29 September 2009

Cerita tentang Info Buku

Ini cerita tentang buku yang saya info-kan beberapa waktu yang lalu, "Ilusi Negara Islam", karya Gus Dur. Beberapa hari setelah itu saya harus ke Jakarta untuk menemui pelanggan. Kita janji untuk bertemu jam 9an di Cengkareng. Saya sudah siap tiket jam enam pagi dari Surabaya. Kemudian dia memberitahu perubahan jadwal penerbangannya, dia baru akan tiba jam 11 lebih, Untuk itulah saya mencetak buku itu dan membawanya untuk mengisi waktu menunggu itu. Buku itu cukup menarik, menuturkan masalah yang dihadapi oleh NU dan Muhammadiyah dalam menghadapi rongrongan Islam Garis Keras (PKS). Hal ini mengingatkan saya dengan masalah yang pernah kita hadapi. Saat banyak orang "reform" merongrong gereja kita. Polanya ternyata sama, mungkin inilah manusia, apapun agamanya polanya juga sama. Pagi itu saya hampir menyelesaikan membaca buku itu. Yang tersisa bagian lampirannya yang memang cukup banyak.
Malam harinya, saya pulang dengan penerbangan malam. Saya berencana untuk menyelesaikan buku itu. Saya sudah minta duduk di dekat jendela darurat, ini untuk menyelamatkan kaki saya yang tersiksa kalau harus duduk di kursi biasa. Saat naik pesawat, ternyata ada masalah, saya dapat kursi satu nomer dibelakang "emergency exit". Tersiksalah saya, tapi mau apalagi. Sayapun duduk sambil membaca buku itu. Beberapa saat kemudian datanglah seorang Bapak tua duduk di sebelah saya, disebelahnya kemudian ada seorang pemuda. Saya terus membaca, tidak terlalu menghiraukan mereka. Bapak itu duduk sambil membawa buku berwarna kuning emas dengan sampul tebal, mirip Alquran. Wajahnya cukup khas, saya mencoba untuk mengingat, dimana saya pernah menemuinya. Saya ingat! Saat dia menyapa saya, saya mengatakan, "Saya dulu pernah satu pesawat dengan Bapak saat Bapak pulang dari Amerika." Saat itu saya menunggu keluarnya bagasi dan saya melihat Bapak itu disalami banyak orang, ke salah satu orang itu saya dulu pernah bertanya siapakah beliau ini. Beliau ini Kyai yang cukup terkenal, tapi saya sudah lupa siapa namanya. Bapak itu duduk sambil membaca buku yang dibawanya. Ada juga penumpang yang kemudian menyapanya dengan sebutan Gus. Mungkin Beliau memang orang yang cukup terkenal.
Bagian yang saya baca, adalah lampiran-lampiran surat-surat keputusan NU dan Muhammadiyah berkaitan dengan masalah yang dibahas. Jelas sekali di beberapa bagian ada tulisan Arabnya. Mungkin ini yang menarik perhatiannya. Pasti beliau heran, karena agak kurang "Kompatiibel" antara wajah saya dan tulisan Arab itu. "Buku apa itu?" Saya tunjukan halaman depan buku itu. "Fotokopian ya?" Nadanya agak sinis, "Bukan, ini hasil download." Dia melihat-lihat buku itu kemudian menyerahkan lagi ke saya. "kamu suka baca ya/" Saya mengangguk. "Datang saja ke rumah saya, saya punya banyak buku." Saya tersenyum. "Bapak tinggal dimana?" "Sidoarjo" "alamatnya mana?" "Semua orang di Sidoarjo tahu rumah saya." Saya senyum. "Bengkel saya di Gedangan." "Yah, orang Gedangan pasti mengenal saya." "Ok, saya akan tanya teman-teman di bengkel, tapi Bapak namanya siapa?" Dia tidak mau mengatakannya, dia menunjukkan boarding pass-nya. Saya baca nama itu. "Bapak orang yang sangat terkenal." Saya mengatakan hal itu bukan karena mengenal nama itu, tapi saya membacanya dari pencitraan yang hendak dia sampaikan ke saya selama itu. Cara ini biasanya sangat ampuh untuk memulai perbincangan dengan orang lain. "Pak, namanya saya tulis ya, sebab saya cepat lupa" Saya tulis namanya di halaman depan buku itu. Mungkin karena saya menuliskannya kurang tepat, dia mengambil buku dan bolpoin saya. Dia menuliskannya dengan ejaan lama. "Kamu datang saja ke rumah saya" Beliau mengulangi ajakannya itu. Saya mengangguk. Setelah itu saya berusaha melanjutkan membaca. Saya tidak mengajak dia bicara, karena saya juga takut mengganggunya. Penerbangan ini sudah cukup larut malam, pasti beliau letih juga, mungkin beliau ingin tidur. Saat saya membaca, dia berbincang dengan pemuda yang duduk di kanannya.
Akhirnya selesai juga saya membaca buku itu. Saya letakkan buku itu di kantong kursi di depan saya. Beberapa kali saya "dijawil"nya. Saya menoleh ke arahnya dan tersenyum. Beliau biasa-biasa saja, tanpa ekspresi apa-apa, seakan-akan dia tidak melakukan apa-apa barusan. Kemudian dia memegang tangan saya. Dia genggam lengan saya. Telapak tangannya terasa panas. Saya sempat terpikir sesuatu yang "aneh" yang bisa terjadi pada diri saya. Saya punya alasan untuk merasa takut. Saat itu saya hanya berdoa dalam hati. Saya yakin bahwa Tuhan pasti mengasihi saya. Saya mengumpamakan diri saya seperti seorang anak yang tiba-tiba berjalan menyelonong di jalan raya yang ramai. Anak itu pasti tidak tahu akan bahaya yang bisa mengancam dirinya. Orang tuanya yang pasti panik melhat hal itu. Orang tuanya yang bakal panik mencari cara untuk menyelamatkan anak itu dari bahaya yang siap mengancam, meski anak itu sendiri tidak menyadarinya. Kasih Tuhan pasti lebih besar dari kasih orang tua kita. Saya tidak berusaha melepaskan tangan Bapak itu. Saya takut menyinggung perasaannya, Kalaupun keputusan itu salah, tapi saya yakin Tuhan tahu isi hati saya dan Ia sanggup melindungi saya. Pengalaman saya beberapa kali dengan sesuatu yang "supranatural", membawa saya akan pemahaman akan penyertaan Tuhan seperti di atas. Saya bukan orang punya kemampuan melawan dan menolak kuasa itu, tapi saya yakin Tuhan mampu melindungi saya. Roh yang ada di dalam kita pasti lebih besar dari segala kuasa yang ada. Beliau melepaskan genggamannya. Beberapa saat kemudian dia memegang tangan saya lagi. saya biarkan saja.
Ketika mendarat, dia keluar duluan, sayapun tidak melihat dia, mungkin dia mengambil bagasi. Saya berjalan bersama pemuda yang duduk disebelah Bapak itu. Saya mengajaknya pulang bersama, karena memang saya memarkir mobil saya di bandara. Di perjalanan kita berbincang-bincang. Pemuda itu yang bercerita tentang bapak itu. "Beberapa kali Beliau berhasil membaca pikiran saya." "Ohya?" "Ya, pak, tadi waktu saya berdoa, dia bilang kalau saya tenang saja, karena semuanya aman. Saat saya melamun tentang hal yang negatif, beliau mengingatkan saya. beberapa kali." Mungkinkah hal itu benar? Saya tidak tahu, tapi pemuda ini bercerita dengan sungguh-sungguh tentang "kemampuan" Bapak itu.
Ketika saya sampai di rumah, saya langsung buka internet. Saya cari nama beliau. Ternyata beliau adalah pengasuh sebuah pondok pesantren yang terkenal di Sidoarjo. Dari web sitenya, saya tahu alamat Beliau. Besoknya, pagi-pagi saya menelpon rekan yang tinggal di daerah itu, menanyakan perihal Bapak itu. Ternyata Beliau memang orang yang terkenal dan sangat kaya. Banyak orang yang antri hanya untuk bersalaman dengannya. Sore harinya saya datang ke rumah Beliau. Beliau tidak ada di tempat karena mengisi Seminar di Unair. Tidak masalah bagi saya, saya hanya ingin menepati janji saya untuk datang ke rumahnya.
Kira-kira apa yang Beliau lakukan saat memegang tangan saya? Apapun juga, saya hanya berpikir, "Masak sih Tuhan tidak kasihan sama saya?"
(kelanjutannya.....)

Outliers

Ini oleh-oleh dari libur lebaran. Ada buku yang bagus isinya. Judulnya Outliers (Rahasia di Balik Sukses), Karya Malcolm Gladwell, terbitan Gramedia. Kalau mau download audiobooknya (english version) bisa di cari di 4share.com. Totalnya 200Mb, saya mendownload selama satu jam di GSG lantai dua.

Kalau melihat judulnya, kemungkinan besar saya tidak berminat dengan buku itu. Saya selalu merasa 'alergi' dengan buku yang bicara soal sukses. Alasannya, karena belum tentu penulisnya adalah orang sukses yang benar-benar sukses.  Awalnya saya saya cuma sekedar mencari audiobook untuk latihan bahasa inggris. Setelah berhari-hari saya dengarkan, ada beberapa kata kunci yang sulit saya tangkap. Setelah bolak-balik buka kamus, masih juga belum ketemu juga. Bisa jadi karena telinga yang dibesarkan dengan nasi pecel ini sulit menangkap suara yang dihasilkan karena energi dari burger dan steak. Saya cari PDF-nya, tapi waktu itu belum ada yang upload, maka terpaksa saya beli buku edisi bahasa Indonesianya. Saya baca, ternyata menarik dan lebih menarik dari audiobooknya. Lha, saya yang tidak terlatih mendengar bahasa Inggris itu. Buku ini tidak berisi ulasan penulis tentang rahasia kesuksesan. Penulisnya hanya menarik beberapa benang merah dari beberapa orang-orang yang dianggap sukses.

Yang menarik adalah pendapat penulis bahwa ada faktor-faktor diluar diri para orang sukses itu yang menjadi faktor dominan penentu kesuksesannya.
 Para orang sukses di bidang komputer, Bill Gates (Microsoft) lahir tahun 1955, Paul Allen (Microsoft) lahir tahun 1953, Steve Balmer (microsoft) lahir tahun 1955, Steve Jobs (Apple) lahir tahun 1955, Erick Schmidt (Novell) lahir tahun 1955,  Bill Joys (Sun Microsystems) lahir tahun 1955. Mereka mendapat keberuntungan karena lahir di tahun-tahun itu sehingga mereka mampu mengambil peluang di pertumbuhan PC (personal Computer) di pertengahan tahun 70an. Sebagian besar orang yang masuk daftar terkaya di USA dilahirkan di tahun 1830an. Mereka itu : John D. Rockefeller, Andrew Carnagie, Frederick Weyerhaeuser, Jay gould, JP Morgan dll. Mereka ini mendapat keuntungan masuk dengan usia yang tepat saat pertumbuhan ekonomi USA dalam kondisi sangat baik di tahun 1860 sampai 1870-an. Belum lagi para pemain hockey yang top di Canada, hampir pasti lahir di bulan Januari sampai Maret, sangat jarang yang di lahirkan di akhir tahun. Harus diakui bahwa ada faktor keberuntungan melalui tanggal kelahiran orang-orang sukses itu. Apa ini berkaitan dengan Zodiac? Bukan. karena bisa jadi kelahiran itu pas dengan sistem yang ada di masyarakat kita. Batas usia pemain Hockey di Canada diambil pada 1 Januari, jadi bila ada anak yang lahir pada tahun yang sama, anak yang lahir di tanggal 2 januari pasti akan punya tubuh yang lebih kekar dari pada anak yang lahir di akhir tahun. Tahun lahirnya sama, tapi perbedaan beberapa bulan itu yang membedakan kemampuan fisik anak-anak itu.

Yang lebih menarik lagi adalah, buku ini dibuka dengan kutipan Matius 25:29, "Karena setiap orang yang mempunyai, kepadanya akan diberi sehingga dia berkelimpahan. Tetapi siapa yang tidak mempunyai, apapun yang ada padanya akan diambil dari padanya." Di masyarakat berkembang sesuatu yang sejalan dengan prinsip itu. Orang kaya akan menikmati fasilitas pembebasan pajak yang lebih dari orang miskin, kalau di indonesia, soal subsidi BBM yang menikmati subsidi paling banyak ya... orang kaya dengan sedan bermesin besar, rakyat kecil hanya merasakan subsidi BBM lewat kendaraan umum yang berjejal-jejal. Dengan jumlah bensin yang sama, orang kaya menikmatinya karena dia naik sendirian mobilnya, tapi orang miskin harus berbagi dengan banyak orang saat ia naik kendaraan umum yang di subsidi BBMnya. Anak pandai akan masuk di sekolah bagus atau kelas akselerasi yang pelajarannya lebih diperhatikan oleh para guru. Keadaan ini makin membuat orang yang berkemampuan rendah semakin tertinggal. Penulis juga setuju dengan "Hukum 10 ribu Jam". Orang akan mencapai keahliannya karena ia berlatih selama sepuluh ribu jam. The Beatles bisa sukses di USA karena sebelumnya ia bermain musik di Hamburg selama 8 jam sehari dalam 7 hari seminggu selama beberapa tahun. Orang yang merasa mempunyai talenta akan semakin terpacu untuk berlatih dan orang yang agak kurang, cenderung menjadi lebih malas berlatih. Ketekunan dan kegigihan tetap menjadi kunci kesuksesan. Sangat berbeda dengan banyak buku yang menawarkan sukses yang diraih dengan jalan pintas.

Faktor diluar kita yang mampu mendukung kesuksesan adalah masalah budaya kita. Banyak orang yahudi di USA sukses, karena mereka lahir sebagai orang Yahudi. Mereka mendapat tekanan karena faktor kelahirannya, tetapi itu yang menjadikan mereka mampu memacu diri sehingga bisa sukses. Tapi budaya ini juga bisa menghancurkan kita. Salah satu budaya yang dibahas adalah budaya penghormatan pada kelas-kelas sosial di  masyarkat Korea dan Kolumbia. Ada dua kecelakaan pesawat terbang di Korean Air dan Avianca (columbian airlines) karena faktor budaya dimana co-pilot tidak berani mengatakan sesuatu dengan lugas kepada Pilot atau orang yang dianggap lebih tinggi status sosialnya walau dalam keadaan yang sudah sangat genting. Budaya menganggap atasan atau orang yang lebih tua lebih tahu dari kelas sosial yang lain, telah menjadi dasar pemicu kecelakaan pesawat udara itu.

Bagi yang berniat membeli buku, saya menyarankan untuk beli buku ini. Menarik dan tidak mengada-ada. Kalau yang tidak suka buku yang serius, ada buku bagus juga: Benny dan Mice: Lost In Bali 1 dan 2! Buku kartun tapi guyonannya kreatif.

(kelanjutannya.....)

26 September 2009

Berenang di Tatami

Tatami adalah sejenis tikar khas Jepang. Ungkapan judul diatas, saya dapatkan di sessi terakhir training yang saya ikuti. Ada pengajaran, ada studi kasus dan diskusi serta presentasi. Training ini adalah sebagian dari rangkaian training yang diadakan di Jakarta dan Surabaya, untuk mengikutinya kita harus lulus tes penempatan dan setelah training kita harus ikut ujian untuk mendapatkan  sertifikat dari JETRO. Japan External Trading Organisation. Trainingnya gratis karena dibiayai oleh JETRO, ini bagian dari kompensasi perjanjian dua negara, IJEPA (Indonesian Japan Economic Partnership Agreement), kompensasi dari banyak kemudahan yang diterima oleh Jepang dari Indonesia, termasuk jaminan suplai Gas Alam. Seperti biasanya instrukturnya orang Jepang. Beliau berpesan melalui peribahasa iru. Berenang di tatami.
 
Setelah selama lima hari penuh kita belajar tentang topik training, kelihatannya kita sudah menguasai topik yang dibahas. Dari cara kita membaca topik yang harus dibaca bergilir, intrukturnya yakin bahwa pemahaman kelompok di Surabaya ini, lebih baik dari kelompok training yang sudah dipandunya di Jakarta sebelumnya. Padahal dia tidak dapat berbahasa Indonesia, dia menilai dari cara membaca dan intonasinya saja. Training itu dia akhiri dengan peribahasa itu: Berenang di Tatami. Saat kita mempelajari sesuatu, akhirnya kita merasa bisa memahami hal baru tersebut. Itu seperti kita belajar Berenang di Tatami. Berenang di atas tikar. Kita tahu urutan-urutan gerakan yang ada. Kita bisa menggerakkan tangan dan kaki kita sesuai dengan gaya berenang yang kita pelajari. Kita sudah bisa berenang, tapi Berenang di tatami. Berenang di atas tikar! Bisa jadi saat kita mencoba berenang di kolam renang atau sungai sesungguhnya, kita akan tenggelam. Pemahaman kita harus dilanjutkan dengan praktek dilapangan dan dari sanalah kita bisa mendapatkan penguasaan materi yang sesungguhnya.
 
 Berenangpun punya beberapa tingkatan, yang termudah di tatami, kemudian di kolam renang, lalu di sungai, juga ada renang dilaut lepas. Sungai dan laut pun masih ada bermacam-macam tingkat kesulitannya, mulai dari yang berarus tenang dan dangkal sampai yang dalam dan berarus deras atau bergelombang tinggi.
Mungkin sama ya dengan pemahaman iman saya. Membaca dan mendengarkan kotbah membuat saya semakin merasa serba tahu. Tapi kehidupan nyata di masyarakatlah yang menyempurnakan dan memurnikan pemahaman iman ini.
 
Semoga ini bermanfaat.
 
(kelanjutannya.....)