Di suatu postingan ada video tentang anak kecil yang fasih berkotbah tentang surga dan agama. Nampak menarik dan membanggakan anak kecil bisa fasih bicara hal yang begitu rohani. Saya kemudian berfikir tentang anak-anak saya, apa yang sudah saya ajarkan untuk mereka? Apa mereka bisa bicara tentang hal-hal yang rohani, masak kalah sama anak kecil itu?
Saya berpikir keras tentang pendidikan rohani untuk anak-anak, ini rasanya penting. Ini perlu untuk masa depan mereka. Ada benarnya juga, karena dulu untuk masuk ITS anak-anak harus pinter rumus fisika, matematika, kimia, sekarang katanya bisa masuk ITS kalau bisa hafal sekian Juz ayat Alquran. Di suatu WA Grup teman yang Kristen berjuang untuk kesetaraan apa yang bisa didapatkan oleh yang beragama lain? Hafal Alkitab? Pintar kotbah? Yang nampak rohani itu memang sudah sedemikian pentingnyakah?
Mendidik anak tentang hal yang rohani itu harus bagaimana? Saya sulit membayangkannya, karena memang saya tidak pernah sekolah dengan pelajaran cara mendidik anak. Mendidik anak cuma hal yang terpaksa dilakukan di kehidupan saya ini. Mendidik anak tidak disiapkan namun harus dijalani. Mendidik anak tidak ada ujian sertifikasinya, namun bila gagal akan jadi beban seumur hidup. Mendidik anak itu katanya sulit, tapi mau tidak mau itu ada di keseharian kehidupan ini. Keniscayaan yang tak terhindarkan.
Que sera sera, what will be will be? Harusnya tidak! Keteladanan tetap kunci untuk bisa mendidik dengan baik. Hidup baik akan menuntun orang lain di keluarga untuk jadi baik. Mendidik bukan sekedar mengajarkan. Mendidik bisa berarti tidak mengajarkan apa-apa, tapi selalu hadir dengan perbuatan yang bisa dicontoh. Emak saya tidak mengajarkan jam berapa saya harus bangun pagi. Tapi memberi teladan bangun jam satu pagi karena jam tiga pagi sudah harus ada yang memerah sapi. Komit pada pekerjaan yang dilakoninya. Kalau saya mau membantu berarti saya harus bangun sepagi itu.
Memeriksa tingkat kerohanian jadi pertanyaan penilai saat mendidik anak ini saya jalani. Entahlah apa dan bagaimana standard itu bisa saya terapkan. Saat ini, interaksi keseharian yang akan menentukan seberapa standard itu dididikkan. Apa yang menjadi kerisauan saya? Apa saya risau kalau ada yang tanya,”Anak Bapak koq gak bisa mimpin renungan dengan baik?” atau lebih risau kalau misalnya ada yang menelpon dari Ambon, ”Anak bapak rasanya nilep uang kaos……” Apa yang lebih merisaukan, anak saya bingung saat menjelaskan ayat Alkitab, atau anak itu bingung saat butuh beli kursi hingga harus menempuh jalan menipu? Hal rohani rasanya adalah hal yang imanen di dalam keseharian. Saat yang rohani itu tidak nampak jelas, mungkin hanya perbuatan keseharian yang bisa dirasakan oleh orang lain.
Pengalaman hidup tentang mendidik anak ini yang mengingatkan kekuatan sebuah pengharapan seperti lirik lagu: “Tuntun aku Tuhan Allah. Lewat gurun dunia, Kau perkasa dan setia. Bimbing aku yang lemah….. “