08 Mei 2010

Cerita tentang Membaca Alkitab (No.2)

Cerita kedua mulai terjadi di awal tahun 2009. Saya mempunyai keponakan perempuan yang cukup pandai yang bakal lulus SMA di pertengahan tahun 2009. Saat itu dia bersekolah di SMA Negeri di Bondowoso. Keluarganya kurang mampu. Sayang sekali kalau anak itu sampai tidak dapat melanjutkan sekolah, karena harusnya dia mampu untuk itu. Satu-satunya cara yang saya pikirkan adalah dia harus masuk universitas negeri agar biayanya murah. Untuk itu pasti tidak mudah. Nilainya memang bagus, tapi dia bukan yang rangking 1.

Bertahun-tahun sebelumnya, kalau saya bertemu dia, saya selalu menasihati dia untuk belajar dengan keras sekali. Jangan pernah puas dengan hasil cukup bagus yang sudah diterimanya. Dia harus rangking 1, karena kalaupun dia rangking satu, itupun tidak berarti apa-apa bila dibandingkan dengan pelajar yang dari Surabaya. Saya dulu lulus dengan NEM tertinggi di Bondowoso, tapi saat saya di ITS saya tahu bahwa itu tidak berarti apa-apa. Banyak anak yang jauh lebih tinggi nilainya dari saya. Saya tidak ingin pengalaman itu terulang di dia. Bertahun-tahun saya memompa semangatnya. Saya juga berusaha mencarikan jalan untuk dia. Beruntung adik saya tinggal di perumahan di seberang ITS, jadi kalau dia bisa masuk ITS berarti dia bisa menumpang di rumah itu dengan sangat dekat. Saya sudah minta "Tante" saya untuk menegosiasikan hal itu ke adik dan adik ipar saya. Mereka menyetujuinya. Jadi masalah utamanya adalah bagaimana agar dia diterima di ITS. Mutunya bagus, uang kuliahnya murah, kost-nya gratis.

Awal 2009 adalah puncak perjuangan itu. ITS membuka beberapa jalur pendaftaran. Semua jalur itu saya minta dia ikuti, kecuali jalur kemitraan yang kemungkinan diterimanya besar tapi harus membayar sekitar 35 juta. PMDK S1, PMDK D4 PENS, SMNPTN, Seleksi reguler D4 PENS. Semuanya itu diikutinya. Di samping itu ada juga masalah lain. Ada beberapa orang di gerejanya yang bersedia membiayai dia kalau dia mau sekolah teologia (Aleithea atau SAAT). Secara pribadi dia tidak menyukai tawaran itu. Dia suka bidang teknik. Dia ingin masuk ITS.

Dua jalur PMDK (seleksi masuk tanpa tes) itu, gagal dia tempuh. Bisa jadi juga karena SMA di Bondowoso memang tidak terlalu punya prestasi yang menonjol. Saya minta dia bersiap untuk ikut SMNPTN (dulu jaman saya namanya Sipenmaru). Dia bersiap untuk itu. Saat selesai tes, dia bilang kalau beberapa soal tidak dijawab, karena takut dipotong nilainya bila salah. Yang dia kerjakan hanya sekitar 80%. Saya agak kecewa dengan cerita itu. Sambil menunggu pengumuman SMNPTN, dia mengikuti seleksi masuk D4 Politeknik. Saat selesai tes dengan yakin dia bilang bahwa dia bisa mengerjakan semua soalnya. Saya senang dengan itu.

Dia sangat yakin bisa diterima di Politeknik, buku-bukunyapun sudah dipinjamkan ke adik kelasnya. Hingga suatu siang dia SMS saya, bahwa dia tidak diterima di tes itu. Dia kecewa berat. Dia merasa juga pasti tidak diterima di SNMPTN karena tesnya tidak sebisa tes untuk D4 itu. Dia bilang mau bekerja saja. Saat itu saya mulai merasa bakal ada masalah yang besar.

Saya mulai ketakutan. Saya merasa sudah melakukan kesalahan yang besar. Saya merasa sudah terlalu memompa semangatnya dan menggelembungkan harapannya. Saya takut bila harapan itu gagal dia capai, dia akan jatuh terhempas. Dia juga mulai tertekan, jemaat di gerejanya juga mulai menekan dengan memojokkan bahwa itu rencana Tuhan agar dia masuk sekolah teologia. Saya dalam kondisi yang takut juga. Takut akan dampak buruk itu. Ini sangat membebani pikiran saya.

Saat itu bacaan Alkitab saya sampai pada Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan dan Ulangan. Kepercayaan akan janji Tuhan dan kesaksian bagaimana Tuhan memimpin Umat Israel keluar dari Mesir. Terutama kisah tentang dua orang pengintai "Kaleb dan Yosua" menginspirasi saya. Sayapun hanya bisa berdoa ," Tuhan, bolehkah saya minta mujizat itu? Karena itu bukan untuk saya." Bagaimana ya? Apa saya bisa percaya akan pimpinan Tuhan?

Keraguan itu terjawab saat suatu pagi dia menelpon sambil menangis , saya awalnya berpikir negatif tentang tangis itu. " Om, Ovi diterima." Puji Tuhan, dia diterima di ITS. Semester lalu IPnya diatas tiga dan mendapat beasiswa yang tidak dia ajukan.

Sekali lagi, bacaan Alkitab itu bisa pas di pergumulan hidup saya. Seakan ada dosis dan kurikulum yang tepat yang sudah tersedia.

Beberapa saat yang lalu di Facebook saya menulis ,"Kalau dulunya cocok, apa sekarang masih bisa cocok juga ya...?" Ada yang berpikir ini ada hubungannya dengan "pasangan hidup" saya. Hahahahaha...... Tapi sesungguhnya itu berkaitan dengan bacaan-bacaan yang saya baca urut tiap harinya ini. Kalau sudah begini apa boleh saya ragu lagi?

(kelanjutannya.....)

Cerita tentang Membaca Alkitab (No.1)

Membaca Alkitab punya banyak kisah di hidup saya. Dulu saya pernah memulainya dengan panduan buku Saat Teduh. Pernah juga Renungan Harian. Kini saya membacanya tanpa tuntunan buku apa-apa. Dibaca urut dari Kejadian hingga Wahyu lalu balik ke Kejadian lagi. Sehari satu pasal. Ini diakibatkan karena saya sering lupa atau tidak sempat beli buku-buku tuntunan itu.

Saya membacanya cuma Senin sampai Sabtu, Minggu khan sudah ke gereja. Tidak juga pasti tiap hari itu saya membacanya, banyak kali saya sulit membacanya, terutama kalau hari libur. Saya sangat menikmati kesendirian, jadi kalau banyak orang atau ada orang lain di rumah, saya malah sulit berkonsentrasi. Waktu terbaik saya adalah jam 6.30 sampai jam 7.30. Saat semua sudah berangkat dan anak buah saya belum datang. Saya bisa sendiri dan konsentrasi dengan baik. Kalau pas hari libur, maka suasana yang tidak sepi itu malah mengganggu saya. Bukan karena saya malu kalau ketahuan membaca alkitab. Dulu memang perasaan itu ada, tapi sekarang saya berani koq membaca di depan rumah. Bukan untuk pamer, tapi untuk berani mengalahkan rasa malu itu.

Membaca dengan urut memang punya masalah tersediri. Pernah terpikir, bahwa bacaan itu tidak bertema dan berkurikulum jelas. Buku panduan memang sudah ter susun dengan tema dan ide yang jelas tiap periodenya. Membaca dengan urut kadang membingungkan. Bila saat itu kita sampai di kitab Bilangan, maka yang kita baca pasti membingungkan. Hanya angka dan ukuran saja. Kadang satu pasal yang kita baca cuma berisi silsilah dan nama-nama orang saja. Kita dapat apa di hari itu? Yang ada mungkin cuma kebosanan dan ketidak-mengertian.

Saya akan bercerita tentang pengalaman saya. Saya akan menulisnya dalam dua bagian, karena ada dua pengalaman hidup tentang hal ini. Dua bukan berarti hanya ada dua cerita ini saja di hidup saya. Dua untuk menunjukkan bahwa pengalaman itu tidak satu-satunya, dan kalau sudah pernah dua maka pasti akan ada kisah-kisah berikutnya di hidup ini. Semoga ini berguna.

Tahun 2007 adalah tahun "Vivere Peri Coloso" (mengutip kata Bung Karno) di hidup saya. Tahun dimana hidup itu begitu sulit dan menekan berat. Padahal tahun 2007 itu saya masuki dengan hati yang penuh semangat dan pengharapan. Di akhir tahun 2006 saya bertemu dengan seorang tua yang kaya sekali dan dia sepakat untuk membantu memodali saya. Saya suka mencari banyak hal baru yang belum sempat banyak orang lain tahu. Saya suka mempelajarinya. Saya sempat belajar suatu teknik yang saat itu saya percaya akan "boom" di tahun-tahun mendatang. Tentunya perihal perbengkelan. Topik ini kini memang benar-benar mengisi hampir semua majalah "Metalworking". Prediksi saya kini terbukti benar. Saat itu saya benar-benar senang karena dia mau membelikan mesin apa saja yang saya butuhkan. Itu memang ditepatinya.

Tahun itu saya mencurahkan semua tenaga dan daya untuk mempersiapkan bengkel itu. Semua terkonsentrasi ke sana. Praktis saya tidak terlalu memikirkan pemasukan. Saya hidup dari tabungan dengan harapan ini akan segera tergantikan bila bengkel itu jalan. Beberapa kali saya juga ke luar negeri untuk sekedar melihat-lihat proses yang ada. Berarti ada pengeluaran ekstra untuk itu. Sekitar pertengahan tahun, bengkel itu siap jalan. Mesin utama sudah terpasang. Sayapun berencana menutup beberapa usaha saya, agar saya bisa konsentrasi di sana. Beberapa teman "kongsi" sudah saya ajak bicara perihal ini.

Order pertama sudah saya dapat, tenaga kerja sudah ada. Saya minta mereka bekerja dan saya pergi ke Jakarta untuk melihat pameran perbengkelan. Sepulang dari sana saya kaget, ternyata pekerjaan itu belum selesai dan tidak dikerjakan. Saya urus hal ini. Tenyata anak buah saya tidak boleh bekerja oleh menantu pemilik modal karena dianggap order itu terlalu murah. Saya mendiskusikan hal ini dengannya. Sejak awal saya tidak ada urusan dengan dia. Semua rencana dan kesepakatan hanya antara saya dan mertuanya. Diapun bukan menantu yang dipercaya oleh mertuanya, kalau diruang itu ada dia, mertuanya selalu memberi kode untuk ganti topik pembicaraan. Dari perbincangan dengan menantu itu, terungkap kecurigaan bahwa banyak hal yang saya selewengkan. Dia mencurigai saya menerima komisi dari pembelian mesin dan peralatan yang ada. Juga dari harga pekerjaan yang masuk saya melakukan "undervalue". Saya mempersilahkan dia memeriksa langsung ke orang-orang itu, karena semua nama dan alamat ada dengan jelas. Saya memberikan jaminan bahwa saya tidak akan melakukan hal itu. Dia tidak percaya itu. Saya sadar inilah awal malapetaka itu. Saat itu saya langsung bilang bahwa saya mengundurkan diri. Tidak ada hal yang bisa dibangun bila tidak ada rasa percaya. Dia masih mendesak dengan mempertanyakan hal saham pembagian hasil yang dijanjikan ke saya. Saya tegaskan bahwa tidak perlu memberi saya hasil apa-apa kalau saya tidak bekerja. Saya tidak menuntut apa-apa, karena saya tidak pernah berpikir mencari keuntungan sesaat. Saya bercita-cita bengkel itu akan jadi bengkel besar, bukan sekedar bengkel biasa. Hari itu saya putuskan mundur.

Masalah besar itu mulai saya hadapi. Yang terdekat adalah bagaimana saya harus menyelesaikan order yang sudah saya terima. Saya berjanji Minggu sudah akan ada yang selesai, hari itu sudah Jumat. Untung ada teman yang mau membantu lembur untuk saya. Sayapun tidak punya kendaraan untuk memindahkan material besi yang ada, hampir 2 ton. Untung ada teman yang bersedia meminjamkan pick-upnya. Saya harus bolak-balik berkali-kali karena mobil itu tidak mampu bila harus mengangkutnya sekaligus.

Saya jadi berhutang ratusan juta, karena saya yang menandatangani semua kontrak pembelian mesin dan peralatan. Saya menegosiasikan ulang dengan teman-teman suplier itu. Semua mesin itu bukan di saya. Semuanya bisa diaudit sesuai dengan tagihan yang ada. Semua barang ada di bengkel yang saya tinggalkan. Untunglah mereka masih mempercayai saya.

Tekanan itu sangat berat bagi saya. Secara mental saya sangat sakit hati atas pengkhianatan ini. Secara finansial saya juga tertekan, karena tabungan saya juga sudah habis. Kondisi saya sangat buruk. Saat itu saya punya masalah dengan order dari bengkel saya yang lain (yang untung belum saya tutup). Saya harus bernegosiasi untuk masalah itu. Saat saya bernegoisiasi saya tidak dapat melakukannya dengan baik. Seorang teman memberitahu, " Masak kamu gitu saja tidak bisa, padahal kamu pernah bisa negosiasi yang lebih berat dari itu." Ya, saya pernah bernegosiasi persuasif agar seorang pelanggan mentransfer langsung (bukan dengan LC) pembayaran yang ratusan ribu USD hari itu juga. Itu pernah berhasil. Kondisi saya memang "kusut" sekali. Secara mental saya sudah mirip kertas kusut yang rapuh. Terlalu mudah untuk robek dan hancur. Terlalu sulit bagi saya untuk bisa berpikir jernih lagi.

Saat saya mau bangkit untuk kembali menata bengkel tadinya yang hendak saya tutup, anak buah saya dibajak oleh bengkel baru itu. Saya sempat bilang ke anak- buah saya itu, "Pikirkan baik-baik, karena ini cuma cara untuk menghancurkan saya." Dari banyak sisi saya tertekan, berat sekali.

Lalu apa hubungannya dengan pembacaan Alkitab itu?

Masalah itu terjadi dipertengahan 2007. Saat itu saya sampai pada kitab Mazmur. Mazmur yang 150 pasal, berarti saya membacanya dalam kurun lima bulan di tahun 2007. Saat masalah itu ada, tiap pagi saya membaca Mazmur. Dan kata-kata yang paling banyak diulang-ulang di Mazmur adalah : ".....bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setiaNya......." Topik tentang kasih setia Tuhan ada di saat saya menghadapi masalah yang berat sekali. Aneh, koq bisa pas ya....? Apa ini kebetulan saja? (bersambung)

(kelanjutannya.....)

Usia Emas

Kemarin saya diajak mengunjungi orang yang dianggap tertua yang masih hidup dalam keluarga besar saya. Usianya 92 tahun, dia juga pasti perintis dari GKI Di Bondowoso. Sebenarnya saya agak malas untuk berangkat, karena sekarang ia tinggal di Jember. Jember itu 35 KM dari Bondowoso, rasanya jauh di luar kota, padahal mungkin itu juga jarak yang harus saya tempuh tiap harinya bila harus ke bengkel di Sukolilo dan Gedangan.
Saya juga bingung, tidak tahu harus menyapanya siapa. Dulu, saat belum menikah saya menyapanya 'Kukong" karena dia lebih muda dari nenek saya dan dia menyapa nenek saya "cik-nga" (kakak tengah). Mertua saya menyapa nenek saya dengan "Po" yang berarti nenek saya setara dengan Nenek dari Merua saya. Makanya, alkisah dulu saya menyapa mertua saya dengan "Koh dan Cik" saja, sekarang koq malah harus "Papa dan Mama". Saat itu saya bingung mau menyapa dengan "Kukong" atau siapa lagi? Tradisi dan realitas yang membingungkan.
Hal yang menarik adalah saat kita keluarga besar ini harus berjabatan tangan dengan beliau, Ingatannya sudah banyak berkurang, dan kemampuan bicaranya juga sudah sepotong-sepotong. Saat satu per satu berjabat tangan sambil mengucapkan Selamat Natal, kita selalu bertanya "Ingat?". Kemudian beliau mengucapkan kata kunci yang sepotong itu. Kadang kata kunci itu berupa nama yang berjabat tangan. Kadang juga itu benar-benar sebuah kata kunci yang mewakili orang tersebut. Semua gembira dengan sepotong kata yang berhasil diucapkan beliau. Saat saya menjabat tangannya, setelah agak lama dan beberapa kali menanyakan, "Ingat?" Beliau mengatakan "Liang Ing". Itu nama Kakek dan Nenek saya, berarti dia mengingat saya, walaupun lupa nama saya. Yang menarik saat seseorang menjabat tangannya dan saat ditanya, "Ingat?" Beliau langsung menjawab,"Suka Marah" Semua tertawa, dan semua hampir setuju dengan kata kunci perihal orang itu. Siapa dia? Saya takut kualat kalau menyebarluaskannya......
Setelah semua berjabat tangan, semua beralih ke ruang tamu, karena saat itu jadwal beliau untuk "senam" fisioterapi.
Saya memilih untuk tetap di kamarnya bersama pelatihnya, saya hanya duduk melihat saja. Saya senang dengan orang "Berusia Emas". Usia Emas, itu kata-kata yang saya dapat dari "nguping" (mendengar dengan tidak sengaja) obrolan seorang jemaat. Sehari sebelumnya, ada perayaan Natal BAMAG (Badan Musyawarah Antar Gereja) se Kabupaten Bondowoso. Natal gabungan semua gereja Protestan dan Katolik, dihadiri sekitar 900 orang. Kebetulan tahun ini yang menjadi panitia pelaksananya adalah GKI Bondowoso dan ketua panitianya Papa Mertua saya. Saya sudah "bosen" dengan perayaan Natal makanya memilih untuk bantu-bantu kerja saja, daripada "dipaksa" duduk ikut acara. Saat itu pengisi acaranya gabungan dari semua gereja, lalu ada jemaat (rasanya dia orang Katolik) yang bilang," Saya senang dengan pendeta itu (Pak Martin Nugroho), dia bilang Usia Emas, daripada di gereja saya. Saya dibiilang Manula, Usia lanjut? kayak nunggu mati ae." Ya, usia emas. Mereka adalah kelompok orang berusia emas!
Ada orang yang senang melihat anak kecil, tapi saya lebih senang melihat orang berusia emas. Bener lho, kalau dilihat dua kelompok ini khan sama "indah"nya. Kita senang bila mendengar anak kecil yang bicaranya belum lancar, mereka yang berusia emas bicaranya juga tidak lancar. Ada yang suka melihat cara jalannya anak kecil, tertatih-tatih, mereka yang berusia emas juga berjalan dengan tertatih-tatih. Ada yang senang melihat bayi yang berusaha dengan keras membalikkan tubuhnya, yang menonton akan memberinya semangat, itu juga terjadi dengan yang berusia emas kala harus berjuang keras membalikkan tubuh di tempat tidurnya. Yang berbeda hanya, bila kita tertawa melihat pola anak kecil itu, maka semua orang disekitar kita akan ikut tertawa bahagia juga. Sedangkan bila kita tertawa melihat tingkah pola mereka yang berusia emas itu, maka laknat dan kualat yang kita dapatkan.
Saat itu saya duduk sendiri melihat "Kukong" yang renta itu. Beiau hanya bisa berbaring saja. Pikiran saya galau. Saya ingat buku yang saya baca di liburan ini, tentang Soe Hok Gie yang meninggal di usia 27. "Kukong" ini sudah hidup tiga kali lebih lama dari Soe Hok Gie. Tapi bila hidup hanya berbaring saja begitu, apakah yang bisa diharapkan dari hidupnya kini? Benarkah umur panjang hanya kesia-siaan? Soe Hok-Gie pernah menulis, "Seorang Filsuf Yunani pernah menulis, ..... nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua adalah dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda." Dan Soe Hok-Gie memang mati muda.
Apa gunanya usia emas itu? Benarkah ini adalah kesia-siaan? Tubuh renta itu sia-sia dan hanya menjadi beban bagi keluarganya? Beberapa menit berlalu tanpa jawaban di kamar itu, tapi ternyata itulah jawabannya. Bila beliau sudah tiada, tidak mungkin saya datang berkunjung ke rumah itu. Beliau tetap menjadi berkat bagi keluarga besar kita. Kerentaannya yang menjadi pemersatu keluarga besar kita. Kelemahannya telah menjadikan kita bergantian menolongnya. Beliau tetap menjadi berkat melalui kelemahannya. Itu bagi saya yang tidak merawatnya sehari-hari.
Bagi keluarga yang harus merawatnya sehari-hari, dibutuhkan kesabaran yang luar biasa. Inikah kesia-siaan lagi? Saya bersyukur melihat keluarga yang mau berkorban merawat belkiau. Tidak sekedar merawat, tapi juga mau mengusahakan segala sesuatu yang terbaik bagi beliau. Mendatangkan pelatih fisioterapi seminggu tiga kali, mengajaknya mengobrol. Semuanya menjadi teladan bagi kita yang muda tentang bagaimana memperlakukan mereka yang berusia emas. Bisa jadi anak saya juga belajar bagaimana merawat saya nanti bila saya berusia emas. Kerentaan beliau telah menjadikan kesempatan untuk mengajarkan keteladanan memperlakukan kita sendiri saat kita mencapai usia emas itu nanti. Kerentaan beliau memberikan kesempatan bagi kita untuk menabur apa yang bisa kita tuai nanti. Menaburlah dengan baik.
Bondowoso, 30 Desember 2009.
(kelanjutannya.....)

Harga sebuah kesempurnaan

Pernahkah kita memimpikan suatu kebaktian yang sempurna pelaksanaannya? Tidak ada sound system yang mendenging, Tidak ada operator LCD yang terlambat menampilkan slide. Tidak ada pemandu pujian yang salah nada. Tidak ada pembaca leksionari yang salah baca. Semuanya lancar jaya. Zero accident!
Bila itu sekali di suatu hari Minggu, mungkin kita sudah bisa. Dua hari minggu, mungkin kita juga sudah pernah bisa. Bagaimana kalau sebulan? Bagaimana bila "Zero Accident" di sepanjang tahun? Apakah kita bisa ataukah kita mau untuk bisa? Harus bagaimanakah kita untulk bisa sempurna tanpa cacat di sepanjang tahun?
Ada ilustrasi tentang hal ini. Di bidang teknik ada kondisi tentang keadaan Vakum (hampa udara). Vakum adalah kondisi yang menyatakan suatu keadan tekanan udara yang dibawah tekanan udara luar. Tekanan udara luar (atmosfir) kita adalah 1 Atmosfir atau 1 Bar. Vakum itu adalah kondisi dibawah 1 Bar. Vakum itu berkisar antara 1 Bar dan O Bar (hampa mutlak/absolut seperti di luar angkasa sana). Jadi Vakum itu cuma suatu keadaan yang berkisar antara satu dan nol Bar saja. Bayangkan ini cuma soal antara angka satu dan nol.
Mau tahu soal harga Vacuum Pump (pompa vakum)? Pompa vakum yang termurah adalah vacuum cleaner di rumah kita. Harganya mungkin berkisar antara ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Berapa tekanan yang dicapainya? Berkisar setengah Bar atau 500 mili Bar (mBar, satu Bar sama dengan seribu mili Bar). Ada juga pompa untuk penyedot tinja yang dipakai di mobil penguras WC. Harganya jutaan rupiah, tekanan yang bisa dicapai oleh pompa jenis ini adalah satu mili Bar, seperseribu Bar. Berarti pompa jenis ini mampu memindahkan udara hingga 999 mili bar. Harganya berkisar jutaan atau maksimal puluhan juta rupiah saja.
Ada juga proses yang memerlukan vakum yang lebih tinggi. Proses pelapisan anti pantul di lensa kaca mata saya. Proses pengeringan sayuran di mie instan, sayurannya tetap hijau dan wortelnya tetap oranye walaupun itu kering. Proses ini memerlukan kondisi vakum hingga sekitar 0,0001 mBar (sepersepuluh ribu mili bar). Harga pompa vakumnya bisa mulai berkisar puluhan juta rupiah hingga ratusan juta rupiah. Beda ukuran vakum dengan pompa sebelumnya, tidak sampai 1 mili bar. Pompa sebelumnya bisa menurunkan 999 mbar, pompa jenis ini mampu 999,999 mbar. Selisih kemampuan pompanya cuma 0,999, tapi harganya sudah berlipat-lipat mahalnya.
Ada juga pompa vakum yang lebih tinggi lagi. Turbo Molecular Pump atau juga Cryogenic pump. Pompa ini dipakai untuk pembuatan semiconductor. Hasilnya ya... prosessor yang menjadi 'otak' Laptop atau komputer kita ini. Harganya memang puluhan atau ratusan ribu, tapi US Dollar, bukan Rupiah lagi. Vakumnya sampai berapa? Sekitar sepuluh pangkat minus delapan mBar atau seperseratus juta miliBar. Selisih vakum dengan pompa sebelumnya "hanya" 0,0009999. Jauh lebih kecil lagi, tapi harganya sudah berlipat-lipat-lipat-lipat lagi mahalnya.
Untuk mencapai suatu tahapan vakum yang lebih tinggi, sebagai prasyarat suatu proses, ada kenaikan yang mencolok dari harga pompanya. Kenaikan harga itu tidak berbanding linier dengan kenaikan hasil vacuum yang dicapai. Tiap kenaikan kondisi vakum itu, memerlukan suatu sistem pompa yang berbeda prinsip kerjanya. hal itu yang mengakibatkan beda harga yang mencolok. Inilah cerita tentang pompa vakum yang cuma ratusan ribu sampai ratusan juta Rupiah.
Kembali ke mimpi kita diatas. Bila kita pernah berhasil membuat satu kebaktian yang sempurna, kemudian kita mau membuat 10 kebaktian yang sempurna, kemudian seratus, kemudian seribu. Mungkin kita berpikir itu masalah mudah. Dari fenomena alam Vakum tadi, saya meragukan bahwa itu bukan masalah mudah. Mengejar sesuatu yang sempurna itu terkadang tidak linier. Kalau mau 10 kali lebih baik terkadang 10 kali kerja lebih keras masih kurang. Kalau mau 20 kali lebih baik, bukan berarti perlu kerja 20 kali lebih keras mungkin malah perlu seratus kali kerja yang lebih keras.
Tidak ada maksud untuk menakuti tiap niat untuk mencapai kesempurnaan. Cerita ini cuma untuk mendukung agar kita tidak capai dalam mencapai kesempurnaan. Kesempurnaan itu punya harga yang tak ternilai mahalnya. Berani atau tidak kita membayarnya.
(kelanjutannya.....)

Alangkah Menjengkelkannya seorang Injili dan Fundamentalis itu

Hari ini (25 April 2005) pas dua tahun meninggalnya Papa saya. Saya mencoba mengenangnya melalui tulisan ini.

Papa saya memilih menjadi seorang yang injili dan fundamentalis walau sebenarnya dia dilahirkan dalam lingkungan GKI. Beberapa tahun silam, dalam suatu buku peringatan ulang tahun GKI, saya membaca nama Kakek saya sebagai orang yang ikut dalam GKI mula-mula di Jatim. Berarti Papa saya juga besar dalam suasana GKI.

Kegemaran Papa membaca buku rohani cukup kuat, saat pertama kali dibelinya Alkitab dengan Bahasa Indonesia Sehari-hari, semuanya habis dibacanya dalam waktu seminggu. Ada suatu masa (sekitar tiga puluh tahun silam) dimana Papa getol baca buku-buku Watchman Nee, katanya itu aliran Methodist, tapi beberapa tahun kemudian sampai akhir hayatnya buku yang banyak dibacanya adalah terbitan Kalam Hidup, Yakin, STT Jaffray dan I3 Batu. Saya jarang pernah ikut membacanya, cuma kebagian cerita dan dampak sikapnya.

Sejak Mama saya meninggal, waktu itu saya berumur 11 tahun, terpaksa saya tinggal dengan nenek dan hidup dalam lingkungan GKI, pernah ada pendetanya yang berwarna 'liberal' tapi pernah juga ada pendeta yang lulusan SAAT (sekarang jadi dosen di STT Bandung), tapi itu tidak pernah terasa bedanya karena Emak/Nenek saya selalu hormat dan nurut pada "Boksu". Sekali seminggu Papa saya datang, lalu makin lama makin jarang, sampai saya lulus SMA dan kuliah di Surabaya dan saya tinggal kembali dengan Papa. Nah, inilah mulainya rasa seperti judul di atas itu terasa.

Semangat untuk menginjili orang lain, semangat yang dilandasi bahwa tiada Nama lain yang oleh karenanya kita bisa selamat selain nama Yesus, begitu menggebu! Tiap sore diputarnya radio FEBC siaran bahasa Sunda, hanya karena tetangga sebelah itu orang Sunda yang belum "diselamatkan", saya sendiri cukup stress oleh suara radio yang cukup keras yang tidak saya mengerti itu.

Suatu saat, waktu ada kelebihan cat setelah mengecat pagar, semua pot bunga yang ada di tulisi ayat-ayat alkitab, kalau sampai ada orang yang bertanya itu apa, maka dengan hafal dan cepat Papa akan menerangkannya.

Hal ini membuat saya cukup sumpek dan bingung.

Sikap dan semangatnya sering membuat saya risih, tapi semangat itu tidak pernah membuat dia menghalangi saya untuk aktif di GKI. Suatu kali ada kegiatan besar, saya ketua panitianya, saya tidak pulang malam itu, besoknya Papa menelpon ke gereja, waktu dia tahu bahwa saya ada di gereja, Papa diam saja, pasrah pada Tuhan yang dikenalnya. Saya baru pulang di hari yang ketiga, Papa malah kelihatan sangat mendukung, dan waktu Hari H, papa datang dan mengikuti acara itu, komentarnya : Itulah hebatnya GKI!

Saya tahu, Papa juga menanggung beban masalah keluarga yang berat, tapi beban itu akhirnya terselesaikan juga, hanya karena Papa selalu mendoakannya. Semangat untuk "beriman" yang lebih dari gaya GKI-saya membawa Papa mampu mengatasi masalah keluarga saya.

Suatu hari Papa mengajak berdoa tiap pagi, saya pun menurutinya walau dengan berat hati. Salah satu pokok doanya adalah mendoakan seorang saudara "yang terhilang", cukup lama dan bertahun-tahun kita telah berpisah tanpa ada kabar berita, saya tahu Papa sangat ingin bertemu dengannya. Sampai suatu pagi Papa mendapat surat kaleng yang memberitahukan bahwa "yang terhilang itu" ada di sebuah rumah sakit di Jember. Besoknya Papa ke Jember dan memang mereka bertemu. Sebuah pertemuan yang mengesankan. Doa Papa terkabul!

Papa tidak pernah tahu siapa penulis surat itu. Bisa jadi ada seseorang yang tahu tentang pergumulan Papa dan menuliskannya untuk Papa. Atau mungkin ada seorang tukang pos yang sempat "Mi'rajd" dan membawakan surat itu langsung dari Tuhan yang tentunya isinya pasti inerrancy and infallibility. Bisa mungkin juga ada seseorang yang digerakkan oleh Roh Kudus dan menuliskan ilham itu dengan segala keterbatasannya. Saat ini surat itupun tidak diketahui keberadaannya, sehingga tidak mungkin diuji keotentikannya, Tapi sebagai sebuah surat, ia telah menyelesaikan tugasnya dengan gemilang.

Mendekati akhir hayatnya, Papa sering mengeluh tidak bisa tidur, saya cuma menghibur, dengan membelikan banyak buku-buku theologi terbitan BPK yang mungkin berat-berat. Beberapa hari kemudian Papa bilang "Kalau buku Theologi terbitan BPK memang bagus-bagus". Kalimat itu menjadi kalimat "bersayap" bagi saya. Bukan sekedar basa-basi. Seakan Papa berkata: Memang orang GKI bisa menjabarkan segalanya lebih runtut dan masuk akal.

Saya juga sama jengkelnya dengan mereka yang jengkel terhadap yang injili dan fundamentalis yang ngototnya tidak runtut dan "bondo ngeyel", tapi saya salut dengan gaya 'beriman'-nya mereka.

Ada juga dari mereka yang seperti Papa yang bilang "Itulah hebatnya GKI'

Saya pun menghormati "warna" Papa dengan tidak membaptis anak saya pada waktu bayi (biarlah mereka dibaptis saat mereka secara pribadi mengaku percaya).

Semoga Papa di Surga tidak jengkel dengan tulisan ini.

(kelanjutannya.....)

Melawan Pakem

Tulisan ini saya tulis sebagian di hari terakhir tahun 2009 dan baru sempat sekarang menyelesaikannya. Semoga masih bisa dinikmati.
Rasanya memang enak untuk sejenak merenung apa saja yang sudah terjadi di tahun yang akan lewat. Ada banyak hal yang kurang menggembirakan, tapi tetap masih terngiang lagu: "....hitung berkat satu-satunya, nanti engkau heran lihat jumlahnya...." Berkat yang sudah tercurah memang tetap tak tertandingi jumlahnya.
Beberapa hal yang kurang menggembirakan di Tahun ini sempat pula terpikirkan untuk dicari penyebabnya. Ada yang merupakan buah dari kesalahan dan kekurangan saya. Kalau itu, oke-lah saya maklum dan mengaku salah. Tapi apakah ini juga akibat kesengajaan yang saya buat selama ini? Paling tidak ada dua kesengajaan yang saya buat yang melawan pakem yang ada. Bila ada orang yang bertanya, "Bagaimana bisnismu?", saya menjawab, "Ya.... gini-gini aja.." Juga kalau ada yang bertanya,"Bagaimana kabarnya..?" Saya jawab,"Ya... sedih la..." Memang tidak selalu saya menjawab dengan jawaban-jawaban seperti itu, khususnya kepada orang yang tidak terlalu akrab atau pada orang yang baru saya kenal. Bagaimanapun juga saya dulu pernah disekolahkan orang tua saya dan diajari tata krama untuk menjawab pertanyaan itu dengan jawaban yang baik dan benar. Jawaban yang penuh dengan basa basi yang kadang basi juga.
Dua jawaban itu memang melawan pakem, terutama bagi para pengikut MLM dan agen asuransi atau positive thinker atau new age movement. Pernah ada yang memberitahu, "Daniel, apa yang diucapkan mulut itu didengar telinga dan direkam oleh otak, hati-hati dengan ucapanmu, itu bisa jadi kenyataan." Ada juga yang memberitahu saya, "Apa yang diucapkan oleh mulut kita didengar oleh Tuhan, hati-hati kalau sampai itu dikabulkan oleh Tuhan." Untuk yang terakhir ini pernah saya langsung jawab, "Bapak pasti orang yang hebat! Karena sudah mampu memperalat Tuhan untuk mengintimidasi sesama." Untuk masalah yang berhubungan dengan Tuhan, saya malah tidak pernah takut, karena Tuhan pasti tidak bodoh-bodoh amat.
Saat ini orang dilatih dan dibiasakan untuk berbicara dengan positif dan bahkan kelewat positif. Sekarang sering kita mendengar: "Halo generasi super!" "Bagaimana kabarnya? Luar biasa!" "Wah kelihatannya tambah maju ya..? Amin......!" Bahkan saya pernah ada di suatu perusahaan yang punya kebiasaan untuk selalu mengucapkan "selamat pagi". Walaupun itu sudah sore hari, tetap harus selamat pagi. Katanya itu sebagai lambang bahwa kita tetap semangat.
Memang menjengkelkan dan menggemaskan sekali rasanya kalau berhubungan dengan orang yang tidak bersemangat. Orang yang harusnya mampu melakukan sesuatu, tetapi dia ragu atau tidak percaya diri. Peluang yang adapun terlewatkan dengan sia-sia. Ini satu sisi.
Di sisi yang lain sekarang orang mulai belajar untuk bersemangat. Kita pasti bisa! Semesta mendukung, Mestakung! Memang segalanya jadi berbalik arah, semuanya jadi serba optimis dan semangat. Ada perubahan yang menyenangkan. sampai suatu saat saya menangkap nuansa yang lain. Ketika saya sudah membiasakan diri untuk selalu positif dan semangat. Saya jadi berpikir bahwa yang membuat saya berhasil adalah perilaku positif dan semangat itu. Saya lupa bahwa ada Pribadi yang "super" yang berkuasa menentukan keberhasilan saya. Ada Tuhan yang berkuasa membuat saya berhasil kalau saya semangat dan berpikir positif. Itu adalah Tuhan yang Super. Yang kelewatan adalah apabila saya berpikir bahwa kalau saya berpikir positif dan semangat maka Tuhan pun sudah tidak "Super" lagi. Tuhan sudah pasti akan membuat saya berhasil asal saya semangat dan positif. Saya mampu mengatur Tuhan asalkan saya semangat dan berpikir positif.
Saya menetapkan bahwa saya harus tetap bersemangat dan berpikir positif. Saya juga mengakui bahwa Tuhan berkuasa mengatur jalan hidup saya. Mau sukses atau gagal terserah Tuhan! Jangan pernah semangat saya ada untuk mengatur dan mendikte Tuhan. Untuk itu berani atau tidak saya mengucapkan hal-hal yang tidak positif atau negatif itu? Bukannya untuk memadamkan semangat dan kepositifan yang berkobar di hati saya. Ini cuma semacam ujian untuk memberi tempat bagi kedaulatan Tuhan di hidup saya.
Suatu saat ada teman yang bertanya, "Bagaimana bisnis bengkelmu?"
"Ya......., gini-gini aja.... ordenya gini-gini ae..."
"Dan, kalaupun bengkelmu rame, aku endak akan minta utangan sama kamu koq.....!"
"La... iya... la... Saya khan bengkel bukan Koperasi Simpan Pinjam!" Lalu kita tertawa bersama.
Pernah juga:
"Halo, bagaimana kabarmu, Dan?"
"Ya..... sedih la......!"
"Lho, kenapa koq sedih?"
"Lha, kalau aku njawab baik-baik saja, kamu khan endak bakalan nanya-nanya lagi...."
Kitapun malah bisa tertawa bersama.
(kelanjutannya.....)