16 Oktober 2009

Indah Pada Waktunya

Tuhan membuat segala sesuatu indah pada waktunya. Ungkapan ini sudah sering saya dengar dan baca, terutama di kartu undangan pernikahan. Terlalu sering sehingga bermakna biasa-biasa saja. Siang itu, ungkapan ini punya makna yang agak lain.

Siang itu, di saat training, peserta ditugaskan untuk membaca secara bergilir materi training yang ada. Materi itu terlihat kalau disusun dari beberapa cuplikan yang diambil dari beberapa sumber. Beberapa bagian tampak sekali sistim "copy - paste"nya. Saat giliran saya, saya membaca bagian yang diambil dari suatu buku yang tulisannya cukup kecil, lebih kecil dari tulisan normal yang ada. Saya agak kelabakan, sebab koq ternyata mata saya sulit untuk membaca rangkaian kata-kata itu. Perlu sedikit waktu untuk mengatur jarak dan usaha untuk membaca rangkaian kalimat itu. Memang berhasil juga. Berhasil membaca tulisan itu, juga berhasil mengingat nilai lain dari ungkapan: Indah pada waktunya.

Indah pada waktunya, dulu memberikan kesan janji akan datangnya masa yang indah. Keindahan yang patut dinantikan karena akan datang pada suatu masa nanti. Ungkapan ini menjadi suatu pengharapan akan apa yang akan datang. Termasuk hari indah yang sangat dinantikan oleh pasangan mempelai yang akan menikah. Siang itu, kalimat itu muncul dengan nilai yang lain. Siang itu saya merasa bahwa Keindahan itu punya waktunya dan waktunya itu bisa berlalu. Membaca menjadi sesuatu yang indah bagi saya. Saya sangat menyukainya. Siang itu saya merasa bahwa keiandahan itu akan segera berlalu. Dengan semakin uzurnya usia saya, makin berkurang juga kemampuan mata saya. Akan datang masa dimana membaca sudah tidak indah lagi karena mata ini semakin rabun dekat.

Indah pada waktunya itu, tiba-tiba berarti penghargaan akan apa yang ada saat ini. Menghargai saat-saat ini yang mempunyai keindahannya. Waktu yang indah itu bisa berarti saat ini. Jadi nikmatilah dan hargailah dengan baik. Keindahan hari ini akan berakhir dan akan datang waktu dengan keindahannya yang lain. Berpengharapan akan datangnya keindahan di waktu mendatang memang benar dan positif, tapi bukan berarti bahwa kini dan saat ini tidak ada sesuatu yang indah yang harus dimanfaatkan dengan maksimal dan dihargai dengan pemanfaatan yang baik.

Indah pada waktunya, bisa berarti waktunya adalah saat ini. Jangan sia-siakan hari ini.
(kelanjutannya.....)

06 Oktober 2009

Ayo Jangan Nakal

Beberapa waktu lalu saya agak terguncang oleh berita yang saya baca di Kompas, 29 April 2009:
"......Rakyat Paraguay dibuat terpaku menyaksikan opera sabun kehidupan nyata di istana kepresidenan: tiga perempuan menyatakan Fernando Lugo, mantan uskup yang kini presiden, sebagai ayah dari anak-anak mereka dan mereka menuntut pengakuan.Lugo yang tadinya dikenal sebagai "uskup kaum miskin" itu kini dipandang sebagai seorang playboy. Dua pekan lalu, dia membuat rakyat Paraguay terperangah dengan pengakuannya bahwa dia adalah ayah seorang anak ketika dirinya masih menjadi uskup Katolik. Pengakuan Lugo terjadi setelah ibu anak itu menggugatnya.Setelah itu, dua perempuan lain juga mengklaim serupa, sementara Lugo meminta bangsanya untuk memaafkan dirinya................."
Fernando Lugo, orang yang saya kagumi, pernah dijadikan ilustrasi kotbah oleh Bu Claudia. Pernah sampai ditulis Features-nya di Kompas saat Budiman Sujatmiko (mantan PRD) mengunjunginya. Seorang presiden yang bersahaja karena status uskup yang pernah dijalaninya.
Saya teringat, beberapa saat lalu, dalam penerbangan yang berjam-jam, saya bertemu seorang teman secara kebetulan di dalam pesawat. Penerbangan itu terasa sekejab karena dia menghampiri saya dan berdiri di gang di sisi kursi dan kita mengobrol lama sekali. Topiknya: "The dark side of Men". "Nasehat" dia, "Pokoknya.... kalau ketahuan selingkuh..... harus bilang TIDAK, apapun kondisinya." Pokoknya harus ngeyel. "Lha kalau sudah kepepet?" "Harus tetap bilang TIDAK!" itu nasehatnya dan rasanya juga telah dipraktekkannya. Lugo yang Pastur itu mungkin sulit untuk mengikuti nasihat teman itu. Satu kebohongan memang akan melahirkan kebohongan-kebohongan lainnya. Untuk menyangkal apa yang dituduhkan memang butuh ketegaran hati melampaui segala akal dan bukti yang ada. Tidak setiap orang bisa melakukannya. Ini sesuai dengan nasehat: kalau mau mencebur jangan tanggung-tanggung. Kalau mau nakal ya jangan setengah-setengah. Saya sadar bahwa untuk menjadi nakal itu perlu bakat.
Apa benar bakat nakal itu dominan? Bisa jadi memang tersedia bakat untuk nakal, tapi bila kondisinya tidak mendukung mungkin bakat itu tidak akan tumbuh dan berbuah. Saat kondisi di dompet sudah ada kartu kredit dan kartu ATM yang rasa-rasanya cukup berkelimpahan, kenakalan itu mendapat angin untuk bertumbuh dan berbuah. Banyak hal yang dulu jauh dari pemikiran kini menjadi sesuatu alternatif "hobi'. Perbaikan kondisi keuangan memang membuat hidup bisa lebih baik. Bisa merasakan hidup menjadi lebih hidup. Saat banyak hal terbuka untuk dicoba dan dirasakan. Terlebih lagi bila banyak keterbatasan masa lalu menyisakan banyak keinginan terpendam. Dulu saya pingin punya kolam ikan hias, tapi waktu itu saya tidak punya uang untuk membuatnya. Sekarang kalau saya sudah punya sedikit tabungan, saya ingin sekali membuat kolam ikan itu. Itu kalau ikan hias, lha kalau yang lain? Bakat dan dana itu paduan yang serasi.
Saat hidup menjadi lebih tenang karena dukungan finansial yang semakin baik, banyak pilihan yang bisa dibuat. Pilihan itu bisa datang dan diambil karena alasan menikmati apa yang sudah didapatkan. Keinginan melakukan itu sebagai bagian menikmati apa yang sudah dijerih-lelahkan selama ini. Kalaupun itu hal yang menyerempet "bahaya", bisa jadi itu cuma dengan alasan "anggap saja kalah judi". Nilai uang untuk nakal "sedikit-sedikit" itu sudah bukan nilai yang sangat besar dibandingkan kemampuan potensial yang sudah ada di kartu kredit dan kartu ATM yang dibawa. Apalagi kalau dibandingkan dengan "kenyamanan" dan fasilitas yang "ditawarkan". "Kalau sore aku mampir ke rumahnya, kaos kakiku aja dibukakan." Oh, alangkah indahnya bila dibandingkan dengan umpamanya nada tinggi yang sehari-hari terdengar. Sudah buka sepatunya sendiri masih dimarah-marahi kalau salah meletakkan. Hahahahahaha......
Saat sedikit demi sedikit menabung. Saat saldo bertambah dengan dengan diringi rasa syukur. Saat itu setiap pertambahan diakui sebagai suatu rejeki dari yang Maha Kuasa, akhirnya sampailah pada suatu jumlah yang sudah cukup banyak saat ini. Cukup banyak untuk dikagumi dan juga cukup banyak kalau cuma dibuat main sedikit-sedikit. Sedikit itu dari nilai uangnya, tapi tidak sedkit dari sisi kualitas uangnya.
Bila hari ini saya mengingat apa yang sudah terjadi dengan Lugo, ternyata nilai yang dikorbankan itu tidak sekedar nilai yang bisa dianggap kalah judi saja. Tetap ada harga lain yang harus dibayar. Harga sebuah penyangkalan bahwa tiap berkat yang ada datangnya dari yang Maha Kasih dan Maha Kuasa. Maha Kasih karena telah dengan dengan setia memberkati setiap usaha sedikit demi sedikit dan akhirnya menjadi bukit. Maha Kuasa karena telah berkuasa menjaga dari banyak kebocoran yang mungkin bisa saja terjadi saat pengumpulan berkat itu. Berkuasa menjaga kesehatan sehingga tidak bocor sedikit demi sedikit melalui penyakit. Ada juga sisi penyangkalan nilai bahwa: Ia Maha Kasih dan Maha Kuasa. Maha Kasih karena Ia dengan kasih sanggup memukul di saat ada kenakalan. Maha Kuasa karena Ia berkuasa untuk marah dan murka tanpa ada yang mampu menghalanginya kalau ada kenakalan. Mengancam ya?
Ayo jangan nakal.
(kelanjutannya.....)

29 September 2009

Cerita tentang Info Buku

Ini cerita tentang buku yang saya info-kan beberapa waktu yang lalu, "Ilusi Negara Islam", karya Gus Dur. Beberapa hari setelah itu saya harus ke Jakarta untuk menemui pelanggan. Kita janji untuk bertemu jam 9an di Cengkareng. Saya sudah siap tiket jam enam pagi dari Surabaya. Kemudian dia memberitahu perubahan jadwal penerbangannya, dia baru akan tiba jam 11 lebih, Untuk itulah saya mencetak buku itu dan membawanya untuk mengisi waktu menunggu itu. Buku itu cukup menarik, menuturkan masalah yang dihadapi oleh NU dan Muhammadiyah dalam menghadapi rongrongan Islam Garis Keras (PKS). Hal ini mengingatkan saya dengan masalah yang pernah kita hadapi. Saat banyak orang "reform" merongrong gereja kita. Polanya ternyata sama, mungkin inilah manusia, apapun agamanya polanya juga sama. Pagi itu saya hampir menyelesaikan membaca buku itu. Yang tersisa bagian lampirannya yang memang cukup banyak.
Malam harinya, saya pulang dengan penerbangan malam. Saya berencana untuk menyelesaikan buku itu. Saya sudah minta duduk di dekat jendela darurat, ini untuk menyelamatkan kaki saya yang tersiksa kalau harus duduk di kursi biasa. Saat naik pesawat, ternyata ada masalah, saya dapat kursi satu nomer dibelakang "emergency exit". Tersiksalah saya, tapi mau apalagi. Sayapun duduk sambil membaca buku itu. Beberapa saat kemudian datanglah seorang Bapak tua duduk di sebelah saya, disebelahnya kemudian ada seorang pemuda. Saya terus membaca, tidak terlalu menghiraukan mereka. Bapak itu duduk sambil membawa buku berwarna kuning emas dengan sampul tebal, mirip Alquran. Wajahnya cukup khas, saya mencoba untuk mengingat, dimana saya pernah menemuinya. Saya ingat! Saat dia menyapa saya, saya mengatakan, "Saya dulu pernah satu pesawat dengan Bapak saat Bapak pulang dari Amerika." Saat itu saya menunggu keluarnya bagasi dan saya melihat Bapak itu disalami banyak orang, ke salah satu orang itu saya dulu pernah bertanya siapakah beliau ini. Beliau ini Kyai yang cukup terkenal, tapi saya sudah lupa siapa namanya. Bapak itu duduk sambil membaca buku yang dibawanya. Ada juga penumpang yang kemudian menyapanya dengan sebutan Gus. Mungkin Beliau memang orang yang cukup terkenal.
Bagian yang saya baca, adalah lampiran-lampiran surat-surat keputusan NU dan Muhammadiyah berkaitan dengan masalah yang dibahas. Jelas sekali di beberapa bagian ada tulisan Arabnya. Mungkin ini yang menarik perhatiannya. Pasti beliau heran, karena agak kurang "Kompatiibel" antara wajah saya dan tulisan Arab itu. "Buku apa itu?" Saya tunjukan halaman depan buku itu. "Fotokopian ya?" Nadanya agak sinis, "Bukan, ini hasil download." Dia melihat-lihat buku itu kemudian menyerahkan lagi ke saya. "kamu suka baca ya/" Saya mengangguk. "Datang saja ke rumah saya, saya punya banyak buku." Saya tersenyum. "Bapak tinggal dimana?" "Sidoarjo" "alamatnya mana?" "Semua orang di Sidoarjo tahu rumah saya." Saya senyum. "Bengkel saya di Gedangan." "Yah, orang Gedangan pasti mengenal saya." "Ok, saya akan tanya teman-teman di bengkel, tapi Bapak namanya siapa?" Dia tidak mau mengatakannya, dia menunjukkan boarding pass-nya. Saya baca nama itu. "Bapak orang yang sangat terkenal." Saya mengatakan hal itu bukan karena mengenal nama itu, tapi saya membacanya dari pencitraan yang hendak dia sampaikan ke saya selama itu. Cara ini biasanya sangat ampuh untuk memulai perbincangan dengan orang lain. "Pak, namanya saya tulis ya, sebab saya cepat lupa" Saya tulis namanya di halaman depan buku itu. Mungkin karena saya menuliskannya kurang tepat, dia mengambil buku dan bolpoin saya. Dia menuliskannya dengan ejaan lama. "Kamu datang saja ke rumah saya" Beliau mengulangi ajakannya itu. Saya mengangguk. Setelah itu saya berusaha melanjutkan membaca. Saya tidak mengajak dia bicara, karena saya juga takut mengganggunya. Penerbangan ini sudah cukup larut malam, pasti beliau letih juga, mungkin beliau ingin tidur. Saat saya membaca, dia berbincang dengan pemuda yang duduk di kanannya.
Akhirnya selesai juga saya membaca buku itu. Saya letakkan buku itu di kantong kursi di depan saya. Beberapa kali saya "dijawil"nya. Saya menoleh ke arahnya dan tersenyum. Beliau biasa-biasa saja, tanpa ekspresi apa-apa, seakan-akan dia tidak melakukan apa-apa barusan. Kemudian dia memegang tangan saya. Dia genggam lengan saya. Telapak tangannya terasa panas. Saya sempat terpikir sesuatu yang "aneh" yang bisa terjadi pada diri saya. Saya punya alasan untuk merasa takut. Saat itu saya hanya berdoa dalam hati. Saya yakin bahwa Tuhan pasti mengasihi saya. Saya mengumpamakan diri saya seperti seorang anak yang tiba-tiba berjalan menyelonong di jalan raya yang ramai. Anak itu pasti tidak tahu akan bahaya yang bisa mengancam dirinya. Orang tuanya yang pasti panik melhat hal itu. Orang tuanya yang bakal panik mencari cara untuk menyelamatkan anak itu dari bahaya yang siap mengancam, meski anak itu sendiri tidak menyadarinya. Kasih Tuhan pasti lebih besar dari kasih orang tua kita. Saya tidak berusaha melepaskan tangan Bapak itu. Saya takut menyinggung perasaannya, Kalaupun keputusan itu salah, tapi saya yakin Tuhan tahu isi hati saya dan Ia sanggup melindungi saya. Pengalaman saya beberapa kali dengan sesuatu yang "supranatural", membawa saya akan pemahaman akan penyertaan Tuhan seperti di atas. Saya bukan orang punya kemampuan melawan dan menolak kuasa itu, tapi saya yakin Tuhan mampu melindungi saya. Roh yang ada di dalam kita pasti lebih besar dari segala kuasa yang ada. Beliau melepaskan genggamannya. Beberapa saat kemudian dia memegang tangan saya lagi. saya biarkan saja.
Ketika mendarat, dia keluar duluan, sayapun tidak melihat dia, mungkin dia mengambil bagasi. Saya berjalan bersama pemuda yang duduk disebelah Bapak itu. Saya mengajaknya pulang bersama, karena memang saya memarkir mobil saya di bandara. Di perjalanan kita berbincang-bincang. Pemuda itu yang bercerita tentang bapak itu. "Beberapa kali Beliau berhasil membaca pikiran saya." "Ohya?" "Ya, pak, tadi waktu saya berdoa, dia bilang kalau saya tenang saja, karena semuanya aman. Saat saya melamun tentang hal yang negatif, beliau mengingatkan saya. beberapa kali." Mungkinkah hal itu benar? Saya tidak tahu, tapi pemuda ini bercerita dengan sungguh-sungguh tentang "kemampuan" Bapak itu.
Ketika saya sampai di rumah, saya langsung buka internet. Saya cari nama beliau. Ternyata beliau adalah pengasuh sebuah pondok pesantren yang terkenal di Sidoarjo. Dari web sitenya, saya tahu alamat Beliau. Besoknya, pagi-pagi saya menelpon rekan yang tinggal di daerah itu, menanyakan perihal Bapak itu. Ternyata Beliau memang orang yang terkenal dan sangat kaya. Banyak orang yang antri hanya untuk bersalaman dengannya. Sore harinya saya datang ke rumah Beliau. Beliau tidak ada di tempat karena mengisi Seminar di Unair. Tidak masalah bagi saya, saya hanya ingin menepati janji saya untuk datang ke rumahnya.
Kira-kira apa yang Beliau lakukan saat memegang tangan saya? Apapun juga, saya hanya berpikir, "Masak sih Tuhan tidak kasihan sama saya?"
(kelanjutannya.....)

Outliers

Ini oleh-oleh dari libur lebaran. Ada buku yang bagus isinya. Judulnya Outliers (Rahasia di Balik Sukses), Karya Malcolm Gladwell, terbitan Gramedia. Kalau mau download audiobooknya (english version) bisa di cari di 4share.com. Totalnya 200Mb, saya mendownload selama satu jam di GSG lantai dua.

Kalau melihat judulnya, kemungkinan besar saya tidak berminat dengan buku itu. Saya selalu merasa 'alergi' dengan buku yang bicara soal sukses. Alasannya, karena belum tentu penulisnya adalah orang sukses yang benar-benar sukses.  Awalnya saya saya cuma sekedar mencari audiobook untuk latihan bahasa inggris. Setelah berhari-hari saya dengarkan, ada beberapa kata kunci yang sulit saya tangkap. Setelah bolak-balik buka kamus, masih juga belum ketemu juga. Bisa jadi karena telinga yang dibesarkan dengan nasi pecel ini sulit menangkap suara yang dihasilkan karena energi dari burger dan steak. Saya cari PDF-nya, tapi waktu itu belum ada yang upload, maka terpaksa saya beli buku edisi bahasa Indonesianya. Saya baca, ternyata menarik dan lebih menarik dari audiobooknya. Lha, saya yang tidak terlatih mendengar bahasa Inggris itu. Buku ini tidak berisi ulasan penulis tentang rahasia kesuksesan. Penulisnya hanya menarik beberapa benang merah dari beberapa orang-orang yang dianggap sukses.

Yang menarik adalah pendapat penulis bahwa ada faktor-faktor diluar diri para orang sukses itu yang menjadi faktor dominan penentu kesuksesannya.
 Para orang sukses di bidang komputer, Bill Gates (Microsoft) lahir tahun 1955, Paul Allen (Microsoft) lahir tahun 1953, Steve Balmer (microsoft) lahir tahun 1955, Steve Jobs (Apple) lahir tahun 1955, Erick Schmidt (Novell) lahir tahun 1955,  Bill Joys (Sun Microsystems) lahir tahun 1955. Mereka mendapat keberuntungan karena lahir di tahun-tahun itu sehingga mereka mampu mengambil peluang di pertumbuhan PC (personal Computer) di pertengahan tahun 70an. Sebagian besar orang yang masuk daftar terkaya di USA dilahirkan di tahun 1830an. Mereka itu : John D. Rockefeller, Andrew Carnagie, Frederick Weyerhaeuser, Jay gould, JP Morgan dll. Mereka ini mendapat keuntungan masuk dengan usia yang tepat saat pertumbuhan ekonomi USA dalam kondisi sangat baik di tahun 1860 sampai 1870-an. Belum lagi para pemain hockey yang top di Canada, hampir pasti lahir di bulan Januari sampai Maret, sangat jarang yang di lahirkan di akhir tahun. Harus diakui bahwa ada faktor keberuntungan melalui tanggal kelahiran orang-orang sukses itu. Apa ini berkaitan dengan Zodiac? Bukan. karena bisa jadi kelahiran itu pas dengan sistem yang ada di masyarakat kita. Batas usia pemain Hockey di Canada diambil pada 1 Januari, jadi bila ada anak yang lahir pada tahun yang sama, anak yang lahir di tanggal 2 januari pasti akan punya tubuh yang lebih kekar dari pada anak yang lahir di akhir tahun. Tahun lahirnya sama, tapi perbedaan beberapa bulan itu yang membedakan kemampuan fisik anak-anak itu.

Yang lebih menarik lagi adalah, buku ini dibuka dengan kutipan Matius 25:29, "Karena setiap orang yang mempunyai, kepadanya akan diberi sehingga dia berkelimpahan. Tetapi siapa yang tidak mempunyai, apapun yang ada padanya akan diambil dari padanya." Di masyarakat berkembang sesuatu yang sejalan dengan prinsip itu. Orang kaya akan menikmati fasilitas pembebasan pajak yang lebih dari orang miskin, kalau di indonesia, soal subsidi BBM yang menikmati subsidi paling banyak ya... orang kaya dengan sedan bermesin besar, rakyat kecil hanya merasakan subsidi BBM lewat kendaraan umum yang berjejal-jejal. Dengan jumlah bensin yang sama, orang kaya menikmatinya karena dia naik sendirian mobilnya, tapi orang miskin harus berbagi dengan banyak orang saat ia naik kendaraan umum yang di subsidi BBMnya. Anak pandai akan masuk di sekolah bagus atau kelas akselerasi yang pelajarannya lebih diperhatikan oleh para guru. Keadaan ini makin membuat orang yang berkemampuan rendah semakin tertinggal. Penulis juga setuju dengan "Hukum 10 ribu Jam". Orang akan mencapai keahliannya karena ia berlatih selama sepuluh ribu jam. The Beatles bisa sukses di USA karena sebelumnya ia bermain musik di Hamburg selama 8 jam sehari dalam 7 hari seminggu selama beberapa tahun. Orang yang merasa mempunyai talenta akan semakin terpacu untuk berlatih dan orang yang agak kurang, cenderung menjadi lebih malas berlatih. Ketekunan dan kegigihan tetap menjadi kunci kesuksesan. Sangat berbeda dengan banyak buku yang menawarkan sukses yang diraih dengan jalan pintas.

Faktor diluar kita yang mampu mendukung kesuksesan adalah masalah budaya kita. Banyak orang yahudi di USA sukses, karena mereka lahir sebagai orang Yahudi. Mereka mendapat tekanan karena faktor kelahirannya, tetapi itu yang menjadikan mereka mampu memacu diri sehingga bisa sukses. Tapi budaya ini juga bisa menghancurkan kita. Salah satu budaya yang dibahas adalah budaya penghormatan pada kelas-kelas sosial di  masyarkat Korea dan Kolumbia. Ada dua kecelakaan pesawat terbang di Korean Air dan Avianca (columbian airlines) karena faktor budaya dimana co-pilot tidak berani mengatakan sesuatu dengan lugas kepada Pilot atau orang yang dianggap lebih tinggi status sosialnya walau dalam keadaan yang sudah sangat genting. Budaya menganggap atasan atau orang yang lebih tua lebih tahu dari kelas sosial yang lain, telah menjadi dasar pemicu kecelakaan pesawat udara itu.

Bagi yang berniat membeli buku, saya menyarankan untuk beli buku ini. Menarik dan tidak mengada-ada. Kalau yang tidak suka buku yang serius, ada buku bagus juga: Benny dan Mice: Lost In Bali 1 dan 2! Buku kartun tapi guyonannya kreatif.

(kelanjutannya.....)

26 September 2009

Berenang di Tatami

Tatami adalah sejenis tikar khas Jepang. Ungkapan judul diatas, saya dapatkan di sessi terakhir training yang saya ikuti. Ada pengajaran, ada studi kasus dan diskusi serta presentasi. Training ini adalah sebagian dari rangkaian training yang diadakan di Jakarta dan Surabaya, untuk mengikutinya kita harus lulus tes penempatan dan setelah training kita harus ikut ujian untuk mendapatkan  sertifikat dari JETRO. Japan External Trading Organisation. Trainingnya gratis karena dibiayai oleh JETRO, ini bagian dari kompensasi perjanjian dua negara, IJEPA (Indonesian Japan Economic Partnership Agreement), kompensasi dari banyak kemudahan yang diterima oleh Jepang dari Indonesia, termasuk jaminan suplai Gas Alam. Seperti biasanya instrukturnya orang Jepang. Beliau berpesan melalui peribahasa iru. Berenang di tatami.
 
Setelah selama lima hari penuh kita belajar tentang topik training, kelihatannya kita sudah menguasai topik yang dibahas. Dari cara kita membaca topik yang harus dibaca bergilir, intrukturnya yakin bahwa pemahaman kelompok di Surabaya ini, lebih baik dari kelompok training yang sudah dipandunya di Jakarta sebelumnya. Padahal dia tidak dapat berbahasa Indonesia, dia menilai dari cara membaca dan intonasinya saja. Training itu dia akhiri dengan peribahasa itu: Berenang di Tatami. Saat kita mempelajari sesuatu, akhirnya kita merasa bisa memahami hal baru tersebut. Itu seperti kita belajar Berenang di Tatami. Berenang di atas tikar. Kita tahu urutan-urutan gerakan yang ada. Kita bisa menggerakkan tangan dan kaki kita sesuai dengan gaya berenang yang kita pelajari. Kita sudah bisa berenang, tapi Berenang di tatami. Berenang di atas tikar! Bisa jadi saat kita mencoba berenang di kolam renang atau sungai sesungguhnya, kita akan tenggelam. Pemahaman kita harus dilanjutkan dengan praktek dilapangan dan dari sanalah kita bisa mendapatkan penguasaan materi yang sesungguhnya.
 
 Berenangpun punya beberapa tingkatan, yang termudah di tatami, kemudian di kolam renang, lalu di sungai, juga ada renang dilaut lepas. Sungai dan laut pun masih ada bermacam-macam tingkat kesulitannya, mulai dari yang berarus tenang dan dangkal sampai yang dalam dan berarus deras atau bergelombang tinggi.
Mungkin sama ya dengan pemahaman iman saya. Membaca dan mendengarkan kotbah membuat saya semakin merasa serba tahu. Tapi kehidupan nyata di masyarakatlah yang menyempurnakan dan memurnikan pemahaman iman ini.
 
Semoga ini bermanfaat.
 
(kelanjutannya.....)

14 Maret 2009

Cerita tentang Penyambutan

Hari Minggu yang lalu, saya bertugas di kebaktian jam 6.00, untuk membagikan celengan dan buku renungan paskah. Karena sudah ada pembagian di minggu sebelumnya, maka tugas kemarin itu tidak terlalu sibuk. Hanya beberapa jemaat yang meminta celengan dan buku, sayapun tidak terlalu agresif karena bukunya sudah tersisa sedikit. Saya menyapa jemaat yang datang dan lewat di depan saya. Terakhir, ada seorang tante, saya tawari celengan (karena bukunya tinggal sedikit). Dia bilang kalau sudah dapat, dia lalu tanya apa bisa kalau mengisinya tidak setiap hari, tapi sekaligus nanti waktu mau diserahkan. Dia juga menyatakan ingin menyumbang mie, di benak saya Tante ini pasti senang masak dan mau menyumbang mie goreng atau masakan mie. Saya menjelaskan kalau nanti akan ada acara Unduh-Unduh dan bisa disumbangkan pada waktu itu. Dia menjawab, "Nanti saja dulu ya, soalnya saat ini jalan ke Pabrik Tante masih banjir, jadi tidak bisa ke pabrik." Saya baru sadar kalau Tante ini mau menyumbang mie produksi pabriknya.

Saya berbasa-basi menanyakan daerah pabriknya, ternyata beberapa tahun yang lalu saya pernah ke pabrik itu dan mereparasi mesinnya. Ternyata orang yang saya temui dulu itu adalah anaknya yang saat ini mengelola pabrik itu. Setelah itu, Tante ini makin semangat untuk bercerita lagi. Cerita tentang tarif becak yang 30 rb pulang pergi dari rumahnya, juga tentang almarhum suaminya, juga tentang cara anaknya yang mengelola pabrik itu. Sementara saya berbincang-bincang, memang banyak jemaat yang lewat dan datang. Saya berpikir keras apa yang harus saya lakukan. Memutuskan pembicaraan dengan Tante ini dan mencari jemaat yang lain? Atau terus melayani perbincangan Tante ini? Saya memutuskan untuk terus melayani perbincangan itu dengan baik. Pertimbangan saya, lebih baik saya menyelesaikan satu orang ini dengan sangat baik dari pada berharap dapat meningkatkan jumlah tapi dengan kualitas yang begitu-begitu juga. Satu yang berhasil mungkin lebih baik daripada banyak yang biasa-biasa saja. Cukup lama perbincangan itu, dua orang Bapak yang bertugas penyambutan di pintu gereja malah mengingatkan Tante itu, agar segera masuk karena kebaktian akan dimulai. Saya lihat belum ada Majelis yang muncul di mimbar kecil, jadi saya teruskan saja perbincangan itu. Sampai akhirnya ada muncul majelis untuk membacakan warta lisan. Saya sarankan Tante itu untuk segera masuk ke ruang Kebaktian.

Saya juga bertugas lagi selepas kebaktian usai. Tante itu menyapa lagi saat ia berjalan pulang.

Saat itu saya juga menyapa satu Om yang saya kenal. Kita berbincang lagi, dia bercerita tentang almarhum istrinya. Rasanya masih sulit baginya untuk melupakan istri tercintanya. Ia bercerita tentang istri yang dibanggakannya kesetiaannya. Juga tentang suka dukanya saat dia merintis usahanya dulu. Senang sekali bisa mendengar ceritanya, apalagi saat dia bilang,"Makanya kita itu harus selalu ingat sama Tuhan." "Untuk itu Om sekarang mau ikut katekisasi" Ah, jalan hidup itu yang akhirnya membawa Om itu mau mengenal Tuhannya. Di jam pulang itu, sayapun hanya bisa meladeni satu Om ini, karena saya juga harus cepat pulang untuk menjemput istri dan anak yang mau sekolah minggu jam 8.00.

Minggu ini memang loading pelayanan saya sangat tinggi, ada penyambutan, lalu beasiswa, ada outbond, ada persiapan acara panter satu, ada pertemuan dengan pendukung tayangan di TVRI. Pengalaman perbincangan di kebaktian minggu kemarin itu sangat menarik buat saya. Pasti ada banyak jemaat yang butuh teman bicara. Sekedar mendengarkan mereka bercerita mungkin bisa membuat mereka bergembira. Mungkin ini bisa membuat kita mau berbuat banyak untuk kegiatan perkunjungan dan pemerhati.

Steven Covey di 8th Habit, mengutip perkataan Mother Teresa ,"Few of us can do Great Thing, but all of us can do small thing with Great Love"





(kelanjutannya.....)

06 Maret 2009

Menciptakan Hantu



Saat ini, kita sudah siap memulai segala pelaksanaan program kerja kita. Tahun ini kita sudah punya program kerja yang akan segera kita laksanakan. Program Kerja yang sudah disahkan akhir tahun lalu, atau paling lambat awal tahun ini. Semua komisi dan panitia sudah tinggal melaksanakan semua perencanaannya. Kita memang sudah terlatih untuk membuat program kerja kita.



Beberapa jemaat dan komisi mungkin memulai tahun ini dengan was-was atau prihatin akan keadaannya yang harus memangkas banyak program karena keterbatasan dana yang ada. Ada majelis jemaat yang memberitahukan bahwa mereka akhirnya bisa mensahkan program tahun ini dengan defisit "sekian" juta Rupiah. Keadaan perekonomian global dan keadaan perekonomian nasional kita, bisa menjadi landasan kita untuk memprediksikan pemasukan kita dan dari sana kita sudah terbiasa untuk merencanakan program kita tahun ini. Suatu hal indah yang sudah pakem di tiap tahunnya.



Ada banyak kegiatan yang sudah kita tolak pencantumannya. Di awal tahun ini kita mampu membayar rasa bersalah pencoretan itu dengan pengakuan bahwa kita sudah memulai pelaksanaan program kita dengan suatu langkah iman yang besar. Rencana anggaran yang defisit "sekian juta" atau "sekian puluh juta", juga alasan krisis global. Ini semua bisa menjadi "pembenar" langkah "iman" pembuatan program kerja kita.



Sebagai gereja kita memang terpanggil untuk merencanakan tujuan kita. Kita juga terpanggil untuk realistis/membumi dengan tujuan kita. Kita terpanggil untuk "berpikir" tentang apa yang bisa kita rencanakan. Apa sajakah yang sudah kita rencanakan dengan membumi?



Banyak gereja hanya berkonsentrasi pada pelayanan, pada apa yang akan mereka kerjakan. Sesuatu yang membutuhkan dana. Mereka sering melupakan apa yang dapat mereka hasilkan (dana yang dapat dihimpun). Gereja memang bukan organisasi yang bertujuan menghimpun keuntungan finansial. Kita adalah organisasi nirlaba. Kesadaran ini pada awalnya baik adanya, tetapi kesadaran ini banyak membawa kita untuk menyiksa diri dengan melupakan bagaimana kita harus merencanakan pemasukan kita. Di satu sisi kita sadar akan kebutuhan kita akan dana, di sisi yang lain kita sering lupa merencanakan bagaimana kita harus secara aktif menghimpun dana itu.



Ketabuan kita untuk merencanakan pemasukan kita seiring dengan kesadaran bahwa gereja adalah nirlaba (tidak mengejar keuntungan keuangan semata), sering menyiksa kita sendiri. Kita hanya berani bertindak dengan membuat prediksi sekian persen, sekian puluh persen peningkatan persembahan kita di tahun mendatang. Kita lebih suka menempuh jalan mengurangi pengeluaran kita, mencoret program yang diajukan oleh komisi dan panitia. Kita melupakan bahwa kita mampu merencanakan peningkatan pemasukan keuangan kita. Kita sebenarnya bisa merencanakan sesuatu untuk mengimbangi kebutuhan demi pencapaian tujuan yang selalu kita potong itu. Merencanakan langkah untuk meningkatkan pemasukan bagi pembiayaan kegiatan akan lebih baik dari pada menciptakan hantu defisit untuk kita takuti bersama. Hantu defisit yang kita hadirkan sebagai alasan untuk memotong dan menolak kegiatan kita.



Memang banyak gereja "tetangga" yang getol untuk menyuarakan persembahan dari jemaatnya dan kita merasa ingin beda dengan tabu menyuarakan itu di jemaat kita. Kita lebih suka menyiksa diri dengan memotong program dan menciptakan hantu defisit untuk kita takuti bersama. Kemampuan kita untuk menunjukkan pada jemaat bagaimana kita mengelola uang itu, adalah kunci masalah ini. Bagaimana kita bertanggung jawab untuk membuat program yang bermutu dan bukan hura-hura, akan membuat jemaat kita mampu memutuskan untuk dirinya sendiri, mau atau tidaknya ia menyumbangkan uangnya untuk program itu, untuk dipercayakan pemanfaatannya pada gereja.



Di tiap gereja kita ada amplop persembahan bulanan. Kita menyatakan bahwa kita tidak mempunyai dogma tentang persepuluhan, lalu bagaimana jemaat mengetahui apakah bedanya persembahan amplop itu dengan persembahan persepuluhan? Jangan-jangan mereka yang rajin mengisi persembahan amplop itu adalah mereka yang mempunyai konsep persepuluhan. Kenyataan ini menunjukkan bahwa kita kurang menjemaatkan beban pelayanan yang bisa dan harus ditanggung bersama jemaat. Maukah kita membuat rencana bagaimana kita menggali dana di tahun ini?



Marilah kita masuki tahun ini bersama Tuhan bukan bersama hantu yang kita ciptakan untuk kita takuti sendiri.



Artikel ini dimuat di Majalah Sukita, Edisi 25/TahunVIII/Februari 2009, dengan judul "Cara Menggali Dana"


(kelanjutannya.....)

10 Februari 2009

Imlek Tahun Ini

Beberapa minggu ini saya benar-benar "hilang", oleh-olehnya adalah banyak hal menarik yang ingin saya ceritakan. Salah satunya adalah kejadian di seputar imlek, tapi tidak ada hubungannya dengan budaya Imlek itu sendiri. Hanya kata kunci Imlek itu yang saya pakai untuk tetap mengingatnya di benak saya.
 
Menjelang Imlek kemarin, dua keponakan saya datang dari Bondowoso, pas liburan. Saya cari-carikan jadwal untuk menonton Barongsai, ternyata ada di Golden City Mall. Kita menonton Barongsai di sana. Sementara pertunjukan berlangsung, saya agak menjauh untuk memikirkan hal-hal yang lain, sekedar melamun. Tadinya di bangku-bangku kayu yang ada, tapi kemudian terusir karena bangku-bangku itu mau dipakai untuk pertujukan. Tiba-tiba di sebelah saya ada seorang "bule" yang mengajak bicara. Bahasa Indonesianya bagus sekali. Saya kagum, jadi saya ladeni ngobrol. Namanya Elder Cowan. Saya pikir elder itu nama depan, ternyata elder itu artinya penatua. Nama depannya sama, Daniel!Dia missionary dari Gereja Mormon. Gereja yang di gerbang Tol Satelit dan di dekat AJBS jalan Ratna. Saya jadi ingat dia, ternyata dia adalah bule yang sering saya lihat bersepeda dan berdasi. Sering saya melihat dia dan baru hari itu saya tahu siapa dia sebenarnya.
 
Saya diberinya sebuah brosur. Mungkin karena kemudian saya banyak bertanya, saya diberinya buku yang lebih tebal. Alkitab tambahan Mormon, karangan Joseph Smith. Tenyata dia berdua, temannya ikut bergabung juga. Kita bercakap-cakap. Sekalian saya buat latihan bahasa Inggris. Ada kata kunci dia, yaitu exaltation. Pemuliaan. Jadi kata dia, kita bukan hanya diselamatkan tapi juga dimuliakan. Saat itu kita berbincang cukup lama, sampai dia mohon diri, mungkin mau cari "pasien" yang lain.Dia memberi nomer telpon dan meminta nomer saya. Saya beri saja.
 
Beberapa hari kemudian saya ditelpon dia, dia minta untuk bertemu. Saya sangat sibuk, jadi saya tolak. Waktu dia menelpon lagi, saya janji untuk menemui dia. Jumat yang lalu. Saya ajak dia makan siang di McD.
 
Menjelang pertemuan itu saya berpikir lama tentang apa yang akan kita bicarakan. Apa yang harus saya sampaikan dan apa yang ingin saya tanyakan.
 
Kita janji bertemu 11.30. Jam 11.20 saya sudah memasuki parkiran Mc.D. Saya lihat, ada sepeda di parkiran motor, berarti dia sudah datang.
 
KIta makan siang bersama, dia mengajak seorang teman. Mereka memang selalu berdua-dua untuk bepergian, Mungkin seperti perintah Yesus ke murid-muridnya. Saya sangat kagum pada semangat mereka. Usianya 20 tahun. Mahasiswa Utah University, jurusan Teknik Mesin. Dia menyerahkan diri untuk masuk sebagai Missionary selama dua tahun. Selama itu dia tidak boleh menikah dan punya urusan pribadi. Seluruh hidupnya dibaktikan untuk pelayanan. Setelah masa itu selesai, dia balik Ke USA dan jadi orang  biasa lagi. Kalau mau jadi missionary lagi, menunggu kalau ia sudah pensiun nanti. Selama punya keluarga, dia harus konsentrasi pada keluarganya dan masuk pelayanan yang lain, yang tidak fulltime. Untuk dua tahun ini, dia harus menyerahkan uang untuk biaya kehidupan dia selama itu. Bila biaya itu kurang, gereja yang akan menambahinya.
 
Dia memang cukup offensif untuk mengajak saya. caranya memang halus dan rapi. Pasti ini hasil dari pelatihan dan persiapan sebelumnya. Dia juga harus belajar bahasa setempat dalam waktu 2 bulan penuh, 24 jam sehari. Kekaguman saya membawa saya untuk menyediakan waktu bersama dia. Saya menolak ajakan mereka, tapi saya menerima mereka sebagai teman. Kita berteman, dan saya memang berjanji untuk suatu saat datang ke gerejanya. Saya mengatakan, "kita ini dalam satu jalan raya yang sama, tapi mungkin kita berbeda lajur". Kita mengobrol tentang pelayanan bersama. Saya tahu dia selalu berusaha masuk untuk menanamkan pandangannya. Tentang pemuliaan itu, saya bilang ke dia, secara pribadi saya tidak punya keinginan apa-apa, Juga seandainyapun saya tidak masuk surga, tidak ada masalah apa-apa bagi saya. Saya hanya hamba. Saya sering keluar kota, saat saya di luar kota, saya berusaha beli oleh-oleh untuk anak saya, walaupun anak saya tidak minta. Dulu, waktu di pesawat masih dapat roti, saya sering bawa itu sebagai oleh-oleh yang gratis. Kalau saya yang berdosa ini tahu dan ingin memberi buat anak saya, terlebih lagi Tuhan yang Maha segalanya itu. Surga dan kemuliaan itu sepenuhnya hak Allah. Saya lihat matanya berkaca-kaca saat saya omongkan hal itu.
 
Menjelang akhir pertemuan itu, dia mungkin meluncurkan jurus terakhirnya. Dia meminta saya untuk berjanji membaca kitab mormon itu dan berdoa agar suatu saat saya menemukan kebenaran itu. Saya salut. anak ini hebat dan pembuat sistemnya juga hebat. Saya jawab dia,
"My friend, how old are you?"
"Twenty years old"
"I am forty"
"I already decided my faith when I was as young as you, If now, you asked me to set back to this point. It means I should set back to my zero point again, I waste my life. We are on the same highhway but different lane. God will show everything that I need to know."
 
Pertemuan hari itu membuat saya kagum akan semangat dia, juga pada sistem yang mereka punyai. Ketika kita punya talenta mungkin kita bisa menjadi bintang, Tetapi ketika kita mempunyai sistem, kita bisa membuat bintang-bintang dari batu-batu.
 
Salam,
Daniel T. Hage
 
 
 
 
(kelanjutannya.....)

23 Januari 2009

Tilang

Mendapatkan foward berita dari internet terkadang membingungkan.Saya sering bertanya apakah suatu berita ini benar atau hanya hoax.Misal saja soal Telur Palsu dari China atau Coca Cola yang korosif, atau penculikan anak di supermarket.


Malam ini saya mendapat pengalaman baru yang berkaitan tentang "foward" berita internet. Soal tilang, saya pernah baca: kalau ditilang minta saja lembaran biru yang berarti kita bisa langsung bayar dendanya di bank.

Tadi sepulang mengantar mertua belanja, di belokan Indragiri menuju Mayjend Sungkono (Surabaya), lampu lalu lintas memang masih kuning ketika saya melintas. Mendadak saya dihentikan oleh Polisi yang bertugas didepan kantor KPU, dia bilang kalau saya melanggar lampu. Saya menyangkal, tapi daripada debat berkepanjangan saya bilang untuk ditilang saja. Dia ajak saya masuk ke pos polisinya. saya duduk dan dia mau nulis surat tilangnya. Saya teringat pada berita internet diatas. Katanya (menurut berita foward itu) minta saja lembar untuk bayar di bank, saya lupa lembar yang berwarna apa: Hijau atau Biru? Tapi saya tetap PD saja, karena saya bisa bahasa Madura dan bahasa maduranya hijau itu "biruh". Jadi saya pikir saya bisa berkelit dengan bahasa madura saya. Saya minta surat tilang yang hijau saja, saya akan langsung bayar di bank saja. Pak Polisinya bilang tidak ada yang hijau, yang ada biru, untuk arsip. Dia menjelaskan bahwa tidak ada sekarang bayar di bank. Dulu memang ada, tapi sekarang sudah tidak ada lagi. Dia ngotot mau memberi surat tilang yang berwarna merah yang untuk sidang di pengadilan. Saya tetap minta yang Biru untuk bayar langsung di bank, dia tetap bilang tidak ada aturan itu lagi.

Saya lalu setuju surat tilang yang berwarna merah, tapi saya minta dia menulis bahwa aturan untuk membayar di bank itu sudah tidak ada lagi, dan ditandatangi dan saya minta nama dan NIP dia. Dia mengenakan rompi hijau (yang bisa berpendar/flouresence) menutupi namanya. Dia menolak menulis itu, saya bilang: kalau bapak benar mengapa bapak tidak berani? Saya sudah menurut dengan dipersalah oleh Bapak dan saya sudah setuju untuk ditilang. Kenapa Bapak yang takut?

Saya lihat dia memang mulai ragu, dia mencari dukungan dari teman yang sama-sama bertugas di pos itu, teman itupun bilang tidak ada aturan itu. Lalu dia menelpon atasannya, kapolseknya, tapi saya tidak jelas dia telpon sungguhan atau pura-pura. Saya tetap bilang, kalau Bapak benar bahwa aturan itu tidak ada, mohon Bapak tanda-tangan.

Akhirnya, Beliau bilang, ini khan hanya tipiring (tindak pidana ringan), damai saja, SIM dan STNK saya dikembalikan dan saya diajak jabat tangan dan disuruh pergi.

Untuk menguji hal ini lagi, mungkin ada yang mau mencoba modus operandi ini? Atau ada Pak Polisi yang bisa mencerahkan?


Pernah di posting di cyber-gki 25 Nopember 2007
(kelanjutannya.....)

06 Januari 2009

Cerita tentang penegakan identitas

Topik tentang SERA (Suku, ekonomi, ras) mengingatkan saya tentang pengalaman yang pernah saya alami.
 
Saya sempat sekolah di SD YPPI sulung, sekolah ini mayoritas tionghwa, saya ingat, saya terbiasa bicara dengan bilang lu.... gua.... (bukan loe gue gaya betawi). Ketika pindah ke Bondowoso, saya bersekolah di SD Katolik. Sekolah misi, begitu biasanya orang bondowoso menyebutnya. Sekolah itu mayoritas juga tionghwa, cuma disana mereka biasa lebih banyak berbahasa indonesia dengan lebih baik. Kita bicara dengan menyebut: kamu dan saya, diselingi beberapa bahasa madura. SMP pun saya di sekolah yang sama. Saat lulus SMP, harusnya saya sekolah di SMAK Frateran. Waktu itu saya ngotot untuk tetap di Bondowoso, di SMPP negeri bondowoso. Tahun 1984 itu, pemerintah baru mengeluarkan kebijakan masuk universitas negeri bebas Test, PMDK, Penelusuran Minat dan Kemampuan. Di tahun pertama PMDK itu, SMAK Frateran PMDKnya 9 orang dan SMPPN Bondowoso 9 orang juga, jadi saya pikir kualitasnya sama. Saya pilih tetap di Bondowoso saja. 6 teman sekelompok saya juga setuju untuk sekolah di Bondowoso saja, semuanya tionghwa.
 
Sekolah di sekolah negeri itu adalah proses awal penegakan identitas pribadi saya. Kelas satu saya berdua yang tionghwa, kelas dua dan kelas tiga, saya sendirian yang tionghwa. Ini pengalaman pertama saya menjadi minoritas yang sebenar-benarnya. Kita berkomunikasi dengan bahasa Indonesia yang baik, karena awalnya bahasa madura saya cuma sepotong-sepotong. Tidak ada masalah antara saya dan teman-teman sekelas saya. Saya bisa bergaul dengan mereka. Perasaan tidak enak justru muncul saat saya berkumpul dengan 6 teman yang tionghwa itu. Saya menjadi kikuk kalau harus bicara dengan aksen tionghwa itu. Saya merasa malu sendiri, pingin bicara dengan bahasa Indonesia yang baik. Kalau ada teman yang bicara dengan aksen itu, saya rasanya malah tidak senang dengan dia. Saya merasa dia itu tidak dapat menyesuaikan diri. Koq, tidak dapat membawa diri! Begitu perasaan saya pada teman-teman tionghwa itu. Saya ingin menuntut mereka untuk berubah menjadi lebih Indonesia.
 
Perasaan penolakan terhadap identitas sendiri ini membawa beban bagi saya. Saya jadi agak sulit dan sangat berhati-hati dalam bergaul di SMA itu. Hal itu berbeda dengan cara bergaul saya waktu masih SMP. Berbeda juga dengan cara bergaul teman saya yang keturunan Arab. Di kelas, minimal ada 2 teman yang Arab. Kelas dua saya punya dua teman Arab. Azis Miftah, berkulit hitam dan ekonominya biasa-biasa dan Essam Amar, berkulit putih anak orang kaya (keluarganya punya toko besar di Pecinan). Dua orang keturunan itu beda dengan saya, dia berani bergaul dengan bebasnya. Bisa berani nakal. Lha, saya koq tidak. Essam itu tinggal persis di seberang sekolah, seringnya datang telat, pernah ditanya sama Pak Guru, "Kamu kesini naik apa?" dijawabnya "Saya naik onta Pak!" Juga bila ada anak yang kehabisan ballpoint (tintanya habis), ada teman yang selalu nyeletuk ,"Soroh Aziz raop bei!" "Suruh Azis cuci muka saja" Khan dia hitam, jadi siapa tahu airnya jadi hitam jadi  bisa dibuat tinta. Azisnya malah overacting membuat kelas jadi tambah seru.
 
Saya malah punya beban atas identitas saya ini untuk bisa bergaul dengan bebas.
 
Sampai suatu saat saya diceritai oleh Papa, soal BAPERKI dan Soeharto. Soal perbedaan konsep antara keduanya. Keluarga saya memang banyak mengalami masalah terimbas oleh gejolak politik waktu itu. Engkong saya di tembak mati, Tante saya harus balik ke Tiongkok dan Om saya tidak jadi wisuda karena seminggu sebelum wisudanya, universitasnya di bakar. Ia kuliah di universitas milik BAPERKI, sekarang jadi Trisakti. Baperki punya konsep Integrasi, sedang Soeharto punya konsep asimilasi. Integrasi berarti penyatuan dengan tetap menghormati dan mengakui perbedaan yang ada. Asimilasi berarti semua perbedaan harus dilebur menjadi satu kesatuan yang baru. Makanya kemudian ada Ganti nama, ide menjadi islam (agar lebih meng-Indonesia) dan tindak-tindakan untuk menghilangkan perbedaan demi persatuan itu.
 
Saya memilih untuk mempercayai integrasi. Kesatuan dan Persatuan yang tetap mengakui adanya perbedaan. Perbedaan yang ada merupakan kekayaan yang indah untuk dinikmati bersama. Rasanya dengan konsep integrasi itu, saya menjadi bebas dan ringan. Saya tidak perlu merasa dibebani oleh perbedaan saya dan saya tidak perlu memaksa orang lain untuk berubah juga. Saya cukup menanamkan rasa kebersamaan dengan sesama saya. Dengan ringan juga saya bisa berolok-olok dengan segala perbedaan yang ada. Yang penting adalah perhormatan dan penghargaan yang sama bagi sesama saya.
 
Demikian sharing saya.
(kelanjutannya.....)