Ini cerita tentang buku yang saya info-kan beberapa waktu yang lalu, "Ilusi Negara Islam", karya Gus Dur. Beberapa hari setelah itu saya harus ke Jakarta untuk menemui pelanggan. Kita janji untuk bertemu jam 9an di Cengkareng. Saya sudah siap tiket jam enam pagi dari Surabaya. Kemudian dia memberitahu perubahan jadwal penerbangannya, dia baru akan tiba jam 11 lebih, Untuk itulah saya mencetak buku itu dan membawanya untuk mengisi waktu menunggu itu. Buku itu cukup menarik, menuturkan masalah yang dihadapi oleh NU dan Muhammadiyah dalam menghadapi rongrongan Islam Garis Keras (PKS). Hal ini mengingatkan saya dengan masalah yang pernah kita hadapi. Saat banyak orang "reform" merongrong gereja kita. Polanya ternyata sama, mungkin inilah manusia, apapun agamanya polanya juga sama. Pagi itu saya hampir menyelesaikan membaca buku itu. Yang tersisa bagian lampirannya yang memang cukup banyak.
Malam harinya, saya pulang dengan penerbangan malam. Saya berencana untuk menyelesaikan buku itu. Saya sudah minta duduk di dekat jendela darurat, ini untuk menyelamatkan kaki saya yang tersiksa kalau harus duduk di kursi biasa. Saat naik pesawat, ternyata ada masalah, saya dapat kursi satu nomer dibelakang "emergency exit". Tersiksalah saya, tapi mau apalagi. Sayapun duduk sambil membaca buku itu. Beberapa saat kemudian datanglah seorang Bapak tua duduk di sebelah saya, disebelahnya kemudian ada seorang pemuda. Saya terus membaca, tidak terlalu menghiraukan mereka. Bapak itu duduk sambil membawa buku berwarna kuning emas dengan sampul tebal, mirip Alquran. Wajahnya cukup khas, saya mencoba untuk mengingat, dimana saya pernah menemuinya. Saya ingat! Saat dia menyapa saya, saya mengatakan, "Saya dulu pernah satu pesawat dengan Bapak saat Bapak pulang dari Amerika." Saat itu saya menunggu keluarnya bagasi dan saya melihat Bapak itu disalami banyak orang, ke salah satu orang itu saya dulu pernah bertanya siapakah beliau ini. Beliau ini Kyai yang cukup terkenal, tapi saya sudah lupa siapa namanya. Bapak itu duduk sambil membaca buku yang dibawanya. Ada juga penumpang yang kemudian menyapanya dengan sebutan Gus. Mungkin Beliau memang orang yang cukup terkenal.
Bagian yang saya baca, adalah lampiran-lampiran surat-surat keputusan NU dan Muhammadiyah berkaitan dengan masalah yang dibahas. Jelas sekali di beberapa bagian ada tulisan Arabnya. Mungkin ini yang menarik perhatiannya. Pasti beliau heran, karena agak kurang "Kompatiibel" antara wajah saya dan tulisan Arab itu. "Buku apa itu?" Saya tunjukan halaman depan buku itu. "Fotokopian ya?" Nadanya agak sinis, "Bukan, ini hasil download." Dia melihat-lihat buku itu kemudian menyerahkan lagi ke saya. "kamu suka baca ya/" Saya mengangguk. "Datang saja ke rumah saya, saya punya banyak buku." Saya tersenyum. "Bapak tinggal dimana?" "Sidoarjo" "alamatnya mana?" "Semua orang di Sidoarjo tahu rumah saya." Saya senyum. "Bengkel saya di Gedangan." "Yah, orang Gedangan pasti mengenal saya." "Ok, saya akan tanya teman-teman di bengkel, tapi Bapak namanya siapa?" Dia tidak mau mengatakannya, dia menunjukkan boarding pass-nya. Saya baca nama itu. "Bapak orang yang sangat terkenal." Saya mengatakan hal itu bukan karena mengenal nama itu, tapi saya membacanya dari pencitraan yang hendak dia sampaikan ke saya selama itu. Cara ini biasanya sangat ampuh untuk memulai perbincangan dengan orang lain. "Pak, namanya saya tulis ya, sebab saya cepat lupa" Saya tulis namanya di halaman depan buku itu. Mungkin karena saya menuliskannya kurang tepat, dia mengambil buku dan bolpoin saya. Dia menuliskannya dengan ejaan lama. "Kamu datang saja ke rumah saya" Beliau mengulangi ajakannya itu. Saya mengangguk. Setelah itu saya berusaha melanjutkan membaca. Saya tidak mengajak dia bicara, karena saya juga takut mengganggunya. Penerbangan ini sudah cukup larut malam, pasti beliau letih juga, mungkin beliau ingin tidur. Saat saya membaca, dia berbincang dengan pemuda yang duduk di kanannya.
Akhirnya selesai juga saya membaca buku itu. Saya letakkan buku itu di kantong kursi di depan saya. Beberapa kali saya "dijawil"nya. Saya menoleh ke arahnya dan tersenyum. Beliau biasa-biasa saja, tanpa ekspresi apa-apa, seakan-akan dia tidak melakukan apa-apa barusan. Kemudian dia memegang tangan saya. Dia genggam lengan saya. Telapak tangannya terasa panas. Saya sempat terpikir sesuatu yang "aneh" yang bisa terjadi pada diri saya. Saya punya alasan untuk merasa takut. Saat itu saya hanya berdoa dalam hati. Saya yakin bahwa Tuhan pasti mengasihi saya. Saya mengumpamakan diri saya seperti seorang anak yang tiba-tiba berjalan menyelonong di jalan raya yang ramai. Anak itu pasti tidak tahu akan bahaya yang bisa mengancam dirinya. Orang tuanya yang pasti panik melhat hal itu. Orang tuanya yang bakal panik mencari cara untuk menyelamatkan anak itu dari bahaya yang siap mengancam, meski anak itu sendiri tidak menyadarinya. Kasih Tuhan pasti lebih besar dari kasih orang tua kita. Saya tidak berusaha melepaskan tangan Bapak itu. Saya takut menyinggung perasaannya, Kalaupun keputusan itu salah, tapi saya yakin Tuhan tahu isi hati saya dan Ia sanggup melindungi saya. Pengalaman saya beberapa kali dengan sesuatu yang "supranatural", membawa saya akan pemahaman akan penyertaan Tuhan seperti di atas. Saya bukan orang punya kemampuan melawan dan menolak kuasa itu, tapi saya yakin Tuhan mampu melindungi saya. Roh yang ada di dalam kita pasti lebih besar dari segala kuasa yang ada. Beliau melepaskan genggamannya. Beberapa saat kemudian dia memegang tangan saya lagi. saya biarkan saja.
Ketika mendarat, dia keluar duluan, sayapun tidak melihat dia, mungkin dia mengambil bagasi. Saya berjalan bersama pemuda yang duduk disebelah Bapak itu. Saya mengajaknya pulang bersama, karena memang saya memarkir mobil saya di bandara. Di perjalanan kita berbincang-bincang. Pemuda itu yang bercerita tentang bapak itu. "Beberapa kali Beliau berhasil membaca pikiran saya." "Ohya?" "Ya, pak, tadi waktu saya berdoa, dia bilang kalau saya tenang saja, karena semuanya aman. Saat saya melamun tentang hal yang negatif, beliau mengingatkan saya. beberapa kali." Mungkinkah hal itu benar? Saya tidak tahu, tapi pemuda ini bercerita dengan sungguh-sungguh tentang "kemampuan" Bapak itu.
Ketika saya sampai di rumah, saya langsung buka internet. Saya cari nama beliau. Ternyata beliau adalah pengasuh sebuah pondok pesantren yang terkenal di Sidoarjo. Dari web sitenya, saya tahu alamat Beliau. Besoknya, pagi-pagi saya menelpon rekan yang tinggal di daerah itu, menanyakan perihal Bapak itu. Ternyata Beliau memang orang yang terkenal dan sangat kaya. Banyak orang yang antri hanya untuk bersalaman dengannya. Sore harinya saya datang ke rumah Beliau. Beliau tidak ada di tempat karena mengisi Seminar di Unair. Tidak masalah bagi saya, saya hanya ingin menepati janji saya untuk datang ke rumahnya.
Kira-kira apa yang Beliau lakukan saat memegang tangan saya? Apapun juga, saya hanya berpikir, "Masak sih Tuhan tidak kasihan sama saya?"
(kelanjutannya.....)