23 Oktober 2010

Di Sana Ada Buah Lepiu

Setelah seminggu "bertamasya", sekarang saya bisa menulis lagi. Seminggu itu saya masuk ke pedalaman Kalimantan. Melihat betapa luas dan kayanya negara kita. Diawali dengan undangan di acara ulang tahun kabupaten yang meriah. Ada drumband, ada tarian masal berbagai etnis. Ada Dayak, Bugis, Cina, Arab, Melayu, Tidung. Mereka menari dengan kompak, pasti ini pesta yang membutuhkan uang yang banyak. Di lapangan itu ada dua tenda besar untuk pameran, dua tenda itu disewa dengan harga 700 juta. Wih, hebat khan?
 
Perjalanan saya menuju desa terakhir ke arah hulu sungai di kabupaten itu. 5 jam perjalanan dengan Speed Boat. Harusnya memang hanya sekitar 3 jam saja, tapi karena ada masalah dengan mesin speed boat yang saya tumpangi, kita harus beberapa kali berhenti. Mesinnya tidak mogok, hanya sesekali, terbatuk-batuk. Beberapa kali memang kita berhenti untuk mengganti busi dan membongkar karburatornya.  Hari itu kita berencana untuk survei di tiga desa, dimulai dengan desa yang terjauh. Jadwalnya cukup ketat, sebelum gelap kita sudah harus kembali, kalau tidak maka kita harus bermalam di salah satu desa itu. Saya sempat protes, kenapa kita harus berhenti, toh mesin tidak mogok. Mengapa tidak langsung saja? Motoris, begitulah sebutan untuk pengemudi speed boat, menjelaskan bahwa kita akan melewati Giram Raya. Kalau mesin sampai mati di sana, maka akan sangat berbahaya bagi kita. Saya cuma melihat dari sisi jadwal, saya sendiri tidak mengenal daerah itu. Setelah sempat membongkar karbiurator, kita melanjutkan perjalanan memasukli daerah Giram Raya. Giram berarti jeram. Bagian sungai yang berbatu-batu dan berarus deras sekali. Bagi beberapa orang, melewati jeram saat arung jeram adalah hal yang menyenangkan. Karena sudah tahu bahwa faktor keselamatan sudah diperhitungan dan diutamakan di acara arung jeram ini. Berbeda dengan rombongan kita saat itu. Kita yang harus menaklukkan jeram itu, atau jeram itu yang menaklukkan kita. Lebar sungainya saja sudah beda. Di kalimantan lebar sungainya bisa puluhan kali lebar sungai di Jawa. Mungkin sungai di Jawa cuma "selokan" dibandingan sungai utama di Kalimantan. Belum lagi batu-batunya. Di Giram Raya bebatuannya "buuuuuesar-buuuesaaaaaar". Ada yang serumah, bentuknyapun bermacam-macam. Semuanya seperti tersusun dan tertumpuk dengan sengaja. Mungkin ini yang namanya Menhir seperti di buku sejarah dulu atau di cerita kartun Obelix. Mengarungi Giram Raya sungguh mendebarkan. Motorisnya harus berpengalaman, bila salah mengambil jalan kita bisa celaka. Perahu bisa menabrak batu atau kandas karena ada baru yang tak terlihat, atau juga terhempas oleh derasnya arus aliran sungai itu. Giram itu sepanjang kurang lebih 1 kilometer. Perjalanan yang mendebarkan. Puluhan orang sudah celaka di jeram itu. Banyak diantara mereka adalah dokter yang bertugas ke pedalaman.
 
Tepat menjelang tengah hari, saya mencapai desa itu, Long Pelban. Desa yang tertata rapi. Dihuni oleh suku Dayak Bukulit. Rombongan kami 8 orang dengan 2 speedboat. Sementara ada tim teknis yang bekerja, saya juga bekerja. Saya bersosialisasi dengan penduduk yang ada, bagaimanapun kita adalah pendatang di tanah mereka. Desa itu cuma dihuni 49 KK, cuma ada sekolah SD dengan 5 orang guru. Semua penduduknya Kristen dari Gereja Kemah Injil Indonesia. Saya berusaha untuk bisa berkomunikasi dengan semua orang di rombongan ini dan juga orang-orang yang kami temui. Ini bukan pekerjaan mudah karena dari latar belakang pendidikannya saja kita beda. Mulai dari Motoris yang mungkin cuma sekedar bisa baca tulis hingga beberapa orang lulusan luar negeri, ada yang Master ada juga PhD.
 
Disana saya bertemu dengan orang yang dianggap ketua adat. Awalnya dia mendekati saya untuk menawarkan buah, namanya aneh, saya jelas tidak minat, bagaimana saya bisa membawanya pulang? Ransel saya sudah penuh dan belum lagi perjalanan pulang itu masih harus berganti antara speedboat dan pesawat. Saya malas kalau harus bawa oleh-oleh yang mungkin malah merepotkan saya. Tapi setelah berkali-kali saya ditawari, saya pikir ini kesempatan untuk bersosialisasi dengan mereka. Saya setujui saja. Sekilo lima puluh ribu. Dari nada suaranya saya tahu itu harga yang masih bisa ditawar, tapi saya tidak menawarnya. Buah itu buah Lepiu (Kayak bunyi: I Love You....). Warnanya merah Maron. Bentuknya bulat pipih berdiameter 2 - 4 cm. Buah ini harus direbus dulu. Rasanya memang enak seperti kacang rebus dan agak manis. Ada yang menyamakan bentuknya seperti jengkol tapi kecil dan tidak beraroma. "ini buah dari akar" Bapak itu menjelaskan. "Oh, Ini umbi, dari dalam tanah?" "Bukan, Ini pohon akar" "Saya tidak mengerti maksud Bapak!" Saya bingung, dan Bapak itu juga bingung. Pohon akar? Lalu Bapak itu menggambarkan pohon akar itu dengan gerakkan tangan yang meliuk-liuk. "Oh, maksud Bapak pohonnya merambat? Seperti rotan?" "Ya.... Betul" Ah, akhirnya saya tahu bahwa pohon Lepiu itu merambat. Mereka memungutnya dari hutan, buah itu sebenarnya seperti buah Petai, tapi mereka memungut biji-biji buah yang sudah tersebar di bawah. Seharian bila mereka masuk hutan mereka hanya mendapatkan sekitar 4 kg saja. Di hutan pohon itu banyak, tetapi jarang sekali berbuah. Harga buah Lepiu di kota sekitar 70 ribuan. Mahal juga, tapi itulah bagian Indonesia yang terpencil dan mahal. Kalau mau beli di desa itu, memang 50 ribu dan rasanya masih bisa ditawar lagi, tapi sewa speebboat ke sana 1,8 juta.
 
Desa-desa di hulu sungai itu, teratur rapi, beda dengan desa-desa di daerah muara. Penampilan masyarakatnyapun beda, di Long Pelban dan Long Leju, penampilan mereka lebih bersih. Syukurlah kalau gereja mampu menjadi berkat disana. Tapi apa mereka akan bisa terus begitu? Di hari terakhir, saat kita melaporkan hasil pekerjaan kita, disebutkan bahwa disana akan dibangun pembangkit listrik tenaga air yang terbesar di dunia. Berarti beberapa desa di hulu sungai itu akan segera terendam dan berubah jadi waduk raksasa. Entahlah apa yang akan terjadi, tapi itu masih rencana yang sangat panjang. Lalu dimana lagi saya akan mendapatkan buah lepiu? Seorang warga memberitahu, bahwa bila seseorang sudah makan buah itu, maka suatu saat dia pasti akan kembali ke desa itu lagi. Yah, semogalah, karena saya juga senang jalan-jalan ke sana.
(kelanjutannya.....)

11 Oktober 2010

Tidak Takut Mati?

Membicarakan perihal kematian di hari ulang tahun bagi banyak orang adalah hal yang tabu, tapi kalau kematian itu sesuatu yang diluar kekuasaan kita, apa yang bisa kita lakukan untuk mempengaruhinya? Kita cuma bisa menyiapkan sikap dalam menghadapinya.

Dulu, waktu saya berusia belasan tahun, di suatu acara persekutuan doa pemuda remaja, Pak Pendeta Timotius Istanto meminta yang hadir untuk menuliskan apa yang akan kita lakukan kalau kita tahu bahwa umur kita hanya kurang seminggu saja. Semua orang menuliskannya di selembar kertas dan kemudian oleh beliau itu bacakan dan diulas bersama.

Hampir kesemuanya bernada sama, mereka semua menulis bahwa akan berbuat baik dalam berbagai bentuknya. Tulisan saya tidak juga dibacakan. Sampai terakhir, Pak Tim bilang,"Ini akan saya bacakan pendapat yang paling jelek, -Saya tidak akan melakukan apa-apa-". Karena kertas itu tidak diberi nama, maka tidak ada yang tahu siapa penulisnya. Banyak yang tertawa. Banyak yang mengganggap penulisnya tidak serius dan asal menulis tanpa berpikir, makanya menurut Pak Tim itu adalah pendapat yang paling jelek. Itu adalah tulisan saya.

Saya menulisnya dengan serius dan penuh kesadaran. Saya menganggap kenapa saya harus munafik dengan berbuat baik bila akan mati? Mengapa saya tidak jadi orang jahat saja? Apa hanya karena saya akan mati? Kalau saya tidak mau jadi jahat, dan saya memilih jadi orang baik bukankah itu pilihan hidup saya, bukan atas ketakutan akan kematian? Pikiran itu yang ada di benak saya saat itu. Kematian bukanlah hal yang menakutkan bagi saya saat itu. Dulu Papa saya menjelaskan soal kematian Mama saya dengan bilang ,"Saat ini di Sorga sedang ada pesta untuk menyambut Mama."

Tapi itu dulu, waktu saya masih remaja dan tidak punya apa-apa. Kini, meskipun belum juga kaya, saya sudah merasa mulai punya beberapa harta. Ada harta yang "ternilai" ada juga harta yang "tak ternilai". Ada yang bisa dihitung nilai uangnya (seperti yang saya laporkan di laporan tahunan pajak saya) dan ada juga harta yang tak ternilai. Harta yang berupa lingkungan ataupun orang-orang yang mengasihi dan saya kasihi. Rasanya harta yang tak teruangkan ini yang paling banyak saya punyai. Ada istri, ada anak-anak, ada teman dan rekan seperti anda, ada juga "musuh" yang penuh perhatian mengintai saya setiap saat. Semuanya ini menjadi sesuatu yang tak ternilai yang membuat hari-hari saya menjadi begitu indah. Hari-hari saya indah karena ada anda semua. Dan itulah harta yang saya miliki. Dengan berlalunya waktu dan usia, makin menumpuklah harta-harta saya.

Di hari ulang tahun ini, saat saya merefleksikan ulang sikap saya, masihkah tidak takut mati? Rasanya bukan ketakutan akan kematian yang sering membayang dibenak saya, tetapi apa saya berani berpisah dengan semua harta-harta saya? Dimana harta saya berada, disitu ada hati saya. Apapun alasannya, bisa jadi saat ini saya mulai takut mati. Takut karena hati ini sudah makin terikat pada harta-harta itu. Semoga Tuhan tetap senantiasa berkenan memberikan pencerahan di usia dan "harta" yang makin bertambah ini.

(kelanjutannya.....)

04 Oktober 2010

Melihat Namun Tak Melihat

.....kamu akan melihat dan melihat, namun tidak menanggap (Roma 28:26)

Sudah berhari-hari saya berdoa memohon mujizat Tuhan. Barang itu sudah saya cari berhari-hari. Di bengkel, di rumah, di mobil, belum juga ketemu. Rasanya hanya mujizat Tuhan yang bisa menemukan barang itu. Barang itu adalah contoh pekerjaan bengkel yang diserahkan ke saya. Tak pernah satu kalipun saya menghilangkan barang contoh. Itu hal yang tabu. Tapi kali ini kenapa bisa hilang? Sudah cukup lama barang itu diserahkan ke saya. Saya sudah agak lupa bentuknya. Pemiliknya bilang bentuknya seperti mata rantai yang bisa dirangkai. Saya berusaha mengingatnya walaupun agak sulit. Tapi di benak saya langsung tergambar sebuah mata rantai yang bisa dibongkar pasang. Yah, bentuknya pasti mirip huruf C.

Pagi itu pemilik barang kembali menelpon untuk memintanya kembali, nadanya sudah sangat ingin marah. Saya masuk ke gudang lagi meminta sekretaris saya meneliti semua kotak dan rak. Dia bilang, "Sudah dan tidak ada, Pak." Saat itu, mata saya tertuju pada barang yang ada di rak, di depan mata saya, saya pegang barang itu. Nah, ini barang itu. Ketemu! "Lho, ini koq bisa disini?" "Pak, itu memang sudah dari dulu disana." "Tapi koq kamu bilang tidak ada?" "Bapak khan bilang bentuknya kayak huruf C, itu bentuknya kotak." Yah, sayapun sudah berkali-kali melihat ke rak itu. Tapi saya tidak pernah menyangka bahwa itu barang yang saya cari, sebab saya juga selalu mencari barang yang bentuknya seperti huruf C. Saya salah membayangkan bentuk barang yang hendak saya cari. Syukurlah itu cuma barang, bagaimana jadinya kalau itu hal yang lebih penting lagi?

Saya telah hanya melihat apa yang ingin saya lihat dan mengabaikan yang lain. Di benak ini sudah ada filter yang akan memilah semua informasi yang akan masuk ke otak. Bagaimana bila filter itu yang salah dan malah menghalangi informasi yang seharusnya diterima? Kebenaran dan kesucian filter itulah yang harus selalu dijaga. Kehadiran Firman Tuhan dan Roh Kudus akan berkuasa mengisi dan menjaga filter ini. Tuhan hadirlah selalu di benak ini.

Mujizat telah terjadi saat Tuhan membetulkan "filter" di benak saya dengan yang murni yang dari padaNYA.

(kelanjutannya.....)

Dia Koq Marah?

Saya sangat sering mengunjungi pameran permesinan dan teknologi. Terasa sangat menarik dan menyenangkan melihat banyak produk baru dan inovasi baru. Untuk itu saya harus mengeluarkan banyak biaya. Minimal untuk biaya pesawat dan akomodasinya. Bisa ratusan ribu sampai jutaan rupiah, apalagi kalau di luar negeri. Kebiasaan ini berjalan dengan begitu saja, hingga satu teman mengingatkan bahwa itu hanya untuk memuaskan keinginan mata saja. Tidak mungkin kita selalu membeli mesin baru atau menggunakan teknologi yang selalu berganti itu. Meski saya punya alasan untuk tetap selalu bisa belajar dari pameran-pameran itu, masukan itu sempat mengguncangkan saya. Terutama karena biaya-biaya yang tidak murah itu.

Sampai suatu saat saya menemukan solusi atas masalah ini. Cara untuk sekedar mengkompensasi biaya saat mengunjungi pameran itu. Saya membawa juga brosur produk saya, saya akan bagikan di pameran itu. Saya yakin di pameran itu hadir juga banyak calon pelanggan saya. Saya bisa mencari pelanggan di pameran itu juga. Saya bisa membagikan brosur di sana, tapi saya bukan peserta pameran. Saya tidak punya stand. Biaya sewa stand di pameran seperti ini bisa mencapai puluhan juta rupiah. Nah, saya yang harus cari cara bagaimana bisa membagi brosur tanpa ditangkap petugas sekuritinya. Ini butuh strategi khusus. Dengan membagi brosur itu, perasaan saya lebih tenang. Bila dapat satu pelanggan saja, saya yakin biaya yang dikeluarkan sudah pasti dapat tergantikan. Yang ada bagaimana saya bisa membagi brosur dengan aman dan elegan.

Hari itu saya hadir di pameran lagi. Di ransel saya sudah ada beberapa puluh brosur siap bagi. Hari itu hari pertama pameran. Biasanya kita tidak boleh masuk sebelum upacara pembukaannya selesai. Acara pembukaannya agak terlambat, mungkin ada pejabat yang belum datang. Pengunjung sudah boleh masuk. Saya berkeliling, melihat produk dan mencari jalan membagi brosur. Ternyata ada stand yang dijaga oleh 2 orang alumni ITS, yang seorang adik kelas saya. Ting! Ini peluang saya. Saya mengobrol di stand itu, sambil berlagak sok kenal dan sok akrab sampai kemudian saya yakin bisa mendapat ijin untuk mendompleng di sana membagi brosur saya. Saya cukup tahu diri untuk tidak meletakkan brosur di stand mereka, bagi saya cukup boleh berdiri di depan stand mereka dan bisa mencegat pengunjung yang lewat. Seakan-akan saya juga bagian dari stand itu.

Pameran tidak terlalu ramai. Memang ada beberapa orang yang sudah saya beri brosur. Sampai kemudian ada seorang Bapak yang cukup tambun masuk ke stand itu, berbincang dengan dua rekan tadi. Terasa mereka ada memperbincangkan saya, saya ikut masuk dan mendengarkan perbincangan mereka. "Anda tidak boleh seperti itu!" Bapak itu berkata ke dua rekan itu sambil menunjuk kearah saya, saya kaget. "Saya tadi sudah lewat di depan sana, tapi anda tidak menyapa saya" bapak itu berkata pada saya. Dia mengeluarkan kartu namanya, "Saya yang mengeluarkan ijin untuk bisnis seperti ini" Memang pameran ini pameran spesifik, bisa jadi ini bidang yang menjadi wewenang beliau. Di kartu namanya saya baca jabatan dia, Kasubdin..... "Maaf pak, Maaf atas kesalahan saya," Di mulut saya minta maaf, tapi di hati saya menertawakannya. Pejabat ini gila hormat, Pamong Praja Feodal! Dia mulai berkisah lagi, "Anda jangan suka membeda-bedakan orang, itu tidak benar......." Saya mengangguk-angguk saja sambil menunduk, seakan-akan saya takut sama dia. Apanya ya yang beda dan perlu dibedakan?

Mungkin upacara pembukaan sudah selesai dan banyak pejabat yang berkeliling melihat pameran, salah satunya bapak ini. Bagi saya, tidak mungkin saya asal membagi brosur seperti SPG berok mini itu. Mereka merasa sudah bekerja kalau sudah membagi habis setumpuk brosur. Sedangkan saya tahu persis ongkos cetak brosur saya, saya akan berikan hanya ke orang yang saya rasa punya potensi membeli produk saya. Rupanya waktu Bapak itu melintas, feeling saya tidak memerintah saya untuk memberi dia brosur. Itu membuatnya tersinggung.

Siang itu saya baru sadar akan pencitraan diri yang kita bangun untuk diri kita sendiri. Saat orang merasa adalah pejabat yang harus dihormati dan disapa, beliau akan berharap semua orang melakukannya. Padahal di benak orang lain ada banyak sudut pandang yang lain. Bapak itu merasa beliau yang berwenang mengeluarkan ijin dan orang tidak dapat berbisnis bila tidak mendapat ijinnya. Dia benar. Tapi ada kebenaran lain yang setara. Bagi saya ijin bukan segalanya. Bisnis tetap bisnis, ia tetap bisa jalan dengan caranya sendiri. Jangankan ijin beliau (lha dia khan lain daerah dengan saya...), meja kerja saja saya tidak punya. Saya sering mengendalikan bisnis dengan cuma "nglempo" berlap-top di lantai kamar tidur saya. Dengan begitu saja saya sudah bisa mengatur bisnis saya dan saya tidak minder dengan itu.

Saya membeda-bedakan orang? Beda berdasarkan apa ya? Saya berpikir lama juga. Mungkin dia melihat wajah saya yang "mongoloid" ini, kemudian berpikir bahwa saya bos dari dua orang pemilik sah stand itu (yang tidak mongoloid itu). Jadi dia merasa perlu untuk "mengajari dan memarahi" saya didepan dua orang itu, untuk sekedar menunjukkan betapa berkuasanya ia. Ya.... bisa jadi begitu. Beliau yang merasa bahwa saya berbeda sehingga saya yang harus dipaksa untuk tidak membeda-bedakan. Bukankah perbedaan itu baru bisa terasa kalau kita mulai dengan pikiran bahwa kita berbeda? Sekali lagi ini masalah "mindset" dalam melihat dunia.

Ah, kenapa ya pejabat yang dibayar dengan uang rakyat masih juga minta dihormati rakyat? Bukankah yang bayar adalah Bos? Rakyat yang bayar, maka harusnya rakyat yang Bos.

(kelanjutannya.....)