Minggu lalu ini saya harus ke luar kota lagi. Berangkat dengan pesawat yang pagi-pagi sekarang ini OK-OK saja, karena sudah ada lounge yang menyediakan makan pagi gratis. Lumayan lah namanya juga gratis. Pagi itu ada seorang pemuda menyapa saya. Awalnya saya agak pangling. Dia dulu remaja yang aktif di Dipo, anak mantan seorang majelis. Ya, saya ingat dia, walaupun masih mengingat-ingat namanya. Untung saya sudah makan agak kenyang jadi kita bisa mengobrol sambil menunggu panggilan boarding.
Dia memberikan "Company Profile" perusahaannya. Dia arsitek. Dia bercerita tentang proyek-proyeknya. Tapi sempat juga dia bertanya, "Masih di GKI, Ko?" Saya sudah sering mendengar dan menebak arah pertanyaan ini. Demi untuk menyenangkan dia, saya berusaha menjawabnya dengan nada yang saya buat bisa mengesankan rasa minder, "Ya, masih" Dia bercerita kembali dengan lebih antusias, lalu dia menyampaikan ,"Semua ini berkat Tuhan" Saya rasa ini saat yang tepat. Lalu saya bertanya ,"Berkat? Berkat itu apa ya?" Dari sinar matanya saya tahu dia kaget, mungkin dia heran koq ada ya aktivis yang dia kenal bertanya seperti itu. Atau dia malah bersyukur bahwa ya memang begitu itu kualitas orang GKI. Dia kemudian menjelaskan perihal contoh-contoh berkat yang dia terima. Proyek-proyek besar yang bisa dia dapatkan. Secara pribadi saya tidak bergurau dengan pertanyaan saya. Saya bertanya bukan karena saya tidak tahu, tapi semoga pertanyaan saya membuat ia sempat berpikir tentang arti kata itu. Di jaman internet dan komputer ini, budaya "Copy Paste" sungguh kuat. Orang dengan mudah menyampaikan suatu data dan informasi dengan model "Copy Paste". Informasi mudah didapatkan lalu dengan mudah juga dia utarakan. Copy and Paste! Bisa jadi Informasi itu tidak sempat dia cerna dan bahkan mungkin dia malas mencerna dan mengolah informasi itu. Saya bermaksud, semoga dengan pertanyaan saya minimal dia sempat memikirkan arti kata itu menurut pribadinya, bukan menurut mimbar gerejanya atau siapapun juga. Menurutnya berkat sepenuhnya adalah tampak dari bisnisnya yang terus membaik. Baginya Tuhan sungguh baik karena Ia sudah membuat bisnisnya jadi baik. Syukurlah.
Pertemuan itu berakhir dengan panggilan Boarding saya dan kita berpisah. Saya juga sudah lupa akan pertemuan itu. Sampai pada waktu saya akan kembali ke Surabaya. Dalam perjalan balik dari Samarinda ke Balikpapan, saya menggunakan taksi. Pengemudinya panggilannnya Mas Dewor, tapi katanya, dia punya nama Baptis Samuel. Awalnya saya pikir guyon. Orangnya besar, berkulit sangat gelap dan berkumis lebat. Pokoknya dia lebih sangar dari Pak Brengos yang saya kenal. Sebelum di Samarinda, dia di Ngawi dan berprofesi sebagai pengamen di terminal Ngawi. Dia mengaku jemaat GKJW Ngawi, dia membuktikannya dengan menyanyikan lagu "Gusti Peparingi Jagad" lagu yang nadanya saya sangat kenal dan pasti ada di NKB. Di perjalanan yang dua jam lebih itu, banyak hal menarik yang saya dengar dari dia. Pendidikannya pasti rendah, mungkin karena dia bergaul didalam dunia yang keras. Dia bercerita juga tentang berkat, dia mengakui saat ini sebagai pengemudi penghasilannya tidak lebih baik dari dulu waktu dia jauh dari Tuhan. Walaupun lebih sedikit yang dia terima, tapi dia bisa menabung lebih banyak. Dia cerita bahwa setiap pagi dia selalu berdoa, karena manusia itu penuh dengan kesalahan. Dia berdoa pagi memohon pengampunan dan merasa sebagai manusia yang berdosa, dia tidak bercerita berdoa untuk memohon berkat. Dalam kesederhanaannya, dia bisa bersaksi tentang Kristus dan kekristenan bila ada penumpang yang mengajaknya bicara soal Yesus. Dia berani menceritakan pandangan Kristen tentang alkitab, saat ada penumpang yang ingin memperdebatkannya. Dia sekarang lebih sering ke gereja yang di Plaza meski dia merindukan untuk kembali ke GKJW di Ngawi. "lho, khan di gereja itu orangnya kaya-kaya, gak minder tha?" "Istri saya memang bilang begitu, tapi saya bilang, Walaupun orang makan makanan enak dan mahal, yang dikeluarkan besok paginya tetap berbau tidak enak, jadi buat apa malu?" Bahasanya memang sesederhana cara berpikirnya.
Dia juga bercerita bahwa dia juga berpofesi sebagai "centeng", tukang tagih atau debt collector. Tapi bukan untuk suatu lembaga, melainkan ke beberapa kuli bangunan yang gajinya tidak dibayarkan oleh mandornya. Dia berani menghadapi mandor itu, walaupun mandor itu berasal dari etnis yang biasanya dikenal sebagai orang yang "sangar". "Sampeyan gak wedi tha?" "Yo, nek kono ngancam, aku ngomong, saya ini bukan cuma endak pernah hidup enak, makan enak aja saya tidak pernah, lha kamu mau apa?' Dia berani melakukan pembelaan buat sesamanya. Dia juga bercerita, bahwa di dekat rumahnya pernah ada ceramah yang isinya menjelek-jelekkan kekristenan. Dia cuma bisa berdoa dan melaporkan itu ke Tuhan, ternyata kemudian sound sistemnya jadi rusak. "Lha, tapi khan ceramahnya masih terus jalan tho?" dia menjawab ,"Ya, endak apa-apa, tapi khan itu didengar kelompoknya sendiri, tidak menyinggung kelompok lain" Saya salut dengan toleransinya. Kekristenan itu baginya identik dengan kasih, itu yang dia utarakan. "Nanti kalau ada teroris Kristen, ndak perlu dihukum mati, biar saya aja yang mbunuh dia..." lho........??? Namanya juga mantan preman. Hehehehehe....
Di dua kesempatan, waktu berangkat dan waktu pulang ini, saya bertemu dengan dua orang Kristen yang berbeda. Yang satu hedonistik, "matrek" tapi berTuhan. dan satu lagi manusia yang bersahaja dan manusiawi. Dua-duanya produk gereja. Kalau kemudian saya harus memilih, kira-kira produk gereja yang mana yang hendak gereja saya hasilkan? Manusia Hedonistik religius atau Manusia Religius yang manusiawi dan membumi? Manusia yang memperalat Tuhan demi kepuasan materi yang dia kejar atau manusia yang tetap manusia biasa tapi dengan hati dan tabiat baru yang diubahkan?
(kelanjutannya.....)