29 Juni 2010

6 Topi Berpikir - 1

Ini buku yang sudah lama sekali, entah masih ada atau tidak di toko buku. Baru-baru ini saya dapat audiobook-nya dan jadi teringat akan buku itu.
Saya akan coba berbagi isi buku ini dalam beberapa tulisan.
Edward de Bono mengembangkan cara berpikir yang disebut Lateral Thinking. Berpikir dengan cara menyamping. Ibarat jalan raya, Lateral Thinking menyodorkan jalan lain disamping jalan atau cara berpikir yang selama ini kita tempuh. Seperti "frontage road" di A. Yani yang baru jadi ini.
Bernafas, berjalan, dan berpikir adalah sesuatu yang kita bisa dengan sendirinya. Seakan itu sudah ada dengan sendirinya. Banyak orang percaya bahwa semakin tinggi tingkat kecerdasan orang (IQ) akan semakin pandai dia dalam berpikir. Pendapat ini salah, karena ibaratnya mengemudi, IQ tinggi berarti mobilnya bagus dan mahal. Sedangkan kemampuan berpikir ibarat ketrampilan sopir mengemudikannya. Mobil mewah tapi sopirnya ugal-ugalan, malah akan mendatangkan celaka. Mobil biasa tapi dengan cara mengemudi yang benar, akan mampu memberikan hasil yang lebih baik. Yang penting bukan mobil mogok. Ini memang nyata dalam kehidupan sehari-hari, banyak orang jenius yang gagal menjadi manusia yang sempurna, bisa jadi karena dia berpikir bahwa dialah yang paling pandai berpikir dan mampu mengatasi masalahnya sendiri. Jadi, tidak perlu terlalu pandai, cukup dengan otak yang biasa dan cara berpikir yang baik, kita mampu jadi orang yang menghasilkan karya jenius.
Dasar dari Lateral thinking adalah 6 topi berpikir. Disebut enam topi karena cara berpikir ini ada 6 macam dan itu digunakan apabila kita menghendakinya. Tiap kesempatan kita diajak untuk memilih topi berpikir mana yang hendak dipakai. Tiap orang harus siap dan terlatih dengan 6 topi itu. Ibarat topi, cara berpikir itu dapat dengan mudah dipakai atau dilepas, diganti sesuai yang kita maui.
Enam topi itu adalah:
1. Topi Putih, mirip dengan kertas kosong, kita memakai topi berpikir putih untuk menerima semua data atau masukkan. Kita memposisikan otak kita untuk menerima data atau masukan yang ada.
2. Topi Merah, ini berpikir dengan emosi, kita menggunakan perasaan (bukan logika) untuk menentukan pendapat kita tentang suatu masalah.
3. Topi Hitam, cara berpikir dengan logika negatif, kita menggunakan logika untuk mempertimbangkan akibat negatif apa yang bisa muncul dari keputusan yang akan kita ambil.
4. Topi Kuning, cara berpikir dengan logika positif. Kita menggunakan logika untuk mempertimbangkan hal-hal positif atau peluang yang bisa muncul atas ide yang sedang kita pikirkan.
5. Topi Hijau, Ini berpikir kreatif. Kita menggunakannya untuk berpikir sesuatu yang baru dan inovatif.
6. Topi Biru. Ini berpikir tentang berpikir. topi ini kita pakai untuk berpikir dalam suatu proses pengambilan keputusan.
Aplikasinya: Bisa jadi dalam suatu rapat kita berkata: "Mari kita pakai topi putih untuk masalah persembahan." Maka yang diperlukan adalah semua data dan realitas yang ada untuk dipaparkan.
Bisa juga: "Mari kita pakai topi Merah untuk ide kebaktian di hari Sabtu." Maka tiap orang harus mengungkapkan perasaannya dan intuisinya (bukan dengan logika) atas ide itu. Tapi kita juga bisa bilang ;"Kita perlu pakai topi hijau untuk mengatasi masalah pemuda." Ini sekedar contoh. Tiap masalah bisa ditelaah dengan 6 topi berpikir itu secara bergantian. Bisa dengan urutan topi putih, merah, hitam. Atau Merah, Putih dan kuning. Terserah kita, sesuai dengan kondisi yang ada.
Semoga berguna.
(kelanjutannya.....)

24 Juni 2010

Cerita tentang King Lung

Kejadian ledakan di jalan Slompretan nomer delapan itu sangat mengagetkan saya. Kamis pagi seorang teman menelpon tentang ledakan semalam sebelumnya. Katanya salah satu korbannya yang terluka adalah Imron. Saya kaget, pagi itu saya menyuruh anak buah saya untuk segera ke tempat kejadian. Tujuannya mencari kabar tentang King Lung. Dia teman saya. Memang sudah cukup lama saya tidak berjumpa dia. Beberapa saat kemudian anak buah saya memberikan kabar bahwa kondisi tempat itu memang sangat parah. King Lung belum ditemukan, Imron juga akhirnya meninggal. Wajah dua orang rekan itu masih sangat jelas terbayang. Imron dan King Lung.
Saya mengenal mereka cukup lama, karena kita sama-sama merintis bengkel CNC-Computer Numerical Control (mesin bengkel yang bisa diprogram). Imron anak buah King Lung. King Lung adalah orang kepercayaan Bos di Jakarta. Dia tidak berpendidikan tinggi. Dia dulu hanya operator mesin, kemudian dia belajar memprogram mesin. Dia orang yang baik. sopan, pekerja keras dan mau belajar. Postur tubuhnya bagus dan orangnya murah senyum. Beberapa kali saat dia mengalami masalah dengan pemograman, dia selalu datang ke tempat saya. Dia mampu belajar dengan baik.
Bengkelnya dulu mengerjakan neck-ring. bagian atas tabung LPG yang menghubungkan antara tabung dan bagian yang terbuat dari kuningan. Awalnya satu neck ring dikerjakannya dalam 1 menit. Terakhir kalinya dia berhasil mengerjakannya dalam waktu 11 detik. Rasanya itu proses pembuatan neck ring yang tercepat di Indonesia. Dia bersama teman-temannya bekerja 24 jam. Bergantian antara yang tidur dan yang bekerja. Mereka satu tim yang sangat kompak dan cekatan.
Bosnya tinggal di Jakarta. Orangnya sangat low-profile. Setiap kali ke Surabaya, saya selalu ditelpon untuk menemuinya. Karena itu saya sering mampir di Slompretan itu. Selalu saja dia memesankan Mie Hongkong di jalan Waspada itu. Kita sering ngobrol sambil makan mie itu. Kalaupun saya ke Jakarta, sayapun harus menelponnya. Memang tidak selalu saya menelpon, karena kadang saya sudah sangat capai. Kalau dia tahu saya di jakarta biasanya dia jemput saya dan kita menghabiskan sepanjang malam di Pecenongan. Makan bubur, es campur dan ngobrol. Dia sangat baik. Bisnis diantara kita tidak besar-besar amat, tapi persahabatan itu sangat akrab. Dari makan bersamanya sampai nyaris ditangkap Satpam gara-gara dia berkelahi di suatu Plaza. Menakutkan tapi lucu juga.
Banyak kali saya sering datang di Slompretan itu. Sekedar mengobrol dengan teman-teman disana. Saya juga punya rasa tersendiri dengan jalan itu. Papa saya pernah bekerja di toko Batik di depan bengkel itu dan kemudian pindah kontrak di samping bengkel itu. Dulu kalau hari libur dan pas saya ke Surabaya, saya sering membantu di toko Batik itu. Mama saya juga penah bekerja di Bank di ujung jalan itu. Dulu namanya masih Bank Umum Koperasi Kahuripan. Di jalan itu memang ada sepenggal kenangan hidup saya. Sering saya menghabiskan sore hari disana. Bila saya belum pulang ketika hari mulai gelap, selalu tukang parkirnya datang meminta ongkos parkir sebelum dia tinggal pulang. Saya selalu memberinya uang dan bonus umpatan di hati saya.
Terakhir saya dengar King Lung pacaran dengan Gadis Madura. Mamanya di Jakarta tidak menyetujuinya. Tapi dia tetap nekad. Bosnya tidak bisa berbuat apa-apa. Saya juga tidak, walaupun ingin rasanya menasehatinya. tapi saya tidak tahu mau bicara dari mana? Saya sangat berat dengan pernikahan yang tidak disetujui orang tua. Banyak kali itu mendatangkan luka atau mungkin kutuk. Saya lebih memilih menuruti orang tua dan selalu akan menasehati begitu bila ada masalah seperti itu. Tapi ke King Lung saya tidak berani bilang apa-apa. Akhirnya mereka menikah.
Setelah ledakan itu saya berusaha menelpon Bos di Jakarta itu. beberapa nomernya tidak bisa dihubungi. Hingga jumat pagi, ada satu nomer yang bisa, tapi tidak diangkat. Saya lalu hanya kirim SMS "Kho, saya ikut sedih, tapi selalu ada kekuatan dari Tuhan." Ini ungkapan tulus saya, walaupun saya tidak tahu apa agamanya. Beberapa detik kemudian dia menelpon saya, lama sekali saya mendengar ceritanya. Terutama tentang King Lung. Hari itu beberapa kali dia menelpon saya, memberitahukan tentang perkembangan King Lung. Sampai petang harinya dia SMS hotel dan nomer HP mama King Lung. Saya tidak mengenal mamanya, tapi saya sangat ingin menemuinya. saya menemuinya di kamar jenasah RSUD Dr. Sutomo. Dia tidak terlalu tua. "Ai, saya Daniel teman King Lung, saya dapat nomer Ai dari Kho...... di Jakarta" Wanita itu sangat tegar dan bijak. Di bagian lain di teras kamar jenazah itu, ada dua ibu berkerudung dan bapak berkopiah dan beberapa orang lagi. Mereka rombongan istri King Lung yang berasal dari Probolinggo. Mereka semua menunggui datangnya peti jenazah yang akan dipakai King Lung. Awalnya saya menyangka mama King Lung akan sinis dengan keluarga itu. Sayapun berbincang dengan dia tanpa menyinggung Istri King Lung sekalipun. "Satu hal yang belum dia turuti adalah bahwa dia berjanji akan memberikan menantu yang akan menyenangkan hati saya, saya belum tahu karena saya belum pernah tinggal dengan menantu saya." Diapun bercerita kalau King Lung sudah meminta nama untuk anaknya yang akan lahir sekitar dua minggu lagi. Mamanya sudah memberi satu, tapi dia meminta empat nama dan nama pilihannya sudah disimpan di HPnya.
Lorong di depan kamar jenazah itu gelap, saya baru tahu kalau Bos Besar King Lung ada di sana. Dia kakak dari Bos yang saya telpon itu. Bos ini yang paling dihormati oleh semua saudaranya. Sayapun menghampirinya dan berjabat tangan. Mama King Lung juga dan kemudian dia bilang ,"Kho, tolong diingat anak King Lung ya.... Tolong dibantu istrinya, dia mau melahirkan" Bos itu mengiyakan dan langsung menghampiri wanita yang hamil tua itu, dia mencatat alamatnya.
Saat peti jenazah sudah siap dan jenazah sudah dikeluarkan, saya sempat melihat wajah King Lung. Sudah membengkak dan berbau. Istrinya langsung pingsan. Keluarganya membopongnya, mama King Lung mengoleskan minyak kayu Putih di dahinya. Ibu dan Bapaknya sibuk menyadarkannya dengan berbahasa madura. Mereka orang desa, masih 35 KM dari Probolinggo ke selatan. Bapak Ibu itu ternyata diantar oleh "Pak Tenggih" (Pak Tinggi= Pak Lurah) desanya. Ah, musibah ini menyadarkan saya betapa manusia itu adalah mahluk sosial, yang kodratnya membantu sesamanya. Ada Pak Lurah yang bersimpati pada warganya dengan menghantar ke Surabaya. Ada wanita yang mungkin punya alasan untuk membenci menantunya, tapi kewanitaannya mampu merasakan apa yang dirasakan menantunya itu. Ada Bos besar yang mau bersimpati pada pegawainya yang setia sampai akhir hayatnya.
Malam itu, setelah peti jenazah ditutup, mereka berpisah satu sama lain. Dua keluarga yang berbeda budaya dan banyak lainnya itu saling berpelukan. King Lung sudah menyatukannya.
King Lung akan dimakamkan di Tangerang di kampungnya. Mamanya minta dia dimakamkan bukan dikremasi agar anaknya suatu saat kelak dapat mengetahui kubur papanya.
King Lung kita masih bersahabat.
(kelanjutannya.....)

Oleh-oleh dari Medaeng

Sabtu kemarin ini kami berenam berkunjung ke seorang rekan yang ditahan di Lapas Medaeng. Tjie Joung yang menjadi pencetus kegiatan ini. Rasanya ini jadi reuni lagi setelah tahun lalu kita membuat "sinetron' untuk TVRI. Suasana sudah terasa ketika kita berkumpul dan menunggu teman yang belum datang. Di samping pos satpam, acara di mulai dengan makan menu spesial GKI Dipo yang baru dan lagi favorit, Bakwan Babi! Nah, bagi yang masih di luar Surabaya, perlu diumumkan bahwa di depan gereja setiap hari ada Bakwan Babi yang mangkal. Semua bilang enak. Ini bukan bakso babi kayak jamannya Arifin dulu, ini kuahnya lumayan bening. Makanya cepetan datang ke Dipo lagi ya.... Berenam ada: Tjie Joung, Robert Harmani, Yahya Juanda, Andreas Nagaginta, Prianto dan saya.
Awalnya, acara nyaris batal, karena Yahya mendapat SMS bahwa teman kita baru periksa darah karena dia terkena sakit kuning. MR harus istirahat total dan tidak boleh dibesuk. Tapi karena salah satu diantara kita berprofesi pengacara, maka ia yang menelpon salah satu pejabat di sana untuk meminta ijin khusus. Katanya sih Ok, boleh masuk. Maka kita berangkat dengan satu mobil saja, agar bisa tetap reuni dengan meriah.
Sepanjang jalan kita berbincang, bercanda, saling mengejek, saling menggoda, ada juga yang mencoba mengenang kejadian "jadul".
"Satu hal yang sudah berubah, aku sudah meninggalkan kebiasaan 'minum-minum'ku..."
Langsung ada yang menimpali:
"Yo.... ngono, mosok gara-gara koen mlaku nabrak koco e gedung pertemuan, aku sing di celuk Pak Ben"
"Pak Ben ngomong; tolong jangan seperti itu, jangan minum-minum gitu..... Aku njawab: Ya Pak Ben, dia sudah saya beritahu kalau mau mabuk jangan di gereja, di luar sana..... Eh, Pak Ben malah ngamuk dan ngomong : Lho, walaupun di luar juga TIDAK BOLEH!"
Ada juga yang bilang, "Kita ini sudah kepala 4 semua, tapi koq guyonannya masih kayak waktu usia belasan tahun...."
"Pokoknya khan kalau sudah di depan anak-anak harus bersikap lain yo..."
ini untuk pertama kalinya saya ke Medaeng. Luas dan Besar sekali. Di pintu depan kita melapor dan lagi-lagi sang "pengacara" yang jadi pemimpin, dia yang mengurus dan mendatangi semua loket dan meja yang ada. Saat Andree mau masuk gerbang pertama, dia langsung ditolak, karena mengenakan celana 3/4, harus bercelana panjang. Tapi petugasnya bilang, "Itu sewa celana di depan sana" Di seberang Lapas itu ternyata ada persewaan celana panjang, Rp. 5.000,oo. "tapi pak, apa ada ukuran yang pas?" sambil dia memandang lingkar perutnya. "Beres, semua ukuran ada disini..." Benar, ada! Celananya lumayan bagus. Yang memakai langsung punya ide cemerlang, "Eh, yok opo nek langsung mole ae..... lumayan, limang ewu entuk celono iki..."
Melintas gerbang pertama kita diminta meninggalkan KTP dan diperiksa, HP tidak boleh dibawa masuk. Kita memang sudah meninggalkannya di mobil.Cuma sang "pengacara" yang boleh membawa HP karena dia menyebut nama seorang pejabat disana. Saat mau melewati gerbang kedua, tangan kita di stempel "SIAP", entahlah apa artinya. Yang jelas kalau sampai stempel ini hilang..... berarti kita juga siap untuk tidak bisa keluar.
Kita menunggu di teras dan tidak masuk ke area kunjungan karena di sana sangat berjubel, MR yang di panggil untuk menemui kita. Itu juga karena ada usaha dari sang pengacara. Apapun bisa diatur oleh pengacara,. Rasanya mataharipun kalau mau terbit harus tanya dulu sama pengacara. Syukurlah kita punya teman yang begini.
MR keluar dengan kulit yang tampak pucat kekuningan, dia sakit kuning. Menularkah? Saya sendiri rada-rada takut. Kita berbincang-bincang di teras itu. Dia masuk sini karena kasus pemalsuan kartu kredit. Ini yang kedua kalinya, dia sudah pernah menjalani hukuman 20 bulan. "Saya sebenarnya sudah mau mandeg deg! Tapi saya tidak tahu mau kerja apa lagi...?" Entahlah saya harus bersikap apa? Dulu kita bermain bersama di KPR. Dulu kita pelayanan bersama. Kenapa dia bisa begini? Apakah pelayanan kita dulu itu tidak berpengaruh pada bagaimana seharusnya kita hidup? Apa memang pelayanan itu jauh dari kehidupan yang sebenar-benarnya? Pemalsuan pasti butuh kepandaian, kenapa dia tidak bisa memanfaatkannya untuk yang positif? Ah, saya juga cuma bisa bengong saja. Kita pamit pulang setelah memberi bingkisan kue dan penganan buat MR.
Di perjalanan pulang kita tetap penuh canda, apa lagi beberapa teman sudah mulai gerah sama kelakuan sang pengacara. "Yo, kene sek daerah kekuasaanmu, tapi nek wis liwat CITO merono, koen tak entek no....." Bener juga kita bergantian "membantai" Sang pengacara saat mobil sudah melintasi CITO di bundaran Waru. Kita menutup acara itu dengan makan siang bersama dan balik ke gereja. Di gereja Bis Damri yang mengantar anak-anak KA dari bakti sosial sudah datang. Benar juga, di depan anak-anak itu, kita sudah harus bersikap lain lagi, meninggalkan semua kenakalan tadi. Kapan kita reunian lagi ya....?
(kelanjutannya.....)