yang baik? Perasaan itu pasti tak terkatakan ke anak saya, tapi makin mencekam saya. Beberapa hari menjelang ujian sembilan Juni, saya mengumpulkan data universitas swasta yang masih buka pendaftaran, ternyata masih banyak. Saya sudah siap akan menyuruh dia mendaftar di swasta sehari setelah dia melaksanakan ujian SBMPTN itu.
Membimbing anak dengan jalan ini memang terasa menegangkan. Tidak semua teman dekat mendukung saya.
"Aku koq gak pernah punya keinginan atau malah kebanggaan anak masuk Unair, aku pingin anakku sekolah di Amrik."
"Anakmu itu cewek, kamu harus mempertimbangkan lingkungan pergaulannya.."
"Kuda bertemu kuda, bagaimana kamu bisa menjaga bahwa kamu bisa mempertemukan dengan kuda yang berkualitas?"
Kalau yang bicara itu bukan orang-orang yang dekat dengan saya, hal itu pasti akan berlalu bagai angin. Tapi kali ini kalimat-kalimat itu benar bisa menjadi perenungan yang mendalam. Tapi saya sudah bulat! Mencintai dan mendidik anak bukan dengan membabi buta melindunginya. Saya harus mampu menanamkan banyak nilai yang berat dan sulit buatnya. Saya mau anak saya belajar arti sebuah perjuangan keras di hidupnya, dan sensasi rasa kemenangan yang membahagiakan dan membanggakan di hidupnya. Sekali dia mengenal sensasi rasa itu, saya yakin dia mau terus mengejar dan melipatgandakannya di jalan hidupnya yang mendatang. Bukankah namanya Gavrilla yang berarti "God is my strength"?
(kelanjutannya.....)