29 September 2008

Cerita tentang Kebersamaan

Sejak awal di Dipo, saya cukup tertarik dengan PS KPR. Mereka sering membuat kegiatan yang cukup besar. Sayangnya saya tidak bisa menyanyi dan sulit bagi saya untuk ikut PS. Saya hanya bisa bantu-bantu saat mereka pentas.

Banyak hal yang menarik minat saya, mereka pernah mendekorasi gereja jadi kayak mall (waktu itu Surabaya masih punya TP dan Delta), mereka pernah memindah orientasi jemaat, bukan dengan menghadap mimbar seperti sekarang, tapi kearah balkonnya PS. Terlepas dari benar salahnya tindakan itu, saya jadi tertarik dengan orang yang berani aneh-aneh itu. Ini yang membuat saya selalu ingin membantu kalau mereka punya acara. Sekedar jadi seksi sibuk mereka.

Suatu saat mereka memasang lampu sorot yang cukup banyak dan besar. Saya tidak tahu koq waktu itu tidak ada teknisi yang memasang jalur kabel powernya. Saya tertarik untuk ikut membantu pasang kabel untuk lampu-lampu itu. Dari SD saya sudah senang dengan elektronika dan listrik. Saya belajar sendiri dari buku dan teman saya yang tukang servis radio. Proyek elektronika saya yang pertama, Lampu Strobo (lampu blitz yang bisa diatur nyalanya). Papa yang membelikan kitnya di Surabaya, mungkin Papa saya suka sama lampu itu. Selama mengerjakan proyek itu, puluhan kali saya kesetrum. Mungkin proyek itu sangat berbahaya bagi pemula (papa saya pasti tidak tahu soal ini). Tapi karena itu saya jadi tidak terlalu takut sama listrik.

Lampu-lampu sorot itu, karena dayanya yang besar maka harus dipasang dengan listrik 3 fasa. Listrik 3 fasa adalah listrik yang memakai 4 buah kabel (satu kabel netral dan 3 kabel fasa yang kalau di-tespen nyala), bukan seperti listrik dirumah kita yang kabelnya dua (satu netral dan satu fasa). Saya yang menyambung kabel-kabelnya dan mengutak-atik panel utama gereja yang terletak dibelakang konsistori (sekarang jadi ruang anak). Secara pribadi saya hanya pernah membaca dari buku soal listrik 3 fasa itu. Saya memang mengerti cara perhitungannya dan cara mengukurnya secara teori. Saya tidak pernah mempraktekkan karena memang dulu saya tidak pernah punya saluran listrik 3 fasa. Saat itu saya merasa berani memasang kabel dan memodifikasi panel utama gereja itu, karena ada Arifin yang mendampingi saya. Dia memang tidak melakukan apa-apa cuma mendampingi saja. Saya yakin kalau sampai saya salah pasang, pasti dia yang akan memperingatkan saya. Saya sangat PD aja.

Sesudah pementasan kita membongkar kabel-kabel itu. Saat itulah Arifin bilang, "Daniel, untung ada kamu, kalau aku sendiri tidak berani utak-utik panel ini. Aku tidak ngerti 3 fasa itu." Saya langsung kaget, saya bilang, "lha, saya berani sebab khan ada kamu, tak pikir kamu ngerti soal ini".

Gila, cerita ini baik apa buruk ya....? Kalau dari sisi saya, saya tidak ngawur saat itu. Saya mengerti teorinya. Saya memang hanya butuh teman yang membesarkan hati saya untuk berani bertindak dan Arifin sudah melaksanakan tugasnya saat itu. Saya cuma ingat tentang kebersamaan itu. Kebersamaan yang mampu untuk saling menguatkan.

Salam,
Daniel T. Hage
(kelanjutannya.....)

Kasih

Kasih
 
Sabtu sore saya tiba di Bondowoso, tidak langsung menuju rumah, tapi cangkruk di warung amsle-nya emak mertua. Beberapa orang berbincang-bincang, topiknya mudah saya tebak, pembunuhan di Ngagel Jaya itu. Dasar kota kecil! Saya tidak terlalu minat ikutan karena memang pas capek sekali.
 
Minggu pagi saya mengantar mertua dan istri ke pasar. Saya menunggu di dekat pintu masuk pasar. Melihat banyak hal yang jarang saya lihat, tawar menawar dan salesmanship para pedagang itu sambil pula menyegarkan perbendaharaan bahasa madura saya. Pasar ini terletak dekat dengan Pecinan, tempat toko milik keluarga Januar itu. Toko 99, tidak terlalu jauh dari pintu pasar. Tidak minat dan tidak tega kalau saya harus mengulas pembunuhan itu. Tapi setelah lama saya memikirkan itu, ada hal yang menarik dengan kasus itu.
 
Ia membunuh karena kasihnya pada anak dan istrinya. Ia pasti tidak ingin melihat mereka menderita. Suami dan ayah yang baik yang tidak ingin istri dan anaknya menderita. Saya salut dan bisa memahaminya. Demi kasihnya itu, ia berani membayar dengan harga yang sangat mahal. Hanya karena kasih.
 
Tapi mengapa akhirnya masyarakat tidak bisa menerima keadaan ini? Yang salah masyarakat atau dia yang menjadi produk masyarakat itu? Saya hanya mampu merefleksikannya dengan apa yang ada dibenak saya. Lingkungan kecil saya, gereja. Apa yang gereja sudah lakukan dan bisa untuk dilakukan lagi?
 
Gereja memang selalu mendengungkan soal kasih. Apa kasih itu? Kasih yang bagaimana? Kasih itu sesuatu yang Indah. Dimana keindahan kasih itu?
Masyarakat yang Hedonis (pengejar kenikmatan hidup), membawa gereja untuk menyediakan berita penunjang gaya hidup itu. Saat masyarakat tergila-gila dengan ide kesuksesan, gereja sanggup menyediakan ajaran bahwa kita punya allah yang mau kita jadi orang sukses. Walaupun kita harus mereduksikan kesuksesan itu dengan nilai-nilai finansial. Kasih itu direduksikan menjadi kemauan untuk memberikan segala yang nikmat bagi sesama kita. Dirumah, kita terbiasa membuat anak kita tidak menangis. Bila jatuh, yang disalahkan lantainya, ada kodoknya lah. Bila minum obat, ditipu... ini permen koq, ini enak koq. Mengapa kita tidak terbiasa dengan ketidaknyamanan? Dunia ini kejam dan kita perlu menyiapkan diri menghadapi kekejaman itu. Saat jatuh, ya memang sakit, makanya perlu hati-hati. Saat minum obat, ya memang pahit dan tidak enak, tapi ini harus diminum agar sembuh.
 
Dimana letak kasih di saat ada ketidaknyamanan itu? Kasih itu ada di dalam kebersamaan kita ini. Kita siap menemani anak yang menangis karena kesakitan akibat jatuh. Saat anak itu minum obat, ada teman yang menemani. Saat ada badai keuangan menerpa kita, kita merasakan kasih saat ada teman yang menemani kita. Bisa jadi bukan berarti teman itu bisa mengutangi kita, dia sekedar menemani saat banyak teman menghilang. Itu kasih kita sebagai sesama. Kita melakukan bagian kita sebagai manusia. Biarlah Tuhan yang bekerja disisi Tuhan. Kalau Tuhan itu Maha Kuasa, Dia pasti bisa dipercaya untuk menuntun kita dan menyiapkan kita keluar dari masalah itu.
 
Keindahan kasih itu, apa bisa dilihat dengan hakiki? Tetap indah walaupun kita menderita secara finansial. Tetap indah walaupun menderita secara jasmani (sakit). Tantangan gereja untuk menyediakan kasih dengan hakiki melalui ajaran dan jemaat binaannya.
 
Bondowoso, 29 September 2008
 
Salam,
Daniel T. Hage
(kelanjutannya.....)

22 September 2008

Lha mau apa lagi?

Bisa jadi saat ini kita sudah harus mulai berpikir tentang program yang akan dibuat untuk tahun mendatang. Kita menyadari bahwa sesuatu yang baru atau inovatif itu mungkin akan dapat meningkatkan peran serta jemaat ditiap kegiatan mendatang. Tapi apa benar kita memang mau berpikir tentang program yang baru? Bukankah di tiap tahun, Tema Program Pelayanan bisa berbeda dan bertambah indah, tapi kegiatan pelayanan kita tetap sama saja. Partisipasi jemaat tetap begitu-begitu saja. Kegiatan terasa kurang ada gregetnya. Kita selalu berhadapan dengan pertanyaan: Lha mau apa lagi?

 

Kita berpikir bahwa inovasi itu milik semua komisi dan panitia di lingkungan gereja kita. Semua komisi dan panitia harus kreatif mengembangkan tema sentral yang dibuat oleh majelis jemaat. Mereka harus punya segala yang baik yang dibutuhkan dan disarankan oleh buku-buku manajemen dan pengembangan diri. Rata-rata mereka pasti sudah tahu tentang hal itu. Masalahnya apakah mereka mampu melaksanakan semua itu. Mereka pun akan bertanya: "Lha mau apa lagi?"

 

Banyak gereja diawal pembuatan program kerja tahunan hanya berhenti sampai membuat tema utama. Kemudian semua kegiatan diharapkan akan menyesuaikan dengan tema sentral itu. Kita akan bangga bahwa tema sentral itu sudah dibuat dengan indah seakan Repelita dan Pelita di jaman Suharto, sudah lengkap dan indah tinggal penjabarannya saja. Hal ini baik, tapi apa yang ada di lapangan? Partisipasi jemaat tetap tak ada perubahan yang berarti. Lha mau apa lagi?

 

Pernahkah kita mencoba memulai manajemen pelayanan kita dengan Manajemen Proyek? Kita tentukan suatu proyek yang cukup besar untuk bisa dilakukan oleh semua komisi dan lapisan jemaat di gereja kita. Suatu contoh kita akan membuat proyek: Perayaan Natal yang meriah di akhir tahun mendatang. Proyek ini bukan tujuan pelayanan kita. Proyek ini adalah alat mencapai tujuan utama pelayanan kita. Tujuan pelayanan ini kita tentukan sesuai dengan Tema Utama kita. Segenap jemaat harus berpartisipasi pada proyek ini. Yang bisa nyanyi akan mempersiapkan paduan suara atau vocal group. Yang bisa dekorasi akan mempersiapkan tata panggungnya. Yang bisa berdoa akan masuk dalam Tim Doa. Yang bisa masak akan mengisi komsumsi ditiap acara latihan dan kegiatan pendukung. Majelis akan membuat proyek ini melibatkan semua jemaat, sehingga pembinaan akan berjalan mengisi kebutuhan disana.

 

Ketika suatu kerja besar dipersiapkan pasti akan terjadi masalah, disinilah pembinaan jemaat akan berlangsung. Kita dibina untuk memaafkan dan meminta maaf, kita akan tahu untuk tidak sombong atau belajar bergaul dengan orang sombong. Proyek ini harus cukup  besar untuk bisa menampung semua lapisan jemaat. Para lanjut usia pun bisa berperan sebagai komunikator ke orang tua murid sekolah minggu. Pemuda dan remaja bisa disatukan dengan menjadi tim perlengkapan atau antar jemput latihan.

 

Proyek itu bisa juga Pelayanan Anak yang Holistik. Guru sekolah minggu akan menjadi guru pembimbing. Pemuda bisa memberikan les matematika. Ibu-ibu bisa memasak untuk program perbaikkan gizi. Jemaat yang sibuk bisa masuk ke tim doa malam. Bahkan yang tidak bisa apa-apa bisa juga dapat berkomitmen untuk datang menjadi pendamping para anak asuh. Bisa juga ada jemaat yang mau setia mempersiapkan ruang kegiatan itu dengan cuma menyapu atau mengepelnya. Terlalu sepele atau malah merendahkan? Nah, disini pembinaan akan masuk dengan konsep dan arti melayani. Melalui proyek ini segenap jemaat diharapkan bisa berpartisipasi dengan segala sifat baik dan sifat buruknya. Tim pembina kerohanian akan bertanggung jawab mengisi kebutuhan pembinaan yang ada, termasuk juga belajar untuk menyelesaikan konflik yang akan tumbuh di dalam kebersamaan itu.

 

Dengan manajemen proyek ini, dibutuhkan orang yang mau berkomitmen kuat. Disini jemaat akan belajar tentang pelayanan itu sendiri. Yang penting bukan sekedar berhenti dengan membuat Tema Utama, tetapi mari kita cari sebuah kegiatan yang bisa memayungi kita untuk mencapai tujuan utama kita. Dengan melayani, kita akhirnya bisa belajar melayani.

(kelanjutannya.....)

Kenakalan

Lahir baru bisa berarti hidup baru. Hidup dengan segala sifat baru dan meninggalkan sifat lama yang dirasakan sudah usang. Bisa jadi memang membawa beban baru. Lahir baru banyak menuntut dengan segala gambaran kebaikan yang harus kita lakukan. Beban berat untuk melakukan itu biasanya kita sadari sebagai salib yang harus kita pikul.

Ada suatu masa di hidup saya, dimana saya mengalami krisis identitas paska lahir baru itu. Beban untuk menjadi anak baik terasa begitu tidak enak dan "compatible" dengan saya. Saya anak yang suka iseng dan clometan. Saya suka buat banyak hal yang mungkin membuat keonaran. Suatu siang saya pernah diskusi dengan seorang teman ,"Eh, sekarang ini kelas lagi sepi-sepi aja, kita buat apa ya.... biar rame?" Besoknya kelas heboh karena ada seorang cewek yang terima surat cinta entah dari siapa...... Tidak ada yang tahu siapa pengirimnya.... sayapun tidak berharap dia tahu, yang saya nikmati cuma kehebohan kelas itu saja. Sayapun bisa berenang dengan semua gaya dengan baik. Saya mampu "selulup" di ujung kolam renang yang 50 meter dan muncul di ujung yang lain. Saya berlatih berenang bukan karena suka berolah raga, cuma karena merasa enak saja kalau bisa mengganggu teman di kolam renang. Saya pernah buat alat yang kalau orang berjabat tangan dengan saya dia kesetrum. Belum lagi saat ada tetangga teman saya (orang arab), hobinya menyalakan radio dengan suara keras dan lagunya irama padang pasir yang "aneh itu". Kita berpikir bagaimana caranya buat alat untuk mengganggu dia. Maka jadilah alat yang kalau dipasang...... radio dia jadi bunyi "krosok-krosok krosok ........".Lahir baru menjadikan saya harus meninggalkan kelakuan itu dan menjadi anak alim. Hal ini banyak menyiksa saya.

Sampai suatu saat saya mendengar tentang ide "Be Yourself". Menjadi diri sendiri. Ide ini menjadi begitu pas dengan saya yang capek untuk menjadi anak yang alim. Saya kemudian mengambil sikap untuk tetap jadi "anak nakal tapi bukan anak kurang ajar". Saya mulai memilah mana yang nakal dan mana yang kurang ajar. Saya pingin tetap nakal karena untuk menjadi nakal itu dibutuhkan kreatifitas dan kecerdasan, bukan kurang ajar yang konotasinya vulgar dan tidak terpelajar. Kalau ngerjai teman itu kreatif.... kalau memaki dan mengumpat itu kurang ajar..... Itulah yang kemudian saya jalani. Suasana ini menjadikan saya bisa jadi orang kristen yang tanpa beban. Walaupun batas antara kenakalan dan kekurang-ajaran itu sangat tipis.

Sekarang saya masih tetap nakal. Saya sering mengejek teman.... mencemooh dia.... melecehkan dia.... Apa saya kurang ajar?
Saya pernah satu kantor dengan seorang teman yang terlalu "lemah". Bos kita orangnya terlampau "kuat". Bos kita sering marahi dia..... menekan dia..... Padahal saya tidak pernah dibegitukan. Kalau teman ini salah, pernah dipotong gajinya..... Ah, terlalu kejam menurut saya. Saya lalu rajin menggoda dia, menggangu dia, mengejek dia. Teman ini memang sakit hati dengan saya, tapi saya tahu dia terlalu lemah untuk berani melawan saya. Kalah hawa! Hal ini berjalan berbulan-bulan, sampai suatu sore. Saat itu saya menggoda dia lagi, lalu dia mengambil helmnya dan memukulkannya ke saya. Saya menghindar tapi masih kena juga. Jari kelingking saya bengkak. Cukup sakit, tapi saya senang karena dia sudah berani melawan orang yang mengoda dia. Setelah itu dia selalu berani melawan saya. Saya senang sebab sekarang ia telah berubah. Sayapun sering melecehkan seorang teman karena kekurangannya, handycap-nya. Saya melakukannya kadang di depan teman-teman yang lain. Kelihatannya kurang ajar dan vulgar. Saya menjadikan kelemahannya menjadi bahan guyonan bersama. Mungkin ini menyakitkannya. Saya terus dan sering melakukan itu sampai hal itu sudah tidak ng"efek" lagi ke dia. Dan dia terbiasa dengan guyonan itu dan tidak minder atas kelemahan itu. Malah dia yang membalas dengan mengejek kelemahan saya.

Saya melakukan itu karena saya yakin akan suatu prinsip, "cara mengobati luka adalah dengan cara sering menyentuh luka itu". Sentuhan pertama mungkin akan membuatnya berdarah lagi, setelah kering sentuh lagi, mungkin sakit sekali tapi sudah tidak berdarah sebanyak yang lalu. Entah pada sentuhan keberapa.... luka itu sudah jadi bebal dan kebal. Sudah tidak terasa lagi kalau itu pernah luka. Menyentuh luka orang lain, berani? Tidak semudah itu! Saya berani kalau saya yakin orang itu tahu benar kredibilitas kita. Kita sudah berteman baik. Bisa jadi dia marah, tapi dia masih sungkan untuk menampar saya. Kalau tidak begitu mungkin saya sudah biru lembam, babak belur digampar banyak orang. Kredibilitas itu juga muncul saat orang lain tahu bahwa kita bukan cuma sekedar suka mengganggu tapi juga mau diganggu dan dikerjai oleh orang lain.

Suatu sore saat saya pulang kerja, anak saya menyapa, "Halo Papa si Tupai". Saya jawab "Halo..." Saya berpikir lama maksud sapaan dia itu..... Karena tidak ketemu juga, saya tanya sama dia, "lho Tupai itu maksudnya apa?" Dia menjawab, "Lha, Papa khan giginya kelihatan dua.... kayak Tupai......" Haaaaaaa? Saya semakin yakin dia memang anak saya (tidak ketukar di Rumah Sakit), sebab khan DNA-nya aja sudah sama.


Salam,
Daniel T. Hage

(kelanjutannya.....)