23 Oktober 2010
Di Sana Ada Buah Lepiu
11 Oktober 2010
Tidak Takut Mati?
Membicarakan perihal kematian di hari ulang tahun bagi banyak orang adalah hal yang tabu, tapi kalau kematian itu sesuatu yang diluar kekuasaan kita, apa yang bisa kita lakukan untuk mempengaruhinya? Kita cuma bisa menyiapkan sikap dalam menghadapinya.
Dulu, waktu saya berusia belasan tahun, di suatu acara persekutuan doa pemuda remaja, Pak Pendeta Timotius Istanto meminta yang hadir untuk menuliskan apa yang akan kita lakukan kalau kita tahu bahwa umur kita hanya kurang seminggu saja. Semua orang menuliskannya di selembar kertas dan kemudian oleh beliau itu bacakan dan diulas bersama.
Hampir kesemuanya bernada sama, mereka semua menulis bahwa akan berbuat baik dalam berbagai bentuknya. Tulisan saya tidak juga dibacakan. Sampai terakhir, Pak Tim bilang,"Ini akan saya bacakan pendapat yang paling jelek, -Saya tidak akan melakukan apa-apa-". Karena kertas itu tidak diberi nama, maka tidak ada yang tahu siapa penulisnya. Banyak yang tertawa. Banyak yang mengganggap penulisnya tidak serius dan asal menulis tanpa berpikir, makanya menurut Pak Tim itu adalah pendapat yang paling jelek. Itu adalah tulisan saya.
Saya menulisnya dengan serius dan penuh kesadaran. Saya menganggap kenapa saya harus munafik dengan berbuat baik bila akan mati? Mengapa saya tidak jadi orang jahat saja? Apa hanya karena saya akan mati? Kalau saya tidak mau jadi jahat, dan saya memilih jadi orang baik bukankah itu pilihan hidup saya, bukan atas ketakutan akan kematian? Pikiran itu yang ada di benak saya saat itu. Kematian bukanlah hal yang menakutkan bagi saya saat itu. Dulu Papa saya menjelaskan soal kematian Mama saya dengan bilang ,"Saat ini di Sorga sedang ada pesta untuk menyambut Mama."
Tapi itu dulu, waktu saya masih remaja dan tidak punya apa-apa. Kini, meskipun belum juga kaya, saya sudah merasa mulai punya beberapa harta. Ada harta yang "ternilai" ada juga harta yang "tak ternilai". Ada yang bisa dihitung nilai uangnya (seperti yang saya laporkan di laporan tahunan pajak saya) dan ada juga harta yang tak ternilai. Harta yang berupa lingkungan ataupun orang-orang yang mengasihi dan saya kasihi. Rasanya harta yang tak teruangkan ini yang paling banyak saya punyai. Ada istri, ada anak-anak, ada teman dan rekan seperti anda, ada juga "musuh" yang penuh perhatian mengintai saya setiap saat. Semuanya ini menjadi sesuatu yang tak ternilai yang membuat hari-hari saya menjadi begitu indah. Hari-hari saya indah karena ada anda semua. Dan itulah harta yang saya miliki. Dengan berlalunya waktu dan usia, makin menumpuklah harta-harta saya.
Di hari ulang tahun ini, saat saya merefleksikan ulang sikap saya, masihkah tidak takut mati? Rasanya bukan ketakutan akan kematian yang sering membayang dibenak saya, tetapi apa saya berani berpisah dengan semua harta-harta saya? Dimana harta saya berada, disitu ada hati saya. Apapun alasannya, bisa jadi saat ini saya mulai takut mati. Takut karena hati ini sudah makin terikat pada harta-harta itu. Semoga Tuhan tetap senantiasa berkenan memberikan pencerahan di usia dan "harta" yang makin bertambah ini.
04 Oktober 2010
Melihat Namun Tak Melihat
.....kamu akan melihat dan melihat, namun tidak menanggap (Roma 28:26)
Sudah berhari-hari saya berdoa memohon mujizat Tuhan. Barang itu sudah saya cari berhari-hari. Di bengkel, di rumah, di mobil, belum juga ketemu. Rasanya hanya mujizat Tuhan yang bisa menemukan barang itu. Barang itu adalah contoh pekerjaan bengkel yang diserahkan ke saya. Tak pernah satu kalipun saya menghilangkan barang contoh. Itu hal yang tabu. Tapi kali ini kenapa bisa hilang? Sudah cukup lama barang itu diserahkan ke saya. Saya sudah agak lupa bentuknya. Pemiliknya bilang bentuknya seperti mata rantai yang bisa dirangkai. Saya berusaha mengingatnya walaupun agak sulit. Tapi di benak saya langsung tergambar sebuah mata rantai yang bisa dibongkar pasang. Yah, bentuknya pasti mirip huruf C.
Pagi itu pemilik barang kembali menelpon untuk memintanya kembali, nadanya sudah sangat ingin marah. Saya masuk ke gudang lagi meminta sekretaris saya meneliti semua kotak dan rak. Dia bilang, "Sudah dan tidak ada, Pak." Saat itu, mata saya tertuju pada barang yang ada di rak, di depan mata saya, saya pegang barang itu. Nah, ini barang itu. Ketemu! "Lho, ini koq bisa disini?" "Pak, itu memang sudah dari dulu disana." "Tapi koq kamu bilang tidak ada?" "Bapak khan bilang bentuknya kayak huruf C, itu bentuknya kotak." Yah, sayapun sudah berkali-kali melihat ke rak itu. Tapi saya tidak pernah menyangka bahwa itu barang yang saya cari, sebab saya juga selalu mencari barang yang bentuknya seperti huruf C. Saya salah membayangkan bentuk barang yang hendak saya cari. Syukurlah itu cuma barang, bagaimana jadinya kalau itu hal yang lebih penting lagi?
Saya telah hanya melihat apa yang ingin saya lihat dan mengabaikan yang lain. Di benak ini sudah ada filter yang akan memilah semua informasi yang akan masuk ke otak. Bagaimana bila filter itu yang salah dan malah menghalangi informasi yang seharusnya diterima? Kebenaran dan kesucian filter itulah yang harus selalu dijaga. Kehadiran Firman Tuhan dan Roh Kudus akan berkuasa mengisi dan menjaga filter ini. Tuhan hadirlah selalu di benak ini.
Mujizat telah terjadi saat Tuhan membetulkan "filter" di benak saya dengan yang murni yang dari padaNYA.
Dia Koq Marah?
Sampai suatu saat saya menemukan solusi atas masalah ini. Cara untuk sekedar mengkompensasi biaya saat mengunjungi pameran itu. Saya membawa juga brosur produk saya, saya akan bagikan di pameran itu. Saya yakin di pameran itu hadir juga banyak calon pelanggan saya. Saya bisa mencari pelanggan di pameran itu juga. Saya bisa membagikan brosur di sana, tapi saya bukan peserta pameran. Saya tidak punya stand. Biaya sewa stand di pameran seperti ini bisa mencapai puluhan juta rupiah. Nah, saya yang harus cari cara bagaimana bisa membagi brosur tanpa ditangkap petugas sekuritinya. Ini butuh strategi khusus. Dengan membagi brosur itu, perasaan saya lebih tenang. Bila dapat satu pelanggan saja, saya yakin biaya yang dikeluarkan sudah pasti dapat tergantikan. Yang ada bagaimana saya bisa membagi brosur dengan aman dan elegan.
Hari itu saya hadir di pameran lagi. Di ransel saya sudah ada beberapa puluh brosur siap bagi. Hari itu hari pertama pameran. Biasanya kita tidak boleh masuk sebelum upacara pembukaannya selesai. Acara pembukaannya agak terlambat, mungkin ada pejabat yang belum datang. Pengunjung sudah boleh masuk. Saya berkeliling, melihat produk dan mencari jalan membagi brosur. Ternyata ada stand yang dijaga oleh 2 orang alumni ITS, yang seorang adik kelas saya. Ting! Ini peluang saya. Saya mengobrol di stand itu, sambil berlagak sok kenal dan sok akrab sampai kemudian saya yakin bisa mendapat ijin untuk mendompleng di sana membagi brosur saya. Saya cukup tahu diri untuk tidak meletakkan brosur di stand mereka, bagi saya cukup boleh berdiri di depan stand mereka dan bisa mencegat pengunjung yang lewat. Seakan-akan saya juga bagian dari stand itu.
Pameran tidak terlalu ramai. Memang ada beberapa orang yang sudah saya beri brosur. Sampai kemudian ada seorang Bapak yang cukup tambun masuk ke stand itu, berbincang dengan dua rekan tadi. Terasa mereka ada memperbincangkan saya, saya ikut masuk dan mendengarkan perbincangan mereka. "Anda tidak boleh seperti itu!" Bapak itu berkata ke dua rekan itu sambil menunjuk kearah saya, saya kaget. "Saya tadi sudah lewat di depan sana, tapi anda tidak menyapa saya" bapak itu berkata pada saya. Dia mengeluarkan kartu namanya, "Saya yang mengeluarkan ijin untuk bisnis seperti ini" Memang pameran ini pameran spesifik, bisa jadi ini bidang yang menjadi wewenang beliau. Di kartu namanya saya baca jabatan dia, Kasubdin..... "Maaf pak, Maaf atas kesalahan saya," Di mulut saya minta maaf, tapi di hati saya menertawakannya. Pejabat ini gila hormat, Pamong Praja Feodal! Dia mulai berkisah lagi, "Anda jangan suka membeda-bedakan orang, itu tidak benar......." Saya mengangguk-angguk saja sambil menunduk, seakan-akan saya takut sama dia. Apanya ya yang beda dan perlu dibedakan?
Mungkin upacara pembukaan sudah selesai dan banyak pejabat yang berkeliling melihat pameran, salah satunya bapak ini. Bagi saya, tidak mungkin saya asal membagi brosur seperti SPG berok mini itu. Mereka merasa sudah bekerja kalau sudah membagi habis setumpuk brosur. Sedangkan saya tahu persis ongkos cetak brosur saya, saya akan berikan hanya ke orang yang saya rasa punya potensi membeli produk saya. Rupanya waktu Bapak itu melintas, feeling saya tidak memerintah saya untuk memberi dia brosur. Itu membuatnya tersinggung.
Siang itu saya baru sadar akan pencitraan diri yang kita bangun untuk diri kita sendiri. Saat orang merasa adalah pejabat yang harus dihormati dan disapa, beliau akan berharap semua orang melakukannya. Padahal di benak orang lain ada banyak sudut pandang yang lain. Bapak itu merasa beliau yang berwenang mengeluarkan ijin dan orang tidak dapat berbisnis bila tidak mendapat ijinnya. Dia benar. Tapi ada kebenaran lain yang setara. Bagi saya ijin bukan segalanya. Bisnis tetap bisnis, ia tetap bisa jalan dengan caranya sendiri. Jangankan ijin beliau (lha dia khan lain daerah dengan saya...), meja kerja saja saya tidak punya. Saya sering mengendalikan bisnis dengan cuma "nglempo" berlap-top di lantai kamar tidur saya. Dengan begitu saja saya sudah bisa mengatur bisnis saya dan saya tidak minder dengan itu.
Saya membeda-bedakan orang? Beda berdasarkan apa ya? Saya berpikir lama juga. Mungkin dia melihat wajah saya yang "mongoloid" ini, kemudian berpikir bahwa saya bos dari dua orang pemilik sah stand itu (yang tidak mongoloid itu). Jadi dia merasa perlu untuk "mengajari dan memarahi" saya didepan dua orang itu, untuk sekedar menunjukkan betapa berkuasanya ia. Ya.... bisa jadi begitu. Beliau yang merasa bahwa saya berbeda sehingga saya yang harus dipaksa untuk tidak membeda-bedakan. Bukankah perbedaan itu baru bisa terasa kalau kita mulai dengan pikiran bahwa kita berbeda? Sekali lagi ini masalah "mindset" dalam melihat dunia.
Ah, kenapa ya pejabat yang dibayar dengan uang rakyat masih juga minta dihormati rakyat? Bukankah yang bayar adalah Bos? Rakyat yang bayar, maka harusnya rakyat yang Bos.