12 Mei 2015

Cerita tentang Rapat


Melayani di GKI berarti harus membiasakan diri mengikuti rapat dan menerima rapat sebagai bagian dari kegiatan saya. Terkadang rapat itu menjadi suatu yang menjejali aktivitas keseharian saya. Bisa jadi tiada hari tanpa rapat. Banyak hal yang saya pelajari dari banyak rapat yang saya ikuti. Banyak keputusan yang harus dipertimbangkan dan diambil dalam rapat.
 
Bisa jadi memang saya berdebat dan berbagi ide di rapat-rapat itu. Itulah fungsi rapat yang saya ikuti.Terkadang masalahnya begitu rumit sehingga butuh banyak pemikiran dan pertimbangan. Saat itulah saya belajar akan banyak hal. Belajar akan dasar pemikiran dan pertimbangan etis yang melandasinya. Belajar untuk menghormati pendapat dan perasaan orang lain. Belajar untuk mengalah demi kebaikan bersama. Belajar juga cara membuat orang lain senang dengan mau merendah di bawah egonya.
 
Saat rapat menjadi sangat dominan, banyak orang yang mencibirkan akan rapat-rapat itu. Seakan-akan saya hanya bisa rapat tanpa pelayanan yang nyata. Tapi bukankah melalui rapat saya juga bisa mendengar dan mengerti akan jalan Tuhan yang tersuarakan melalui peserta rapat lainnya? Melalui rapat saya bisa mencari kehendak Tuhan. Benarkah demikian? Beberapa kali saya memimpin rapat dan terjadi kebuntuan. Saya sendiri tidak ada ide bagaimana harus bersikap. Saat seperti itu saya cuma dapat berdoa dalam hati  "Tuhan tolonglah". Saat ada peserta rapat yang marah, saat ada seseorang yang terasa keras kepala, semuanya nyatanya dapat terselesaikan juga. Rapat bukan ajang beradu mulut saja, karena melalui rapat, semua pemikiran bisa dikomunikasikan dan didiskusikan dengan matang. Melalui rapat, masalah yang pelik dan rumit dapat disikapi dengan mantap. Melalui rapat kesehatian dapat dicapai.
 
Karena pentingnya rapat itu, saya sangat menikmati semua proses rapat-rapat saya. Hingga suatu waktu saya mengamati ada sekelompok orang yang bila di dalam rapat hanya duduk diam saja. Mereka hadir namun jarang bersuara ataupun berpendapat dalam rapat. Mereka juga nampak pasif terhadap semua perbincangan yang berlangsung. Tapi mereka selalu setia untuk hadir di rapat-rapat itu. Terkadang memang mereka mencoba menggugat hasil rapat itu saat rapat sudah usai. "Harusnya khan tidak seperti itu tho, Pak?" Saya selalu menjawab, "Lho, koq gak bicara?" Inilah yang kemudian membawa saya untuk mencoba menanamkan semangat bahwa bertengkar di rapat itu adalah sesuatu yang sehat. Berdebat dan bersilang pendapat di rapat itu diperlukan. Semua orang harus berani mengutarakan isi hati dan pikirannya saat rapat. Jangan takut berdebat, jangan takut bertengkar. Ayo kita bertengkar di rapat, asal kemudian kita kompak atas semua keputusan yang diambil. Pertengkaran sudah harus dilupakan saat keputusan diambil atau saat kita keluar dari ruang rapat. Ayo kita berani bertengkar di rapat.
 
Sampai suatu saat, seorang Ibu yang Penatua berbincang santai dengan saya. Kita berbincang apa saja, lha saya itu kan seumur anaknya. Sampailah kita ke topik rapat itu. Ibu ini menyampaikan perihal suasana rapat yang menakutkan Beliau dan rekan-rekannya. Perihal sekelompok Ibu-Ibu yang saat rapat selalu jadi pengunjung setia yang acap membisu. Saya sampaikan kalau saya gemas dengan kelompok ibu-ibu yang gak pernah berani bersuara, harusnya mereka ini ikut meneriakkan apa yang mereka mau dan harus menyatakan pendapat dengan aktif saat rapat. "Ayo, Ibu harus berani." Tapi ternyata ada hal yang tak terpikirkan dan tak pernah terlintas dibenak saya.
 
Ibu itu berkata ,"Bagaimana kita berani berbicara, kita itu sudah langsung takut saat para bapak itu bicara dengan suara yang keras, apalagi kalau Bapak itu tuh yang bicara.."
"Ya, gak boleh lah Bu, ya harus beranilah bicara."
"Kita ini Ibu-Ibu yang dalam kesehariannya harus menjaga ketenangan rumah tangga. Kita ini sudah terbiasa saat suami marah dan bicara keras, kita yang harus diam mengalah. Kalau kita ikut mendebat, rumah kita tidak bakalan bisa tenang damai."
Penjelasan itu benar-benar menyentakkan saya. Kehadiran sosok seorang istri yang mendamaikan rumah tangga itulah yang selalu membawa para Ibu peserta rapat itu cenderung diam mengalah.
 
Di satu sisi saya tetap berharap para Ibu yang berani dan perkasa di rapat, di sisi yang lain saya selalu bersyukur ada sosok perempuan pembawa damai. Mereka yang telah teruji membawa damai di keluarganya dan kini menghadirkannya di rapat-rapat itu. Semoga para Bapak menyadarinya, tidak di rumah, tidak juga di rapat, jangan suka ngotot ya.. Karena itu menakutkan sebagian besar penduduk bumi yang perempuan itu.

Tidak ada komentar: