Bertahun-tahun sebelumnya, kalau saya bertemu dia, saya selalu menasihati dia untuk belajar dengan keras sekali. Jangan pernah puas dengan hasil cukup bagus yang sudah diterimanya. Dia harus rangking 1, karena kalaupun dia rangking satu, itupun tidak berarti apa-apa bila dibandingkan dengan pelajar yang dari Surabaya. Saya dulu lulus dengan NEM tertinggi di Bondowoso, tapi saat saya di ITS saya tahu bahwa itu tidak berarti apa-apa. Banyak anak yang jauh lebih tinggi nilainya dari saya. Saya tidak ingin pengalaman itu terulang di dia. Bertahun-tahun saya memompa semangatnya. Saya juga berusaha mencarikan jalan untuk dia. Beruntung adik saya tinggal di perumahan di seberang ITS, jadi kalau dia bisa masuk ITS berarti dia bisa menumpang di rumah itu dengan sangat dekat. Saya sudah minta "Tante" saya untuk menegosiasikan hal itu ke adik dan adik ipar saya. Mereka menyetujuinya. Jadi masalah utamanya adalah bagaimana agar dia diterima di ITS. Mutunya bagus, uang kuliahnya murah, kost-nya gratis.
Awal 2009 adalah puncak perjuangan itu. ITS membuka beberapa jalur pendaftaran. Semua jalur itu saya minta dia ikuti, kecuali jalur kemitraan yang kemungkinan diterimanya besar tapi harus membayar sekitar 35 juta. PMDK S1, PMDK D4 PENS, SMNPTN, Seleksi reguler D4 PENS. Semuanya itu diikutinya. Di samping itu ada juga masalah lain. Ada beberapa orang di gerejanya yang bersedia membiayai dia kalau dia mau sekolah teologia (Aleithea atau SAAT). Secara pribadi dia tidak menyukai tawaran itu. Dia suka bidang teknik. Dia ingin masuk ITS.
Dua jalur PMDK (seleksi masuk tanpa tes) itu, gagal dia tempuh. Bisa jadi juga karena SMA di Bondowoso memang tidak terlalu punya prestasi yang menonjol. Saya minta dia bersiap untuk ikut SMNPTN (dulu jaman saya namanya Sipenmaru). Dia bersiap untuk itu. Saat selesai tes, dia bilang kalau beberapa soal tidak dijawab, karena takut dipotong nilainya bila salah. Yang dia kerjakan hanya sekitar 80%. Saya agak kecewa dengan cerita itu. Sambil menunggu pengumuman SMNPTN, dia mengikuti seleksi masuk D4 Politeknik. Saat selesai tes dengan yakin dia bilang bahwa dia bisa mengerjakan semua soalnya. Saya senang dengan itu.
Dia sangat yakin bisa diterima di Politeknik, buku-bukunyapun sudah dipinjamkan ke adik kelasnya. Hingga suatu siang dia SMS saya, bahwa dia tidak diterima di tes itu. Dia kecewa berat. Dia merasa juga pasti tidak diterima di SNMPTN karena tesnya tidak sebisa tes untuk D4 itu. Dia bilang mau bekerja saja. Saat itu saya mulai merasa bakal ada masalah yang besar.
Saya mulai ketakutan. Saya merasa sudah melakukan kesalahan yang besar. Saya merasa sudah terlalu memompa semangatnya dan menggelembungkan harapannya. Saya takut bila harapan itu gagal dia capai, dia akan jatuh terhempas. Dia juga mulai tertekan, jemaat di gerejanya juga mulai menekan dengan memojokkan bahwa itu rencana Tuhan agar dia masuk sekolah teologia. Saya dalam kondisi yang takut juga. Takut akan dampak buruk itu. Ini sangat membebani pikiran saya.
Saat itu bacaan Alkitab saya sampai pada Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan dan Ulangan. Kepercayaan akan janji Tuhan dan kesaksian bagaimana Tuhan memimpin Umat Israel keluar dari Mesir. Terutama kisah tentang dua orang pengintai "Kaleb dan Yosua" menginspirasi saya. Sayapun hanya bisa berdoa ," Tuhan, bolehkah saya minta mujizat itu? Karena itu bukan untuk saya." Bagaimana ya? Apa saya bisa percaya akan pimpinan Tuhan?
Keraguan itu terjawab saat suatu pagi dia menelpon sambil menangis , saya awalnya berpikir negatif tentang tangis itu. " Om, Ovi diterima." Puji Tuhan, dia diterima di ITS. Semester lalu IPnya diatas tiga dan mendapat beasiswa yang tidak dia ajukan.
Sekali lagi, bacaan Alkitab itu bisa pas di pergumulan hidup saya. Seakan ada dosis dan kurikulum yang tepat yang sudah tersedia.
Beberapa saat yang lalu di Facebook saya menulis ,"Kalau dulunya cocok, apa sekarang masih bisa cocok juga ya...?" Ada yang berpikir ini ada hubungannya dengan "pasangan hidup" saya. Hahahahaha...... Tapi sesungguhnya itu berkaitan dengan bacaan-bacaan yang saya baca urut tiap harinya ini. Kalau sudah begini apa boleh saya ragu lagi?