27 Maret 2021

Kasus

Saya pernah pingin bisa sekolah S2. Saya pernah mencoba menanyakan tentang biayanya, katanya setara dengan gaji saya setahun waktu itu. Itu yang membuat saya mengurungkan  niatan waktu itu. Mahalnya biaya sekolah S2 itu yang membuat saya bertanya kira-kira apa ya yang dipelajari di S2? Katanya… katanya.. dan memang katanya karena saya khan cuma mendengar omongan orang. Studi S2 itu banyak belajar kasus-kasus. Bisa juga membuat thesisnya tentang studi sebuah kasus. Wih, enak juga. Karena memang banyak kasus di sekitar yang bisa digunakan.

 

Saya ingat dan melihat, memang mempunyai banyak perbendaharaan kasus itu sangat berguna bagi saya. Kasus-kasus yang muncul disekitar ini perlu banyak diingat dan dikumpulkan dalam memori ini. Semakin banyak kasus yang diingat akan semakin bermanfaat. Manfaatnya apa? Hanya memenuh-menuhi memori pikiran saja? Pasti tidak! Salah satu yang sempat terlihat adalah, dengan mempunyai banyak perbendaharaan kasus tentang masalah di sekitar saya, saya bisa memanfaatkannya dengan menggunakan kasus-kasus itu. Saat ada orang lain yang mengungkapkan kesalahan saya, saya akan dengan mudah mengeluarkan perbendaharaan kasus di memori untuk melawan pengungkapan itu. Saya jadinya tidak perlu meminta maaf akan kesalahan saya, tetapi cukup mengungkapkan kasus tandingan seakan untuk mengatakan, “Orang lain aja juga salah, koq saya dipersalahkan!” Bisa juga dengan banyaknya perbendaharaan kasus di memori ini, saat ada kesalahan saya yang diungkapkan, saya tinggal menanyakan, ”Siapa yang mengatakan hal itu?” Lalu dengan adanya perbendaharaan tentang kasus sang pengungkap itu saya bisa balik bercerita tentang kasusnya dan selamatlah saya dengan jurus, ”Buat apa saya mendengarkan perkataan dia, dia aja melakukan kasus bla, bla, bla-bla” Rasanya memori untuk kasus itu memang indah untuk ditingkatkan perbendaharaannya.

 

Untungnya kini musim Disrupsi. Belajar S2 kini terdisrupsi juga. Di jaman sekarang ternyata muncul aplikasi edX, Coursea, Udemy juga banyak lagi lainnya, yang memberikan fasilitas belajar On-line, bahkan untuk yang setaraf S2. Memang harganya sudah lebih terjangkau karena ini daring. Tapi bisa juga gratis di beberapa tempat asalkan tidak meminta sertifikat bukti kelulusan. Bagi saya yang cuma suka belajarnya saja, hal ini sangat menarik. Ilmu Gratis! Dengan inilah saya bisa mencicipi belajar yang dulu pernah saya impikan. Belajar tentang kasus! Lalu… lalu… lalu…? Ternyata lalu lalang kasus yang saya lihat tidak seperti yang saya lihat sebelumnya. Banyak kasus memang diungkapkan, namun kasus itu untuk dipelajari dengan detail esensi masalah dan latar belakangnya, dikupas mendalam bukan untuk mengungkap siapa pelakukanya dan bagaimana pelaku itu bisa disudutkan, melainkan dengan harapan sang pembelajar kasus itu mengerti. Kasus itu bisa memberikan pencerahan untuk dunia yang lebih baik. ooooo…. Ternyata belajar kasus yang benar itu adalah untuk mempelajari esensinya agar mencerahkan langkah-langkah di depan nanti, bukan untuk menciptakan kegelapan tandingan guna menutupi kesalahan masa lalu saya.

 

Waduh, berarti harus saya bagaimanakan modus-modus menyembunyikan kesalahan selama ini? Paling tidak modus-modus masa lalu itu sudah bisa dijadikan bahan studi kasus bagi siapapun yang mau belajar menghidupi panggilannya dan mau menghidupi pembaharuan budinya.

 

(kelanjutannya.....)

11 Maret 2021

Cetar Membahana

Menjadi terkenal mungkin juga ada di keinginan saya. Kebutuhan untuk menjadi orang yang bisa melakukan Pansos, panjat sosial, social climbing, bisa jadi juga mulai merasuki saya. Membangun citra yang bagus sebagus-bagusnya di hadapan orang lain bisa jadi muncul di benak saya. Tapi siapa saya? Rasanya cuma orang biasa, prestasi juga gini-gini saja. Lalu apa yang bisa membumbungkan nama saya? Kerja keras! Itu kata buku dan nasehat para pendahulu jaman dahulu. Mungkin itu benar, tapi bagaimana harus bekerja keras lagi, sementara faktor U, usia, sudah tidak bisa kompromi lagi.

 

Ada jalan lain di mana saat kerja keras dan prestasi enggan saya lakukan untuk membahanakan nama saya. Saya pernah baca buku Edward de Bono, ahli cara berpikir. Ada konsep berpikir lateral. Memikirkan cara lain yang beda dengan cara awam yang umum dan lazim. Cara yang sama efektifnya mengapai kecetaran. Saat saya sulit mencapai posisi yang di atas, saya bisa jadi yang di bawah, tapi enak. Di bawah namun nikmat! Saat tidak bisa menjadi pelaku prestasi, saya bisa berposisi sebagai orang yang di bawah dan dibawahkan. Saya berposisi sebagai orang yang selalu dibuat menderita oleh pihak lain atau sistem yang ada. Betapa nelangsa dan prihatinnya keadaan saya ini, akan membawa saya ke posisi tinggi melalui simpati orang lain. Para netizen 062 katanya pernah menobatkan Bapak Prihatin se jagad, yang cara menarik simpati khalayak bukan dengan prestasinya tapi dengan ungkapan keprihatinannya. Belum lagi ada meme medsos yang berani bilang, “Di Myanmar ada kudeta, di sini ada yang menyamar dikudeta”. Caranya bisa jadi dengan banyak mengeluh tentang sistem yang zolim ini, yang selalu mengorbankan saya. Tapi saya harus konsisten dengan strategi kerendahan hati semu yang terpelihara. Biarlah saya terus menderita, jangan ada yang mengaudit penderitaan saya, nanti ketahuan kebohongan itu. Jangan sampai lho ada yang berusaha memperbaiki sistem yang saya keluhkan kezolimannya ini. Kalau ini diubah malah akan merepotkan saya untuk memikirkan skenario lain lagi. Biarlah ini sudah jadi suratan takdir saya, ini mantra sakti saya. Menjadi di bawah dan dizolimi tidak selalu merana, kadang itu nikmat yang bisa membahanakan kecetaran.

 

Mendaki tinggi memang bisa lewat jalan atau merintis jalan yang ada maupun yang belum ada. Lagi-lagi dengan Lateral Thinking, mendaki tinggi bisa dengan menginjak bahu orang lain. Ini juga konsep bagus di acara lomba panjat pinang Agustusan. Saya rela diinjak bahu saya agar rekan lain bisa menggapai hadiah yang tersedia di ujung atas batang pinang itu. Tapi itu cuma di Agustusan saja, bagaimana kalau itu di bulan-bulan lain di sepanjang tahun dan sepanjang event kehidupan yang bukan panjat pinang? Saat saya tahu ada orang yang membutuhkan bantuan dan saya juga bisa tahu orang-orang yang suka berderma, saya bisa menghubungkan dua pihak ini dengan baik. Ini hal yang bagus. Yang berderma bisa senang menyalurkan kebaikannya dan yang menerima juga tertolong dan terbantu dengan kebaikan itu. Saya bisa berpansos dimana? Ya saat saya lupa akan prinsip akuntabilitas. Saya dipercaya orang karena ada entitas organisasi yang menaungi saya. Mereka menyalurkan dana bukan semata oleh karena saya tetapi nama besar organisasi yang menaungi saya. Jadi sewajarnya bila saya menyalurkan kebaikan itu lewat entitas itu dan entitas itulah yang akan menjamin akuntabiltas ketepatan pengggunaannya. Saya bisa pakai strategi pertama untuk marah, dengan bilang,”Yang ngasih aja gak protes koq orang lain protes!” Tapi saya bisa tahu diri saat, ternyata koq bisa ada rekan lain yang tahu ya? Berarti memang pihak terkait itu membutuhkan akuntabuilitas dan periksa ulang akan kebaikan yang dilakukannya. Saya tetap bisa bersembunyi pakai cara korban ketidakpercayaan, padahal saya lagi mencuri kemuliaan entitas di atas saya. Harusnya memang bukan nama saya yang muncul, tapi nama organisasi dan biarlah bantuan itu tersalur melalui organisasi ini. Pokoknya, saya akan tersinggung dan biarlah saya pergi saja. Tapi jangan ditantang ya… sebab kalau saya malah ditantang untuk pergi, kasihanilah saya karena saya malah akan kehilangan panggung saya. Namanya saya juga pingin cetar membahana.

 

Lalu harus sampai segitunyakah saya menghidupi jalan-jalan saya? Dulu waktu SD saya pernah ikut lomba menghafal ayat alkitab, salah satunya yang masih teringat di benak saya adalah “Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil” Yohanes 3:30. Angka tiga dan angka tiga puluh itu membuat saya tetap ingat akan isi makin besar dan makin kecil itu. Buat apa saya harus cetar membahana?

 

(kelanjutannya.....)

Arisan

Seumur hidup saya tidak pernah ikut arisan. Kata ini tiba-tiba muncul saat presentasi dana perumahan emeritus para pendeta GKI Jatim. Kebetulan memang saya diajak ikut memikirkan hal ini, walaupun saya ketiban sampur soal Dana Pensiunnya. Saat masalah PSL (Past Service Liability) menyeruak, kita harus memikirkan ulang dan mencari terobosan mengatasinya. Muncul ide untuk tetap memberikan jatah yang menjadi hak Pendeta emeritus pada waktunya, tetapi kekurangan dari jumlah yang sudah tertabung tetap harus diangsur hingga lunas, tanpa memikirkan bunganya. Ada jemaat yang komplain, “Waduh, masih harus mengangsur sampai sekian tahun ya?” Saat itulah ide dan konsep arisan itu muncul. “Ya, seperti ikut arisan. Kalau mendapat di awal, tetap harus membayar hingga mencukupi dengan jumlah nilai arisan itu” Inilah momen dimana kata arisan itu muncul di benak saya.

 

Teringat juga bahwa dulu katanya, arisan itu aktivitas ibu-ibu. Arisan Ibu-ibu PKK, arisan ibu-ibu se RT/RW, atau arisan ibu-ibu sosialita. Alkisah di arisan itu banyak hal bisa dibahas, ada demo panci, ada jualan perhiasan, hingga gosip dan rumpi. Rasanya seru juga ya, banyak the untold story yang menarik. Di arisan ini mungkin saya bisa mendengar tentang berita bahwa ada kegiatan perbaikan gedung yang sebenarnya dilakukan dengan barang bekas. Lalu semua mata menyorot seakan-akan ini fakta yang bisa dibawa ke KPK dan mengarah pada kegiatan tangkap tangan yang heboh itu. Seakan-akan ada skandal penggunaan bahan bekas, dalam renovasi yang terjadi. Yang cerita bisa jadi memang benar. Yang mendengar juga bisa benar terkejut dan terbelalak seakan tercerahkan akan fakta terselubung. Dan suasana jadi meriah entah mau bergulir kemana. Lalu asumsi dan prediksi bisa tergoreng renyah. Runyam bila terdengar oleh pelaksana perbaikan itu. Beliau berani diaudit kalau tidak ada bon pembelian barang bekas itu. Dan tambah runyam bila sang penyumbang material itu mendengar, dikiranya berkomplot, padahal beliau berniat tulus dan ikhlas memberikan material bongkaran gedungnya yang masih sangat layak itu untuk dipakai ulang. Niatan baik yang sengaja tak dipublikasikan itu, ternyata bisa disorot jadi bahan meriah di arisan. Mungkin kalau saya ada di arisan itu, saya bisa ikutan menggoreng kisah seru ini. Atau, beranikah saya mengatakan fakta benar yang ada? Apa saya berani menderita dimassa oleh seantero penghuni arisan itu?

 

Di arisan bisa juga saya berlatih melempar isu kedekatan seseorang dengan pemilik bengkel. Lalu dengan berbisik, mulai dibuka dengan kesimpulan ala detektif, “Makanya disuruh ke bengkel itu, khan karena bengkel itu bisa mengeluarkan bon kosongan,” Ide yang bisa membakar lahan kering. Lahan kering yang tidak biasa disegarkan oleh ide sederhana cek dan ricek untuk tiap fakta ala detektif. Kalau saja saya suka menyelidik, harusnya saya mengasah ketrampilan ini dengan menyelidik dengan tuntas dari hulu ke hilir. Dari yang katanya mengeluarkan bon hingga yang berwajib menerima bon sebagai laporan itu. Dari investigasi bentuk bon, stempel, warna tinta bolpen, bentuk tulisan, penandatangan, hingga mungkin sidik jari di bon itu. Tapi apa daya kalau saya ini multi talent, pingin jadi detektif tapi pingin juga jadi host acara Fox Crime. Apa gunanya saya menyelidik kalau saya tidak terkenal dan mendapat manfaat pribadi atas penyelidikan itu?

 

Andaikan saya bisa jadi peserta arisan, saya komit dan saya berjanji deh! Saya berjanji untuk mengajarkan ke semua peserta arisan untuk cek dan ricek terhadap semua kisah, cerita dan berita yang bergentayangan. Jangan sungkan mengujinya. Jangan terbius oleh siapa pembawa kisah itu. Makin terhormat saya sang pewarta ghosting itu, makin mampu saya diuji kehakikian kebenaran yang ada di mulut saya. Mulut orang benar mengeluarkan hikmat, tetapi lidah bercabang akan dikerat.

“Oiiii… jangan menuduh kelompok arisan yang bukan-bukan ya!!” oh, ampunilah saya Buk Ibuk seantero jagad arisan… Aaammpun….

 

(kelanjutannya.....)