18 November 2010

Dosaku Ucul

Itu judul dan penggalan syair lagu yang dibawakan oleh kelompok musik keroncong dari Sitiarjo, Malang selatan di kebaktian kita Agustus lalu. Terasa lucu waktu saya mendengarnya. Kog rasanya tidak keren. Kalaupun itu adalah pengakuan iman mereka, terasa terlalu sederhana (untuk menghaluskan kata yang lebih lugas "kampungan"). Saya merasa lebih mampu untuk menyampaikan pengakuan iman yang lebih indah dan intelek dari itu.

Lagu itu terus terngiang di benak saya, menciptakan suasana yang lucu. Sampai kemudian saya teringat kalimat yang mengikutinya: "Dosaku Ucul, Kecebur Segara Kidul". Mereka dari pantai selatan yang kondisi ombaknya lebih ganas dari pada pantai utara pulau Jawa. Kondisi alam sekitar mereka itu yang dapat merefleksikan pengakuan iman mereka. Bagaimana dosa itu lepas dan tercebur di pantai curam berombak besar seperti banyaknya pantai di laut selatan. Dosa yang lepas dan tercebur itu sudah tidak punya kuasa untuk kembali lagi. "Segara Kidul" itu telah menelan dan menghanyutkan dosa mereka, menggambarkan kesempurnaan karya penebusan dosa Yesus Kristus.

Pengakuan iman saya mungkin lebih intelek, tapi itu karena saya dapatkan dari buku dan pelajaran agama. Pengakuan iman mereka lebih lugu dan murni, karena mereka dapatkan itu dari alam sekitar mereka. Alam yang menurut Pemazmur sudah terlebih dahulu memberitakan karya dan pekerjaan tangan Tuhan sebelum semua buku menuliskannya. Kiranya Roh Kudus memampukan untuk melihat dan merasakan karya Tuhan melalui alam ciptaanNya ini.

(kelanjutannya.....)

Ini Sudah Jaman Digital

Dulu saya sering membantu menjaga "kios cuci cetak" foto. Dialog yang sering terjadi adalah:

"Saya mau mencetak foto"

"Bisa, mana negatifnya?"

Negatif yang dimaksud adalah klise atau film negatif. Disebut film negatif karena berbalikan dengan gambar fotonya, bila di foto hasilnya hitam maka di filmnya putih, demikian sebaliknya. Semua foto bisa dicetak asalkan ada negatifnya.

Itu sudah jadul, kini di jaman digital sudah tidak perlu pakai klise lagi, tinggal mencetak dari file digital. Tapi apa benar begitu? Bukankah masih banyak kenangan yang terekam karena ada sisi negatifnya? Masih banyak nama orang yang terekam dan teringat di benak hanya karena hal-hal negatif yang berkaitan dengannya. Ayat diatas mengajak untuk menggantikan semua yang negatif itu dengan semua yang positif.

Mari kita gantikan semua pikiran dan ingatan negatif kita dengan semua yang positif tentang sesama dan kenangan kita. Bukan hanya karena ini sudah jaman digital, tapi pasti karena Tuhan yang menghendakinya demikian.

(kelanjutannya.....)

17 November 2010

Kalau Nanti Saya Sudah Tua

Kalau nanti saya sudah tua, saya mau jadi apa ya? Sebenarnya ini tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Baru setelah hari minggu kemarin, hal itu jadi terlintas dan mungkin enak kalau mulai dipikirkan. Minggu kemarin itu ada pertemuan rutin Beasiswa. Seperti biasa, saya menemani siswa SMP dan SMA di kebaktian remaja di lantai 4. Tidak ada yang istimewa sampai ketika kebaktian baru mulai, Bu Eunice Soelmarso muncul. Lho, saya agak kaget. Seharusnya Bu Sul memimpin di pertemuan untuk anak SD jam 10 nanti. Ternyata Beliau sudah dijemput jam 8 kurang, padahal saya sudah mengingatkan agar menjemputnya jam 9. Saya jadi merasa bersalah. Beliau harus menunggu lama. satu jam lebih. Yang menjemput beralasan agar tidak terlambat. Ya memang tidak terlambat, apalagi kalau dijemputnya sehari sebelumnya dan nginep di gereja.....
Saat pembagian uang untuk siswa SMP dan SMA, saya melihat ada anak yang sudah 2 kali tidak hadir. Bila ia tidak hadir sekali lagi, maka ia akan digugurkan. Sebenarnya kasihan juga. Setelah pembagian itu, saat Bu Sul memimpin acara untuk anak SD, ada seorang bapak yang menemui saya. Ternyata ia orang tua anak yang dua kali tidak datang itu. Dia bercerita bahwa anaknya tidak mau datang ke gereja. Anak itu sering pulang malam bersama temannya, katanya bermain internet. Ayahnya sangat mengkawatirkannya. Bapak itu sering memarahi anak perempuan itu. Bahkan sampai memukulnya, terakhir dia menggunting rambut anaknya. Anak itu kemudian menjadi malu dan tidak mau ke gereja. Saya tidak tahu harus menjawab bagaimana. Saya tahu maksud Bapak ini baik, tapi ia juga salah dalam mengungkapkannya. Kasihan juga keadaan bapak itu, dia seorang mekanik Trailer yang saat ini PHK karena kontrak kerjanya habis. Dia tentu sangat menyayangi anak gadisnya. Dia ingin melindungi dari pergaulan yang kurang baik.
Setelah Bu Sul memimpin acara, saya menyampaikan cerita itu. Memang awalnya dengan maksud sekedar bercerita menemani beliau sambil menunggu untuk diantar pulang. Bagaimanpun saya merasa bersalah karena Beliau telah dijemput dengan sangat pagi. Ternyata Bu Sul sangat menaruh perhatian dengan masalah ini. Beliau mau membantu menyelesaikan masalah ini. Saya bergegas mencari Bapak itu lagi, untunglah beliau belum pulang. Saya mempertemukannya dengan Bu Sul. Latar belakang Bu Sul sebagai seorang guru memampukannya berbicara dengan baik dengan Bapak itu. Bu Sul bisa memberikan nasihat dengan baik. Bapak itupun terlihat sangat antusias mendengarkan solusi yang disampaikan Bu Sul. Bu Sul menyampaikan agar Bapak itu meminta maaf kepada anak gadisnya. Bu Sul malah menawarkan bila anak itu mau, anak itu bisa tinggal dirumahnya untuk sementara waktu sambil beliau menasehatinya. Suatu tawarkan yang sangat berani, yang menggambarkan kemauan untuk membantu. Kemauan untuk berkorban dan repot karena masalah orang lain. Ibu ini sudah berumur tapi masih tetap bersemangat. Beliau masih kuat untuk naik turun tangga sampai ke lantai 4 gedung pertemuan. Beliau juga masih mau untuk direpoti oleh orang lain. Apa tidak capek ya?
Beberapa saat yang lalu saya mengenal suami istri yang juga sudah masuk pada usia emas. Semua anaknya telah berumah tangga sendiri. Kini mereka hanya tinggal berdua saja. Mereka masih terlihat sangat sehat dan kuat. Saat saya menyampaikan beberapa ide untuk mengisi waktu luangnya, Sang Istri langsung menjawab, "Wah, males dah, nanti bisa-bisa saya lagi yang repot." Melalui banyak perbincangan saya bisa menebak bahwa keluarga ini memang banyak mendapatkan penghasilan dari usaha sang istri. Ibu ini memang seorang wanita yang sangat enerjik untuk membantu mencukupi kebutuhan keluarganya. Sang Bapak adalah seorang lelaki yang lebih kalem dan mungkin juga menjadi banyak merasa tertekan dengan semangat dan ambisi istrinya. Kini di saat mereka memasuki usia emas, sang istri ingin beristirahat dari segala kelelahannya mencari tambahan penghasilan. Sang suami juga mengisi waktunya dengan banyak menonton televisi hingga sering tertidur di kursi kesanyangannya. Bapak ini ingin juga beristirahat dari semua aktivitas yang dulu menekannya. Mengejar setoran yang sudah ditargetkan oleh sang istri. Kini, mereka memang tidak berkekurangan secara materi. Anak menantunya sanggup membiayainya. Usia Emas bagi mereka adalah saat untuk istirahat dan jangan repot lagi. Sudah capek.
Dua kondisi, dua keadaan yang tidak bisa diperbandingkan untuk dicari mana yang benar dan mana yang salah. Dua kondisi yang mungkin cuma bisa jadi pilihan saya nanti. Saya mau jadi yang mana? Kalau nanti saya tua saya mau jadi apa? Jadi orang seperti Bu Sul yang tetap bersemangat bekerja dan melayani. Ataukah saya akan beristirahat saja, karena saat ini saya sudah bekerja terlalu keras dan terlalu capek.
Akankah saya masih tetap ingat bahwa bekerja adalah bagian dari hidup ini. Bukan hasil kerja yang menjadi sesuatu yang akan saya nikmati, tetapi proses bekerja itu sendiri yang menjadikan hidup ini bisa lebih berarti dan berguna bagi sesama dan diri saya sendiri.
(kelanjutannya.....)

01 November 2010

Dua Produk

Minggu lalu ini saya harus ke luar kota lagi. Berangkat dengan pesawat yang pagi-pagi sekarang ini OK-OK saja, karena sudah ada lounge yang menyediakan makan pagi gratis. Lumayan lah namanya juga gratis. Pagi itu ada seorang pemuda menyapa saya. Awalnya saya agak pangling. Dia dulu remaja yang aktif di Dipo, anak mantan seorang majelis. Ya, saya ingat dia, walaupun masih mengingat-ingat namanya. Untung saya sudah makan agak kenyang jadi kita bisa mengobrol sambil menunggu panggilan boarding.
Dia memberikan "Company Profile" perusahaannya. Dia arsitek. Dia bercerita tentang proyek-proyeknya. Tapi sempat juga dia bertanya, "Masih di GKI, Ko?" Saya sudah sering mendengar dan menebak arah pertanyaan ini. Demi untuk menyenangkan dia, saya berusaha menjawabnya dengan nada yang saya buat bisa mengesankan rasa minder, "Ya, masih" Dia bercerita kembali dengan lebih antusias, lalu dia menyampaikan ,"Semua ini berkat Tuhan" Saya rasa ini saat yang tepat. Lalu saya bertanya ,"Berkat? Berkat itu apa ya?" Dari sinar matanya saya tahu dia kaget, mungkin dia heran koq ada ya aktivis yang dia kenal bertanya seperti itu. Atau dia malah bersyukur bahwa ya memang begitu itu kualitas orang GKI. Dia kemudian menjelaskan perihal contoh-contoh berkat yang dia terima. Proyek-proyek besar yang bisa dia dapatkan. Secara pribadi saya tidak bergurau dengan pertanyaan saya. Saya bertanya bukan karena saya tidak tahu, tapi semoga pertanyaan saya membuat ia sempat berpikir tentang arti kata itu. Di jaman internet dan komputer ini, budaya "Copy Paste" sungguh kuat. Orang dengan mudah menyampaikan suatu data dan informasi dengan model "Copy Paste". Informasi mudah didapatkan lalu dengan mudah juga dia utarakan. Copy and Paste! Bisa jadi Informasi itu tidak sempat dia cerna dan bahkan mungkin dia malas mencerna dan mengolah informasi itu. Saya bermaksud, semoga dengan pertanyaan saya minimal dia sempat memikirkan arti kata itu menurut pribadinya, bukan menurut mimbar gerejanya atau siapapun juga. Menurutnya berkat sepenuhnya adalah tampak dari bisnisnya yang terus membaik. Baginya Tuhan sungguh baik karena Ia sudah membuat bisnisnya jadi baik. Syukurlah.
Pertemuan itu berakhir dengan panggilan Boarding saya dan kita berpisah. Saya juga sudah lupa akan pertemuan itu. Sampai pada waktu saya akan kembali ke Surabaya. Dalam perjalan balik dari Samarinda ke Balikpapan, saya menggunakan taksi. Pengemudinya panggilannnya Mas Dewor, tapi katanya, dia punya nama Baptis Samuel. Awalnya saya pikir guyon. Orangnya besar, berkulit sangat gelap dan berkumis lebat. Pokoknya dia lebih sangar dari Pak Brengos yang saya kenal. Sebelum di Samarinda, dia di Ngawi dan berprofesi sebagai pengamen di terminal Ngawi. Dia mengaku jemaat GKJW Ngawi, dia membuktikannya dengan menyanyikan lagu "Gusti Peparingi Jagad" lagu yang nadanya saya sangat kenal dan pasti ada di NKB. Di perjalanan yang dua jam lebih itu, banyak hal menarik yang saya dengar dari dia. Pendidikannya pasti rendah, mungkin karena dia bergaul didalam dunia yang keras. Dia bercerita juga tentang berkat, dia mengakui saat ini sebagai pengemudi penghasilannya tidak lebih baik dari dulu waktu dia jauh dari Tuhan. Walaupun lebih sedikit yang dia terima, tapi dia bisa menabung lebih banyak. Dia cerita bahwa setiap pagi dia selalu berdoa, karena manusia itu penuh dengan kesalahan. Dia berdoa pagi memohon pengampunan dan merasa sebagai manusia yang berdosa, dia tidak bercerita berdoa untuk memohon berkat. Dalam kesederhanaannya, dia bisa bersaksi tentang Kristus dan kekristenan bila ada penumpang yang mengajaknya bicara soal Yesus. Dia berani menceritakan pandangan Kristen tentang alkitab, saat ada penumpang yang ingin memperdebatkannya. Dia sekarang lebih sering ke gereja yang di Plaza meski dia merindukan untuk kembali ke GKJW di Ngawi. "lho, khan di gereja itu orangnya kaya-kaya, gak minder tha?" "Istri saya memang bilang begitu, tapi saya bilang, Walaupun orang makan makanan enak dan mahal, yang dikeluarkan besok paginya tetap berbau tidak enak, jadi buat apa malu?" Bahasanya memang sesederhana cara berpikirnya.
Dia juga bercerita bahwa dia juga berpofesi sebagai "centeng", tukang tagih atau debt collector. Tapi bukan untuk suatu lembaga, melainkan ke beberapa kuli bangunan yang gajinya tidak dibayarkan oleh mandornya. Dia berani menghadapi mandor itu, walaupun mandor itu berasal dari etnis yang biasanya dikenal sebagai orang yang "sangar". "Sampeyan gak wedi tha?" "Yo, nek kono ngancam, aku ngomong, saya ini bukan cuma endak pernah hidup enak, makan enak aja saya tidak pernah, lha kamu mau apa?' Dia berani melakukan pembelaan buat sesamanya. Dia juga bercerita, bahwa di dekat rumahnya pernah ada ceramah yang isinya menjelek-jelekkan kekristenan. Dia cuma bisa berdoa dan melaporkan itu ke Tuhan, ternyata kemudian sound sistemnya jadi rusak. "Lha, tapi khan ceramahnya masih terus jalan tho?" dia menjawab ,"Ya, endak apa-apa, tapi khan itu didengar kelompoknya sendiri, tidak menyinggung kelompok lain" Saya salut dengan toleransinya. Kekristenan itu baginya identik dengan kasih, itu yang dia utarakan. "Nanti kalau ada teroris Kristen, ndak perlu dihukum mati, biar saya aja yang mbunuh dia..." lho........??? Namanya juga mantan preman. Hehehehehe....
Di dua kesempatan, waktu berangkat dan waktu pulang ini, saya bertemu dengan dua orang Kristen yang berbeda. Yang satu hedonistik, "matrek" tapi berTuhan. dan satu lagi manusia yang bersahaja dan manusiawi. Dua-duanya produk gereja. Kalau kemudian saya harus memilih, kira-kira produk gereja yang mana yang hendak gereja saya hasilkan? Manusia Hedonistik religius atau Manusia Religius yang manusiawi dan membumi? Manusia yang memperalat Tuhan demi kepuasan materi yang dia kejar atau manusia yang tetap manusia biasa tapi dengan hati dan tabiat baru yang diubahkan?
(kelanjutannya.....)