13 Agustus 2013
Surga Menurut Saya
12 Agustus 2013
Transportasi Umum di China
Lebaran 2013
Lebaran tahun ini, seperti biasanya saya sekeluarga mudik ke Bondowoso. Bertemu dengan banyak kenalan lama memang menyenangkan, tapi kadang menjengkelkan. Saat seorang kenalan lama bertemu istri saya, dia agak bingung dan lupa. Setelah diingatkan dia langsung berkata,”Beh, setiya mak kinik, bilen engak Gerbong Maut….” (hasil google translatenya: “Sekarang koq kecil, dulu seperti Gerbong Maut” Gila! Menyakitkan tapi lucu juga ya…? Guyonan yang harus dimengerti secara kontekstual! Di Bondowoso ada Monumen Gerbong Maut untuk memperingati peristiwa pengiriman para pejuang kemerdekaan yang tertangkap dengan menggunakan kereta barang. Banyak diantara mereka yang wafat kepanasan dan kehausan. Rasanya orang luar daerah memang kesulitan untuk memahami betapa ‘menyakitkannya’ guyonan itu.
Acara utama saya sebenanya di lebaran ini adalah melatih dua anak saya mengemudikan mobil. Mumpung Bondowoso cukup sepi. Tapi Pak Martin mengajak saya untuk bergabung di acara GKI Bondowoso. Mereka akan pergi ke Kawah Wurung, di dekat Kawah Ijen.
Kita kumpul di Pastori GKI Bondowoso jam tiga dini hari. Saya mengendarai mobil saya sekeluarga dan ada tiga orang lagi yang ikut. Semuanya ada tiga mobil dan enam sepeda motor. Pak Martin, Bu Irma dan satu anaknya naik sepeda motor trailnya. Di Bondowoso memang saat ini ada banyak turis Perancis yang mengunjungi Kawah Ijen. Semakin kondisi Ijen diberitakan membahayakan malah semakin banyak turis yang memaksa naik. Isunya, sering berita itu sengaja dihembuskan untuk malah menantang para turis itu naik ke Kawah Ijen. Saat ini ada pemandangan baru, Blue Fire. Api biru yang muncul di kawah ijen. Mungkin ini gas yang keluar dan terbakar mengeluarkan warna biru. Untuk melihat Blue Fire ini kita harus turun ke kawah Ijen pada tengah malam. Bila suasana sudah terang, api itu tidak terlihat lagi. Tantangan yang sangat menguras tenaga dan semangat.
Saya belum pernah tahu soal Kawah Wurung itu. Bayangan saya mirip dengan suasana ijen, kawah di areal perkebunan kopi milik PTPN. Perjalanan ini memang ke arah areal Ijen, menembus kebun kopi, jalan makadam. Solar saya tidak benar-benar penuh, separuh lebih sedikit, hitungan saya cukup untuk perjalanan bolak balik ke Ijen. Setelah mengemudi cukup lama, susana jadi berubah. Kami memasuki areal padang rumput. Tidak ada perkebunan kopi lagi. Hamparan tanah datar yang luas yang berumput. Padang rumput yang luas sekali. Banyak sapi yang merumput. Jadi ingat dengan kelompok musik Country “Diegos” di acara panter yang lalu. Rasanya tampilan koboi mereka cocok kalau bikin video klip di sini. Cuma kalau di Australia jumlah sapinya lebih banyak dari manusianya, ini bakal kebalikannya.
Kawasan Kawah Wurung itu berlainan dengan Kawah Ijen. Disini banyak bukit-bukit yang tidak terlalu tinggi dan tidak berbatu-batu. Jalan yang kita lalui sangat sempit, jalan tanah berumput, off-road. Entahlah bagaimana kalau harus berpapasan dengan mobil lain. Kita memarkir kendaraan di kaki bukit dan makan pagi dulu. Acara ini gratis, tetapi tiap peserta membawa bekal sendiri-sendiri dan berbagi makanan yang mereka bawa. Seluruhnya ada tiga puluh orang. Yang termuda kelas satu SMP, yang tertua sekitar enam puluh lima tahun. Menyenangkan sekali bisa melihat suasana jemaat yang begitu akrab.
Mungkin ini adalah cekungan yang terjadi saat letusan gunung berapi. Yang kita lihat adalah bukit-bukit yang saling berhubungan. Kita naik ke tiga bukit yang berdekatan. Karena belum banyak dikunjungi orang, belum ada jalan setapaknya. Kita mendaki menurut jalan kita sendiri. Menanjaknya sekitar empat puluh lima derajat. Perjalanan ini menantang semangat kita. Melihat tanjakan yang curam bisa menyiutkan nyali untuk mendakinya. Belum lagi bagi yang berpikir panjang, bagaimana nanti cara turunnya? Memang tidak semua ikut mendaki bukit itu. Pendakian itu mampu mengajarkan banyak hal buat para pesertanya. Sebagai Pendeta Pak Martin memberi semangat pada peserta yang takut dan merasa tidak kuat. Peserta juga belajar untuk saling membantu. Anak saya yang tidak terbiasa mendaki gunung sudah akan menyerah di seperempat perjalanan pertama. Pak Martin yang terus menemani dan menyemangati sehingga bisa menyelesaikan pendakian itu.
Setelah pendakian itu, kita berpindah tempat melihat kawah wurung dari sisi yang berbeda. Diperjalanan kali ini saya tersesat karena salah belok. Tidak ada rambu penunjuk arah dan tidak ada jalan yang bisa di tebak karena semua jalan mirip sempitnya. Saya bukan juga orang yang pandai membaca jejak. Sinyal HP juga mati. Saya sempat juga bertanya ke seorang penduduk yang saya temui. Dia menjelaskan arah yang saya ragukan. Dia menunjukkan arah ke kanan, karena menurut belia kalau ke kiri itu “Jelenna macan” (“jalannya macan” begitu saya dengarnya). Untunglah Pak Martin datang menyusul. Gembala baik yang bermotor Trail (seperti lagu NKB: gembala baik bersuling nan merdu). Pak Martin mengambil jalan ke kiri itu, karena ternyata nama tempat yang akan kita tuju itu Curah Macan. Saat tersesat itu saya benar-benar bingung karena solar saya tinggal seperempat tangki, jatah yang cukup asal tidak tersesat. Dengan di pandu Pak Martin saya bisa kembali ke jalan yang benar. Saya malah sempat bertemu dengan seorang yang tersesat juga. Setelah saling bicara, ternyata dia dulu teman seangkatan di ITS. Dia memang mudah mengingat saya yang berciri khusus ini. Saya yang agak sulit mengingat orang lain.
Petualangan ini masih juga menimbulkan banyak kenangan. Di salah satu jalan itu mobil saya terperosok lubang yang cukup dalam. Kemudi mobil saya terbanting dengan keras. Stir ini terputar 180 derajat. Melihat posisi stir, saya sudah takut bila as depan saya patah. Syukurlah mobil bisa jalan lagi, walaupun dengan posisi stir yang terputar melawan arah normalnya. Kondisi ini menakutkan bagi saya, karena belum ada kepastian bahwa tidak ada kerusakan yang parah dengan sistim roda depan saya. Semuanya bertumpuk, ketakutan kehabisan solar dan ketakutan kerusakan roda depan.
Banyaknya masalah yang dihadapi, bukan hanya oleh saya sendiri. Beberapa peserta juga menghadapi masalahnya sendiri. Ada yang ban belakangnya terperosok, ada yang takut motornya kehabisan bensin, ada yang mobilnya selip karena berpenggerak depan. Semuanya ternyata membawa pada kemauan untuk saling menolong. Saya yang tidak terlalu kenal dengan banyak jemaat baru Bondowoso juga menjadi tambah akrab melalui acara ini.
Pdt Martin yang sering mengajak jemaatnya berjalan-jalan punya aturan yang tidak boleh dilanggar. Tidak boleh membuang sampah sembarangan, terutama sampah anorganik seperti plastik dan kaleng minuman. Lucu juga saat ada saja yang nyeletuk ,”Hayo, ada Pak Martin, tidak boleh buang sampah ya….” Saat istirahat, Pak Martin mendekati anak saya. “Ada yang mau saya serahkan.” Ia mengeluarkan kaleng Pocari Sweat. “Ini ketinggalan di atas tadi, kata Jason (anak Pak Martin) ini punyanya yang pakai kaos oranye.” Ternyata anak saya membuang kaleng minuman itu di atas bukit tadi. Suatu pengajaran yang pasti akan melekat di benak anak saya.
Jalan-jalan ini memang bisa membina keakraban, tetapi bisa juga mendidik orang dengan nilai-nilai kehidupan lainnya.
02 Agustus 2013
Shanghai
Saya sering menginap di daerah ini, karena memang menyenangkan berjalan sambil membaca prasasti yang menceritakan sejarah tiap gedung tua yang ada. Bangunan-bangunan itu bergaya Eropah dan tampak megah sekali. Di seberang sungai berderet banyak bangunan modern, ada juga menara televisi yang menjadi ikon kota Shanghai. Tapi bangunan modern itu tidak terlalu menarik minat saya.
Banyak cerita dan sejarah Shanghai berpusat dari The Bund ini. Ini pasti pusat bisnis dan hubungannya dengan dunia barat sudah terjadi mulai ratusan tahun silam. Kalau Surabaya, daerah ini mirip dengan daerah Jembatan Merah dan Kembang Jepun dan jalan Veteran. Sayang kita kurang merawat gedung tua bersejarah kita.
Di Shanghai ada pusat belanja yang sangat terkenal, letaknya tidak jauh dari The Bund. Nanjing Lu atau Nanjing Road atau Jalan Nanjing. Jalan ini sangat panjang, di kiri kanannya berderet toko dan mal. Mirip Orchard Road di Singapura atau Beijing Lu di GuangZhou. Jalan ini tidak boleh dilalui kendaraan, hanya pejalan kaki saja. Lebar jalan ini rasanya lebih lebar dari jalan Tunjungan. Kalau di Surabaya, bisa jadi itu mirip jalan mulai dari Gemblongan, Tunjungan, Pemuda sampai Stasiun Gubeng. Jalan ini selalui ramai dipenuhi orang.
Disini banyak cerita yang pernah saya alami. Semoga ini berguna juga buat semua teman-teman.
Tjie Joung, the best travel advisor saya, pernah bercerita bahwa di balik pertokoan dan mal mewah itu ada perkampungan kumuh yang menjual banyak barang KW (tembakan atau palsu) dari merek-merek ternama. Ini yang menarik buat saya. Bukan untuk belanjanya, tetapi karena berjalan-jalan di mal dan pusat perbelanjaan di banyak negara itu rasanya sama saja. Tidak lagi ada bedanya Takashimaya di Singapura dengan Shinsaibashi Suji di Osaka ataupun di Grand Indonesia. Malah di Jakarta jauh lebih besar dari yang di Singapura dan banyak kota dunia lainnya.
Karena tujuan saya selalu untuk berkunjung ke pabrik, maka waktu saya berjalan-jalan di Nanjing Lu selalu tidak pas dengan waktu orang kebanyakan. Bisa pagi-pagi sekali saat saya belum dijemput atau malam sekali setelah diantar ke hotel. Suatu pagi saya berusaha menyusuri jalan di balik mal-mal itu. Gang-gang kecil itu tidak sekumuh yang saya bayangkan, banyak gang di Surabaya yang jauh lebih kumuh dan semrawut. Gang itu masih mending, karena jalannya sudah dibeton dan rumah-rumahnya sudah rumah semen atau beton semua. Tapi memang kecil-kecil dan sangat padat. Pagi itu saya tidak menemukan yang Tjie Joung maksudkan. Semua rumah tampak normal saja dan mirip semua dan rasanya tidak ada tanda-tanda bahwa itu toko atau tempat berdagang. Saya merasa mungkin saya salah tempat, semoga lain kali saya bisa menemukan daerah itu.
Malam harinya, saya sempat berjalan-jalan di Nanjing Lu sebelum toko-toko itu tutup, sebelum jam sembilan malam. Di keramaian itu ada orang berkata “Lolek… lolek…. Lolek…”, saya tidak mengerti dan berjalan terus saja. Dia berkata lagi ,” Ni yao mai shou biao ma?” Nah, kali ini saya mengerti, dia menawari saya jam tangan. Oooo, mungkin maksud dia tadi itu “Rolex..rolex…rolex..” Dia memanggil saya untuk mengikuti dia. Saya dan Elia setuju untuk mengikuti dia.
Kita ternyata berjalan masuk ke gang yang pernah saya lewati. Rasanya mereka punya sandi khusus agar bisa dibukakan pintu, rasanya juga ada kamera diluar pintu itu. Saat pintu dibuka memang ada orang yang memandang dengan sorot penuh selidik. Bagian depan rumah itu memang mirip toko di dalam gang sempit, lebarnya mungkin sekitar satu setengah meter, kumuh memang. Di bagian dalamnya yang berbeda. Ruang dalamnya seperti show room di mal besar. Ruang itu besar. Ada berjajar semua barang bermerek. Ada tas, sepatu, dompet, arloji. Ada juga petugas yang fasih berbahasa Inggris. Ruang ini pasti ruang rahasia yang bisa ditutup terpisah dari toko kumuh itu. Harga yang ditawarkan tidak murah juga. Tapi saya menawar dibawah sepuluh persen dari harga yang mereka buka. Cuma saya harus berhati-hati menyampaikannya. Kalau itu ditoko biasa, saya tidak pernah takut untuk menawar. Biasanya mereka pura-pura marah saat ditawar murah. Saya tidak pernah takut karena saya pikir juga tidak akan bertemu mereka lagi. Sebagai contoh Elia pernah beli kaos di Tembok Besar Beijing dari harga 285 RMB per buah, ternyata bisa ditawar menjadi hanya 15 RMB per buahnya. Tapi kondisi di dalam toko ini lain. Saya tidak bisa dengan mudah keluar atau lari dari tempat yang tertutup ini. Kalaupun saya dibunuh di tempat ini, rasanya bisa-bisa juga sulit untuk ditemukan.
Saya menawar dengan strategi merendah. Karena saat ditawar murah mereka dengan mudah menyudutkan kita dengan balik bertanya, “Apa yang membuat kamu bisa menilai barang sebagus ini menjadi semurah itu?” Ada bule yang ketika ditanya seperti itu dia menjawab dengan angkuh, “Ya karena memang saya mau harga segitu” Mereka marah, dan saya pergi menghindar ke bagian lain saja. Saya menjawab, “Maaf, saya kan tidak ada rencana ke tempat ini, teman kamu itu tadi yang mengajak saya. Jadi ya saya cuma punya uangnya segitu saja.” Ini membuat mereka tidak marah. Malah mungkin menyesal karena salah memilih wisatawan miskin kayak saya.
Hati-hati saat kita menawar, mereka akan berusaha mengalihkan ke barang yang lebih rendah kualitasnya dengan harga yang kita ajukan itu. Telitilah benar-benar, cari tanda-tanda yang membedakan barang yang kita tawar dengan barang yang mereka ajukan, karena memang tingkatan kualitas barang disana sangat beragam. Di beberapa arloji saya lihat tanda huruf A berwarna merah, mungkin itu tanda kualitas yang terbaik, mereka akan alihkan kita ke model yang tidak ada tanda itu untuk harga yang kita ajukan. Yang aman adalah tetap bertahan dengan barang pilihan awal kita.
Yang menarik juga bagaimana mereka menyimpan barangnya. Meja pamer mereka ternyata bertumpuk-tumpuk. Saat saya nampak kurang tertarik dengan barang-barang itu, mereka bisa mengeluarkan laci dibawah meja itu. Rak di dinding itu ternyata bisa diputar sehingga muncul rak dengan barang yang lain. Persis yang di film detektif atau cerita mafia.
Kalau kita kurang puas dengan barang yang ada, kita bisa diantar ke tempat lain yang sejenis dengan koleksi yang berbeda di sekitar gang-gang itu. Malam itu saya sempat mengunjungi beberapa tempat semacam itu. Menarik sekali mengetahui bisnis illegal ini. Bagi saya yang lebih menarik lagi adalah bisa keluar masuk toko-toko itu tanpa membeli barang satupun dan tanpa dimarahi mereka.
Nanjing Lu punya cerita menarik lainnya. Suatu malam di kesempatan yang lain, kita balik ke hotel larut malam. Kita pingin makan di Nanjing Lu, makan nasi goreng atau mie goreng di kaki lima. Toko-toko sudah tutup, cuaca agak gerimis, jadi kami memakai payung. Di malam hari memang banyak pedagang kaki lima menjual makanan bakaran seperti sate. Ada sosis, dan bahan-bahan lain yang ditusuk dan dibakar. Inilah barbeque ala jalanan China. Saya tidak suka ini. Ada juga pedagang nasi dan mie goreng yang menggunakan sepeda bergerobak. Harganya sangat murah, dengan tambahan telur goreng cuma sekitar 6 RMB. Satu RMB sekitar seribu lima ratus rupiah. Malam itu kita makan di sana. Pulangnya kita melintasi Nanjing Lu lagi. Jalan itu sudah sepi sekali, hanya beberapa orang melintas dan beberapa petugas yang membersihkan jalan itu. Tiap malam jalan itu dipel dengan mengambil air dari saluran pemadam kebakaran. Kita jalan seperti biasa, Elia membawa tas bertali panjang di bahunya.
Tiba-tiba ada anak muda berteriak ,”Passport….passport…passport.” Kami tidak terlalu menanggapi. Tapi dia mendekati kami dan berkata seperti itu terus. Elia melihat tasnya dan memang passportnya sudah tidak ada. Kita baru sadar kalau kita menghadapi masalah besar. Anak itu anak remaja belasan tahun, wajahnya bukan seperti orang China. Mungkin dia berasal dari daerah utara yang berbatasan dengan negara bekas Uni Sovyet. Dia mengacungkan dua jarinya. Saya tahu dia minta uang, tapi saya pura-pura tidak mengerti. Saya sendiri takut, dua itu artinya berapa? Dua puluh? Dua ratus? Dua ribu? Dia mengeluarkan telepon genggamnya dan menunjukkan angka dua ratus. Saya langsung mengiyakan dan meminta passportnya. Dia menunjukkan temannya dan berlari mau mengambil passport itu. Saya berpikir untuk menangkap anak itu. Saya yakin saya mampu memegang anak remaja itu. Badannya kecil. Elia menolak, karena kita tidak tahu situasi di jalan itu. Siapa tahu ada gerombolannya yang mengintai dari kejauhan.
Saat dia datang lagi, dia langsung bilang ,”Money..money..money..” Saya juga menjawab, ”Passport.. Passport… Passport…” dia menunjukkan passport itu. Kita menunjukkan uang dua ratus itu. Dia mendekat merampas uang itu, kita juga merampas passport itu. Dia kemudian berlari menghilang. Memang kita lega sekali. Entahlah apa jadinya kalau passport itu tidak kembali. Kita tetap tidak tahu bagaimana cara dia mencopet passport itu. Memang tas gantung itu cuma berisi passport saja.
Saya sering menggunakan dompet dari kain tipis yang dipakai melingkar di perut, di balik baju saya. Saya meletakkan passport saya disana, jadi relatif aman. Hanya saja harus berhati-hati saat ke toilet agar tidak terjatuh. Kadang saya menggunakan dompet yang saya gantungkan di sabuk celana. Ini juga relatif aman. Yang ribet dengan cara ini adalah saat di airport. Pemeriksaan yang sangat ketat akan memeriksa semua dompet dan barang kita. Kalau saya lupa melepas dompet itu, mereka akan meminta saya mengulang memasukkan lagi ke scanner.
Berhati-hatilah dalam membawa diri di negeri orang yang kadang tidak kita menyangka terjadinya hal yang tak terduga.