24 Desember 2011

Saya Ingin Diberi Di Natal Ini

Setiap menjelang hari Natal, selalu saja ada ajakan untuk berbagi sukacita. Ajakan berbagi yang berarti ajakan untuk memberi. Ajakan yang juga dikuatkan dengan anjuran bahwa memberi itu lebih baik dari pada menerima atau diberi. BerNatal-Natal sudah saya lewati. Berkali juga saya melakukan anjuran itu, saya memberi agar Natal-Natal itu jadi lebih bermakna.

Hari ini saat Natal ini mau datang lagi, saya berpikir keras untuk memberi lagi. Tapi bolehkan saya berhenti untuk memberi? Ataukan saya sudah harus bertobat dan berhenti memberi di hari Natal kali ini? Saya jadi ingin diberi di hari Natal ini.

Saya ingin diberi, karena bisa jadi saya sudah terlalu terbiasa untuk memberi. Saya terlalu biasa untuk memberi bantuan rekan yang tertimpa musibah. Misalnya, diajak urunan untuk biaya pengobatan seorang rekan. Saya jadi terlalu biasa untuk memberi. Memberi yang katanya harus juga bijak. Saya juga terbiasa untuk memantau pemberian saya agar ada kepastian ketepatan pemakaian bantuan saya itu. Saya juga jadi curiga, setelah beberapa saat saya tidak mendapat kabar akan pemberian saya itu. Bagaimana "update" pemberian saya itu? Jangan-jangan diselewengkan. Padahal bisa jadi rekan yang menyalurkan bantuan itu kehabisan pulsa untuk mengirim email ataupun sms ke saya. Rekan yang menyalurkan itu juga bingung apanya yang mau di'Update" kondisi sakitnya pun masih begitu-begitu saja dan ia bukan reporter handal yang mampu mengarang cerita pandangan mata. Kalau begini.... rasanya saya memberi karena saya berharap akan diberi. Diberi rasa hormat, walau hanya berupa laporan pemanfaatan uang saya.

Saya ingin diberi, karena saya terhenyak akan kenyataan bahwa untuk bisa diberi itu ternyata tidak mudah. Saat saya memberi, saya senang, karena dengan itu saya tahu saya sedang tidak susah. Saya lagi lebih beruntung dari orang lain. Saya bisa sedikit bangga dengan saya memberi. Saya ingin diberi agar saya bisa punya kerendahan hati. Bila nanti ada orang yang memberi saya, kiranya saya mampu menghargai pemberi itu. Saya ingin bisa senantiasa mengingat bahwa ada orang yang memberi bukan dari kelebihannya, tetapi dia memberi di dalam kekurangannya. Saya ingin saat saya diberi saya berbela rasa dengan yang memberi. Saya ingin diberi agar saya mampu menghargai tiap berkat yang saya terima. Saat sakit dan ada rekan yang memberi saya bantuan, saya berusaha menghormatinya dengan tidak memboroskannya dengan minta pelayanan rumah sakit kelas satu. Saya ingin diberi agar saya bisa belajar untuk hidup berbela rasa dengan orang yang dulu saya beri. Agar saya bisa menghargai tiap pemberian dan perhatian dari semua rekan-rekan saya. Saat ada banyak orang yang mau memberi saya, dan saya diberi, semoga saya tidak bangga bahwa saya bisa makan di restoran mewah. Saat saya mau diberi, saya bisa merendahkan hati saya, bukan malah memanfaatkan orang-orang baik yang selalu membuat "saya diberi".

Natal besok ini, harusnya juga saya peringati sebagai Natal yang "saya diberi". Tuhan sudah memberikan rahmat dan karya penebusanNya bagi umat manusia termasuk saya. Adakah saya punya sikap dan karakter yang baik sebagai orang yang diberi? Saya diberi, agar saya berkarakter bahwa saya bukan siapa-siapa yang bisa selalu bangga saat saya memberi. Saya ingin diberi agar saya ingat bahwa ada orang yang ingin memberi bukan karena kelimpahannya, tapi karena perhatian dan bela rasanya. Jadi biarlah saya bisa menghargai tiap rekan dan teman yang telah menjadikan "saya diberi di Natal ini". Selamat Natal teman-teman. (kelanjutannya.....)

04 September 2011

Come be My Light

Ini judul buku yang sempat saya baca di liburan Lebaran tahun ini. Sub judulnya: Catatan-Catatan Pribadi Orang Suci dari Kalkuta. Penerbitnya Gramedia, 528 halaman. Cukup tebal untuk dibaca selama liburan ini.

Buku ini bukan biografi tentang Ibu Teresa. Buku ini berisi surat-surat Ibu Teresa kepada beberapa orang tentang pergumulan batinnya. Menjadi menarik untuk dibaca karena kita bisa tahu apa yang ada dibenak seorang yang sangat dikenal dan dikenang di seluruh dunia. Sebuah pergumulan batin yang nyaris tak diketahui orang banyak. Di banyak suratnya, Beliau sudah meminta untuk memusnahkan semua surat-surat itu. Beberapa orang tidak melaksanakan permintaan itu, karena memang itulah warisan pergumulan iman yang tiada taranya yang akan menginspirasi orang banyak.

Ibu Teresa mempunyai tekad kuat untuk memuaskan "dahaga/rasa haus Yesus" dengan melayani orang yang paling miskin diantara orang miskin. Komitmen itu begitu kuat. Ia menjabarkannya dalam prinsip kehidupan: Kemiskinan mutlak, Kemurnian Malaikat dan Ketatatan yang Ceria. Surat-suratnya mengungkapkan kemauannya yang kuat untuk menghadirkan kasih Tuhan di luar lingkungan biaranya. Itu memerlukan ijin dari para pembesar Gereja. Ia adalah orang yang taat pada birokrasi gereja, walaupun hatinya menggelora, dia mempunyai prinsip hidup akan ketaatan yang membuta. Saat-saat suratnya tidak mendapat jawaban, disamping dia menulis surat lagi, dia menganggapnya itu adalah kesempatan dari Tuhan untuk terus mendoakan semua rencananya. Doa menjadi sesuatu yang dominan di hidupnya. Di tiap suratnya selalu ada permohonan untuk mendoakannya.

Suasana Gereja Katolik Roma yang sangat birokratis, tidak pernah menimbulkan keinginan Ibu Teresa untuk keluar dari sistem yang ada, Ia selalu melihat tiap hambatan yang ada sebagai suatu kesempatan untuk berdoa. Juga bagi pembesar gereja, mereka bertanggung jawab atas semua keputusan yang harus diambilnya. Uskup yang memberi ijin mengungkapkan bahwa ijin yang diberikannya bukan  karena banyaknya surat yang dikirimkan Ibu Teresa, melainkan karena memang itu memerlukan waktu untuk memikirkannya dengan hati-hati. Setelah mengijinkannya, Uskup menjadi pendukung kuat kegiatan Ibu Teresa. Suatu keindahan akan hasil sebuah birokrasi yang bisa kita teladani.

Dalam perjalanan pelayanannya, dia mengalami kondisi dimana ia merasa ditinggalkan oleh Tuhan. Dia merindukan kehadiran Tuhan, tapi semuanya terasa gelap buat dia. Dalam surat-suratnya dia bertanya kepada para pembimbing rohaninya perihal itu. Kondisi itu membuatnya sangat menderita secara batin, tapi ketaatannya pada Tuhan membuatnya selalu berdoa agar dia tidak menolak Tuhan. Kondisi ini berlangsung selama puluhan tahun di hidupnya. Kondisi ini yang diterimanya sebagai anugerah untuk merasakan penderitaan Yesus. Rasanya sudah tidak ada lagi penderitaan dunia yang dapat menyakitkan buatnya, karena komitmennya untuk hidup miskin dengan mutlak. Penderitaan karena ditinggalkan Tuhan adalah kegelapan yang harus ia alami sehari-hari. Terhadap penderitaan itu, ia berkemenangan karena prinsipnya untuk ber-ketaatan yang membuta kepada Allah. Semua orang yang ditemuinya tidak pernah meragukan keceriaan, keramahan dan semangatnya. Itu semua bukti dari penyangkalan diri yang kuat. Seakan-akan hal ini mengingatkan akan ketaatan Yesus pada sang Bapa meski Ia harus ditinggalkan oleh Bapa di kayu salib, Ia tetap setia. Ketaatan pada Allah yang membuta.

Nilai-nilai iman Ibu Teresa menjadi unik, bila dibandingkan dengan kondisi yang sangat "laku" saat ini. Para Pendeta dan Pengkotbah berlomba untuk menyatakan bahwa dirinya sangat akrab dengan Tuhan. Bahkan ada yang berani bercerita bahwa dia begitu dekat dengan Tuhan dan bisa bercakap-cakap muka dengan muka. Memang membanggakan pengalaman iman seperti ini. Tetapi Ibu Teresa menjadi teladan untuk sisi yang lain, bahwa bagaimanapun manusia itu tak berarti di hadapan Tuhan. Bahkan kalaupun Tuhan memberikan penderitaan, itu adalah sebuah anugerah buatnya untuk bisa ikut merasakan penderitaan yang Yesus rasakan. Menderita adalah juga sebuah anugerah.

Buku ini seakan menjawab pertanyaan yang ada dibenak saya menjelang liburan lebaran ini. Saat hasil angket menyatakan adanya motivasi dan keinginan yang kuat jemaat GKI Dipo untuk melakukan kegiatan keluar (output). Kita diharapkan melakukan banyak kegiatan keluar. Pertanyaan saya, "Lalu apa bedanya gereja ini dengan organisasi sosial?" Pengalaman Ibu Teresa mengungkapkan jawaban atas hal ini. Kita bukan sekedar melakukan kegiatan sosial, karena saat kita melakukan kegiatan sosial harus ada semangat yang kuat di hati kita. Semangat itu adalah hasil sebuah pembinaan yang kuat dan benar. Saat kita melakukan kegiatan keluar akan ada masalah yang harus kita hadapi, disana memerlukan sebuah persekutuan untuk mencari pemecahan dan mendoakannnya bersama.  Saat terjadi masalah di lapangan diperlukan juga kekuatan birokrasi gereja kita untuk saling mendukung bukan malah mencari-cari kesalahan. Kegiatan keluar itu ternyata memerlukan totalitas pembinaan dan persekutuan yang prima.

Untuk datang dan menjadi Cahaya Tuhan (Come be My light), cuma diperlukan sebuah semangat yang sederhana dan kuat. Hidup Ibu Teresa sudah menjadi teladan akan kesederhanaan yang mampu menghasilkan hasil yang mencengangkan dunia dengan cara yang lemah menurut dunia ini.

(kelanjutannya.....)

Menyambut Lebaran di GKI Bondowoso

Minggu, 28 Agustus 2011, suasana menyambut Lebaran sangat terasa di Bondowoso. Toko-toko di daerah Pecinan panen dengan pembeli, parkiran kendaraan, teutama roda dua, sangat penuh sesak. Bagi masyarakat, terutama yang di desa, Lebaran identik dengan pesta. Harus ada baju baru, pakaian baru, sepatu baru juga hidangan kue dan panganan yang serba mewah bila dibandingkan dengan keseharian mereka. Mereka akan gembira bila bisa menyambut Lebaran dengan semua itu. Terlepas setuju atau tidak dengan kebiasaan itu, tetapi itu jugalah Lebaran di banyak tempat di negara ini.

Di kotbah Minggu pagi, Pdt. Martin K. Nugroho menyinggung juga adanya sekelompok masyarakat yang menganggap makan daging adalah suatu kemewahan yang sulit mereka harapkan di Lebaran ini. Hari Minggu itu, jemaat GKI Bondowoso berbagi kebahagian agar lebih banyak orang bisa juga bergembira dalam berlebaran. Atas nama Gerakan Kemanusian Indonesia Bondowoso, mereka menyerahkan seekor sapi dan dua ekor kambing kepada Pondok Pesantren Al Mubarak di Desa Kapuran, Kecamatan Wonosari, Bondowoso. Siang harinya, Pdt. Martin K. Nugroho dan jemaat berkunjung ke Pondok Pesantren itu. Bp. Kyai Haji Kamil Hadadi menerima sumbangan itu dan membagikannya kepada warga sekitar yang memang sangat membutuhkan bantuan itu.

Sementara proses penyembelihan tiga hewan tersebut, terjadi silahturahmi di antara jemaat dan warga pesantren itu. Karena masa itu masa puasa, kita hanya berbincang-bincang saja. Diruang tamu itu memang tersedia beberapa toples makanan kering. Pak Haji juga menyuguhkan minuman kepada kita, tetapi untuk menghormati puasanya kita menolaknya. Kami yang laki-laki berbicang dengan Pak Kyai di ruang tamunya, sedangkan sekelompok jemaat wanita berbincang dengan beberapa santriwati di teras rumah utama itu. Suasana sangat akrab.

Di dalam perbincangan itu bukan sekedar basa-basi yang ringan dan tak berarti. Pak Kyai dan Pak Pendeta sempat juga menyinggung hal yang sangat krusial dalam hubungan antar agama, perihal keselamatan. Pak Pendeta dan pak Kyai memang sadar bahwa di antara mereka ada kondisi dimana masing-masing bisa merasa paling benar tentang agamanya. Bukan cuma sekedar pemahaman diantara para pemimpin agama, tapi desakan dari masing-masing jemaat/jemaah untuk meminta ketegasan akan kemutlakan janji keselamatan sering juga merepotkan hubungan antar manusia yang ada. Suasana akrab itu tidak ternoda dengan pertanyan sulit dan krusial itu. Pak Kyai memberikan perikop yang ada di kitab sucinya: "Ada orang yang sudah hidup dengan sangat saleh selama 500 tahun, saat di akherat dia ditimbang kebaikan dan kejahatannya. Memang kebaikannya lebih berat. Orang itu dengan bangga menjawab bahwa memang itu sudah selayaknya, karena selama 500 tahun dia telah berbuat baik. Tuhan kemudian meminta malaikatNya untuk menimbang ulang kebaikan itu. Mana yang lebih berat, kebaikan dia sendiri atau anugerah Tuhan yang telah memampukan dia untuk berbuat baik. Ternyata yang lebih berat adalah anugerah Tuhan." Pak Pendeta dan Pak Kyai yakin bahwa memang ada keyakinan akan kebenaran di masing-masing agama yang dipimpinnya. Tetapi perihal keselamatan, bagaimanapun manusia harus memberi ruang akan otoritas Tuhan yang mutlak untuk menyelamatkan siapapun yang dikasihiNya. Bukan urusan manusia bila Tuhan ingin menyelamatkan siapapun juga. Atas pemahaman itu kita semua bisa duduk dan berbincang dengan akrab satu sama lain.

Pdt. Martin K. Nugroho mengatakan ,"Kita semua ke tempat ini sebagai GKI dalam artian 'Gerakan Kemanusiaan Indonesia'. Artinya bukanlah sebuah sisipan politis ala gereja yang sedang mencari perlindungan atau lainnya dengan tetap membawa-bawa nama gereja. Kami ingin berteman sebagai sesama anak bangsa bersama mereka.".

Banyak hal yang tercapai dengan kegiatan ini, keakraban dan keramahan yang tercipta tak ternilai bila dibandingkan harga ternak yang ada. Kemauan jemaat GKI untuk berbagi dan kemauan jemaah Pondok Pesantren untuk menerima dan menyalurkannya merupakan bukti luhurnya nilai-nilai keagamaan yang mendorong tumbuhnya nilai-nilai kemanusiaan. Bila nilai-nilai ini tumbuh di dalam masyarakat di desa, ini merupakan tantangan bagi mereka yang tersebar di kota besar untuk tidak melupakannya, karena memang dari desalah tumbuh sebuah kota yang metropolitan.

(kelanjutannya.....)

14 Agustus 2011

Pendeta juga Manusia

Tanggal 9-11 Agustus 2011 kemarin, ada Konven Pendeta GKI di Hotel Purnama, Batu. Temanya: "Kita Punya Sahabat". Ini sedikit cerita yang mungkin bisa jadi oleh-oleh dari sana.

Acara Konven Pendeta meninggalkan banyak kisah yang menarik tentang kehidupan seputar pendeta. Pendeta juga manusia yang bisa salah dan bisa benar, bisa baik dan bisa menjengkelkan juga. Kisah menarik yang ada di seputaran konven ini semoga bisa bercerita tentang hal ini. Pendeta juga manusia.

Profesi pendeta tidak selamanya membuat pendeta menjadi sosok serius dan dingin. Sekelompok pendeta bisa punya rasa humor yang tinggi dan kreatif, mereka bisa menghadirkan tawa yang terus berderai saat mereka tampil dalam acara Ludruk Seduluran. Mereka hanya berlatih sekali di sore hari saat peserta lain beristirahat setelah tiba di Hotel. Semua bisa tertawa renyah dan gembira. Penampilan mereka diakhiri dengan pengundian hadiah sebuah Laptop. Undian yang diambil oleh pemain gamelan membuat seorang pendeta dari sebuah kota kecil beruntung mendapatkan laptop itu. Dengan spontanitas dan suasana humor seorang pemain Ludruk menyerahkan Laptop itu dengan celetukan kata "Pendeta Duafa". Gara-gara celetukan itu, malam hari itu panitia memanen protes dari beberapa peserta. Kreatifitas ternyata juga bisa berdampak kebablasan juga.

Pendeta GKI juga bagai suluh dalam kedisiplinan. Kebaktian kita yang teratur. Jam kebaktian yang selalu tepat waktu. Peyusunan program tahunan yang detail. Ketaatan pada Tata Gereja. Semua itu menjadikan sosok pendeta sebagai sosok penuh kedisiplinan. Di hari kedua panitia mengalami masalah dengan bus yang tidak datang. Bus yang seharusnya datang di Hotel Purnama, ternyata datang di GKI Diponegoro. Mereka salah melihat jadwal. Jadilah panitia harus berimprovisasi dengan armada yang ada untuk mengantar para peserta menuju 9 lokasi Sambang Dulur. Dengan kondisi darurat itu, ternyata ada juga bis yang tidak kunjung berangkat, padahal jadwalnya sudah terlambat sekitar satu jam. Bis itu harus menunggu satu orang pendeta yang belum naik dan tidak tahu dimana keberadaannya. Akhirnya sang pendeta datang juga dengan berlenggang kangkung dan tidak ada ketergesaan dan biasa saja. Betapa menggemaskannya.

Saat pendaftaran peserta, para pendeta sudah ditanya soal kebutuhan pengantaran ke tempat pemberangkatan saat mereka akan kembali ke kota masing-masing. Ternyata hanya beberapa orang saja yang menyatakan membutuhkan bantuan pengantaran ke Bandara Abdurahman Saleh, Bandara Juanda maupun stasiun kereta api. Dihari kedua, ternyata jumlahnya meledak. Dari delapan orang yang terdaftar untuk diantar ke Bandara Abdurahman Saleh meledak menjadi delapan puluh orang. Seksi Transportasi kelabakan. Belum lagi ada yang minta dengan jadwal khusus. Jam sembilan pagi dari hotel, jam sepuluh, jam sebelas.... macam-macam lah. Saat ada pendeta bertanya,"Pak, apa besok bisa mengantar ke Bandara Juanda Jam 9 pagi?" Setahu saya jadwal itu tidak ada, saya menjawab," Tidak bisa, Bu!" "Lho, jangan menjawab tidak bisa Pak. Ya harus diusahakan!" Saya senyum saja, memang saya tidak seharusnya langsung menjawab begitu. Tapi apakah Beliau sadar bahwa Beliau juga tidak boleh bilang tidak bisa saat mengisi jadwal pulangnya waktu pendaftaran dulu? Tidakkah mereka sadar bahwa tidaklah mudah mengurus transportasi dengan batas waktu yang sudah mendesak itu?

Di hari kedua peserta diajak untuk rekreasi ke Jatim Park 2. Selepas acara Sambang Dulur mereka makan siang dan bersiap untuk masuk ke areal Jatim Park 2. Panitia sudah menyiapkan tanda masuk yang berupa gelang. Beberapa peserta mengurungkan niatnya setelah tahu bahwa harus berjalan kaki cukup jauh di dalam areal Secret Zoo maupun Museum. Beberapa peserta mau langsung balik ke hotel saja. Tidak ada masalah dengan keputusan itu. Hanya saja ada peserta yang langsung membuang tanda masuk itu. Tidak tahukan mereka bahwa tanda masuk itu tidak murah? Harga gelang kertas itu Rp. 50.000,oo. Tidakkah mereka bisa merasa sayang dan mengembalikan agar bisa digunakan oleh orang lain? Bisa jadi kelelahan memang meniadakan kepekaan akan hal ini. Semoga di ladang pelayanan yang sebenarnya, saat mereka lelah mereka tidak kehilangan kepekaan akan nilai-nilai lainnya.

Saat bergaul dengan para Pendeta itu, saya juga bisa merasakan bagaimana mereka juga pernah di"zalimi" oleh jemaatnya juga. Ada pendeta yang bernostalgia tentang temannya yang pernah dihalangi proses kependetaanya karena ada jemaat yang menulis surat keberatan. Alasannya, karena Beliau dulu pernah mau membunuh kucing. Pendeta yang bersangkutan lalu menyambung," Iya, jemaat itu bilang, lha wong sopir aja kalau ada kucing menghindar. Eh, ini koq ada pendeta malah mau mbunuh kucing" Saat itu saya langsung teringat anekdot tentang sopir yang lebih mampu membuat orang lain berdoa dibandingkan pendeta. Ya, karena sopir itu sering menyetir dengan ugal-ugalan sehingga selalu membuat penumpangnya berdoa. Ada juga kisah menyentuh perihal ketaatan pendeta dan keluarganya dalam menjalani panggilan pelayanannya. Ketaatan di dalam kondisi yang serba minim, yang memaksanya harus berpakaian dalam dengan bahan kain bekas kantong tepung terigu.

Di Jatim Pak 2, siang itu ada seorang pendeta yang menyapa, "Anda menantunya Pak Harry ya?" Saya heran. Saya merasa tidak kenal wajah itu. "Saya pernah melayani di Bondowoso" Saya melirik tanda pengenalnya. "Ya, saya ingat Bapak!" "Pak Yahya! Bapak di Bondowoso tahun 79 atau 80an" Saat itu saya masih anak-anak. Saya ingat beliau karena dulu beliau kalau ke rumah saya mengendarai sepeda motor "Magnet" warna abu-abu. Itu benar-benar sepeda motor dengan arti harafiah. Bentuknya mirip sepeda dan bermotor. Ada pedalnya dan untuk mengerem caranya dengan menggenjot pedalnya ke arah belakang. Tahun itu sebenarnya sudah ada sepeda motor yang lebih modern, Yamaha bebek Autolube. Beliau sangat bersahaja dalam pelayanannya dulu. Itulah yang membuat saya ingat akan Beliau.

Semua rasa sudah berpadu dalam konven itu. Banyak cerita suka dan duka terjadi. Ada pendeta yang kehilangan tas, ada juga yang kehilangan kamera. Tapi yang jelas tidak ada yang kehilangan semangat untuk tetap terus bertumbuh dan melayani. Itu karena Pendeta juga manusia dan KITA PUNYA SAHABAT.

(kelanjutannya.....)

26 Juli 2011

Melihat Melalui Angka

Beberapa saat yang lalu, saya kembali sibuk dengan training dari JETRO (Japan External Trade Organization). Kali ini saya ditawari sebagai salah satu Sub-Instruktur, karena saya telah lulus ujian sertifikasinya tahun yang lalu.. Saya senang saja, sebab saya pikir ini kesempatan untuk belajar dan pasti tidak terlalu sulit, namanya juga Sub-Instruktur, paling cuma bantu-bantu saja. Pembicara utamanya pasti seorang senior expert dari Jepang dan dibantu oleh seorang penerjemah.
 
Pada hari pertama sang expert hanya membuka dengan perkenalan dan kemudian meminta rekan saya untuk mulai mengajar, saya dijadwalkan untuk hari ketiga dan keempat.namun, pada sesi kedua hari itu saya sudah diminta untuk mengajar. Bisa jadi karena rekan saya tadi dianggap kurang bisa mengajar dengan baik. Saya kaget dengan kondisi itu. Saya merasa jengkel dengan keadaan ini. Saya merasa dikerjai oleh expert dari Jepang itu. Saya pernah mendengar tentang honornya yang tidak murah. Beliau seorang senior, biaya mereka ke Indonesia saja sudah tidak murah, belum lagi akomodasi dan fasilitas yang disediakan. Mereka yang terima honor koq malah saya yang disuruh mengajar. Bukannya saya malas untuk mengajar, tapi saya sudah punya prasangka negatif tentang mereka. Kadang saya merasa bahwa mereka itu sekedar bagi-bagi sertifikat, tanpa benar-benar memperhatikan kualitas pengajaran mereka dan orang-orang kita sudah diperdaya. Mungkin inilah bentuk penjajah yang baru. Saya merasa galau dengan kondisi ini. Saya merasa instruktur itu mau menangnya sendiri. Dia makan gaji buta. Itu yang ada dibenak saya. Beliau tidak bisa berbahasa Indonesia, bagaimana beliau bisa mengontrol materi yang saya ajarkan?
 
Perasaan itu cuma bisa timbul dibenak saja, tetapi saya sendiri tetap harus bisa mengajar dengan baik, karena paling tidak saya harus menjaga nama baik saya pribadi. Apalagi para pesertanya dari beberapa perusahaan besar, juga beberapa orang dari ATMI Solo, sekolah yang sangat terkenal dalam hal perbengkelan. Ada juga dari UK Petra. Rasanya saya bukan apa-apa bila dibandingkan mereka. Jadi saya merasa jangan sampai memalukan.
 
Materi pelatihan itu adalah sistem manajemen berdasarkan prinsip 5 S. Suatu prinsip yang banyak diterapkan oleh banyak perusahaan di Indonesia dengan mengadopsi sikap dan nilai budaya Jepang. 5 S itu seiri (pemilahan), seiton (penataan), seiso (pembersihan), seiketsu (pemantapan) dan. shitsuke (pembiasaan). Dengan melakukan lima sikap dasar itulah sistim manajemen perusahaan dibangun.
 
Saya mengajar terus hingga semua sesi pelatihan itu selesai. Selama seminggu mulai dari jam 8.00 sampai 17.00. Kejengkelan itu tetap ada namun saya tetap menganggap ini adalah sebuah tantangan untuk bisa mengajar orang lain yang dari latar belakang perusahaan yang lebih besar dari perusahaan saya. Banyak dari mereka yang sudah menerapkan sistem 5S ini di perusahaannya. Sayapun  tetap berusaha melibatkan sang expert untuk memberikan contoh-contoh yang pasti dia banyak miliki. Saat sesi terakhir usai, sang expert mengundang saya untuk makan malam. Kejengkelan itu timbul lagi, saya merasa dikerjai dan dia cuma berbagi makan malam saja. Tapi buat apa saya marah. Malam itu kita makan malam bersama dan minum bir. Saya cuma ingat saat saya pernah di India dan seorang tuan rumah disana menjamu saya dengan  sangat baik. Saat saya tanya alasannya, dia mengatakan bahwa di budayanya seorang tamu asing itu seperti seorang dewa yang hadir untuk dilayani. Mereka harus melayani tamu asing dengan sangat baik. Yah, sayapun ingin melayani Bapak ini dengan baik.
 
Di akhir makan malam itu, Sang Expert itu meminta saya untuk hadir lagi keesokan harinya. Ah, saya tambah jengkel. Besok itu acara utamanya adalah ujian sertifikasi. Jadi pasti saya tidak ada kegiatan apa-apa lagi. Masak saya masih harus diminta untuk menjaga kelas ujian lagi? Saya tambah jengkel lagi. Tapi tidak kuasa untuk menolak hanya demi sebuah kesopanan dan keramahan. Betapa munafiknya saya, dan betapa enaknya Sang Expert ini. Makan gaji buta! Itu umpatan saya di dalam hati.
 
Besoknya, saya hadir di ujian kompetensi yang diadakan. Hanya sekedar membatu mengatur meja kursi dan membagikan soal. Ujian itu terdiri dari seratus soal benar atau salah. Bila menjawab dengan benar akan mendapat angka satu, bila tidak dijawab mendapat nilai nol, bila salah menjawab akan dikurangi satu angka. Kelihatannya mudah dan simpel, tapi kalimat-kalimatnya cukup membingungkan. Kadang kita bisa sempat berpikir apa ini yang salah terjemahannya? Tapi semuanya harus diputuskan benar atau salah. Peserta dianggap lulus bila mendapat nilai minimal 60.
 
Saya merasa dikerjai. Tapi demi kesopanan dan keramahan saya harus tetap bersikap baik. Itu perasaan saya saat ujian berlangsung.
 
Ujian usai, lembar jawaban dan soal kembali dikumpulkan. Sang Expert memeriksa jawaban itu dan memberikan penilaian. Saya dipanggil. Kita mulai berbicara perihal hasil ujian itu. Dia berbicara banyak tentang penampilan saya dalam mengajar. Dia memuji kemampuan saya menguasai kelas dan dia memberitahukan bahwa dulu saya lulus dengan nilai tertinggi, karena itu dia minta saya untuk membantunya. Tapi dia juga mengungkapkan bagian-bagian mana yang saya ajar dengan kurang menguasai. Saya kaget, bagaimana dia bisa tahu? Saya mengajar dalam bahasa Indonesia, mana dia mengerti? Dia juga mengungkapkan bahwa ada peserta yang aktif saat berdiskusi, tapi sebenarnya dia tidak menguasai bahan pembicaraan itu dengan baik. Dia mengungkapkan materi-materi yang kurang saya tekankan secara khusus walau itu sangat penting sebagai suatu teori dasar. Semua yang disampaikannya saya merasakan sebagai suatu yang benar. Saya kaget, bagaimana dia bisa tahu itu?
 
Dia kemudian membukakan hasil ujian itu. Di beberapa nomer banyak peserta yang salah menjawab, jadi dia pastikan bahwa saya salah mengajar di materi itu. Ada juga dua peserta yang tidak lulus, dan mereka berasal dari perusahaan besar yang sudah menerapkan 5S itu. Dua orang inipun selalu aktif memberikan pendapatnya bila ada diskusi. Jadi, Sang Expert menilai dua orang ini hanya pandai berbicara tapi tidak menguasai topik dengan baik. Dia juga memuji sikap seorang peserta dari UK Petra yang mendapatkan nilai tertinggi. Sikapnya dalam mengerjakan ujian sangat baik. Peserta itu tidak langsung bekerja, tapi memeriksa semua soal terlebih dahulu. Sikapnya dan hasilnya sungguh mengesankan Beliau.
 
Saya kagum, ternyata Beliau memang seorang expert yang mampu menilai dengan sangat baik. Dengan mengamati dan melihat angka dia bisa mengambil kesimpulan yang benar perihal suatu kegiatan yang tak dapat dia ikuti dengan penuh karena keterbatasan bahasa. Rasa jengkel seminggu ini sirna dan berubah dengan kekaguman akan kemampuan Beliau. Beliau mampu membaca melalui angka. Dari hasil ujian itu, dia mampu menilai apakah saya mengajar dengan baik atau tidak. Dari jawaban yang salah dia bisa menilai materi mana yang kurang saya kuasai. Dari angka dia mampu menarik suatu kesimpulan. Sayapun sadar bahwa sebenarnya hari ujian itu adalah hari ujian bagi saya, karena di hari itu Beliau menilai apakah saya sudah menyampaikan materi dengan benar atau tidak. Makanya jangan sok jengkel duluan.......
(kelanjutannya.....)

17 Juli 2011

Biasa dan Luar Biasa

Saya senang sekali di setiap kebaktian yang dipimpin Pdt Claudia, karena setelah Votum dan Salam beliau selalu menyapa jemaat dengan "apa kabar?". Beragam sambutan jemaat, ada yang menjawab, "baik", tapi ada juga yang "luar biasa..". Kalau saya mungkin, "biasa-biasa saja". Beragam pernyataan perihal kehidupan yang diungkapkan jemaat. Saya sering merasa buat apa saya melebih-lebihkan keadaan yang ada. Bagi saya itu cuma sekedar bagaimana kita meletakkan standard nilai kita. Keadaan ini bisa dianggap luar biasa, walau sebenarnya ya tiap harinya juga begini ini saja. Tapi atas nama semangat untuk berpikir positif maka kita bisa menganggapnya luar biasa agar kita tidak nampak pesimis. Ilmu NLP juga mengajarkan begitu.
 
Saat ada orang bertanya, "bagaimana bengkelmu?"
"Yah, begini-begini saja."
"Lho, masak tidak ramai?"
"Ya, kalau mau ramai nanti tiap pegawai saya suruh pukul-pukul besi, pasti jadi ramai...."
 
Minggu ini ada cerita menarik yang terjadi. Seorang teman lama menelpon. Tadinya dia bermaksud meminta saya untuk memberitahu seseorang tentang tagihan yang belum terbayar. Bukan saya yang membeli barang dari dia, tetapi seorang rekan dan meminta mengirimkannya ke tempat saya. Barang itu belum terbayar, dia sungkan untuk menagihnya, jadi saya yang diminta tolong untuk menyampaikannya. Sesuatu yang biasa. Kemudian kita mengobrol tentang segala hal yang lain. Terlalu lama kita tidak bertemu, jadi banyak cerita yang bisa diomongkan. Saya teringat akan janjinya yang belum terwujud untuk mengunjungi bengkel saya. Disinilah awal kisah itu.
 
Beberapa waktu lalu, entahlah beberapa bulan yang lalu, dia pernah meminta tolong untuk menitipkan forklift (alat pengangkut barang berat) di bengkel saya. Dia memang punya usaha jual beli forklift bekas. Dia katanya mau membeli forklift bekas dari sebuah pabrik yang tidak jauh dari bengkel saya, dia mau menitipkan dulu untuk direparasi sebelum dibawa ke tempatnya. Kami berteman sangat lama, jadi saya menyetujui saja. Tapi karena forklift itu sangat besar, saya memintanya untuk meninjau apakah tempat saya cukup untuk itu. Siang itu dua orang anak buahnya datang  meninjau dan bilang bahwa tempat saya cukup. Setelah itu saya pergi dan saya lupa akan kejadian itu. Ternyata forklift itu tidak pernah datang ke tempat saya. Sayapun lupa akan rencana itu lagi.
 
Saya teringat untuk menanyakan hal itu kepadanya. Dia kemudian bercerita. Sore itu dia sudah ada di depan bengkel saya untuk meninjau, tapi ternyata forklift itu mengalami ban kempes di jalan raya sebelum masuk ke kompleks bengkel saya. Dia harus melepas ban untuk menembelkannya. Saat itulah dia ditangkap polisi. Dia dituduh mencuri forklift. Dia membeli forklift itu dari sebuah pabrik melalui seorang perantara. Dia membayar tunai ke perantara itu. Forklift itu dikeluarkan dari pabrik dengan surat resmi yang diketahui oleh kepala pabrik dan kepala satpam pabrik itu. Semuanya resmi. Masalahnya ada di kepala pabrik itu. Dia menjual barang itu tanpa sepengetahuan pemilik pabrik. Masalah ini jadi urusan polisi yang pasti menguras banyak tenaga, waktu dan dana.
 
Saya tidak tahu menahu tentang hal ini sebelumnya. Diapun sebenarnya tidak ingin lagi bercerita tentang ini, karena itu hal yang sangat pahit buatnya. Saya hanya merasa bahwa bengkel saya berjalan seperti biasanya saja. Begini-begini saja. Dari cerita dia, saya baru kaget. Ah, bila saat itu forklift itu ada di bengkel saya, pasti sayapun kena dampaknya. Tuduhan sebagai penadah bisa jadi beban tambahan saya. Sayapun  bisa dianggap bersekongkol dengannya. Segalanya bisa kacau. bengkel saya bisa di"police-line"kan dan tutup sementara. Tapi kenapa forklift itu bisa kempes sebelum masuk ke tempat saya? Ini yang saya rasakan sebagai sesuatu yang luar biasa.
 
Saya tercekat. Kaget! Ternyata saat saya merasa semuanya biasa-biasa saja, ada suatu perlindungan yang luar biasa yang sedang terjadi. Meski yang luar biasa itu tidak saya rasakan dan ketahui, tetapi itu terjadi untuk menghasilkan sesuatu yang saya anggap biasa ini. Ternyata ada hal luar biasa yang terjadi untuk sesuatu biasa-biasa saja.
 
Terima kasih Tuhan untuk tiap hal biasa yang saya terima dan untuk tiap hal luar biasa yang tidak saya rasakan yang telah terjadi untuk saya.
(kelanjutannya.....)

06 Mei 2011

GKI Bondowoso yang tidak ada matinya

18 April 2011, ada penahbisan Pdt. Martin K. Nugroho M.Div. sebagai pendeta GKI Bondowoso, sekaligus peresmian gedung GKI Bondowoso setelah direnovasi besar-besaran.
 
Saya sempat hadir mulai Sabtu malam saat mereka melakukan gladi kotor. Kehadiran saya sebenarnya bukan untuk  mendukung acara itu. Sabtu itu mertua saya ulang tahun, jadi malam itu saya memang menjemput beberapa famili yang seharusnya mengikuti acara gladi kotor dan "menculik" mereka untuk makan malam bersama, salah satu menunya pangsit goreng kesukaan Yahya Juanda. Saat tiba di gereja acara memang sudah hampir selesai, tapi di sana-sini masih banyak orang sibuk yang harus mengatur banyak hal. Sangat ramai dan menyenangkan bisa melihat banyak orang yang tidak saya kenal sebelumnya.
 
Gedung gereja ini direnovasi besar-besaran, rasanya kini tidak kalah bagus dan mewah dengan gereja-gereja di kota-kota besar lainnya. Saya mengatakan ini bukannya sebagai suatu kesombongan, tapi benar-benar suatu kekaguman. Saya dibesarkan di gereja ini dan tahu persis pergumulan dan sumber daya yang mereka punyai. Tujuh tahun ini mereka tidak berpendeta, kondisi jemaat juga terpecah dengan dilahirkannya gereja "baru" di seberang pastorinya. Betapa terpuruknya masa itu. Sungguh ini mujizat dimana ada jemaat dan pelayanan yang tidak ada matinya ini.
 
Saat saya melihat banyak orang sibuk itu, saya mencoba mengingat siapa saja beliau-beliau itu. Bisa jadi saya memang tidak mengenalnya, tapi kemungkinan besar saya mengenal keluarganya. Banyak diantara mereka adalah orang baru. Kini mereka bisa aktif melayani, ada yang menjadi pembawa acara, ada pemain musik, yang tidak hanya organis. Dulu untuk mencari seorang organis saja, gereja ini kesulitan. Kini di warta jemaatnya, ada foto latihan organis yang diikuti oleh 6 orang remaja. Ada Ibu yang mau mempersiapkan kostum untuk anak-anak sekolah minggu. Ada juga yang sibuk mempersiapkan sound-system dan peralatan elektronik lainnya. Semuanya kini ada dan bergerak. Bahkan ternyata arsitek gedung baru inipun adalah anak jemaat sendiri.
 
Saat masuk di halaman gereja, ada papan nama yang berisi jadwal ibadah. Yang menarik, Sabtu itu, ada tulisan dibawah papan nama itu "Gedung ini berdiri atas jasa Bp. Haji Atmo Diwirjo". Suatu ungkapan penghargaan setinggi-tingginya kepada almarhum Pak Atmo yang dulu menghibahkan tanahnya untuk gedung gereja ini. Memang kini tulisan itu tidak ada lagi, karena pihak keluarga beliau kurang berkenan atas pencantuman kalimat itu. Keluarga itu tetap punya hubungan yang baik, saat peresmian itupun mereka meminjamkan halaman rumahnya untuk menampung luberan jemaat yang ada. Gereja ini terletak di samping rumah keluarga Pak Atmo.
 
Kehadiran Pdt. Martin memang memberikan banyak perubahan di Bondowoso. Keluarga pendeta ini memang sepertinya disiapkan untuk menghadirkan roh baru di jemaat Bondowoso. Ibu Irma (istrinya) mampu mendukung dengan bakat seni dan musiknya. Beliau melatih banyak anak dan remaja, menari, menyanyi, bermain musik. Sering juga Ibu Irma mengiringi musik di kebaktian minggu, dengan keyboard maupun biola. Keluarga ini memang menjadi motor perubahan di Bondowoso.
 
Ketekunan Pdt. Martin untuk mengunjungi jemaat yang sudah lama tidak muncul atau sempat "sakit hati" sanggup menaikkan jumlah kehadiran di tiap kebaktian dan kegiatan gereja. Komunikasipun juga dirintis dengan "gereja baru" yang tadinya "kompetitor" kini diajak untuk bekerja sama. Semua mulai berubah dan bertumbuh, peresmian gedung gereja itu seakan menjadi satu titik perhentian untuk bersyukur atas segala anugerah dan perubahan yang ada. Perhentian untuk sejenak bersyukur dan kemudian melanjutkan perjuangan yang lebih besar lagi. Saat sambutan peresmian oleh Wakil Bupati Bondowoso, beliau berkata,"Saya kagum dengan gedung ini, karena interiornya menggunakan bahan yang belum pernah saya lihat sebelumnya, khususnya di Bondowoso ini....." Interior gereja ini memang menggunakan ekspose serutan kayu dan semen.
 
Saat acara berlangsung, Pak Charles Sihombing berkata,"Sound systemnya bagus ya..." Saya heran, karena peralatan yang ada adalah peralatan yang saya tahu sudah lama ada. Saya lihat ada dua orang yang diminta hadir khusus untuk membantu mengaturnya. Segala sesuatu mungkin bisa maksimal kalau kita mau mengatur dan mendayagunakan dengan penuh rasa syukur terhadap apa yang ada.
 
GKI Bondowoso ini bisa menjadi monumen pernyataan kuasa dan komitmen Tuhan akan penyertaanNya dalam pelayanan kita. Ini juga menjadi bukti akan hasil sebuah komitmen yang mau kita persembahan untuk Tuhan. Pdt. Martin memilih thema "Hatiku Persembahanku" untuk penahbisannya. Itu pernyataan Imannya dan itu juga yang menjawab rahasia di balik semua pencapaian ini.
Persembahan hati itulah yang pasti melandasi kemauan beliau untuk memilih menjadi pendeta meninggalkan dunia bisnis yang harusnya dia nikmati. Juga saat beliau memilih GKI Bondowoso, bukan dua GKI kota besar lainnya. Beliau sudah membuktikan komitmen "Hatiku Persembahanku".
 
Jemaat Bondowoso yang tergerakkanpun tidak kalah hebatnya. Mereka mampu mengimbangi semangat pelayanan yang tumbuh ini dengan mempersembahkan semua talenta dan semangat yang ada. Pembangunan itu bukan berarti tak berkendala. Mereka sudah menyatukan hati untuk menghadapi dan mengatasinya. Jemaat yang tergerakkan inipun akhirnya mampu memberikan imbal balik suasana pelayanan yang penuh rasa kekeluargaan. Keakraban diantara jemaat pasti akan kembali memupuk dan mengobarkan semangat pelayanan Pendeta, Majelis Jemaat, dan badan pelayanan lainnya. Suatu mata rantai proses yang mulai terjalin dan akan terus bertumbuh.
 
Hanya dari sebuah "Hatiku Persembahanku" ada sebuah lahan subur dimana pelayanan menjadi tidak ada matinya.
(kelanjutannya.....)

02 Mei 2011

Tuhan yang Menguasai Waktu

Seharusnya hari itu adalah hari yang biasa-biasa saja. Saya cuma harus ke Jakarta untuk presentasi di sebuah galangan kapal. Semestinya saya bisa langsung pulang kembali ke Surabaya pada malam harinya, tetapi karena permintaan seorang rekan untuk merundingkan langkah-langkah lainnya di malam harinya, saya menyiapkan tiket pulang pada malam keesokannya.

Saat presentasi semuanya lancar saja. Melihat galangan kapal memang menjadi sesuatu yang mengasyikkan bagi saya. Suatu dunia yang harusnya saya geluti selulus kuliah dulu. Dunia yang sempat hilang dari kehidupan saya. Rupanya, saat saya berpresentasi, rekan saya merubah status di BB-nya, dan ada beberapa temannya yang membacanya. Ada dua orang yang meresponnya dan menyatakan minat akan topik yang saya sampaikan. Satu di galangan sebelah
dan satu lagi di Pangkalan Susu, Sumatra Utara. Memang setelah selesai saya bisa melanjutkan ke presentasi berikutnya di galangan di daerah Tanjung Periuk itu. Masalahnya, ada rekan yang mendesak saya datang ke Pangkalan Susu, 3 jam dari Medan ke arah Aceh. Pergi ke tempat yang belum pernah saya kunjungi memang selalu menarik bagi saya. Apalagi itu Medan. Kota indah nan semrawut yang selalu menghadirkan banyak kisah saat saya di sana.

Saya memutuskan untuk menerima tawaran ke Pangkalan Susu, berarti saya tidak jadi menginap di Jakarta. Langsung mencari tiket ke Medan, balik ke Jakarta lagi sore keesokannya dan dilanjutkan penerbangan ke Surabaya. Lusanya saya harus di Surabaya, karena hari itu hari terakhir Maret dan saya harus mengurus gajian untuk semua karyawan. Sesuatu yang tidak boleh tertunda.

Seperti biasa, penerbangan malam selalu terlambat. Baru lewat tengah malam saya tiba di Medan. jam lima pagi saya sudah harus siap menuju rumah rekan saya untuk bersama menuju Pangkalan Susu. Medan masih gelap. Tidak ada hal istimewa di perjalanan itu, semua sesuai jadwal. Jadwal pesawat saya jam empat sore menuju Jakarta, jadi jam 12 siang saya sudah harus balik ke Medan dari Pangkalan Susu. Rekan ini mengemudi dengan santun bahkan cenderung pelan. Tapi saya tenang saja karena saat berangkat dia tepat waktu.

Di sepanjang perjalanan kita mengobrol tentang banyak hal yang sarat akan konsep hidup, rupanya dia sangat berminat untuk itu. Saya juga menikmati banyak hal yang menarik di sepanjang jalan, deretan toko-toko tua di Tanjung Pura dan Pangkalan Brandan yang kalau dirawat baik pasti lebih menarik dari China Town di Singapura. Masjid Tua dan perumahan "onderneming" mirip di beberapa tempat di Bondowoso. Sungguh indah negara ini. Saya juga tidak kuatir juga saat dia minta berhenti untuk sholat. Rasanya semua berjalan sesuai jadwal yang sudah saya perhitungkan.

Semuanya bermula saat arloji saya sudah menunjukkan jam tiga kurang sepuluh, ternyata belum ada tanda-tanda bahwa saya sudah di dekat Airport. Saya mulai gelisah tetapi tetap harus sabar dan santun. Ternyata teman ini tidak terlalu hafal jalan di tengah kota Medan. Beberapa kali kita salah jalan dan terjebak macet dan di"macetkan" oleh pengendara "sakti" khas Medan. Dia memang orang Jawa yang asli dan murni budi bahasanya, inilah yang kurang "kompatibel" dengan situasi jalan di Medan, yang saling serobot dan seenaknya sendiri. Saat itulah detik-detik mulai berlalu dengan menegangkan dan mendebarkan. Beberapa kali kita terjebak lampu merah yang berdurasi lebih dari seratus detik. Saya cuma bisa berdoa mohon mujizat Tuhan, Karena
sayapun tidak tahu jalan di Medan. Rekan ini tahu arah ke Airport, tapi jalan ke sananya yang dia tidak hafal! Tapi teman ini tetap tenang berkata,"Bapak jangan terlalu kuatir. Ini Medan, Pak. Segala sesuatu mungkin di sini!"

Saya tiba di Airport Polonia, 15 menit sebelum jadwal penerbangan. Gila! Saya berlari menuju gerbang keberangkatan, menuju counter check in yang ada banyak dan semua penuh sesak dengan antrian. Rasanya memang saya harus pakai gaya Medan kali ini. Antrian itu mungkin lebih dari dua puluh orang di tiap loketnya. Saya langsung menuju loket yang di ujung dan berteriak, "Tolong, tolong, pesawat saya jam empat, tolong saya diurus dulu" Saya sudah tidak
peduli lagi dengan antrian dibelakang saya. Hal buruk yang seharusnya saya benci. Ternyata mereka mau mengurus saya duluan dan Boarding Pass saya terima.

Saya berlari ke loket Airport Tax dan masuk ke ruang tunggu. Suasana begitu ramai dan padat, tapi tidak ada gate yang terbuka. Di layar memang ada Jadwal penerbangan saya , tapi keterangan masih Check-in. Ternyata memang ada keterlambatan untuk jadwal penerbangan saya. Syukurlah, sampai di sini Tuhan telah menolong saya.

Beberapa saat kemudian ada pengumuman bahwa pesawat saya baru akan tiba jam 17.15. Ini masalah baru lagi. Medan - Jakarta sekitar dua jam lebih, pesawat saya dari Jakarta ke Surabaya jam 20.10. Saya pasti ketinggalan pesawat itu, karena saya masih harus check in di terminal yang lain. Naluri saya mengatakan bahwa saya harus belajar cerewet atas masalah ini. Saya akan rugi lumayan banyak, tiket Jakarta-Surabaya. Belum lagi kalau saya tidak mendapat
tiket berarti saya harus menginap satu malam lagi di Jakarta. Biaya Taksi dari dan ke bandara, biaya hotel, ah... semuanya cukup mahal.

Saya menunjukkan tiket Jakarta-Surabaya saya pada petugas Lion air. Mereka tampak biasa-biasa saja, tiket itu memang bukan tiket Lion. Saya sadar, mereka tidak merasa perlu untuk membantu saya. Saya mendesaknya untuk menyadari bahwa keterlambatan mereka yang lebih dari dua jam itu akan sangat merugikan saya. Petugas itu berjanji akan menguruskannya dan dia pergi, lama dia tidak muncul lagi. Saya datangi petugas lainnya, saya desak mereka lagi. Dia juga menggunakan jurus yang sama untuk menghindar dan pergi. Saya
datangi petugas ketiga, saya desak dia lagi. Bagi saya, yang saya lakukan hanyalah "iseng-iseng berhadiah" sembari memanfaatkan waktu menunggu. Saya desak petugas ketiga ini, kali ini dengan tekanan nada yang lebih keras dan modal mata melotot saya. Melihat gelagat dia mau pakai jurus yang sama dengan dua pendahulunya, saya berkata, "Bapak, namanya Andree Christian ya..." sambil saya menuliskannya di tiket saya. Gertakan ini lumayan berhasil. Dia kemudian enggan pergi dan berjanji akan meminta rekannya menguruskan check-in saya di Jakarta. Dia meminta nomer telpon saya.

Beberapa saat kemudian ada panggilan boarding dan saya naik ke pesawat, saya berusaha mencari Andree Christian itu, saya tidak menemukannya. Saya merasa mungkin dia telah memperdaya saya juga. Di pesawat saya duduk di kursi paling belakang. Saya benar-benar pasrah, rasanya saya pasti ketinggalan pesawat ke Surabaya. Tapi saya bersyukur masih bisa terbang ke jakarta mengingat pengalaman siang hari tadi. Yah, masih ada yang bisa disyukuri. Que sera-sera, what will be will be.

Pesawat take-off sekitar jam 18 lebih sedikit dan mendarat di Cengkareng 20.20. Saya sudah pasrah kehilangan uang sejuta lebih lagi. Begitu roda pesawat menyentuh landasan, saya langsung menyalakan telepon saya, hal yang harusnya memalukan saya. Ada SMS, "Pak, saya petugas Lion Air, bapak tunggu di tangga pesawat, akan saya jemput!" Gila, ternyata mereka serius. Saya membalas ,"Ok, saya tinggi 185 cm dan berkaca mata, saya baru landing" "Ya,
pak. Garuda baru boarding." Begitu pesawat berhenti, saya langsung mengambil tas saya dan bersiap untuk segera keluar. Ada pengumuman bahwa penumpang dipersilahkan turun dari pintu depan. Wah, ini masalah lagi. Saya duduk di kursi paling ujung belakang. Saya langsung menelpon nomer itu "Pak, saya Daniel, saya duduk di bangku belakang dan pintu depan saja yang dibuka, saya baru bisa keluar sekitar 15 menit lagi" Ternyata, dari jendela saya melihat ada tangga yang merapat ke pintu belakang dan pintu belakang terbuka. Saya langsung berlari dan menelpon, "Saya menunggu di bawah sayap!" Sebentar kemudian ada mobil berlogo Lion Air yang datang dengan cepat, mereka meminta saya meloncat masuk dan mobil terus berjalan di landasan itu dengan mengebut. Saya duduk dan mereka bilang bahwa Garuda ke Surabaya baru
saja boarding. Saya memang harus pindah terminal. Dia meminta uang untuk membayar airport tax. Saya memberikan uang 50 ribu tanpa meminta kembaliannya. Saya diantar sampai tangga menuju pesawat dan saya terus berlari. Ada orang memberikan boarding pass saya, saya menerimanya sambil terus berlari menaiki tangga dan menunjukkannya ke pramugari yang ada. Saya sangat lega ketika berhasil masuk pesawat itu. Saya gembira, walaupun banyak mata memandang saya, mungkin saya adalah orang kejam yang senyum-senyum ditengah kejengkelan meraka akan keterlambatan yang mereka alami.

Di dalam pesawat, tidak hentinya saya bersyukur akan dua kejadian di dua penerbangan itu. Semua ini terjadi pasti karena kendali Tuhan Sang Penguasa Waktu. Saat pesawat berguncang karena cuaca yang kurang baik, saya malah tersenyum. Tidak ada lagi hal menakutkan yang akan terjadi saat saya tahu bahwa Tuhan yang menguasai waktu. Apapun yang akan terjadi pasti dalam kendaliNya, karena keberadaan saya di pesawat ini pasti dalam kendali dan rencanaNya.

Sungguh pengalaman yang sangat menegangkan di dua penerbangan hari itu. Saya cuma penumpang kelas termurah, tapi apa yang mereka lakukan untuk melayani saya sungguh tak terduga. Semua kekecewaan saya akan keterlambatan pesawat dari Medan tadi sirna dan malah berubah kekaguman akan pelayanan ekstra mereka. Terkadang masalah memang tidak terhindarkan, tetapi ternyata hal yang terpenting adalah sikap kita saat menghadapi dan menyelesaikan masalah itu. Sikap itu malah akan mendatangkan kekaguman yang melebihi masalah yang ada. Terima kasih Andree Christian, Abduh, dan Lion Air, walau tiketmu tidak murah lagi..........

(kelanjutannya.....)

01 Januari 2011

Sebuah Fenomena

Selamat Tahun Baru!
Sayang saya tidak bisa hadir di acara nonton bareng "Indonesia melawan Malaysia" kemarin. Tapi saya mengikutinya dari millist, SMS dan dari update status FB teman-teman. Rasanya ramai dan meriah, meskipun cuma disiapkan dengan kilat. Sangat menarik bahwa penontonnya tidak sekedar datang apa adanya. Mereka mau berpartisipasi dengan kostum dan sumbangan-sumbangan hadiah dan konsumsinya. Ada yang berani membawa bendera Malaysia, berarti dia tidak sekedar ikutan, malah mau meramaikan dengan menentang arus. Rame sekali ya...
 
Beberapa saat yang lalu ada juga acara demo masak yang diselenggarakan oleh Seksi Dewasa Muda. Acara inipun mendapat sambutan menarik dari seluruh kalangan jemaat.
 
Yang jelas dua acara ini lebih ramai pengunjungnya dari acara-acara "trade-mark" kita seperti doa malam dan doa pagi dan persekutuan doa. Bukan untuk merendahkan acara-acara doa-doa itu. Bukan juga mau berbantahan tentang bagaimana persiapan dan penyelenggaraan acara-acara "generik" kita itu. Tapi sekedar mengamati fenomena/gejala yang ada. Mungkin gejala ini bisa jadi pola yang bisa kita manfaatkan untuk pembangunan jemaat kita.
 
Pernahkan kita tahu bahwa ada Darwanto yang selalu aktip kirim SMS mengajak saya hadir bermain pingpong. "Salam Plintir", begitulah trade-mark SMS-nya. Kini kita sudah punya 3 meja pingpong, semuanya sumbangan jemaat. Kegiatan ini lumayan ramai dan pernah sangat ramai, namun menjadi anti-klimaks ketika ada "kejutan" beberapa saat yang lalu. Berpulangnya rekan kita saat bermain pingpong. Animo jemaat di pingpong ini juga merupakan gejala yang menarik untuk kita simak dan manfaatkan.
 
Adalah sejak dulu di KPR, seksi olah raga adalah seksi yang selalu ada, tapi ini seksi kelas dua. Meraka kalah terhormat dengan seksi yang lebih rohani. Sehingga yang selalu disoroti adalah anggaran untuk beli cock dan sewa lapangannya. Anggaran mereka selalu jadi korban saat ada kelebihan anggaran, korban untuk jadi prioritas dipotong. Pengurus sie olahraga-nya pun agak minder kalah "hawa" dengan pengurus sie seperti sie persekutuan doa atau sie pemerhati. Mereka sering merasa tidak ada hubungan yang konkrit antara tugas utama Gereja dan kegiatan olah raga mereka. Mereka seakan hanya obyek pelengkap dan obyek penderita.
 
Saya berpikir apakah kita bisa menjadikan gereja kita ini sebagai suatu "Activity Centre" atau pusat kegiatan bagi jemaat kita. Di gereja kita bisa nonton-bareng, di gereja kita bisa bermain pingpong, atau main catur atau belajar komputer atau belajar memasak, juga belajar merawat tanaman hias, janjian untuk mancing, janjian untuk bersepeda ria. Kita bisa menemukan dan mengembangkan hobi kita di gereja. Kalau kita mau seperti ini, apa kita tidak menjadikan "Rumah Bapa ini menjadi sarang penyamun" yang setiap saat bisa di"Sodom dan Goroma"kan oleh Tuhan Sang Empunya Gereja? GKI yang makin tidak rohani! Benar begitu?
 
Saya melihat peluang untuk menjala manusia melalui kegiatan sekuler itu. Saya merasa acara itu pasti diminati oleh orang-orang yang selalu terpinggirkan di jemaat kita. Mereka yang merasa kurang rohani dan minder bergaul dengan para "ahli surga". Melalui pingpong rasanya kita bisa akrab dengan "gerombolan si berat" yang saat menjelang Natal lalu dibentak gara-gara dianggap mengganggu latihan paduan suara. Bagaimanapun urakannya mereka, kalau kita punya hubungan baik, pasti mereka juga jadi sungkan mengganggu kita. Juga kalau kita punya hubungan baik, pasti kita lebih mudah menyampaikan ganjelan hati kita.
 
Lalu dimana peran Gereja dan para "rohaniawan"nya di seantero acara begituan?  Kita bisa merubah karakter orang melalui interaksi diantara kita saat acara berlangsung. Mereka bisa belajar untuk tidak misuh, saat smashnya tidak masuk. Mereka bisa belajar sabar saat temannya salah memotong bawang. Mereka juga bisa belajar berdoa saat acara akan dimulai dan diakhiri. Mereka juga bisa mengenal kegiatan pelayanan utama Gereja saat mereka sudah akrab dengan kita. Mereka bisa dijaring untuk menjadi pengurus komisi ataupun majelis jemaat.
 
Bagaimana pendapat anda?
(kelanjutannya.....)