02 Agustus 2013

Shanghai

Dari banyak kota yang pernah saya kunjungi di China, saya paling menyukai Shanghai. Kota ini sangat tua dan indah, menyimpan banyak cerita sejarah. Dibandingkan dengan kota-kota lain, Shanghai tampak memiliki ciri yang sangat khas. Hampir semua kota di China memiliki tata letak dan bentuk yang mirip. Rasanya memang sudah ada disain kota baku yang tinggal diterapkan saja di semua pengembangan kota baru mereka. Tapi Shanghai tampak beda. Saya senang menikmati daerah The Bund. Daerah di pusat kota Shanghai, di pinggir Sungai Huangpu. Banyak gedung-gedung tua berjajar disana.

Saya sering menginap di daerah ini, karena memang menyenangkan berjalan sambil membaca prasasti yang menceritakan sejarah tiap gedung tua yang ada. Bangunan-bangunan itu bergaya Eropah dan tampak megah sekali. Di seberang sungai berderet banyak bangunan modern, ada juga menara televisi yang menjadi ikon kota Shanghai. Tapi bangunan modern itu tidak terlalu menarik minat saya.

Banyak cerita dan sejarah Shanghai berpusat dari The Bund ini. Ini pasti pusat bisnis dan hubungannya dengan dunia barat sudah terjadi mulai ratusan tahun silam. Kalau Surabaya, daerah ini mirip dengan daerah Jembatan Merah dan Kembang Jepun dan jalan Veteran. Sayang kita kurang merawat gedung tua bersejarah kita.

Di Shanghai ada pusat belanja yang sangat terkenal, letaknya tidak jauh dari The Bund. Nanjing Lu atau Nanjing Road atau Jalan Nanjing. Jalan ini sangat panjang, di kiri kanannya berderet toko dan mal. Mirip Orchard Road di Singapura atau Beijing Lu di GuangZhou. Jalan ini tidak boleh dilalui kendaraan, hanya pejalan kaki saja. Lebar jalan ini rasanya lebih lebar dari jalan Tunjungan. Kalau di Surabaya, bisa jadi itu mirip jalan mulai dari Gemblongan, Tunjungan, Pemuda sampai Stasiun Gubeng. Jalan ini selalui ramai dipenuhi orang.

Disini banyak cerita yang pernah saya alami. Semoga ini berguna juga buat semua teman-teman.

Tjie Joung, the best travel advisor saya, pernah bercerita bahwa di balik pertokoan dan mal mewah itu ada perkampungan kumuh yang menjual banyak barang KW (tembakan atau palsu) dari merek-merek ternama. Ini yang menarik buat saya. Bukan untuk belanjanya, tetapi karena berjalan-jalan di mal dan pusat perbelanjaan di banyak negara itu rasanya sama saja. Tidak lagi ada bedanya Takashimaya di Singapura dengan Shinsaibashi Suji di Osaka ataupun di Grand Indonesia. Malah di Jakarta jauh lebih besar dari yang di Singapura dan banyak kota dunia lainnya.

Karena tujuan saya selalu untuk berkunjung ke pabrik, maka waktu saya berjalan-jalan di Nanjing Lu selalu tidak pas dengan waktu orang kebanyakan. Bisa pagi-pagi sekali saat saya belum dijemput atau malam sekali setelah diantar ke hotel. Suatu pagi saya berusaha menyusuri jalan di balik mal-mal itu. Gang-gang kecil itu tidak sekumuh yang saya bayangkan, banyak gang di Surabaya yang jauh lebih kumuh dan semrawut. Gang itu masih mending, karena jalannya sudah dibeton dan rumah-rumahnya sudah rumah semen atau beton semua. Tapi memang kecil-kecil dan sangat padat. Pagi itu saya tidak menemukan yang Tjie Joung maksudkan. Semua rumah tampak normal saja dan mirip semua  dan rasanya tidak ada tanda-tanda bahwa itu toko atau tempat berdagang. Saya merasa mungkin saya salah tempat, semoga lain kali saya bisa menemukan daerah itu.

Malam harinya, saya sempat berjalan-jalan di Nanjing Lu sebelum toko-toko itu tutup, sebelum jam sembilan malam. Di keramaian itu ada orang berkata “Lolek… lolek…. Lolek…”, saya tidak mengerti dan berjalan terus saja. Dia berkata lagi ,” Ni yao mai shou biao ma?” Nah, kali ini saya mengerti, dia menawari saya jam tangan. Oooo, mungkin maksud dia tadi itu “Rolex..rolex…rolex..” Dia memanggil saya untuk mengikuti dia. Saya dan Elia setuju untuk mengikuti dia.

Kita ternyata berjalan masuk ke gang yang pernah saya lewati. Rasanya mereka punya sandi khusus agar bisa dibukakan pintu, rasanya juga ada kamera diluar pintu itu. Saat pintu dibuka memang ada orang yang memandang dengan sorot penuh selidik. Bagian depan rumah itu memang mirip toko di dalam gang sempit, lebarnya mungkin sekitar satu setengah meter, kumuh memang. Di bagian dalamnya yang berbeda. Ruang dalamnya seperti show room di mal besar. Ruang itu besar. Ada berjajar semua barang bermerek. Ada tas, sepatu, dompet, arloji. Ada juga petugas yang fasih berbahasa Inggris. Ruang ini pasti ruang rahasia yang bisa ditutup terpisah dari toko kumuh itu. Harga yang ditawarkan tidak murah juga. Tapi saya menawar dibawah sepuluh persen dari harga yang mereka buka. Cuma saya harus berhati-hati menyampaikannya. Kalau itu ditoko biasa, saya tidak pernah takut untuk menawar. Biasanya mereka pura-pura marah saat ditawar murah. Saya tidak pernah takut karena saya pikir juga tidak akan bertemu mereka lagi. Sebagai contoh Elia pernah beli kaos di Tembok Besar Beijing dari harga 285 RMB per buah, ternyata bisa ditawar menjadi hanya 15 RMB per buahnya. Tapi kondisi di dalam toko ini lain. Saya tidak bisa dengan mudah keluar atau lari dari tempat yang tertutup ini. Kalaupun saya dibunuh di tempat ini, rasanya bisa-bisa juga sulit untuk ditemukan.

Saya menawar dengan strategi merendah. Karena saat ditawar murah mereka dengan mudah menyudutkan kita dengan balik bertanya, “Apa yang membuat kamu bisa menilai barang sebagus ini menjadi semurah itu?” Ada bule yang ketika ditanya seperti itu dia menjawab dengan angkuh, “Ya karena memang saya mau harga segitu” Mereka marah, dan saya pergi menghindar ke bagian lain saja. Saya menjawab, “Maaf, saya kan tidak ada rencana ke tempat ini, teman kamu itu tadi yang mengajak saya. Jadi ya saya cuma punya uangnya segitu saja.” Ini membuat mereka tidak marah. Malah mungkin menyesal karena salah memilih wisatawan miskin kayak saya.

Hati-hati saat kita menawar, mereka akan berusaha mengalihkan ke barang yang lebih rendah kualitasnya dengan harga yang kita ajukan itu. Telitilah benar-benar, cari tanda-tanda yang membedakan barang yang kita tawar dengan barang yang mereka ajukan, karena memang tingkatan kualitas barang disana sangat beragam. Di beberapa arloji saya lihat tanda huruf A berwarna merah, mungkin itu tanda kualitas yang terbaik, mereka akan alihkan kita ke model yang tidak ada tanda itu untuk harga yang kita ajukan. Yang aman adalah tetap bertahan dengan barang pilihan awal kita.

Yang menarik juga bagaimana mereka menyimpan barangnya. Meja pamer mereka ternyata bertumpuk-tumpuk. Saat saya nampak kurang tertarik dengan barang-barang itu, mereka bisa mengeluarkan laci dibawah meja itu. Rak di dinding itu ternyata bisa diputar sehingga muncul rak dengan barang yang lain. Persis yang di film detektif atau cerita mafia.

Kalau kita kurang puas dengan barang yang ada, kita bisa diantar ke tempat lain yang sejenis dengan koleksi yang berbeda di sekitar gang-gang itu. Malam itu saya sempat mengunjungi beberapa tempat semacam itu. Menarik sekali mengetahui bisnis illegal ini. Bagi saya yang lebih menarik lagi adalah bisa keluar masuk toko-toko itu tanpa membeli barang satupun dan tanpa dimarahi mereka.

Nanjing Lu punya cerita menarik lainnya. Suatu malam di kesempatan yang lain, kita balik ke hotel larut malam. Kita pingin makan di Nanjing Lu, makan nasi goreng atau mie goreng di kaki lima. Toko-toko sudah tutup, cuaca agak gerimis, jadi kami memakai payung. Di malam hari memang banyak pedagang kaki lima menjual makanan bakaran seperti sate. Ada sosis, dan bahan-bahan lain yang ditusuk dan dibakar. Inilah barbeque ala jalanan China. Saya tidak suka ini. Ada juga pedagang nasi dan mie goreng yang menggunakan sepeda bergerobak. Harganya sangat murah, dengan tambahan telur goreng cuma sekitar 6 RMB. Satu RMB sekitar seribu lima ratus rupiah. Malam itu kita makan di sana. Pulangnya kita melintasi Nanjing Lu lagi. Jalan itu sudah sepi sekali, hanya beberapa orang melintas dan beberapa petugas yang membersihkan jalan itu. Tiap malam jalan itu dipel dengan mengambil air dari saluran pemadam kebakaran. Kita jalan seperti biasa, Elia membawa tas bertali panjang di bahunya.

Tiba-tiba ada anak muda berteriak ,”Passport….passport…passport.” Kami tidak terlalu menanggapi. Tapi dia mendekati kami dan berkata seperti itu terus. Elia melihat tasnya dan memang passportnya sudah tidak ada. Kita baru sadar kalau kita menghadapi masalah besar. Anak itu anak remaja belasan tahun, wajahnya bukan seperti orang China. Mungkin dia berasal dari daerah utara yang berbatasan dengan negara bekas Uni Sovyet. Dia mengacungkan dua jarinya. Saya tahu dia minta uang, tapi saya pura-pura tidak mengerti. Saya sendiri takut, dua itu artinya berapa? Dua puluh? Dua ratus? Dua ribu? Dia mengeluarkan telepon genggamnya dan menunjukkan angka dua ratus. Saya langsung mengiyakan dan meminta passportnya. Dia menunjukkan temannya dan berlari mau mengambil passport itu. Saya berpikir untuk menangkap anak itu. Saya yakin saya mampu memegang anak remaja itu. Badannya kecil. Elia menolak, karena kita tidak tahu situasi di jalan itu. Siapa tahu ada gerombolannya yang mengintai dari kejauhan.

Saat dia datang lagi, dia langsung bilang ,”Money..money..money..” Saya juga menjawab, ”Passport.. Passport… Passport…” dia menunjukkan passport itu. Kita menunjukkan uang dua ratus itu. Dia mendekat merampas uang itu, kita juga merampas passport itu. Dia kemudian berlari menghilang. Memang kita lega sekali. Entahlah apa jadinya kalau passport itu tidak kembali. Kita tetap tidak tahu bagaimana cara dia mencopet passport itu. Memang tas gantung itu cuma berisi passport saja.

Saya sering menggunakan dompet dari kain tipis yang dipakai melingkar di perut, di balik baju saya. Saya meletakkan passport saya disana, jadi relatif aman. Hanya saja harus berhati-hati saat ke toilet agar tidak terjatuh. Kadang saya menggunakan dompet yang saya gantungkan di sabuk celana. Ini juga relatif aman. Yang ribet dengan cara ini adalah saat di airport. Pemeriksaan yang sangat ketat akan memeriksa semua dompet dan barang kita. Kalau saya lupa melepas dompet itu, mereka akan meminta saya mengulang memasukkan lagi ke scanner.

Berhati-hatilah dalam membawa diri di negeri orang yang kadang tidak kita menyangka terjadinya hal yang tak terduga.

Tidak ada komentar: