29 November 2013
Temperamen yang Diubahkan
10 November 2013
Kualitas Hidup
Malam itu lima tahun lalu, kita menghabiskan malam di seputaran jalan Hayam Wuruk Jakarta, pusat dugemnya Jakarta. Dia teman kuliah juga teman sepelayanan. Kini dia sudah menduduki posisi puncak sebagai top eksmud (eksekutif muda) di grup perusahaan besar di negeri ini. Kesuksesannya tampak dari gaya hidupnya. Beberapa saat sebelumnya saya pernah menyapanya di Changi Airport, “Eh, bisa-bisa kita tadi satu pesawat dari Surabaya ya? Tapi koq tadi gak keliatan?” Dia menjawab, “Ya jelas la… kamu kan duduk belakang, kalau aku khan duduk depan.” Duduk belakang artinya kelas ekonomi sedangkan duduk depan artinya kelas bisnis yang lebih mahal tarifnya. Begitulah gaya hidupnya yang sudah harus saya maklumi.
Malam itu kita makan malam sambil berbincang apa saja. Bagaimanapun kita tetap teman lama yang akrab. Kita berbincang tentang sistem perekrutan tenaga top eksekutif yang tidak pernah ada di iklan lowongan di surat kabar. Di Koran paling banter yang diiklankan adalah setingkat manager, bagaimana dengan tingkat CEO ataupun Presiden Direktur? Dia membuka dengan bertanya “Apa kamu tahu bagaimana bisa Putera Sampoerna mengangkat Angky Camaro?” Kemudian dia bercerita banyak soal itu. Saya juga balik bertanya,”Kamu itu lo modal ilmu apa sampai bisa seperti sekarang ini?” Saya tahu seberapa sih kepandaian dia di ITS dulu. “Sebenarnya aku cuma modal ilmu Supply Chain Management.” Akhirnya diapun membuka rahasia dapurnya.
Yang membekas di benak saya malam itu adalah perbincangan soal kualitas hidup. Kita berbincang bagaimana kita menjalani hidup ini bersama keluarga kita. Bagaimana dia mengelola keuangannya dengan menyisihkannya untuk bertamasya sekeluarga dan aktivitas lainnya untuk menggambarkan kualitas hidupnya. Saya menceritakan rencana untuk memulai hidup tanpa pembantu rumah tangga. Dia menasehati untuk mempertimbangkan baik-baik rencana itu. Dengan tidak memakai pembantu rumah tangga bisa jadi kualitas hidup kita mengalami penurunan. Banyak waktu kita yang teralihkan untuk pekerjaan rumah tangga kita. Saran dia tertanam kuat di benak saya.
Saya tetap meneruskan rencana untuk tidak memakai pembantu rumah tangga lagi. Pertimbangan utamanya karena dua anak perempuan saya sudah cukup besar untuk bisa membantu mengurus rumah. Yang besar sudah kelas satu SMP dan yang kecil kelas tiga SD. Kita bisa berbagi tugas. Istri saya bisa menjadi Menteri urusan peranan wanita merangkap kepala Bulog. Dia mengawasi anak wanita kami dan mengurus logisitik dapur. Saya bertugas mencuci baju dan menyetrika. Saya menjadi kepala dinas kebersihan dan laundry. Jabatan ini membuat saya bisa terjerat KPK dengan pasal Pencucian Uang. Suatu saat anak saya berteriak ,”Papa melakukan money laundering!” saat ditemukan adanya uang di dalam mesin cuci.
Dengan tidak adanya pembantu, kita lebih enak di rumah. Privasi kita meningkat. Beberapa hal bisa lebih hemat. Sabun cuci hemat, beras hemat, tagihan air juga berkurang. Kita berbagi tugas. Istri saya mengurusi dapur dan segala keperluannya. Saya mencuci dan menyetrika pakaian. Menyetrika adalah pekerjaan yang tadinya tidak saya sukai. Menyetrika itu sulit, apalagi bila menyetrika celana panjang yang harus rapi lipatannya, harus satu garis. Pekerjaan rumah yang saya sukai adalah mencuci piring, karena pekerjaan ini bisa dilakukan dengan tidak banyak berpikir. Anak pertama saya bertugas membersihkan bak kamar mandi, yang kecil membersihkan lantai kamar mandi. Tiap orang harus mencuci sendiri peralatan makannya.
Kita memulai kebiasaan ini dengan pemahaman “tidak ada yang otomatis”. Kalau kita melihat karet gelang di lantai dan kita tidak mau mengambilnya, maka sampai kapanpun karet itu akan ada di sana. Kalau kita melihat lantai kotor dan kita cuma bisa marah dan teriak, maka lantai itu juga tidak otomatis bersih. Semua orang dirumah ini capek dan semua orang harus sadar bahwa orang lain juga capek. Jadi tiap orang harus melaksanakan tugasnya masing-masing tanpa harus beralasan capek. Semua ini bisa memunculkan kebiasaan baru. Saat makan bersama, walaupun makanan yang ada enak, bila tersisa sepotong, biasanya anak-anak akan enggan menghabiskannya. Bukan karena mereka tidak suka makanan itu, tetapi mereka merasa siapa yang mengambil potongan terakhir dialah yang harus mencuci piringnya. Di sinilah peran saya untuk menanamkan nilai agar tidak terlalu perhitungan diantara sesama saudara. Sering saya mencucikan semua piring yang ada.
Memang banyak waktu yang tersita untuk melakukan pekerjaan rumah. Menyetrika baju minimal butuh waktu setengah jam. Mencuci piring seperempat jam. Menyapu rumah setengah jam. Ini yang membuat kita harus sudah bangun jam empat pagi. Pagi hari itu adalah waktu tersibuk kita. Istri saya masak di dapur menyiapkan makan pagi dan bekal anak-anak ke sekolah,lalu ke pasar sebentar. Saya menjemur pakaian yang sudah dicuci dari mesin cuci yang dinyalakan sebelum kita tidur. Menyetrika pakaian yang kering. Anak-anak bangun jam lima untuk mempersiapkan diri mereka masing-masing. Jam enam pagi kita sudah berangkat.
Kita memang jadi jarang jalan-jalan ke Mall. Kegiatan di gereja kadang membuat setrikaan menumpuk. Bila ada waktu luang sejenak yang bisa bebas dari kegiatan rapat, maka itu waktu terindah untuk tidur atau menyetrika baju atau memperbaiki peralatan rumah tangga yang rusak. Rasanya waktu menjadi begitu padat. Hidup ini rasanya sudah sangat sibuk di rumah dan tempat kerja saja, paling-paling ke Gereja. Sering juga terlintas nasehat teman saya soal kualitas hidup itu. Lima tahun ini pertanyaan itu sering muncul. Cukup sepadankah keputusan ini dengan pengorbanan kualitas hidup yang terjadi?
Saat lelah sepulang kerja, semangat bisa makin luruh saat melihat tumpukan pakaian yang belum disetrika. Itu sirna saat melihat istri yang tugas di sekolahnya juga bertumpuk, tapi tetap semangat untuk memasak. Tidak hanya semangat memasak untuk keluarga tapi juga untuk teman-teman sepelayanannya. Ini pasti jadi teladan bagi anak-anak. Kadang saya meminta mereka mematikan TV dan belajar, saya menemaninya dengan menyetrika. Mereka akan tahu bagaimana harus bertangungjawab akan tugasnya masing-masing.
Melakukan tugas rumah tangga bagi seorang pria memberikan pengalaman tersendiri. Saya terbiasa bicara soal program kerja dan tujuan. Ini membuat saya terbiasa mengejar sesuatu tujuan hingga tujuan itu tercapai. Misalnya ada rencana mengejar proyek, saya akan berusaha mencapai tujuan itu hingga proyek terselesaikan dan selanjutnya hari-hari berikutnya bisa terisi dengan menikmati hasil proyek itu. Ini kebiasaan saya sebagai pria. Pekerjaan rumah tangga tidak bisa seperti itu. Kalaupun hari ini saya puas karena bisa menyetrika setumpuk pakaian, saya tidak dapat menikmati kelegaan selesainya setrikaan itu untuk waktu yang lama. Keesokan harinya akan muncul lagi tumpukan pakaian yang harus disetrika lagi. Nuansa pekerjaan rumah ini membutuhkan ketangguhan tersendiri. Ketangguhan yang selama ini ada dalam diri seorang ibu rumah tangga.
Bila yang namanya kualitas hidup itu diukur dari jumlah jam jalan-jalan di mall dan obyek wisata, bisa jadi kualitas hidup saya memang rendah. Bila kualitas hidup itu diukur dari penanaman nilai-nilai kehidupan, saya yakin hidup saya berkualitas dengan mampu menanamkan banyak nilai kehidupan bagi anak-anak, saat kita mengerjakan tugas-tugas rumah tangga. Anak-anak menjadi makin mandiri. Mereka bisa menyiapkan segala kebutuhannya sendiri. Mereka bisa memasak masakan yang sederhana, nasi goreng, mi goreng atau telur goreng. Mereka mampu mengasah life skill mereka. Semoga memang benar hidup ini makin berkualitas, walaupun kadang tidak nyaman.
Ini cerita saya, bagaimana cerita anda?
13 Agustus 2013
Surga Menurut Saya
12 Agustus 2013
Transportasi Umum di China
Lebaran 2013
Lebaran tahun ini, seperti biasanya saya sekeluarga mudik ke Bondowoso. Bertemu dengan banyak kenalan lama memang menyenangkan, tapi kadang menjengkelkan. Saat seorang kenalan lama bertemu istri saya, dia agak bingung dan lupa. Setelah diingatkan dia langsung berkata,”Beh, setiya mak kinik, bilen engak Gerbong Maut….” (hasil google translatenya: “Sekarang koq kecil, dulu seperti Gerbong Maut” Gila! Menyakitkan tapi lucu juga ya…? Guyonan yang harus dimengerti secara kontekstual! Di Bondowoso ada Monumen Gerbong Maut untuk memperingati peristiwa pengiriman para pejuang kemerdekaan yang tertangkap dengan menggunakan kereta barang. Banyak diantara mereka yang wafat kepanasan dan kehausan. Rasanya orang luar daerah memang kesulitan untuk memahami betapa ‘menyakitkannya’ guyonan itu.
Acara utama saya sebenanya di lebaran ini adalah melatih dua anak saya mengemudikan mobil. Mumpung Bondowoso cukup sepi. Tapi Pak Martin mengajak saya untuk bergabung di acara GKI Bondowoso. Mereka akan pergi ke Kawah Wurung, di dekat Kawah Ijen.
Kita kumpul di Pastori GKI Bondowoso jam tiga dini hari. Saya mengendarai mobil saya sekeluarga dan ada tiga orang lagi yang ikut. Semuanya ada tiga mobil dan enam sepeda motor. Pak Martin, Bu Irma dan satu anaknya naik sepeda motor trailnya. Di Bondowoso memang saat ini ada banyak turis Perancis yang mengunjungi Kawah Ijen. Semakin kondisi Ijen diberitakan membahayakan malah semakin banyak turis yang memaksa naik. Isunya, sering berita itu sengaja dihembuskan untuk malah menantang para turis itu naik ke Kawah Ijen. Saat ini ada pemandangan baru, Blue Fire. Api biru yang muncul di kawah ijen. Mungkin ini gas yang keluar dan terbakar mengeluarkan warna biru. Untuk melihat Blue Fire ini kita harus turun ke kawah Ijen pada tengah malam. Bila suasana sudah terang, api itu tidak terlihat lagi. Tantangan yang sangat menguras tenaga dan semangat.
Saya belum pernah tahu soal Kawah Wurung itu. Bayangan saya mirip dengan suasana ijen, kawah di areal perkebunan kopi milik PTPN. Perjalanan ini memang ke arah areal Ijen, menembus kebun kopi, jalan makadam. Solar saya tidak benar-benar penuh, separuh lebih sedikit, hitungan saya cukup untuk perjalanan bolak balik ke Ijen. Setelah mengemudi cukup lama, susana jadi berubah. Kami memasuki areal padang rumput. Tidak ada perkebunan kopi lagi. Hamparan tanah datar yang luas yang berumput. Padang rumput yang luas sekali. Banyak sapi yang merumput. Jadi ingat dengan kelompok musik Country “Diegos” di acara panter yang lalu. Rasanya tampilan koboi mereka cocok kalau bikin video klip di sini. Cuma kalau di Australia jumlah sapinya lebih banyak dari manusianya, ini bakal kebalikannya.
Kawasan Kawah Wurung itu berlainan dengan Kawah Ijen. Disini banyak bukit-bukit yang tidak terlalu tinggi dan tidak berbatu-batu. Jalan yang kita lalui sangat sempit, jalan tanah berumput, off-road. Entahlah bagaimana kalau harus berpapasan dengan mobil lain. Kita memarkir kendaraan di kaki bukit dan makan pagi dulu. Acara ini gratis, tetapi tiap peserta membawa bekal sendiri-sendiri dan berbagi makanan yang mereka bawa. Seluruhnya ada tiga puluh orang. Yang termuda kelas satu SMP, yang tertua sekitar enam puluh lima tahun. Menyenangkan sekali bisa melihat suasana jemaat yang begitu akrab.
Mungkin ini adalah cekungan yang terjadi saat letusan gunung berapi. Yang kita lihat adalah bukit-bukit yang saling berhubungan. Kita naik ke tiga bukit yang berdekatan. Karena belum banyak dikunjungi orang, belum ada jalan setapaknya. Kita mendaki menurut jalan kita sendiri. Menanjaknya sekitar empat puluh lima derajat. Perjalanan ini menantang semangat kita. Melihat tanjakan yang curam bisa menyiutkan nyali untuk mendakinya. Belum lagi bagi yang berpikir panjang, bagaimana nanti cara turunnya? Memang tidak semua ikut mendaki bukit itu. Pendakian itu mampu mengajarkan banyak hal buat para pesertanya. Sebagai Pendeta Pak Martin memberi semangat pada peserta yang takut dan merasa tidak kuat. Peserta juga belajar untuk saling membantu. Anak saya yang tidak terbiasa mendaki gunung sudah akan menyerah di seperempat perjalanan pertama. Pak Martin yang terus menemani dan menyemangati sehingga bisa menyelesaikan pendakian itu.
Setelah pendakian itu, kita berpindah tempat melihat kawah wurung dari sisi yang berbeda. Diperjalanan kali ini saya tersesat karena salah belok. Tidak ada rambu penunjuk arah dan tidak ada jalan yang bisa di tebak karena semua jalan mirip sempitnya. Saya bukan juga orang yang pandai membaca jejak. Sinyal HP juga mati. Saya sempat juga bertanya ke seorang penduduk yang saya temui. Dia menjelaskan arah yang saya ragukan. Dia menunjukkan arah ke kanan, karena menurut belia kalau ke kiri itu “Jelenna macan” (“jalannya macan” begitu saya dengarnya). Untunglah Pak Martin datang menyusul. Gembala baik yang bermotor Trail (seperti lagu NKB: gembala baik bersuling nan merdu). Pak Martin mengambil jalan ke kiri itu, karena ternyata nama tempat yang akan kita tuju itu Curah Macan. Saat tersesat itu saya benar-benar bingung karena solar saya tinggal seperempat tangki, jatah yang cukup asal tidak tersesat. Dengan di pandu Pak Martin saya bisa kembali ke jalan yang benar. Saya malah sempat bertemu dengan seorang yang tersesat juga. Setelah saling bicara, ternyata dia dulu teman seangkatan di ITS. Dia memang mudah mengingat saya yang berciri khusus ini. Saya yang agak sulit mengingat orang lain.
Petualangan ini masih juga menimbulkan banyak kenangan. Di salah satu jalan itu mobil saya terperosok lubang yang cukup dalam. Kemudi mobil saya terbanting dengan keras. Stir ini terputar 180 derajat. Melihat posisi stir, saya sudah takut bila as depan saya patah. Syukurlah mobil bisa jalan lagi, walaupun dengan posisi stir yang terputar melawan arah normalnya. Kondisi ini menakutkan bagi saya, karena belum ada kepastian bahwa tidak ada kerusakan yang parah dengan sistim roda depan saya. Semuanya bertumpuk, ketakutan kehabisan solar dan ketakutan kerusakan roda depan.
Banyaknya masalah yang dihadapi, bukan hanya oleh saya sendiri. Beberapa peserta juga menghadapi masalahnya sendiri. Ada yang ban belakangnya terperosok, ada yang takut motornya kehabisan bensin, ada yang mobilnya selip karena berpenggerak depan. Semuanya ternyata membawa pada kemauan untuk saling menolong. Saya yang tidak terlalu kenal dengan banyak jemaat baru Bondowoso juga menjadi tambah akrab melalui acara ini.
Pdt Martin yang sering mengajak jemaatnya berjalan-jalan punya aturan yang tidak boleh dilanggar. Tidak boleh membuang sampah sembarangan, terutama sampah anorganik seperti plastik dan kaleng minuman. Lucu juga saat ada saja yang nyeletuk ,”Hayo, ada Pak Martin, tidak boleh buang sampah ya….” Saat istirahat, Pak Martin mendekati anak saya. “Ada yang mau saya serahkan.” Ia mengeluarkan kaleng Pocari Sweat. “Ini ketinggalan di atas tadi, kata Jason (anak Pak Martin) ini punyanya yang pakai kaos oranye.” Ternyata anak saya membuang kaleng minuman itu di atas bukit tadi. Suatu pengajaran yang pasti akan melekat di benak anak saya.
Jalan-jalan ini memang bisa membina keakraban, tetapi bisa juga mendidik orang dengan nilai-nilai kehidupan lainnya.