29 November 2013

Temperamen yang Diubahkan

Judul ini adalah judul sebuah buku yang pernah saya baca waktu SMA dulu. Buku karya Tim LaHaye yang bertutur tentang empat macam temperamen manusia: Koleris, Melankolis, Flegmatis dan Sanguinis. Setelah lewat puluhan tahun, isi buku ini menjadi sangat menarik untuk saya ingat kembali. Saya mengenang apa ada perubahan temperamen dalam perjalanan hidup saya?
 
Dulu saya bersekolah di SD YPPI Sulung, sekolah swasta yang sangat egaliter. Kita tidak berseragam tiap hari. Hanya hari Senin saja kita berseragam putih abu-abu untuk mengikuti upacara bendera. Pelajaran agamanyapun dipisah. Ada Kristen, ada Khonghucu. Saya bersekolah di sana hingga kelas empat. Beberapa guru kelas masih saya ingat, guru kelas mengajar semua mata pelajaran kecuali Agama, Olahraga dan Kesenian. Kelas empat mama saya meninggal dan saya harus pindah ke Bondowoso.
 
Kelas lima di Bondowoso, memberi banyak perubahan. Di sekolah Katholik ini pelajarannya diajarkan oleh guru yang berbeda-beda. Di kota kecil ini saya lebih bebas, bisa belajar bermain layang-layang, bersepeda, berenang. Yang paling menarik waktu itu adalah saat menerima raport cawu (catur wulan bukan semesteran) pertama. Di raport itu ditulis rangking semua anak, tidak seperti di Surabaya dulu. Dulu saya tidak tahu berapa rangking saya, yang saya tahu hanyalah bahwa saya tidak pernah rangking satu. Dulu hanya yang yang rangking satu yang diumumkan. Di raport cawu pertama itu ditulis bahwa saya rangking lima di kelas. Saya senang karena saya baru sadar kalau saya ini lumayan pintar. Sebelum-sebelumnya saya selalu merasa biasa-biasa saja. Tidak pernah rangking satu dan tidak pernah tidak naik kelas, biasa saja. Apalagi tulisan saya jelek, nilai ulangan saya sering dikurangi karena alasan itu. Mulai di Bondowoso itu saya mulai merasa kalau saya lumayan pandai, walau sampai lulus SD saya tetap tidak rangking satu.
 
Saat masuk SMP, saya mengenal seorang guru Fisika idola. Beliau guru baru, baru lulus dari Gajah Mada Yogyakarta. Beliau mengajar dengan sangat enak dan tulisannya sangat bagus. Diapun menuliskan rumus dengan sangat menarik, diberi kotak dan warna yang berbeda. Ini membuat saya menyenangi Fisika yang baru saya kenal di SMP itu. Beliau sangat akrab dengan para siswa terutama di luar kelas. Kekaguman saya  mengakibatkan juga ada kelemahan Beliau yang juga mulai menular pada saya. Beliau sering memaki murid yang kurang paham menyelesaikan tugas darinya. “Gob**k”, “Mana ot*kmu”, “M*t*mu”, itu kata-kata yang juga mulai sering saya gunakan. Bukan cuma kepandaian dia yang saya terima, tetapi perangai buruknya juga. Saya lulus SMP dengan rangking 2. Di SMP itu kepercayaan diri akan kepandaian saya tumbuh, walau itu juga tercemari dengan perasaan sombong dan mudah merendahkan orang lain. Bisa jadi ini terpacu juga dengan pembawaan saya sebagai anak laki-laki tertua yang memang sangat dominan.
 
Saya masuk SMA  Negeri di Bondowoso. Sekolah Menengah Persiapan Pembangunan (SMPP), sebuah sekolah percontohan saat ada wacana untuk membuat SD menjadi delapan tahun dan SMPP empat tahun. Papa saya berharap saya bersekolah di SMAK Frateran Surabaya, tetapi tahun itu, mulai ada PMDK, program masuk universitas negeri tanpa test. Dari Frateran ada sembilan siswa yang diterima PMDK dan SMPP Bondowoso juga sembilan. Saya berpikir, pasti mutunya samalah, buat apa sekolah jauh-jauh. Di sekolah negeri itu komposisi teman-teman saya berubah. Teman saya sebagian besar pribumi dan saya mulai menyadari kondisi minoritas saya. Kondisi ini baik untuk menekan saya tidak mudah berkata-kata dengan kasar. Di SMA semua talenta saya bertumbuh dengan cepat. Sayapun makin percaya diri dan makin berkemauan untuk belajar dengan giat. Di SMPP itu saya berjumpa dengan banyak anak pandai dari semua SMP negeri di Bondowoso. Persaingan itu membuat saya belajar dengan sangat giat. Menjelang EBTANAS saya bisa belajar lima jam sehari diluar jam sekolah. Sebuah persiapan berbulan-bulan yang berat. Saya lulus SMA dengan nilai tertinggi se Kabupaten Bondowoso. Hasil ini makin menambah percaya diri saya.
 
Kuliah di ITSpun nilai saya lumayan, tapi tidak bisa menjadi yang terbaik karena saat itu saya harus kuliah dan bekerja. Saya merasa adik saya tidak sepandai saya, jadi saya berharap dia kuliah saja dan saya yang bekerja sambil kuliah. Hal yang menarik mulai terjadi. Dari begitu banyak pekerjaan saya,
hampir semua pekerjaan yang saya geluti adalah menjadi sales. Pernah sales komputer, peralatan teknik, dan permesinan. Pernah satu kali saya pingin melamar ke suatu perusahaan besar dan saya ikut psikotest. Itu adalah satu-satunya pengalaman psikotest saya, dan rasanya itulah penyebab kegagalan saya diterima di perusahaan itu.  Setelah test tulis, ada test menggambar. Saya disuruh menggambar orang, karena tidak bisa menggambar wajah, maka saya gambar orang dengan tampak dari belakangnya. Setelah itu saya di suruh memberi judul gambar itu. Entahlah, saat itu saya kumat isengnya, maka gambar itu saya beri judul “Yang Jaga Test Ini”. Maka hilanglah kesempatan saya untuk bekerja di luar bidang sales.
 
Saya pernah bercita-cita untuk menjadi dosen, tetapi karena gaji yang tidak sesuai dengan tingkat kebutuhan saya saat itu maka saya tidak berani menjalaninya.
 
Bekerja sebagai sales membuat saya harus menerima jargon “Pembeli adalah Raja”. Saya harus belajar merendah dan membuat pelanggan saya merasa senang. Ini sulit sekali karena terkadang saya merasa pandai dan lebih pandai dari banyak orang itu. Sebagai sales saya juga belajar untuk berbasa-basi dan mengambil hati orang lain. Hal yang berbeda dengan kondisi hati bawaan saya.  Saya juga sulit bergaul dengan mudah. Saya cenderung tidak peduli dengan orang lain. Sales membuat saya bisa memperhatikan kemauan orang lain. Sebagai seorang sales maka kemampuan saya diasah untuk mampu begaul dengan semua orang. Hal ini sangat berat. Kadang saya juga tidak tahan untuk bisa selalu berlaku baik dengan semua orang. Pernah suatu saat saya tidak tahan dan membentak seorang pembelian di perusahaan multinasional. Dia meminta saya mengatur beberapa dokumen karena akan ada audit. “Saya tidak mau, Bapak kan sudah terima uang ya Bapak atur sendiri saja semuanya”. Memang menjadi sales itu cuma bergantung dari komisi yang hanya satu dua persen saja. Padahal di luaran itu sering ada permintaan untuk mark-up harga yang gila-gilaan. Sering kali uang yang saya terima jauh lebih kecil dari hasil mark up para pelanggan itu. Saya yang bekerja keras kadang iri dengan mereka yang hanya modal tanda tangan saja.
 
Bekerja sebagai seorang sales awalnya bukanlah sesuatu yang membanggakan. Banyak teman yang bekerja di perusahaan besar dan sesuai dengan bidang ilmu yang kita pelajari, rasanya itu lebih bergengsi. Sampai suatu saat di pertengahan 90an, saat saya ada di tengah sungai Mentaya di Kalimantan Tengah. Perjalanan menuju pabrik kayu itu sekitar satu jam dari kota Sampit. Speed boat itupun jarang berpapasan dengan perahu lain. Saat berdua di tengah sungai yang mirip laut itu, saya berpikir apakah saya takut? Seandainya tukang perahu ini membunuh dan membuang saya di sana, pasti juga tidak ada orang yang tahu. Saya mendapati bahwa ternyata tidak ada perasaan takut sedikitpun di hati saya. Saya seakan dicerahkan bahwa tidak semua orang berani menempuh perjalanan dan bekerja seperti saya. Sejak saat itu saya tidak malu lagi dengan pekerjaan sebagai sales ini.
 
Menjadi sales membuat saya berubah dari temperamen sebelumnya. Pekerjaan ini membawa saya bisa bergaul dengan baik. Saya mampu mengerti banyak tentang cara berpikir orang lain. Saya mampu menangkap banyak keinginan tersembunyi yang mungkin tak terkatakan dengan lugas namun tersirat dalam komunikasi kita. Pekerjaan ini juga mengikis banyak temperamen negatif saya. Bila hari ini saya bisa dengan ringan menyapa orang dan mengajak bicara orang, itu bukanlah temperamen saya tiga puluh tahun lalu.
 
Melalui pekerjaan sebagai sales, Tuhan bekerja membentuk saya dengan indahnya. Bukan berarti sifat bawaan saya hilang lenyap, tetapi semuanya diasah dengan indahnya. Kesombongan, keangkuhan dan keberanian saya untuk berkata-kata dengan tajam dulu, diubahkannya menjadi kemampuan untuk berbicara dengan lugas. Kebanyakan sales menjadi sangat kompromis dan permisif hanya karena takut menyakiti hati orang lain, saya mampu bicara dengan tajam kepada beberapa orang yang dengan sengaja menekan dan memperalat orang lain.
 
Ada yang bilang, “Kalau Watuk bisa disembuhkan tapi kalau Watak mana bisa?” Pengalaman hidup saya mengatakan lain. Tuhan melalui caraNya mampu melakukan segala hal. Tidak ada hal yang sulit saat ada anugerah untuk berserah akan karya Tuhan di hidup ini.
(kelanjutannya.....)

10 November 2013

Kualitas Hidup

Malam itu lima tahun lalu, kita menghabiskan malam di seputaran jalan Hayam Wuruk Jakarta, pusat dugemnya Jakarta. Dia teman kuliah juga teman sepelayanan. Kini dia sudah menduduki posisi puncak sebagai top eksmud (eksekutif muda) di grup perusahaan besar di negeri ini. Kesuksesannya tampak dari gaya hidupnya. Beberapa saat sebelumnya saya pernah menyapanya di Changi Airport, “Eh, bisa-bisa kita tadi satu pesawat dari Surabaya ya? Tapi koq tadi gak keliatan?” Dia menjawab, “Ya jelas la… kamu kan duduk belakang, kalau aku khan duduk depan.” Duduk belakang artinya kelas ekonomi sedangkan duduk depan artinya kelas bisnis yang lebih mahal tarifnya. Begitulah gaya hidupnya yang sudah harus saya maklumi.

 

Malam itu kita makan malam sambil berbincang apa saja. Bagaimanapun kita tetap teman lama yang akrab. Kita berbincang tentang sistem perekrutan tenaga top eksekutif yang tidak pernah ada di iklan lowongan di surat kabar. Di Koran paling banter yang diiklankan adalah setingkat manager, bagaimana dengan tingkat CEO ataupun Presiden Direktur? Dia membuka dengan bertanya “Apa kamu tahu bagaimana bisa Putera Sampoerna mengangkat Angky Camaro?” Kemudian dia bercerita banyak soal itu. Saya juga balik bertanya,”Kamu itu lo modal ilmu apa sampai bisa seperti sekarang ini?” Saya tahu seberapa sih kepandaian dia di ITS dulu. “Sebenarnya aku cuma modal ilmu Supply Chain Management.” Akhirnya diapun membuka rahasia dapurnya.

 

Yang membekas di benak saya malam itu adalah perbincangan soal kualitas hidup. Kita berbincang bagaimana kita menjalani hidup ini bersama keluarga kita. Bagaimana dia mengelola keuangannya dengan menyisihkannya untuk bertamasya sekeluarga dan aktivitas lainnya untuk menggambarkan kualitas hidupnya. Saya menceritakan rencana untuk memulai hidup tanpa pembantu rumah tangga. Dia menasehati untuk mempertimbangkan baik-baik rencana itu. Dengan tidak memakai pembantu rumah tangga bisa jadi kualitas hidup kita mengalami penurunan. Banyak waktu kita yang teralihkan untuk pekerjaan rumah tangga kita. Saran dia tertanam kuat di benak saya.

 

Saya tetap meneruskan rencana untuk tidak memakai pembantu rumah tangga lagi. Pertimbangan utamanya karena dua anak perempuan saya sudah cukup besar untuk bisa membantu mengurus rumah. Yang besar sudah kelas satu SMP dan yang kecil kelas tiga SD. Kita bisa berbagi tugas. Istri saya bisa menjadi Menteri urusan peranan wanita merangkap kepala Bulog. Dia mengawasi anak wanita kami dan mengurus logisitik dapur. Saya bertugas mencuci baju dan menyetrika. Saya menjadi kepala dinas kebersihan dan laundry. Jabatan ini membuat saya bisa terjerat KPK dengan pasal Pencucian Uang. Suatu saat anak saya berteriak ,”Papa melakukan money laundering!” saat ditemukan adanya uang di dalam mesin cuci.

 

Dengan tidak adanya pembantu, kita lebih enak di rumah. Privasi kita meningkat. Beberapa hal bisa lebih hemat. Sabun cuci hemat, beras hemat, tagihan air juga berkurang. Kita berbagi tugas. Istri saya mengurusi dapur dan segala keperluannya. Saya mencuci dan menyetrika pakaian. Menyetrika adalah pekerjaan yang tadinya tidak saya sukai. Menyetrika itu sulit, apalagi bila menyetrika celana panjang yang harus rapi lipatannya, harus satu garis. Pekerjaan rumah yang saya sukai adalah mencuci piring, karena pekerjaan ini bisa dilakukan dengan tidak banyak berpikir. Anak pertama saya bertugas membersihkan bak kamar mandi, yang kecil membersihkan lantai kamar mandi. Tiap orang harus mencuci sendiri peralatan makannya.

 

Kita memulai kebiasaan ini dengan pemahaman “tidak ada yang otomatis”. Kalau kita melihat karet gelang di lantai dan kita tidak mau mengambilnya, maka sampai kapanpun karet itu akan ada di sana. Kalau kita melihat lantai kotor dan kita cuma bisa marah dan teriak, maka lantai itu juga tidak otomatis bersih. Semua orang dirumah ini capek dan semua orang harus sadar bahwa orang lain juga capek. Jadi tiap orang harus melaksanakan tugasnya masing-masing tanpa harus beralasan capek. Semua ini bisa memunculkan kebiasaan baru. Saat makan bersama, walaupun makanan yang ada enak, bila tersisa sepotong, biasanya anak-anak akan enggan menghabiskannya. Bukan karena mereka tidak suka makanan itu, tetapi mereka merasa siapa yang mengambil potongan terakhir dialah yang harus mencuci piringnya. Di sinilah peran saya untuk menanamkan nilai agar tidak terlalu perhitungan diantara sesama saudara. Sering saya mencucikan semua piring yang ada.

 

Memang banyak waktu yang tersita untuk melakukan pekerjaan rumah. Menyetrika baju minimal butuh waktu setengah jam. Mencuci piring seperempat jam. Menyapu rumah setengah jam. Ini yang membuat kita harus sudah bangun jam empat pagi. Pagi hari itu adalah waktu tersibuk kita. Istri saya masak di dapur menyiapkan makan pagi dan bekal anak-anak ke sekolah,lalu ke pasar sebentar. Saya menjemur pakaian yang sudah dicuci dari mesin cuci yang dinyalakan sebelum kita tidur. Menyetrika pakaian yang kering. Anak-anak bangun jam lima untuk mempersiapkan diri mereka masing-masing. Jam enam pagi kita sudah berangkat.

 

Kita memang jadi jarang jalan-jalan ke Mall. Kegiatan di gereja kadang membuat setrikaan menumpuk. Bila ada waktu luang sejenak yang bisa bebas dari kegiatan rapat, maka itu waktu terindah untuk tidur atau menyetrika baju atau memperbaiki peralatan rumah tangga yang rusak. Rasanya waktu menjadi begitu padat. Hidup ini rasanya sudah sangat sibuk di rumah dan tempat kerja saja, paling-paling ke Gereja. Sering juga terlintas nasehat teman saya soal kualitas hidup itu. Lima tahun ini pertanyaan itu sering muncul. Cukup sepadankah keputusan ini dengan pengorbanan kualitas hidup yang terjadi?

 

Saat lelah sepulang kerja, semangat bisa makin luruh saat melihat tumpukan pakaian yang belum disetrika. Itu sirna saat melihat istri yang tugas di sekolahnya juga bertumpuk, tapi tetap semangat untuk memasak. Tidak hanya semangat memasak untuk keluarga tapi juga untuk teman-teman sepelayanannya. Ini pasti jadi teladan bagi anak-anak. Kadang saya meminta mereka mematikan TV dan belajar, saya menemaninya dengan menyetrika. Mereka akan tahu bagaimana harus bertangungjawab akan tugasnya masing-masing.

 

Melakukan tugas rumah tangga bagi seorang pria memberikan pengalaman tersendiri. Saya terbiasa bicara soal program kerja dan tujuan. Ini membuat saya terbiasa mengejar sesuatu tujuan hingga tujuan itu tercapai. Misalnya ada rencana mengejar proyek, saya akan berusaha mencapai tujuan itu hingga proyek terselesaikan dan selanjutnya hari-hari berikutnya bisa terisi dengan menikmati hasil proyek itu. Ini kebiasaan saya sebagai pria. Pekerjaan rumah tangga tidak bisa seperti itu. Kalaupun hari ini saya puas karena bisa menyetrika setumpuk pakaian, saya tidak dapat menikmati kelegaan selesainya setrikaan itu untuk waktu yang lama. Keesokan harinya akan muncul lagi tumpukan pakaian yang harus disetrika lagi. Nuansa pekerjaan rumah ini membutuhkan ketangguhan tersendiri. Ketangguhan yang selama ini ada dalam diri seorang ibu rumah tangga.

 

Bila yang namanya kualitas hidup itu diukur dari jumlah jam jalan-jalan di mall dan obyek wisata, bisa jadi kualitas hidup saya memang rendah. Bila kualitas hidup itu diukur dari penanaman nilai-nilai kehidupan, saya yakin hidup saya berkualitas dengan mampu menanamkan banyak nilai kehidupan bagi anak-anak, saat kita mengerjakan tugas-tugas rumah tangga. Anak-anak menjadi makin mandiri. Mereka bisa menyiapkan segala kebutuhannya sendiri. Mereka bisa memasak masakan yang sederhana, nasi goreng, mi goreng atau telur goreng. Mereka mampu mengasah life skill mereka. Semoga memang benar hidup ini makin berkualitas, walaupun kadang tidak nyaman.

 

Ini cerita saya, bagaimana cerita anda?

 

(kelanjutannya.....)

13 Agustus 2013

Surga Menurut Saya


Tulisan ini merupakan pendapat pribadi saya yang saya dapatkan dalam perjalanan hidup saya. "Menurut Saya" bukan berarti saya mau mengarang sendiri tentang arti surga itu. “Menurut Saya” karena ini yang ada dibenak saya saat ini. “Menurut Saya” karena inilah yang akan mewarnai sisa jalan hidup saya selama ini. “Menurut Saya” karena ini juga obyek dari sesuatu yang harus saya ubah bila Tuhan melihat saya salah selama ini. Tuhan kasihanilah saya.
Tulisan ini mulai tertata di benak saya, saat saya sendiri di kamar hotel. Sakit di China yang jauh dari kerabat dan keluarga, bahkan bahasanyapun tidak saya mengerti. Perenungan ini bukan ada karena saya takut mati di sana. Perenungan ini yang akhirnya berguna sebagai persiapan saat seorang teman yang “komunis-atheis” itu beberapa malam kemudian tak disangka bertanya, ”Do you believe that there is a life after death?”
Sebenarnya surga bukan sesuatu yang menarik buat saya. Saya tidak takut kematian. Beberapa tulisan di blog saya sering menyiratkan itu. Pemahanan saya selalu berpusat pada salah satu sifat Tuhan yang mengatakan ,”… bila kamu yang jahat saja tahu untuk memberi yang baik, terlebih lagi Bapamu yang ada di Surga..” Saya sangat meyakini itu. Bagi saya surga adalah urusan Tuhan bukan saya. Tuhan yang selama ini saya kenal selalu baik pasti akan juga tetap baik pada saat kematian saya. Kalau Tuhan yang baik itu mempunyai surga, pasti Ia akan memberikannya untuk saya. Seandainya tidak? Ah, masak dia mengingkari hakikat kebaikan yang selama ini selalu saya kenal dan rasakan?
Surga tidak pernah mendorong saya untuk menjadi orang Kristen yang baik. Surga jadi kosa kata yang tidak menarik untuk saya bahas dan saya kejar di hidup ini. Saat ada gereja yang menampilkan visi dan misinya “..mempersiapkan jemaatnya untuk masuk surga…”, saya hanya tertawa saja. Buat apa itu? Karena seperti kata Ahok, “Pendeta aja takut mati, alasannya masih banyak tugasnya di muka bumi ini…” Maka untuk seorang teman yang suka bicara soal surga, saya pernah menyarankan dia untuk berdoa supaya cepat mati, biar cepat masuk surga.
Bila ada orang yang serius bertanya pada saya tentang tujuan hidup saya, saya lebih suka menjawab dengan frase “menghadirkan kerajaan Allah di muka bumi”. Seperti juga kalimat yang saya tulis di judul Blog saya: “God is invisible. If you believe in God, visualize Him!” Tuhan itu tetap tak terlihat bagi manusia. Kalau saya yakin bahwa Tuhan itu baik, maka saya harus memperkenalkan kebaikan itu buat orang lain. Kalaupun Tuhan itu ramah, maka ya agar orang lain tahu arti keramahan, sayapun harus ramah. Bukan juga menjadikan diri saya selevel Tuhan, tapi hanya sekedar berusaha mewujudkan citra yang tak berwujud itu menjadi sedikit berwujud dan berasa bagi sekeliling saya.
Segalanya berjalan dengan arah seperti itu, karena itu pemahaman saya. Hingga suatu waktu sekitar sepuluh tahun silam. Saat orang demam dengan “Purpose Driven Live”nya Rick Warren. GKI Diponegoropun mempunyai acara bedah buku itu dengan membentuk kelompok sel yang berjalan dengan indah. Jemaat tergerakkan oleh kegiatan berdurasi empat puluh hari itu. Saya diminta memimpin sebuah kelompok. Terpaksalah saya membaca buku itu dengan seksama.  Ada topik tentang tujuan hidup kita saat ini yaitu “ … mempersiapkan diri untuk hidup dalam kekekalan..” Kekekalan yang tidak pernah terlintas untuk terperhatikan dalam hidup saya. Kata kekekalan itu kini menjelma dengan kuat di benak saya. Salahkah saya selama ini bila tak memikirkannya? Benarkah kekekalan atau surga itu harus mulai dipikirkan dan disiapkan mulai saat ini?
Saya tidak ingin menjadi orang yang bebal. Bukan juga ingin menjadi orang pembela doktrin dengan membuta. Tidak pernah ada doktrin yang perlu saya ikuti tanpa alasan yang jelas. Jangan sampai saya jadi bebal dengan memaksakan bahwa surga bukan suatu yang penting untuk mulai dipikirkan saat ini.  Ini awal pergumulan pemikiran saya tentang surga itu. Benarkah saya sudah harus menyediakan tenaga saya untuk mempersiapkan kehidupan di surga nanti? Apa di surga nanti ada bengkel CNC atau galangan kapal yang menampung saya yang punya pengalaman kerja untuk itu? Apa saya juga mungkin bisa jadi ketua majelis di surga nanti?
Pemahaman lama saya beradu terus dengan pemahaman baru itu. Inikah pencerahan itu? Hingga suatu waktu, teman dekat saya, pagi-pagi di kantor bilang ,”Anaknya Rick Warren bunuh diri!” Pasti dia tidak bermaksud apa-apa. Hanya sekedar pembuka obrolan saja. Tapi bagi saya itu berita besar. Saya menaruh perhatian besar dengan anak-anak saya. Anak bunuh diri pasti bukan karena dia salah pencet suatu tombol atau pelatuk pistol. Itu pasti bukan karena kejadian yang sekejab. Itu pasti suatu proses. Akumulasi antara suatu peristiwa dan waktu, suatu pengalaman hidup. Suatu proses yang pastinya terdeteksi oleh orang terdekatnya bila ia menaruh perhatian. Anak bagi saya adalah segalanya, baginya semua ide dan pemikiran saya akan saya labuhkan. Padanya segala keteladanan saya akan tercermin di kehidupannya. Kalau dia pandai memaki, hampir pasti saya juga pandai memaki. Semoga dia jadi orang baik, karena saya juga pingin menjadi orang baik.
Ide Rick Warren sontak gugur di benak saya. Buat apa saya mempersiapkan sesuatu yang jauh bila yang di tangan ini berhamburan? Memang saya tidak serba tahu soal keluarga Rick Warren. Tapi bukankah pohon dinilai dari buahnya? Sayapun tidak dalam posisi untuk menghakimi pengarang buku itu. Itu urusan dia dan anaknya dan Tuhannya. Urusan saya adalah pengambilan keputusan tentang pemahaman surga mana yang harus dijalani. Bisa jadi ini memang bukan benar dan salah, hitam atau putih, tapi dalam kelemahan, saya harus mengambil keputusan untuk meringankan pikiran saya yang tak mampu berpikir rumit ini. Jadi surga tetap bukan sesuatu yang menarik buat saya.
Ini cerita saya, apa cerita kamu?  
(kelanjutannya.....)

12 Agustus 2013

Transportasi Umum di China


Saya ingin berbagi cerita yang mungkin bisa berguna bagi banyak teman yang mau berkelana di China dengan biaya semurah mungkin.
Memilih penerbangan ke China merupakan langkah awal perencanaan biaya perjalanan kita. Sekarang banyak Budget Airline atau Low Cost Carrier. Penerbangan murah, namun tidak selalu murah. Kita harus benar-benar pandai berhitung dengan total biaya kita. Terkadang banyak juga tiket promo dari penerbangan kelas atas. Cathay Pacific, Singapore Airlines, Garuda Indonesia sering juga mengeluarkan tarif promo yang murah juga. Ini jelas lebih nyaman dari Budget Airline seperti Air Asia, Tiger, Lion Air, Jetstar dll.
Berhati-hatilah dengan Budget airline. Harga awal mereka masih belum termasuk pajak dan surcharge lainnya, ikuti terus tahapan pembelian tiket onlinenya hingga tahap terakhir untuk mengetahui harga total yang sebenarnya. Harga juga belum termasuk pemesanan tepat duduk. Bila kita bepergian dengan rombongan, jangan berharap bisa duduk berjajar bila kita tidak mau dikenai biaya tambahan. Harga juga belum termasuk makanan. Yang lebih penting, harga belum termasuk biaya bagasi. Kita harus dapat memperkirakan berat bagasi kita saat kita berangkat dan saat kita pulang nanti. Oleh-oleh akan menjadi beban kita. Pilihlah oleh-oleh yang ringan dan praktis. Jangan sekali-kali membawa oleh-oleh berupa spring bed. Bila kita mengalami kelebihan berat bagasi saat check in, memang kita bisa membayar, tapi tarifnya pasti sangat mahal. Jangan berpikir kita bisa menentengnya, karena bagasi kabin kita juga harus ditimbang. Air Asia cuma memperbolehkan kita membawa tas jinjing seberat tujuh kg ke dalam kabin. Jetstar sekitar sepuluh kg. Pertimbangkan juga panjang kaki anda. Jarak tempat duduk di budget airline sangat sempit, menyulitkan bagi mereka yang jangkung.
Saat ini rute paling menyenangkan bagi saya adalah: Surabaya – Hongkong dengan tiket promo Cathay Pacific. Dari Hongkong naik bis menuju Shenzen. Dari Shenzen kita bisa menuju kota-kota lain di China dengan murah, apalagi untuk penerbangan tengah malam. Penerbangan domestic China walaupun murah tetapi masih memberikan makanan dan minuman, minimal sepotong roti. Bagi yang berstamina prima, bisa juga menghemat biaya hotel dengan melakukan perjalanan di tengah malam dan menumpang tidur di airport. Tidak semua airport buka 24 jam. Saat tutup, kitapun diusir tidak boleh tidur di dalam airport. Tidur saja di selasarnya, asal tidak saat suhu udara yang sangat dingin.
Pemeriksaaan di Bandara China sangat ketat. Jangan sekali-kali membawa cairan melebihi 100 ml. Pasti disita dan dibuang. Cairan itu biasa berupa apa saja, air minum, parfum, shampoo dll. Juga benda tajam seperti gunting, pisau lipat, atau korek. Pemeriksaan tubuh juga ketat, pastikan memasukkan semua dompet dan tas tangan kita ke dalam tas dan discan. Untuk pemeriksaan ini antriannya bisa memakan waktu setengah jam.
Bila bepergian dengan taxi, usahakan mempunyai alamat dengan tulisan mandarin, tunjukkan itu ke pengemudi taxinya. Mereka hampir semuanya tidak mengerti bahasa Inggris. Cetaklah alamat hotel atau tempat yang akan kita tuju dalam bahasa mandarin. Itu pasti akan sangat berguna bagi kita. Taxi disana berargo dan keliatannya baik. Yang aneh, sopirnya dikelilingi kaca pembatas untuk menghindarkan mereka dari upaya kejahatan. Mereka juga sering kali mengebut.
Di beberapa kota besar tersedia kereta bawah tanah, MRT. Kesulitan saya, di dalam keretanya tidak ada petunjuk dengan bahasa Inggris. Saya hanya menghitung jumlah perhentiannya saja. Untuk mencapai tujuan saya menghitung beberapa kali kereta akan berhenti dan diperhentian yang ke berapa saya harus keluar. Ini cukup efektif.
Transportasi antar kota di China sangat baik. Ada bis antar kota dan ada kereta api. Untuk kota besar, terminal bisnya bukan seperti Bungur Asih, mirip airport karena untuk tiap jurusan ada nomer gerbangnya masing-masing. Di dekat gerbang itu sudah menunggu bis yang akan kita naiki. Mereka menerjemahkannya bukan Bus Station, tetapi Coach Station. Ada juga bis antar kota yang ada tempat tidurnya. Stasiun kereta api juga begitu megah dan luas mirip dengan airport kita. Kereta apipun banyak jenisnya ada kereta api super cepat Maglev atau “bullet train”, kereta api dengan kecepatan 300 km/jam. Jalannya begitu mulus tanpa bunyi sambungan rel. Kereta ini ada dua kelas, bedanya hanya di tempat duduknya. Yang mahal tempat duduknya lebih lebar dan leluasa.
Tiket pesawat terbang bisa kita beli online dari Indonesia, tetapi tiket bis dan Kereta api harus kita beli di loket mereka. Untuk warga negara China bisa membeli tiket kereta api melalui mesin, karena mereka bisa menempelkan kartu identitas mereka di mesin itu. Bagi orang asing harus membeli tiket di loket yang tersedia dengan menunjukkan passport. Di beberapa kota besar ada juga loket yang khusus untuk orang asing, petugasnya mampu berbahasa inggris.
Saya pernah naik bis antar kota dengan kota tujuannya bukan kota akhir perjalanan bis itu. Saya harus berpikir keras bagaimana caranya tahu bahwa bis sudah sampai di kota itu. Saya minta saudara saya menuliskan nama kota tujuan itu dalam Mandarin. Setiap bis itu berhenti saya menunjukkan tulisan itu ke orang di sebelah saya. Selalu dijawab “mei tao..” Dari sinar wajah orang itu saya jadi tahu kalau itu artinya “belum sampai”. Orang China bukan masyarakat yang ramah. Saya sendiri malu kalau terus bertanya, tapi saya berpikir bahwa belum tentu saya ketemu mereka lagi. Jadi ya saya beranikan diri saja. Khan, malu bertanya sesat dijalan. Banyak bertanya memang memalukan sih, tapi dari pada kelewat dan pasti itu lebih merepotkan dari pada sekedar menanggung malu.
(kelanjutannya.....)

Lebaran 2013

Lebaran tahun ini, seperti biasanya saya sekeluarga mudik ke Bondowoso. Bertemu dengan banyak kenalan lama memang menyenangkan, tapi kadang menjengkelkan. Saat seorang kenalan lama bertemu istri saya, dia agak bingung dan lupa. Setelah diingatkan dia langsung berkata,”Beh, setiya mak kinik, bilen engak Gerbong Maut….” (hasil google translatenya: “Sekarang koq kecil, dulu seperti Gerbong Maut” Gila! Menyakitkan tapi lucu juga ya…? Guyonan yang harus dimengerti secara kontekstual! Di Bondowoso ada Monumen Gerbong Maut untuk memperingati peristiwa pengiriman para pejuang kemerdekaan yang tertangkap dengan menggunakan kereta barang. Banyak diantara mereka yang wafat kepanasan dan kehausan. Rasanya orang luar daerah memang kesulitan untuk memahami betapa ‘menyakitkannya’ guyonan itu.

Acara utama saya sebenanya di lebaran ini adalah melatih dua anak saya mengemudikan mobil. Mumpung Bondowoso cukup sepi. Tapi Pak Martin mengajak saya untuk bergabung di acara GKI Bondowoso. Mereka akan pergi ke Kawah Wurung, di dekat Kawah Ijen.

Kita kumpul di Pastori GKI Bondowoso jam tiga dini hari. Saya mengendarai mobil saya sekeluarga dan ada tiga orang lagi yang ikut. Semuanya ada tiga mobil dan enam sepeda motor. Pak Martin, Bu Irma dan satu anaknya naik sepeda motor trailnya. Di Bondowoso memang saat ini ada banyak turis Perancis yang mengunjungi Kawah Ijen. Semakin kondisi Ijen diberitakan membahayakan malah semakin banyak turis yang memaksa naik. Isunya, sering berita itu sengaja dihembuskan untuk malah menantang para turis itu naik ke Kawah Ijen. Saat ini ada pemandangan baru, Blue Fire. Api biru yang muncul di kawah ijen. Mungkin ini gas yang keluar dan terbakar mengeluarkan warna biru. Untuk melihat Blue Fire ini kita harus turun ke kawah Ijen pada tengah malam. Bila suasana sudah terang, api itu tidak terlihat lagi. Tantangan yang sangat menguras tenaga dan semangat.

Saya belum pernah tahu soal Kawah Wurung itu. Bayangan saya mirip dengan suasana ijen, kawah di areal perkebunan kopi milik PTPN. Perjalanan ini memang ke arah areal Ijen, menembus kebun kopi, jalan makadam. Solar saya tidak benar-benar penuh, separuh lebih sedikit, hitungan saya cukup untuk perjalanan bolak balik ke Ijen. Setelah mengemudi cukup lama, susana jadi berubah. Kami memasuki areal padang rumput. Tidak ada perkebunan kopi lagi. Hamparan tanah datar yang luas yang berumput. Padang rumput yang luas sekali. Banyak sapi yang merumput. Jadi ingat dengan kelompok musik Country “Diegos” di acara panter yang lalu. Rasanya tampilan koboi mereka cocok kalau bikin video klip di sini. Cuma kalau di Australia jumlah sapinya lebih banyak dari manusianya, ini bakal kebalikannya.

Kawasan Kawah Wurung itu berlainan dengan Kawah Ijen. Disini banyak bukit-bukit yang tidak terlalu tinggi dan tidak berbatu-batu. Jalan yang kita lalui sangat sempit, jalan tanah berumput, off-road. Entahlah bagaimana kalau harus berpapasan dengan mobil lain. Kita memarkir kendaraan di kaki bukit dan makan pagi dulu. Acara ini gratis, tetapi tiap peserta membawa bekal sendiri-sendiri dan berbagi makanan yang mereka bawa. Seluruhnya ada tiga puluh orang. Yang termuda kelas satu SMP, yang tertua sekitar enam puluh lima tahun. Menyenangkan sekali bisa melihat suasana jemaat yang begitu akrab.

Mungkin ini adalah cekungan yang terjadi saat letusan gunung berapi. Yang kita lihat adalah bukit-bukit yang saling berhubungan. Kita naik ke tiga bukit yang berdekatan. Karena belum banyak dikunjungi orang, belum ada jalan setapaknya. Kita mendaki menurut jalan kita sendiri. Menanjaknya sekitar empat puluh lima derajat.  Perjalanan ini menantang semangat kita. Melihat tanjakan yang curam bisa menyiutkan nyali untuk mendakinya. Belum lagi bagi yang berpikir panjang, bagaimana nanti cara turunnya? Memang tidak semua ikut mendaki bukit itu. Pendakian itu mampu mengajarkan banyak hal buat para pesertanya. Sebagai Pendeta Pak Martin memberi semangat pada peserta yang takut dan merasa tidak kuat. Peserta juga belajar untuk saling membantu. Anak saya yang tidak terbiasa mendaki gunung sudah akan menyerah di seperempat perjalanan pertama. Pak Martin yang terus menemani dan menyemangati sehingga bisa menyelesaikan pendakian itu.

Setelah pendakian itu, kita berpindah tempat melihat kawah wurung dari sisi yang berbeda. Diperjalanan kali ini saya tersesat karena salah belok. Tidak ada rambu penunjuk arah dan tidak ada jalan yang bisa di tebak karena semua jalan mirip sempitnya. Saya bukan juga orang yang pandai membaca jejak. Sinyal HP juga mati. Saya sempat juga bertanya ke seorang penduduk yang saya temui. Dia menjelaskan arah yang saya ragukan. Dia menunjukkan arah ke kanan, karena menurut belia kalau ke kiri itu “Jelenna macan” (“jalannya macan” begitu saya dengarnya). Untunglah Pak Martin datang menyusul. Gembala baik yang bermotor Trail (seperti lagu NKB: gembala baik bersuling nan merdu). Pak Martin mengambil jalan ke kiri itu, karena  ternyata nama tempat yang akan kita tuju itu Curah Macan. Saat tersesat itu saya benar-benar bingung karena solar saya tinggal seperempat tangki, jatah yang cukup asal tidak tersesat. Dengan di pandu Pak Martin saya bisa kembali ke jalan yang benar. Saya malah sempat bertemu dengan seorang yang tersesat juga. Setelah saling bicara, ternyata dia dulu teman seangkatan di ITS. Dia memang mudah mengingat saya yang berciri khusus ini. Saya yang agak sulit mengingat orang lain.

Petualangan ini masih juga menimbulkan banyak kenangan. Di salah satu jalan itu mobil saya terperosok lubang yang cukup dalam. Kemudi mobil saya terbanting dengan keras. Stir ini terputar 180 derajat. Melihat posisi stir, saya sudah takut bila as depan saya patah. Syukurlah mobil bisa jalan lagi, walaupun dengan posisi stir yang terputar melawan arah normalnya. Kondisi ini menakutkan bagi saya, karena belum ada kepastian bahwa tidak ada kerusakan yang parah dengan sistim roda depan saya. Semuanya bertumpuk, ketakutan kehabisan solar dan ketakutan kerusakan roda depan.

Banyaknya masalah yang dihadapi, bukan hanya oleh saya sendiri. Beberapa peserta juga menghadapi masalahnya sendiri. Ada yang ban belakangnya terperosok, ada yang takut motornya kehabisan bensin, ada yang mobilnya selip karena berpenggerak depan. Semuanya ternyata membawa pada kemauan untuk saling menolong. Saya yang tidak terlalu kenal dengan banyak jemaat baru Bondowoso juga menjadi tambah akrab melalui acara ini.

Pdt Martin yang sering mengajak jemaatnya berjalan-jalan punya aturan yang tidak boleh dilanggar. Tidak boleh membuang sampah sembarangan, terutama sampah anorganik seperti plastik dan kaleng minuman. Lucu juga saat ada saja yang nyeletuk ,”Hayo, ada Pak Martin, tidak boleh buang sampah ya….” Saat istirahat, Pak Martin  mendekati anak saya. “Ada yang mau saya serahkan.” Ia mengeluarkan kaleng Pocari Sweat. “Ini ketinggalan di atas tadi, kata Jason (anak Pak Martin) ini punyanya yang pakai kaos oranye.” Ternyata anak saya membuang kaleng minuman itu di atas bukit tadi. Suatu pengajaran yang pasti akan melekat di benak anak saya.

Jalan-jalan ini memang bisa membina keakraban, tetapi bisa juga mendidik orang dengan nilai-nilai kehidupan lainnya.

(kelanjutannya.....)