04 September 2011

Menyambut Lebaran di GKI Bondowoso

Minggu, 28 Agustus 2011, suasana menyambut Lebaran sangat terasa di Bondowoso. Toko-toko di daerah Pecinan panen dengan pembeli, parkiran kendaraan, teutama roda dua, sangat penuh sesak. Bagi masyarakat, terutama yang di desa, Lebaran identik dengan pesta. Harus ada baju baru, pakaian baru, sepatu baru juga hidangan kue dan panganan yang serba mewah bila dibandingkan dengan keseharian mereka. Mereka akan gembira bila bisa menyambut Lebaran dengan semua itu. Terlepas setuju atau tidak dengan kebiasaan itu, tetapi itu jugalah Lebaran di banyak tempat di negara ini.

Di kotbah Minggu pagi, Pdt. Martin K. Nugroho menyinggung juga adanya sekelompok masyarakat yang menganggap makan daging adalah suatu kemewahan yang sulit mereka harapkan di Lebaran ini. Hari Minggu itu, jemaat GKI Bondowoso berbagi kebahagian agar lebih banyak orang bisa juga bergembira dalam berlebaran. Atas nama Gerakan Kemanusian Indonesia Bondowoso, mereka menyerahkan seekor sapi dan dua ekor kambing kepada Pondok Pesantren Al Mubarak di Desa Kapuran, Kecamatan Wonosari, Bondowoso. Siang harinya, Pdt. Martin K. Nugroho dan jemaat berkunjung ke Pondok Pesantren itu. Bp. Kyai Haji Kamil Hadadi menerima sumbangan itu dan membagikannya kepada warga sekitar yang memang sangat membutuhkan bantuan itu.

Sementara proses penyembelihan tiga hewan tersebut, terjadi silahturahmi di antara jemaat dan warga pesantren itu. Karena masa itu masa puasa, kita hanya berbincang-bincang saja. Diruang tamu itu memang tersedia beberapa toples makanan kering. Pak Haji juga menyuguhkan minuman kepada kita, tetapi untuk menghormati puasanya kita menolaknya. Kami yang laki-laki berbicang dengan Pak Kyai di ruang tamunya, sedangkan sekelompok jemaat wanita berbincang dengan beberapa santriwati di teras rumah utama itu. Suasana sangat akrab.

Di dalam perbincangan itu bukan sekedar basa-basi yang ringan dan tak berarti. Pak Kyai dan Pak Pendeta sempat juga menyinggung hal yang sangat krusial dalam hubungan antar agama, perihal keselamatan. Pak Pendeta dan pak Kyai memang sadar bahwa di antara mereka ada kondisi dimana masing-masing bisa merasa paling benar tentang agamanya. Bukan cuma sekedar pemahaman diantara para pemimpin agama, tapi desakan dari masing-masing jemaat/jemaah untuk meminta ketegasan akan kemutlakan janji keselamatan sering juga merepotkan hubungan antar manusia yang ada. Suasana akrab itu tidak ternoda dengan pertanyan sulit dan krusial itu. Pak Kyai memberikan perikop yang ada di kitab sucinya: "Ada orang yang sudah hidup dengan sangat saleh selama 500 tahun, saat di akherat dia ditimbang kebaikan dan kejahatannya. Memang kebaikannya lebih berat. Orang itu dengan bangga menjawab bahwa memang itu sudah selayaknya, karena selama 500 tahun dia telah berbuat baik. Tuhan kemudian meminta malaikatNya untuk menimbang ulang kebaikan itu. Mana yang lebih berat, kebaikan dia sendiri atau anugerah Tuhan yang telah memampukan dia untuk berbuat baik. Ternyata yang lebih berat adalah anugerah Tuhan." Pak Pendeta dan Pak Kyai yakin bahwa memang ada keyakinan akan kebenaran di masing-masing agama yang dipimpinnya. Tetapi perihal keselamatan, bagaimanapun manusia harus memberi ruang akan otoritas Tuhan yang mutlak untuk menyelamatkan siapapun yang dikasihiNya. Bukan urusan manusia bila Tuhan ingin menyelamatkan siapapun juga. Atas pemahaman itu kita semua bisa duduk dan berbincang dengan akrab satu sama lain.

Pdt. Martin K. Nugroho mengatakan ,"Kita semua ke tempat ini sebagai GKI dalam artian 'Gerakan Kemanusiaan Indonesia'. Artinya bukanlah sebuah sisipan politis ala gereja yang sedang mencari perlindungan atau lainnya dengan tetap membawa-bawa nama gereja. Kami ingin berteman sebagai sesama anak bangsa bersama mereka.".

Banyak hal yang tercapai dengan kegiatan ini, keakraban dan keramahan yang tercipta tak ternilai bila dibandingkan harga ternak yang ada. Kemauan jemaat GKI untuk berbagi dan kemauan jemaah Pondok Pesantren untuk menerima dan menyalurkannya merupakan bukti luhurnya nilai-nilai keagamaan yang mendorong tumbuhnya nilai-nilai kemanusiaan. Bila nilai-nilai ini tumbuh di dalam masyarakat di desa, ini merupakan tantangan bagi mereka yang tersebar di kota besar untuk tidak melupakannya, karena memang dari desalah tumbuh sebuah kota yang metropolitan.

Tidak ada komentar: