13 Agustus 2013

Surga Menurut Saya


Tulisan ini merupakan pendapat pribadi saya yang saya dapatkan dalam perjalanan hidup saya. "Menurut Saya" bukan berarti saya mau mengarang sendiri tentang arti surga itu. “Menurut Saya” karena ini yang ada dibenak saya saat ini. “Menurut Saya” karena inilah yang akan mewarnai sisa jalan hidup saya selama ini. “Menurut Saya” karena ini juga obyek dari sesuatu yang harus saya ubah bila Tuhan melihat saya salah selama ini. Tuhan kasihanilah saya.
Tulisan ini mulai tertata di benak saya, saat saya sendiri di kamar hotel. Sakit di China yang jauh dari kerabat dan keluarga, bahkan bahasanyapun tidak saya mengerti. Perenungan ini bukan ada karena saya takut mati di sana. Perenungan ini yang akhirnya berguna sebagai persiapan saat seorang teman yang “komunis-atheis” itu beberapa malam kemudian tak disangka bertanya, ”Do you believe that there is a life after death?”
Sebenarnya surga bukan sesuatu yang menarik buat saya. Saya tidak takut kematian. Beberapa tulisan di blog saya sering menyiratkan itu. Pemahanan saya selalu berpusat pada salah satu sifat Tuhan yang mengatakan ,”… bila kamu yang jahat saja tahu untuk memberi yang baik, terlebih lagi Bapamu yang ada di Surga..” Saya sangat meyakini itu. Bagi saya surga adalah urusan Tuhan bukan saya. Tuhan yang selama ini saya kenal selalu baik pasti akan juga tetap baik pada saat kematian saya. Kalau Tuhan yang baik itu mempunyai surga, pasti Ia akan memberikannya untuk saya. Seandainya tidak? Ah, masak dia mengingkari hakikat kebaikan yang selama ini selalu saya kenal dan rasakan?
Surga tidak pernah mendorong saya untuk menjadi orang Kristen yang baik. Surga jadi kosa kata yang tidak menarik untuk saya bahas dan saya kejar di hidup ini. Saat ada gereja yang menampilkan visi dan misinya “..mempersiapkan jemaatnya untuk masuk surga…”, saya hanya tertawa saja. Buat apa itu? Karena seperti kata Ahok, “Pendeta aja takut mati, alasannya masih banyak tugasnya di muka bumi ini…” Maka untuk seorang teman yang suka bicara soal surga, saya pernah menyarankan dia untuk berdoa supaya cepat mati, biar cepat masuk surga.
Bila ada orang yang serius bertanya pada saya tentang tujuan hidup saya, saya lebih suka menjawab dengan frase “menghadirkan kerajaan Allah di muka bumi”. Seperti juga kalimat yang saya tulis di judul Blog saya: “God is invisible. If you believe in God, visualize Him!” Tuhan itu tetap tak terlihat bagi manusia. Kalau saya yakin bahwa Tuhan itu baik, maka saya harus memperkenalkan kebaikan itu buat orang lain. Kalaupun Tuhan itu ramah, maka ya agar orang lain tahu arti keramahan, sayapun harus ramah. Bukan juga menjadikan diri saya selevel Tuhan, tapi hanya sekedar berusaha mewujudkan citra yang tak berwujud itu menjadi sedikit berwujud dan berasa bagi sekeliling saya.
Segalanya berjalan dengan arah seperti itu, karena itu pemahaman saya. Hingga suatu waktu sekitar sepuluh tahun silam. Saat orang demam dengan “Purpose Driven Live”nya Rick Warren. GKI Diponegoropun mempunyai acara bedah buku itu dengan membentuk kelompok sel yang berjalan dengan indah. Jemaat tergerakkan oleh kegiatan berdurasi empat puluh hari itu. Saya diminta memimpin sebuah kelompok. Terpaksalah saya membaca buku itu dengan seksama.  Ada topik tentang tujuan hidup kita saat ini yaitu “ … mempersiapkan diri untuk hidup dalam kekekalan..” Kekekalan yang tidak pernah terlintas untuk terperhatikan dalam hidup saya. Kata kekekalan itu kini menjelma dengan kuat di benak saya. Salahkah saya selama ini bila tak memikirkannya? Benarkah kekekalan atau surga itu harus mulai dipikirkan dan disiapkan mulai saat ini?
Saya tidak ingin menjadi orang yang bebal. Bukan juga ingin menjadi orang pembela doktrin dengan membuta. Tidak pernah ada doktrin yang perlu saya ikuti tanpa alasan yang jelas. Jangan sampai saya jadi bebal dengan memaksakan bahwa surga bukan suatu yang penting untuk mulai dipikirkan saat ini.  Ini awal pergumulan pemikiran saya tentang surga itu. Benarkah saya sudah harus menyediakan tenaga saya untuk mempersiapkan kehidupan di surga nanti? Apa di surga nanti ada bengkel CNC atau galangan kapal yang menampung saya yang punya pengalaman kerja untuk itu? Apa saya juga mungkin bisa jadi ketua majelis di surga nanti?
Pemahaman lama saya beradu terus dengan pemahaman baru itu. Inikah pencerahan itu? Hingga suatu waktu, teman dekat saya, pagi-pagi di kantor bilang ,”Anaknya Rick Warren bunuh diri!” Pasti dia tidak bermaksud apa-apa. Hanya sekedar pembuka obrolan saja. Tapi bagi saya itu berita besar. Saya menaruh perhatian besar dengan anak-anak saya. Anak bunuh diri pasti bukan karena dia salah pencet suatu tombol atau pelatuk pistol. Itu pasti bukan karena kejadian yang sekejab. Itu pasti suatu proses. Akumulasi antara suatu peristiwa dan waktu, suatu pengalaman hidup. Suatu proses yang pastinya terdeteksi oleh orang terdekatnya bila ia menaruh perhatian. Anak bagi saya adalah segalanya, baginya semua ide dan pemikiran saya akan saya labuhkan. Padanya segala keteladanan saya akan tercermin di kehidupannya. Kalau dia pandai memaki, hampir pasti saya juga pandai memaki. Semoga dia jadi orang baik, karena saya juga pingin menjadi orang baik.
Ide Rick Warren sontak gugur di benak saya. Buat apa saya mempersiapkan sesuatu yang jauh bila yang di tangan ini berhamburan? Memang saya tidak serba tahu soal keluarga Rick Warren. Tapi bukankah pohon dinilai dari buahnya? Sayapun tidak dalam posisi untuk menghakimi pengarang buku itu. Itu urusan dia dan anaknya dan Tuhannya. Urusan saya adalah pengambilan keputusan tentang pemahaman surga mana yang harus dijalani. Bisa jadi ini memang bukan benar dan salah, hitam atau putih, tapi dalam kelemahan, saya harus mengambil keputusan untuk meringankan pikiran saya yang tak mampu berpikir rumit ini. Jadi surga tetap bukan sesuatu yang menarik buat saya.
Ini cerita saya, apa cerita kamu?  
(kelanjutannya.....)

12 Agustus 2013

Transportasi Umum di China


Saya ingin berbagi cerita yang mungkin bisa berguna bagi banyak teman yang mau berkelana di China dengan biaya semurah mungkin.
Memilih penerbangan ke China merupakan langkah awal perencanaan biaya perjalanan kita. Sekarang banyak Budget Airline atau Low Cost Carrier. Penerbangan murah, namun tidak selalu murah. Kita harus benar-benar pandai berhitung dengan total biaya kita. Terkadang banyak juga tiket promo dari penerbangan kelas atas. Cathay Pacific, Singapore Airlines, Garuda Indonesia sering juga mengeluarkan tarif promo yang murah juga. Ini jelas lebih nyaman dari Budget Airline seperti Air Asia, Tiger, Lion Air, Jetstar dll.
Berhati-hatilah dengan Budget airline. Harga awal mereka masih belum termasuk pajak dan surcharge lainnya, ikuti terus tahapan pembelian tiket onlinenya hingga tahap terakhir untuk mengetahui harga total yang sebenarnya. Harga juga belum termasuk pemesanan tepat duduk. Bila kita bepergian dengan rombongan, jangan berharap bisa duduk berjajar bila kita tidak mau dikenai biaya tambahan. Harga juga belum termasuk makanan. Yang lebih penting, harga belum termasuk biaya bagasi. Kita harus dapat memperkirakan berat bagasi kita saat kita berangkat dan saat kita pulang nanti. Oleh-oleh akan menjadi beban kita. Pilihlah oleh-oleh yang ringan dan praktis. Jangan sekali-kali membawa oleh-oleh berupa spring bed. Bila kita mengalami kelebihan berat bagasi saat check in, memang kita bisa membayar, tapi tarifnya pasti sangat mahal. Jangan berpikir kita bisa menentengnya, karena bagasi kabin kita juga harus ditimbang. Air Asia cuma memperbolehkan kita membawa tas jinjing seberat tujuh kg ke dalam kabin. Jetstar sekitar sepuluh kg. Pertimbangkan juga panjang kaki anda. Jarak tempat duduk di budget airline sangat sempit, menyulitkan bagi mereka yang jangkung.
Saat ini rute paling menyenangkan bagi saya adalah: Surabaya – Hongkong dengan tiket promo Cathay Pacific. Dari Hongkong naik bis menuju Shenzen. Dari Shenzen kita bisa menuju kota-kota lain di China dengan murah, apalagi untuk penerbangan tengah malam. Penerbangan domestic China walaupun murah tetapi masih memberikan makanan dan minuman, minimal sepotong roti. Bagi yang berstamina prima, bisa juga menghemat biaya hotel dengan melakukan perjalanan di tengah malam dan menumpang tidur di airport. Tidak semua airport buka 24 jam. Saat tutup, kitapun diusir tidak boleh tidur di dalam airport. Tidur saja di selasarnya, asal tidak saat suhu udara yang sangat dingin.
Pemeriksaaan di Bandara China sangat ketat. Jangan sekali-kali membawa cairan melebihi 100 ml. Pasti disita dan dibuang. Cairan itu biasa berupa apa saja, air minum, parfum, shampoo dll. Juga benda tajam seperti gunting, pisau lipat, atau korek. Pemeriksaan tubuh juga ketat, pastikan memasukkan semua dompet dan tas tangan kita ke dalam tas dan discan. Untuk pemeriksaan ini antriannya bisa memakan waktu setengah jam.
Bila bepergian dengan taxi, usahakan mempunyai alamat dengan tulisan mandarin, tunjukkan itu ke pengemudi taxinya. Mereka hampir semuanya tidak mengerti bahasa Inggris. Cetaklah alamat hotel atau tempat yang akan kita tuju dalam bahasa mandarin. Itu pasti akan sangat berguna bagi kita. Taxi disana berargo dan keliatannya baik. Yang aneh, sopirnya dikelilingi kaca pembatas untuk menghindarkan mereka dari upaya kejahatan. Mereka juga sering kali mengebut.
Di beberapa kota besar tersedia kereta bawah tanah, MRT. Kesulitan saya, di dalam keretanya tidak ada petunjuk dengan bahasa Inggris. Saya hanya menghitung jumlah perhentiannya saja. Untuk mencapai tujuan saya menghitung beberapa kali kereta akan berhenti dan diperhentian yang ke berapa saya harus keluar. Ini cukup efektif.
Transportasi antar kota di China sangat baik. Ada bis antar kota dan ada kereta api. Untuk kota besar, terminal bisnya bukan seperti Bungur Asih, mirip airport karena untuk tiap jurusan ada nomer gerbangnya masing-masing. Di dekat gerbang itu sudah menunggu bis yang akan kita naiki. Mereka menerjemahkannya bukan Bus Station, tetapi Coach Station. Ada juga bis antar kota yang ada tempat tidurnya. Stasiun kereta api juga begitu megah dan luas mirip dengan airport kita. Kereta apipun banyak jenisnya ada kereta api super cepat Maglev atau “bullet train”, kereta api dengan kecepatan 300 km/jam. Jalannya begitu mulus tanpa bunyi sambungan rel. Kereta ini ada dua kelas, bedanya hanya di tempat duduknya. Yang mahal tempat duduknya lebih lebar dan leluasa.
Tiket pesawat terbang bisa kita beli online dari Indonesia, tetapi tiket bis dan Kereta api harus kita beli di loket mereka. Untuk warga negara China bisa membeli tiket kereta api melalui mesin, karena mereka bisa menempelkan kartu identitas mereka di mesin itu. Bagi orang asing harus membeli tiket di loket yang tersedia dengan menunjukkan passport. Di beberapa kota besar ada juga loket yang khusus untuk orang asing, petugasnya mampu berbahasa inggris.
Saya pernah naik bis antar kota dengan kota tujuannya bukan kota akhir perjalanan bis itu. Saya harus berpikir keras bagaimana caranya tahu bahwa bis sudah sampai di kota itu. Saya minta saudara saya menuliskan nama kota tujuan itu dalam Mandarin. Setiap bis itu berhenti saya menunjukkan tulisan itu ke orang di sebelah saya. Selalu dijawab “mei tao..” Dari sinar wajah orang itu saya jadi tahu kalau itu artinya “belum sampai”. Orang China bukan masyarakat yang ramah. Saya sendiri malu kalau terus bertanya, tapi saya berpikir bahwa belum tentu saya ketemu mereka lagi. Jadi ya saya beranikan diri saja. Khan, malu bertanya sesat dijalan. Banyak bertanya memang memalukan sih, tapi dari pada kelewat dan pasti itu lebih merepotkan dari pada sekedar menanggung malu.
(kelanjutannya.....)

Lebaran 2013

Lebaran tahun ini, seperti biasanya saya sekeluarga mudik ke Bondowoso. Bertemu dengan banyak kenalan lama memang menyenangkan, tapi kadang menjengkelkan. Saat seorang kenalan lama bertemu istri saya, dia agak bingung dan lupa. Setelah diingatkan dia langsung berkata,”Beh, setiya mak kinik, bilen engak Gerbong Maut….” (hasil google translatenya: “Sekarang koq kecil, dulu seperti Gerbong Maut” Gila! Menyakitkan tapi lucu juga ya…? Guyonan yang harus dimengerti secara kontekstual! Di Bondowoso ada Monumen Gerbong Maut untuk memperingati peristiwa pengiriman para pejuang kemerdekaan yang tertangkap dengan menggunakan kereta barang. Banyak diantara mereka yang wafat kepanasan dan kehausan. Rasanya orang luar daerah memang kesulitan untuk memahami betapa ‘menyakitkannya’ guyonan itu.

Acara utama saya sebenanya di lebaran ini adalah melatih dua anak saya mengemudikan mobil. Mumpung Bondowoso cukup sepi. Tapi Pak Martin mengajak saya untuk bergabung di acara GKI Bondowoso. Mereka akan pergi ke Kawah Wurung, di dekat Kawah Ijen.

Kita kumpul di Pastori GKI Bondowoso jam tiga dini hari. Saya mengendarai mobil saya sekeluarga dan ada tiga orang lagi yang ikut. Semuanya ada tiga mobil dan enam sepeda motor. Pak Martin, Bu Irma dan satu anaknya naik sepeda motor trailnya. Di Bondowoso memang saat ini ada banyak turis Perancis yang mengunjungi Kawah Ijen. Semakin kondisi Ijen diberitakan membahayakan malah semakin banyak turis yang memaksa naik. Isunya, sering berita itu sengaja dihembuskan untuk malah menantang para turis itu naik ke Kawah Ijen. Saat ini ada pemandangan baru, Blue Fire. Api biru yang muncul di kawah ijen. Mungkin ini gas yang keluar dan terbakar mengeluarkan warna biru. Untuk melihat Blue Fire ini kita harus turun ke kawah Ijen pada tengah malam. Bila suasana sudah terang, api itu tidak terlihat lagi. Tantangan yang sangat menguras tenaga dan semangat.

Saya belum pernah tahu soal Kawah Wurung itu. Bayangan saya mirip dengan suasana ijen, kawah di areal perkebunan kopi milik PTPN. Perjalanan ini memang ke arah areal Ijen, menembus kebun kopi, jalan makadam. Solar saya tidak benar-benar penuh, separuh lebih sedikit, hitungan saya cukup untuk perjalanan bolak balik ke Ijen. Setelah mengemudi cukup lama, susana jadi berubah. Kami memasuki areal padang rumput. Tidak ada perkebunan kopi lagi. Hamparan tanah datar yang luas yang berumput. Padang rumput yang luas sekali. Banyak sapi yang merumput. Jadi ingat dengan kelompok musik Country “Diegos” di acara panter yang lalu. Rasanya tampilan koboi mereka cocok kalau bikin video klip di sini. Cuma kalau di Australia jumlah sapinya lebih banyak dari manusianya, ini bakal kebalikannya.

Kawasan Kawah Wurung itu berlainan dengan Kawah Ijen. Disini banyak bukit-bukit yang tidak terlalu tinggi dan tidak berbatu-batu. Jalan yang kita lalui sangat sempit, jalan tanah berumput, off-road. Entahlah bagaimana kalau harus berpapasan dengan mobil lain. Kita memarkir kendaraan di kaki bukit dan makan pagi dulu. Acara ini gratis, tetapi tiap peserta membawa bekal sendiri-sendiri dan berbagi makanan yang mereka bawa. Seluruhnya ada tiga puluh orang. Yang termuda kelas satu SMP, yang tertua sekitar enam puluh lima tahun. Menyenangkan sekali bisa melihat suasana jemaat yang begitu akrab.

Mungkin ini adalah cekungan yang terjadi saat letusan gunung berapi. Yang kita lihat adalah bukit-bukit yang saling berhubungan. Kita naik ke tiga bukit yang berdekatan. Karena belum banyak dikunjungi orang, belum ada jalan setapaknya. Kita mendaki menurut jalan kita sendiri. Menanjaknya sekitar empat puluh lima derajat.  Perjalanan ini menantang semangat kita. Melihat tanjakan yang curam bisa menyiutkan nyali untuk mendakinya. Belum lagi bagi yang berpikir panjang, bagaimana nanti cara turunnya? Memang tidak semua ikut mendaki bukit itu. Pendakian itu mampu mengajarkan banyak hal buat para pesertanya. Sebagai Pendeta Pak Martin memberi semangat pada peserta yang takut dan merasa tidak kuat. Peserta juga belajar untuk saling membantu. Anak saya yang tidak terbiasa mendaki gunung sudah akan menyerah di seperempat perjalanan pertama. Pak Martin yang terus menemani dan menyemangati sehingga bisa menyelesaikan pendakian itu.

Setelah pendakian itu, kita berpindah tempat melihat kawah wurung dari sisi yang berbeda. Diperjalanan kali ini saya tersesat karena salah belok. Tidak ada rambu penunjuk arah dan tidak ada jalan yang bisa di tebak karena semua jalan mirip sempitnya. Saya bukan juga orang yang pandai membaca jejak. Sinyal HP juga mati. Saya sempat juga bertanya ke seorang penduduk yang saya temui. Dia menjelaskan arah yang saya ragukan. Dia menunjukkan arah ke kanan, karena menurut belia kalau ke kiri itu “Jelenna macan” (“jalannya macan” begitu saya dengarnya). Untunglah Pak Martin datang menyusul. Gembala baik yang bermotor Trail (seperti lagu NKB: gembala baik bersuling nan merdu). Pak Martin mengambil jalan ke kiri itu, karena  ternyata nama tempat yang akan kita tuju itu Curah Macan. Saat tersesat itu saya benar-benar bingung karena solar saya tinggal seperempat tangki, jatah yang cukup asal tidak tersesat. Dengan di pandu Pak Martin saya bisa kembali ke jalan yang benar. Saya malah sempat bertemu dengan seorang yang tersesat juga. Setelah saling bicara, ternyata dia dulu teman seangkatan di ITS. Dia memang mudah mengingat saya yang berciri khusus ini. Saya yang agak sulit mengingat orang lain.

Petualangan ini masih juga menimbulkan banyak kenangan. Di salah satu jalan itu mobil saya terperosok lubang yang cukup dalam. Kemudi mobil saya terbanting dengan keras. Stir ini terputar 180 derajat. Melihat posisi stir, saya sudah takut bila as depan saya patah. Syukurlah mobil bisa jalan lagi, walaupun dengan posisi stir yang terputar melawan arah normalnya. Kondisi ini menakutkan bagi saya, karena belum ada kepastian bahwa tidak ada kerusakan yang parah dengan sistim roda depan saya. Semuanya bertumpuk, ketakutan kehabisan solar dan ketakutan kerusakan roda depan.

Banyaknya masalah yang dihadapi, bukan hanya oleh saya sendiri. Beberapa peserta juga menghadapi masalahnya sendiri. Ada yang ban belakangnya terperosok, ada yang takut motornya kehabisan bensin, ada yang mobilnya selip karena berpenggerak depan. Semuanya ternyata membawa pada kemauan untuk saling menolong. Saya yang tidak terlalu kenal dengan banyak jemaat baru Bondowoso juga menjadi tambah akrab melalui acara ini.

Pdt Martin yang sering mengajak jemaatnya berjalan-jalan punya aturan yang tidak boleh dilanggar. Tidak boleh membuang sampah sembarangan, terutama sampah anorganik seperti plastik dan kaleng minuman. Lucu juga saat ada saja yang nyeletuk ,”Hayo, ada Pak Martin, tidak boleh buang sampah ya….” Saat istirahat, Pak Martin  mendekati anak saya. “Ada yang mau saya serahkan.” Ia mengeluarkan kaleng Pocari Sweat. “Ini ketinggalan di atas tadi, kata Jason (anak Pak Martin) ini punyanya yang pakai kaos oranye.” Ternyata anak saya membuang kaleng minuman itu di atas bukit tadi. Suatu pengajaran yang pasti akan melekat di benak anak saya.

Jalan-jalan ini memang bisa membina keakraban, tetapi bisa juga mendidik orang dengan nilai-nilai kehidupan lainnya.

(kelanjutannya.....)

02 Agustus 2013

Shanghai

Dari banyak kota yang pernah saya kunjungi di China, saya paling menyukai Shanghai. Kota ini sangat tua dan indah, menyimpan banyak cerita sejarah. Dibandingkan dengan kota-kota lain, Shanghai tampak memiliki ciri yang sangat khas. Hampir semua kota di China memiliki tata letak dan bentuk yang mirip. Rasanya memang sudah ada disain kota baku yang tinggal diterapkan saja di semua pengembangan kota baru mereka. Tapi Shanghai tampak beda. Saya senang menikmati daerah The Bund. Daerah di pusat kota Shanghai, di pinggir Sungai Huangpu. Banyak gedung-gedung tua berjajar disana.

Saya sering menginap di daerah ini, karena memang menyenangkan berjalan sambil membaca prasasti yang menceritakan sejarah tiap gedung tua yang ada. Bangunan-bangunan itu bergaya Eropah dan tampak megah sekali. Di seberang sungai berderet banyak bangunan modern, ada juga menara televisi yang menjadi ikon kota Shanghai. Tapi bangunan modern itu tidak terlalu menarik minat saya.

Banyak cerita dan sejarah Shanghai berpusat dari The Bund ini. Ini pasti pusat bisnis dan hubungannya dengan dunia barat sudah terjadi mulai ratusan tahun silam. Kalau Surabaya, daerah ini mirip dengan daerah Jembatan Merah dan Kembang Jepun dan jalan Veteran. Sayang kita kurang merawat gedung tua bersejarah kita.

Di Shanghai ada pusat belanja yang sangat terkenal, letaknya tidak jauh dari The Bund. Nanjing Lu atau Nanjing Road atau Jalan Nanjing. Jalan ini sangat panjang, di kiri kanannya berderet toko dan mal. Mirip Orchard Road di Singapura atau Beijing Lu di GuangZhou. Jalan ini tidak boleh dilalui kendaraan, hanya pejalan kaki saja. Lebar jalan ini rasanya lebih lebar dari jalan Tunjungan. Kalau di Surabaya, bisa jadi itu mirip jalan mulai dari Gemblongan, Tunjungan, Pemuda sampai Stasiun Gubeng. Jalan ini selalui ramai dipenuhi orang.

Disini banyak cerita yang pernah saya alami. Semoga ini berguna juga buat semua teman-teman.

Tjie Joung, the best travel advisor saya, pernah bercerita bahwa di balik pertokoan dan mal mewah itu ada perkampungan kumuh yang menjual banyak barang KW (tembakan atau palsu) dari merek-merek ternama. Ini yang menarik buat saya. Bukan untuk belanjanya, tetapi karena berjalan-jalan di mal dan pusat perbelanjaan di banyak negara itu rasanya sama saja. Tidak lagi ada bedanya Takashimaya di Singapura dengan Shinsaibashi Suji di Osaka ataupun di Grand Indonesia. Malah di Jakarta jauh lebih besar dari yang di Singapura dan banyak kota dunia lainnya.

Karena tujuan saya selalu untuk berkunjung ke pabrik, maka waktu saya berjalan-jalan di Nanjing Lu selalu tidak pas dengan waktu orang kebanyakan. Bisa pagi-pagi sekali saat saya belum dijemput atau malam sekali setelah diantar ke hotel. Suatu pagi saya berusaha menyusuri jalan di balik mal-mal itu. Gang-gang kecil itu tidak sekumuh yang saya bayangkan, banyak gang di Surabaya yang jauh lebih kumuh dan semrawut. Gang itu masih mending, karena jalannya sudah dibeton dan rumah-rumahnya sudah rumah semen atau beton semua. Tapi memang kecil-kecil dan sangat padat. Pagi itu saya tidak menemukan yang Tjie Joung maksudkan. Semua rumah tampak normal saja dan mirip semua  dan rasanya tidak ada tanda-tanda bahwa itu toko atau tempat berdagang. Saya merasa mungkin saya salah tempat, semoga lain kali saya bisa menemukan daerah itu.

Malam harinya, saya sempat berjalan-jalan di Nanjing Lu sebelum toko-toko itu tutup, sebelum jam sembilan malam. Di keramaian itu ada orang berkata “Lolek… lolek…. Lolek…”, saya tidak mengerti dan berjalan terus saja. Dia berkata lagi ,” Ni yao mai shou biao ma?” Nah, kali ini saya mengerti, dia menawari saya jam tangan. Oooo, mungkin maksud dia tadi itu “Rolex..rolex…rolex..” Dia memanggil saya untuk mengikuti dia. Saya dan Elia setuju untuk mengikuti dia.

Kita ternyata berjalan masuk ke gang yang pernah saya lewati. Rasanya mereka punya sandi khusus agar bisa dibukakan pintu, rasanya juga ada kamera diluar pintu itu. Saat pintu dibuka memang ada orang yang memandang dengan sorot penuh selidik. Bagian depan rumah itu memang mirip toko di dalam gang sempit, lebarnya mungkin sekitar satu setengah meter, kumuh memang. Di bagian dalamnya yang berbeda. Ruang dalamnya seperti show room di mal besar. Ruang itu besar. Ada berjajar semua barang bermerek. Ada tas, sepatu, dompet, arloji. Ada juga petugas yang fasih berbahasa Inggris. Ruang ini pasti ruang rahasia yang bisa ditutup terpisah dari toko kumuh itu. Harga yang ditawarkan tidak murah juga. Tapi saya menawar dibawah sepuluh persen dari harga yang mereka buka. Cuma saya harus berhati-hati menyampaikannya. Kalau itu ditoko biasa, saya tidak pernah takut untuk menawar. Biasanya mereka pura-pura marah saat ditawar murah. Saya tidak pernah takut karena saya pikir juga tidak akan bertemu mereka lagi. Sebagai contoh Elia pernah beli kaos di Tembok Besar Beijing dari harga 285 RMB per buah, ternyata bisa ditawar menjadi hanya 15 RMB per buahnya. Tapi kondisi di dalam toko ini lain. Saya tidak bisa dengan mudah keluar atau lari dari tempat yang tertutup ini. Kalaupun saya dibunuh di tempat ini, rasanya bisa-bisa juga sulit untuk ditemukan.

Saya menawar dengan strategi merendah. Karena saat ditawar murah mereka dengan mudah menyudutkan kita dengan balik bertanya, “Apa yang membuat kamu bisa menilai barang sebagus ini menjadi semurah itu?” Ada bule yang ketika ditanya seperti itu dia menjawab dengan angkuh, “Ya karena memang saya mau harga segitu” Mereka marah, dan saya pergi menghindar ke bagian lain saja. Saya menjawab, “Maaf, saya kan tidak ada rencana ke tempat ini, teman kamu itu tadi yang mengajak saya. Jadi ya saya cuma punya uangnya segitu saja.” Ini membuat mereka tidak marah. Malah mungkin menyesal karena salah memilih wisatawan miskin kayak saya.

Hati-hati saat kita menawar, mereka akan berusaha mengalihkan ke barang yang lebih rendah kualitasnya dengan harga yang kita ajukan itu. Telitilah benar-benar, cari tanda-tanda yang membedakan barang yang kita tawar dengan barang yang mereka ajukan, karena memang tingkatan kualitas barang disana sangat beragam. Di beberapa arloji saya lihat tanda huruf A berwarna merah, mungkin itu tanda kualitas yang terbaik, mereka akan alihkan kita ke model yang tidak ada tanda itu untuk harga yang kita ajukan. Yang aman adalah tetap bertahan dengan barang pilihan awal kita.

Yang menarik juga bagaimana mereka menyimpan barangnya. Meja pamer mereka ternyata bertumpuk-tumpuk. Saat saya nampak kurang tertarik dengan barang-barang itu, mereka bisa mengeluarkan laci dibawah meja itu. Rak di dinding itu ternyata bisa diputar sehingga muncul rak dengan barang yang lain. Persis yang di film detektif atau cerita mafia.

Kalau kita kurang puas dengan barang yang ada, kita bisa diantar ke tempat lain yang sejenis dengan koleksi yang berbeda di sekitar gang-gang itu. Malam itu saya sempat mengunjungi beberapa tempat semacam itu. Menarik sekali mengetahui bisnis illegal ini. Bagi saya yang lebih menarik lagi adalah bisa keluar masuk toko-toko itu tanpa membeli barang satupun dan tanpa dimarahi mereka.

Nanjing Lu punya cerita menarik lainnya. Suatu malam di kesempatan yang lain, kita balik ke hotel larut malam. Kita pingin makan di Nanjing Lu, makan nasi goreng atau mie goreng di kaki lima. Toko-toko sudah tutup, cuaca agak gerimis, jadi kami memakai payung. Di malam hari memang banyak pedagang kaki lima menjual makanan bakaran seperti sate. Ada sosis, dan bahan-bahan lain yang ditusuk dan dibakar. Inilah barbeque ala jalanan China. Saya tidak suka ini. Ada juga pedagang nasi dan mie goreng yang menggunakan sepeda bergerobak. Harganya sangat murah, dengan tambahan telur goreng cuma sekitar 6 RMB. Satu RMB sekitar seribu lima ratus rupiah. Malam itu kita makan di sana. Pulangnya kita melintasi Nanjing Lu lagi. Jalan itu sudah sepi sekali, hanya beberapa orang melintas dan beberapa petugas yang membersihkan jalan itu. Tiap malam jalan itu dipel dengan mengambil air dari saluran pemadam kebakaran. Kita jalan seperti biasa, Elia membawa tas bertali panjang di bahunya.

Tiba-tiba ada anak muda berteriak ,”Passport….passport…passport.” Kami tidak terlalu menanggapi. Tapi dia mendekati kami dan berkata seperti itu terus. Elia melihat tasnya dan memang passportnya sudah tidak ada. Kita baru sadar kalau kita menghadapi masalah besar. Anak itu anak remaja belasan tahun, wajahnya bukan seperti orang China. Mungkin dia berasal dari daerah utara yang berbatasan dengan negara bekas Uni Sovyet. Dia mengacungkan dua jarinya. Saya tahu dia minta uang, tapi saya pura-pura tidak mengerti. Saya sendiri takut, dua itu artinya berapa? Dua puluh? Dua ratus? Dua ribu? Dia mengeluarkan telepon genggamnya dan menunjukkan angka dua ratus. Saya langsung mengiyakan dan meminta passportnya. Dia menunjukkan temannya dan berlari mau mengambil passport itu. Saya berpikir untuk menangkap anak itu. Saya yakin saya mampu memegang anak remaja itu. Badannya kecil. Elia menolak, karena kita tidak tahu situasi di jalan itu. Siapa tahu ada gerombolannya yang mengintai dari kejauhan.

Saat dia datang lagi, dia langsung bilang ,”Money..money..money..” Saya juga menjawab, ”Passport.. Passport… Passport…” dia menunjukkan passport itu. Kita menunjukkan uang dua ratus itu. Dia mendekat merampas uang itu, kita juga merampas passport itu. Dia kemudian berlari menghilang. Memang kita lega sekali. Entahlah apa jadinya kalau passport itu tidak kembali. Kita tetap tidak tahu bagaimana cara dia mencopet passport itu. Memang tas gantung itu cuma berisi passport saja.

Saya sering menggunakan dompet dari kain tipis yang dipakai melingkar di perut, di balik baju saya. Saya meletakkan passport saya disana, jadi relatif aman. Hanya saja harus berhati-hati saat ke toilet agar tidak terjatuh. Kadang saya menggunakan dompet yang saya gantungkan di sabuk celana. Ini juga relatif aman. Yang ribet dengan cara ini adalah saat di airport. Pemeriksaan yang sangat ketat akan memeriksa semua dompet dan barang kita. Kalau saya lupa melepas dompet itu, mereka akan meminta saya mengulang memasukkan lagi ke scanner.

Berhati-hatilah dalam membawa diri di negeri orang yang kadang tidak kita menyangka terjadinya hal yang tak terduga.

(kelanjutannya.....)