Sudah dua tahun lebih ini saya melayani Jasa Kedukaan milik GKI. Bidang pelayanan yang tidak terpikirkan sebelumnya, dan kalau ini pilihan, mungkin tidak akan pernah saya pilih. Pengalaman kehilangan Mama di masa kecil menjadikan saya kurang senang melihat jenasah dan kedukaan. Bukan takut, hanya kurang suka saja.
Awalnya saya ditawari menjadi pengurus Yayasan di lingkup GKI. Lalu Yayasan ini mendirikan layanan baru, Amerta Memorial Services, Jasa Layanan Kedukaan. Ini memang dasarnya adalah bisnis tapi karena di bawah gereja maka konsep bisnisnya sedikit beda. Harus mendapat keuntungan, agar layanan ini bisa berkembang menghidupi dirinya sendiri. Juga tetap melayani layanan gratis Diakonia Gereja. Ini bukan karena uang banyak yang dimilikinya yang bisa diberikan dalam bentuk layanan Diakonia. Kita cuma sekedar menjadi saluran berkat. Ada jemaat yang rela berdonasi, kami yang menyalurkannya kepada yang membutuhkan.
Seperti jiwa GKI yang selalu mau jadi berkat buat sesama, maka layanan ini melayani semua orang. Memang utamanya jemaat GKI, tetapi juga jemaat gereja lain, bahkan umat beragama lain yang membutuhkan layanan kedukaan. Saya mulai tertarik dengan layanan kedukaan saat masa pandemi. Saat itu saya baru tahu bahwa meninggal itu juga tidak mudah. Saat itu ,saat keluarga bersedih karena kehilangan, masih juga bingung karena ambulan dan peti mati sulit didapatkan. Saat itulah saya tergerak mencarikan peti mati, meminta teman untuk mau membuatkan, merubah mobil gereja jadi ambulan untuk membawa jenasah. Ternyata walau hidup itu bisa susah, tapi mati itu juga susah.
Banyak cerita menarik sepanjang melayani ini. Walau saya Tionghoa, saya tahunya lidi Hio itu berwarna merah. Saat kita melayani umat Khong Hu Cu, Pendetanya marah karena hio yang saya sediakan warnanya merah, bukan hijau. Harus hijau karena almarhum sudah berusia sangat lanjut. Saya hanya diberitahu untuk menyediakan hio dan saya tidak mengerti soal aturan warna itu. Lebih lagi saat prosesi pemakaman, dari tempat persemayaman menuju pemakaman harus naik ambulan. Ambulan baru kita ber-AC. Rekan yang bertugas berpikir bahwa di mobil berAC tidak boleh merokok, maka dipikirnya tidak boleh juga ada asap hio, maka dimatikanlah hio itu. Pak pendetanya marah lagi, Hio harus menyala terus sepanjang perjalanan.
Karena merasa perlu belajar banyak tentang ritual kedukaan agama lain, saya beberapa kali janjian bertemu dan mengobrol dengan Pak Pendeta itu. Inipun jadi menarik, karena harus cari tempat yang vegetarian. Setelah cukup akrab, saya mulai berani bicara apa adanya, ”Koh, maaf ya semua kesalah-kesalahan yang lalu, tapi tolong saya diajari biar gak salah-salah lagi.” Yang mengejutkan, Beliau menjawab ,”Daniel, gitu itu gak masalah, saya pernah sudah siap mau melarung abu di Perak, ternyata abunya ketinggalan!” Beliau menyebut nama Perusahaan kedukaan yang sangat terkenal. Yah, memang yang ingin selalu saya tekankan di Amerta. Kita boleh salah, tapi harus mau selalu dikoreksi dan siap memperbaiki diri. Makin lama melayani harus makin baik, bukan memelihara kebebalan.
Pelayanan memang bagian dari persembahan di hidup ini. Tapi melalui pelayanan, Tuhan juga makin memperlengkapi. Banyak hal saya yakini bisa saya dapatkan karena saya pernah belajar hal itu di pelayanan. Belajar melayani orang berduka, baru saya pelajari di Amerta ini. Belajar membangun tim kerja yang berbudaya kerja “Berubah oleh Pembaharuan Budi” juga saya pelajari di Amerta ini.
1 komentar:
Menginspirasi, intinya niat tulus akan selalu ada jalan, dan Tuhan yg akan menuntunnya
Posting Komentar