16 Oktober 2009
Indah Pada Waktunya
Siang itu, di saat training, peserta ditugaskan untuk membaca secara bergilir materi training yang ada. Materi itu terlihat kalau disusun dari beberapa cuplikan yang diambil dari beberapa sumber. Beberapa bagian tampak sekali sistim "copy - paste"nya. Saat giliran saya, saya membaca bagian yang diambil dari suatu buku yang tulisannya cukup kecil, lebih kecil dari tulisan normal yang ada. Saya agak kelabakan, sebab koq ternyata mata saya sulit untuk membaca rangkaian kata-kata itu. Perlu sedikit waktu untuk mengatur jarak dan usaha untuk membaca rangkaian kalimat itu. Memang berhasil juga. Berhasil membaca tulisan itu, juga berhasil mengingat nilai lain dari ungkapan: Indah pada waktunya.
Indah pada waktunya, dulu memberikan kesan janji akan datangnya masa yang indah. Keindahan yang patut dinantikan karena akan datang pada suatu masa nanti. Ungkapan ini menjadi suatu pengharapan akan apa yang akan datang. Termasuk hari indah yang sangat dinantikan oleh pasangan mempelai yang akan menikah. Siang itu, kalimat itu muncul dengan nilai yang lain. Siang itu saya merasa bahwa Keindahan itu punya waktunya dan waktunya itu bisa berlalu. Membaca menjadi sesuatu yang indah bagi saya. Saya sangat menyukainya. Siang itu saya merasa bahwa keiandahan itu akan segera berlalu. Dengan semakin uzurnya usia saya, makin berkurang juga kemampuan mata saya. Akan datang masa dimana membaca sudah tidak indah lagi karena mata ini semakin rabun dekat.
Indah pada waktunya itu, tiba-tiba berarti penghargaan akan apa yang ada saat ini. Menghargai saat-saat ini yang mempunyai keindahannya. Waktu yang indah itu bisa berarti saat ini. Jadi nikmatilah dan hargailah dengan baik. Keindahan hari ini akan berakhir dan akan datang waktu dengan keindahannya yang lain. Berpengharapan akan datangnya keindahan di waktu mendatang memang benar dan positif, tapi bukan berarti bahwa kini dan saat ini tidak ada sesuatu yang indah yang harus dimanfaatkan dengan maksimal dan dihargai dengan pemanfaatan yang baik.
Indah pada waktunya, bisa berarti waktunya adalah saat ini. Jangan sia-siakan hari ini. (kelanjutannya.....)
06 Oktober 2009
Ayo Jangan Nakal
29 September 2009
Cerita tentang Info Buku
Outliers
Kalau melihat judulnya, kemungkinan besar saya tidak berminat dengan buku itu. Saya selalu merasa 'alergi' dengan buku yang bicara soal sukses. Alasannya, karena belum tentu penulisnya adalah orang sukses yang benar-benar sukses. Awalnya saya saya cuma sekedar mencari audiobook untuk latihan bahasa inggris. Setelah berhari-hari saya dengarkan, ada beberapa kata kunci yang sulit saya tangkap. Setelah bolak-balik buka kamus, masih juga belum ketemu juga. Bisa jadi karena telinga yang dibesarkan dengan nasi pecel ini sulit menangkap suara yang dihasilkan karena energi dari burger dan steak. Saya cari PDF-nya, tapi waktu itu belum ada yang upload, maka terpaksa saya beli buku edisi bahasa Indonesianya. Saya baca, ternyata menarik dan lebih menarik dari audiobooknya. Lha, saya yang tidak terlatih mendengar bahasa Inggris itu. Buku ini tidak berisi ulasan penulis tentang rahasia kesuksesan. Penulisnya hanya menarik beberapa benang merah dari beberapa orang-orang yang dianggap sukses.
Yang menarik adalah pendapat penulis bahwa ada faktor-faktor diluar diri para orang sukses itu yang menjadi faktor dominan penentu kesuksesannya.
Para orang sukses di bidang komputer, Bill Gates (Microsoft) lahir tahun 1955, Paul Allen (Microsoft) lahir tahun 1953, Steve Balmer (microsoft) lahir tahun 1955, Steve Jobs (Apple) lahir tahun 1955, Erick Schmidt (Novell) lahir tahun 1955, Bill Joys (Sun Microsystems) lahir tahun 1955. Mereka mendapat keberuntungan karena lahir di tahun-tahun itu sehingga mereka mampu mengambil peluang di pertumbuhan PC (personal Computer) di pertengahan tahun 70an. Sebagian besar orang yang masuk daftar terkaya di USA dilahirkan di tahun 1830an. Mereka itu : John D. Rockefeller, Andrew Carnagie, Frederick Weyerhaeuser, Jay gould, JP Morgan dll. Mereka ini mendapat keuntungan masuk dengan usia yang tepat saat pertumbuhan ekonomi USA dalam kondisi sangat baik di tahun 1860 sampai 1870-an. Belum lagi para pemain hockey yang top di Canada, hampir pasti lahir di bulan Januari sampai Maret, sangat jarang yang di lahirkan di akhir tahun. Harus diakui bahwa ada faktor keberuntungan melalui tanggal kelahiran orang-orang sukses itu. Apa ini berkaitan dengan Zodiac? Bukan. karena bisa jadi kelahiran itu pas dengan sistem yang ada di masyarakat kita. Batas usia pemain Hockey di Canada diambil pada 1 Januari, jadi bila ada anak yang lahir pada tahun yang sama, anak yang lahir di tanggal 2 januari pasti akan punya tubuh yang lebih kekar dari pada anak yang lahir di akhir tahun. Tahun lahirnya sama, tapi perbedaan beberapa bulan itu yang membedakan kemampuan fisik anak-anak itu.
Yang lebih menarik lagi adalah, buku ini dibuka dengan kutipan Matius 25:29, "Karena setiap orang yang mempunyai, kepadanya akan diberi sehingga dia berkelimpahan. Tetapi siapa yang tidak mempunyai, apapun yang ada padanya akan diambil dari padanya." Di masyarakat berkembang sesuatu yang sejalan dengan prinsip itu. Orang kaya akan menikmati fasilitas pembebasan pajak yang lebih dari orang miskin, kalau di indonesia, soal subsidi BBM yang menikmati subsidi paling banyak ya... orang kaya dengan sedan bermesin besar, rakyat kecil hanya merasakan subsidi BBM lewat kendaraan umum yang berjejal-jejal. Dengan jumlah bensin yang sama, orang kaya menikmatinya karena dia naik sendirian mobilnya, tapi orang miskin harus berbagi dengan banyak orang saat ia naik kendaraan umum yang di subsidi BBMnya. Anak pandai akan masuk di sekolah bagus atau kelas akselerasi yang pelajarannya lebih diperhatikan oleh para guru. Keadaan ini makin membuat orang yang berkemampuan rendah semakin tertinggal. Penulis juga setuju dengan "Hukum 10 ribu Jam". Orang akan mencapai keahliannya karena ia berlatih selama sepuluh ribu jam. The Beatles bisa sukses di USA karena sebelumnya ia bermain musik di Hamburg selama 8 jam sehari dalam 7 hari seminggu selama beberapa tahun. Orang yang merasa mempunyai talenta akan semakin terpacu untuk berlatih dan orang yang agak kurang, cenderung menjadi lebih malas berlatih. Ketekunan dan kegigihan tetap menjadi kunci kesuksesan. Sangat berbeda dengan banyak buku yang menawarkan sukses yang diraih dengan jalan pintas.
Faktor diluar kita yang mampu mendukung kesuksesan adalah masalah budaya kita. Banyak orang yahudi di USA sukses, karena mereka lahir sebagai orang Yahudi. Mereka mendapat tekanan karena faktor kelahirannya, tetapi itu yang menjadikan mereka mampu memacu diri sehingga bisa sukses. Tapi budaya ini juga bisa menghancurkan kita. Salah satu budaya yang dibahas adalah budaya penghormatan pada kelas-kelas sosial di masyarkat Korea dan Kolumbia. Ada dua kecelakaan pesawat terbang di Korean Air dan Avianca (columbian airlines) karena faktor budaya dimana co-pilot tidak berani mengatakan sesuatu dengan lugas kepada Pilot atau orang yang dianggap lebih tinggi status sosialnya walau dalam keadaan yang sudah sangat genting. Budaya menganggap atasan atau orang yang lebih tua lebih tahu dari kelas sosial yang lain, telah menjadi dasar pemicu kecelakaan pesawat udara itu.
Bagi yang berniat membeli buku, saya menyarankan untuk beli buku ini. Menarik dan tidak mengada-ada. Kalau yang tidak suka buku yang serius, ada buku bagus juga: Benny dan Mice: Lost In Bali 1 dan 2! Buku kartun tapi guyonannya kreatif.
26 September 2009
Berenang di Tatami
14 Maret 2009
Cerita tentang Penyambutan
Saya berbasa-basi menanyakan daerah pabriknya, ternyata beberapa tahun yang lalu saya pernah ke pabrik itu dan mereparasi mesinnya. Ternyata orang yang saya temui dulu itu adalah anaknya yang saat ini mengelola pabrik itu. Setelah itu, Tante ini makin semangat untuk bercerita lagi. Cerita tentang tarif becak yang 30 rb pulang pergi dari rumahnya, juga tentang almarhum suaminya, juga tentang cara anaknya yang mengelola pabrik itu. Sementara saya berbincang-bincang, memang banyak jemaat yang lewat dan datang. Saya berpikir keras apa yang harus saya lakukan. Memutuskan pembicaraan dengan Tante ini dan mencari jemaat yang lain? Atau terus melayani perbincangan Tante ini? Saya memutuskan untuk terus melayani perbincangan itu dengan baik. Pertimbangan saya, lebih baik saya menyelesaikan satu orang ini dengan sangat baik dari pada berharap dapat meningkatkan jumlah tapi dengan kualitas yang begitu-begitu juga. Satu yang berhasil mungkin lebih baik daripada banyak yang biasa-biasa saja. Cukup lama perbincangan itu, dua orang Bapak yang bertugas penyambutan di pintu gereja malah mengingatkan Tante itu, agar segera masuk karena kebaktian akan dimulai. Saya lihat belum ada Majelis yang muncul di mimbar kecil, jadi saya teruskan saja perbincangan itu. Sampai akhirnya ada muncul majelis untuk membacakan warta lisan. Saya sarankan Tante itu untuk segera masuk ke ruang Kebaktian.
Saya juga bertugas lagi selepas kebaktian usai. Tante itu menyapa lagi saat ia berjalan pulang.
Saat itu saya juga menyapa satu Om yang saya kenal. Kita berbincang lagi, dia bercerita tentang almarhum istrinya. Rasanya masih sulit baginya untuk melupakan istri tercintanya. Ia bercerita tentang istri yang dibanggakannya kesetiaannya. Juga tentang suka dukanya saat dia merintis usahanya dulu. Senang sekali bisa mendengar ceritanya, apalagi saat dia bilang,"Makanya kita itu harus selalu ingat sama Tuhan." "Untuk itu Om sekarang mau ikut katekisasi" Ah, jalan hidup itu yang akhirnya membawa Om itu mau mengenal Tuhannya. Di jam pulang itu, sayapun hanya bisa meladeni satu Om ini, karena saya juga harus cepat pulang untuk menjemput istri dan anak yang mau sekolah minggu jam 8.00.
Minggu ini memang loading pelayanan saya sangat tinggi, ada penyambutan, lalu beasiswa, ada outbond, ada persiapan acara panter satu, ada pertemuan dengan pendukung tayangan di TVRI. Pengalaman perbincangan di kebaktian minggu kemarin itu sangat menarik buat saya. Pasti ada banyak jemaat yang butuh teman bicara. Sekedar mendengarkan mereka bercerita mungkin bisa membuat mereka bergembira. Mungkin ini bisa membuat kita mau berbuat banyak untuk kegiatan perkunjungan dan pemerhati.
Steven Covey di 8th Habit, mengutip perkataan Mother Teresa ,"Few of us can do Great Thing, but all of us can do small thing with Great Love"
(kelanjutannya.....)
06 Maret 2009
Menciptakan Hantu
Saat ini, kita sudah siap memulai segala pelaksanaan program kerja kita. Tahun ini kita sudah punya program kerja yang akan segera kita laksanakan. Program Kerja yang sudah disahkan akhir tahun lalu, atau paling lambat awal tahun ini. Semua komisi dan panitia sudah tinggal melaksanakan semua perencanaannya. Kita memang sudah terlatih untuk membuat program kerja kita.
Beberapa jemaat dan komisi mungkin memulai tahun ini dengan was-was atau prihatin akan keadaannya yang harus memangkas banyak program karena keterbatasan dana yang ada. Ada majelis jemaat yang memberitahukan bahwa mereka akhirnya bisa mensahkan program tahun ini dengan defisit "sekian" juta Rupiah. Keadaan perekonomian global dan keadaan perekonomian nasional kita, bisa menjadi landasan kita untuk memprediksikan pemasukan kita dan dari sana kita sudah terbiasa untuk merencanakan program kita tahun ini. Suatu hal indah yang sudah pakem di tiap tahunnya.
Ada banyak kegiatan yang sudah kita tolak pencantumannya. Di awal tahun ini kita mampu membayar rasa bersalah pencoretan itu dengan pengakuan bahwa kita sudah memulai pelaksanaan program kita dengan suatu langkah iman yang besar. Rencana anggaran yang defisit "sekian juta" atau "sekian puluh juta", juga alasan krisis global. Ini semua bisa menjadi "pembenar" langkah "iman" pembuatan program kerja kita.
Sebagai gereja kita memang terpanggil untuk merencanakan tujuan kita. Kita juga terpanggil untuk realistis/membumi dengan tujuan kita. Kita terpanggil untuk "berpikir" tentang apa yang bisa kita rencanakan. Apa sajakah yang sudah kita rencanakan dengan membumi?
Banyak gereja hanya berkonsentrasi pada pelayanan, pada apa yang akan mereka kerjakan. Sesuatu yang membutuhkan dana. Mereka sering melupakan apa yang dapat mereka hasilkan (dana yang dapat dihimpun). Gereja memang bukan organisasi yang bertujuan menghimpun keuntungan finansial. Kita adalah organisasi nirlaba. Kesadaran ini pada awalnya baik adanya, tetapi kesadaran ini banyak membawa kita untuk menyiksa diri dengan melupakan bagaimana kita harus merencanakan pemasukan kita. Di satu sisi kita sadar akan kebutuhan kita akan dana, di sisi yang lain kita sering lupa merencanakan bagaimana kita harus secara aktif menghimpun dana itu.
Ketabuan kita untuk merencanakan pemasukan kita seiring dengan kesadaran bahwa gereja adalah nirlaba (tidak mengejar keuntungan keuangan semata), sering menyiksa kita sendiri. Kita hanya berani bertindak dengan membuat prediksi sekian persen, sekian puluh persen peningkatan persembahan kita di tahun mendatang. Kita lebih suka menempuh jalan mengurangi pengeluaran kita, mencoret program yang diajukan oleh komisi dan panitia. Kita melupakan bahwa kita mampu merencanakan peningkatan pemasukan keuangan kita. Kita sebenarnya bisa merencanakan sesuatu untuk mengimbangi kebutuhan demi pencapaian tujuan yang selalu kita potong itu. Merencanakan langkah untuk meningkatkan pemasukan bagi pembiayaan kegiatan akan lebih baik dari pada menciptakan hantu defisit untuk kita takuti bersama. Hantu defisit yang kita hadirkan sebagai alasan untuk memotong dan menolak kegiatan kita.
Memang banyak gereja "tetangga" yang getol untuk menyuarakan persembahan dari jemaatnya dan kita merasa ingin beda dengan tabu menyuarakan itu di jemaat kita. Kita lebih suka menyiksa diri dengan memotong program dan menciptakan hantu defisit untuk kita takuti bersama. Kemampuan kita untuk menunjukkan pada jemaat bagaimana kita mengelola uang itu, adalah kunci masalah ini. Bagaimana kita bertanggung jawab untuk membuat program yang bermutu dan bukan hura-hura, akan membuat jemaat kita mampu memutuskan untuk dirinya sendiri, mau atau tidaknya ia menyumbangkan uangnya untuk program itu, untuk dipercayakan pemanfaatannya pada gereja.
Di tiap gereja kita ada amplop persembahan bulanan. Kita menyatakan bahwa kita tidak mempunyai dogma tentang persepuluhan, lalu bagaimana jemaat mengetahui apakah bedanya persembahan amplop itu dengan persembahan persepuluhan? Jangan-jangan mereka yang rajin mengisi persembahan amplop itu adalah mereka yang mempunyai konsep persepuluhan. Kenyataan ini menunjukkan bahwa kita kurang menjemaatkan beban pelayanan yang bisa dan harus ditanggung bersama jemaat. Maukah kita membuat rencana bagaimana kita menggali dana di tahun ini?
Marilah kita masuki tahun ini bersama Tuhan bukan bersama hantu yang kita ciptakan untuk kita takuti sendiri.
Artikel ini dimuat di Majalah Sukita, Edisi 25/TahunVIII/Februari 2009, dengan judul "Cara Menggali Dana"
(kelanjutannya.....)
10 Februari 2009
Imlek Tahun Ini
23 Januari 2009
Tilang
Malam ini saya mendapat pengalaman baru yang berkaitan tentang "foward" berita internet. Soal tilang, saya pernah baca: kalau ditilang minta saja lembaran biru yang berarti kita bisa langsung bayar dendanya di bank.
Tadi sepulang mengantar mertua belanja, di belokan Indragiri menuju Mayjend Sungkono (Surabaya), lampu lalu lintas memang masih kuning ketika saya melintas. Mendadak saya dihentikan oleh Polisi yang bertugas didepan kantor KPU, dia bilang kalau saya melanggar lampu. Saya menyangkal, tapi daripada debat berkepanjangan saya bilang untuk ditilang saja. Dia ajak saya masuk ke pos polisinya. saya duduk dan dia mau nulis surat tilangnya. Saya teringat pada berita internet diatas. Katanya (menurut berita foward itu) minta saja lembar untuk bayar di bank, saya lupa lembar yang berwarna apa: Hijau atau Biru? Tapi saya tetap PD saja, karena saya bisa bahasa Madura dan bahasa maduranya hijau itu "biruh". Jadi saya pikir saya bisa berkelit dengan bahasa madura saya. Saya minta surat tilang yang hijau saja, saya akan langsung bayar di bank saja. Pak Polisinya bilang tidak ada yang hijau, yang ada biru, untuk arsip. Dia menjelaskan bahwa tidak ada sekarang bayar di bank. Dulu memang ada, tapi sekarang sudah tidak ada lagi. Dia ngotot mau memberi surat tilang yang berwarna merah yang untuk sidang di pengadilan. Saya tetap minta yang Biru untuk bayar langsung di bank, dia tetap bilang tidak ada aturan itu lagi.
Saya lalu setuju surat tilang yang berwarna merah, tapi saya minta dia menulis bahwa aturan untuk membayar di bank itu sudah tidak ada lagi, dan ditandatangi dan saya minta nama dan NIP dia. Dia mengenakan rompi hijau (yang bisa berpendar/flouresen
Saya lihat dia memang mulai ragu, dia mencari dukungan dari teman yang sama-sama bertugas di pos itu, teman itupun bilang tidak ada aturan itu. Lalu dia menelpon atasannya, kapolseknya, tapi saya tidak jelas dia telpon sungguhan atau pura-pura. Saya tetap bilang, kalau Bapak benar bahwa aturan itu tidak ada, mohon Bapak tanda-tangan.
Akhirnya, Beliau bilang, ini khan hanya tipiring (tindak pidana ringan), damai saja, SIM dan STNK saya dikembalikan dan saya diajak jabat tangan dan disuruh pergi.
Untuk menguji hal ini lagi, mungkin ada yang mau mencoba modus operandi ini? Atau ada Pak Polisi yang bisa mencerahkan?
Pernah di posting di cyber-gki 25 Nopember 2007