31 Oktober 2023

Mendidik Anak

Di suatu postingan ada video tentang anak kecil yang fasih berkotbah tentang surga dan agama. Nampak menarik dan membanggakan anak kecil bisa fasih bicara hal yang begitu rohani. Saya kemudian berfikir tentang anak-anak saya, apa yang sudah saya ajarkan untuk mereka? Apa mereka bisa bicara tentang hal-hal yang rohani, masak kalah sama anak kecil itu?

 

Saya berpikir keras tentang pendidikan rohani untuk anak-anak, ini rasanya penting. Ini perlu untuk masa depan mereka. Ada benarnya juga,  karena dulu untuk masuk ITS anak-anak harus pinter rumus fisika, matematika, kimia, sekarang katanya bisa masuk ITS kalau bisa hafal sekian Juz ayat Alquran. Di suatu WA Grup teman yang Kristen berjuang untuk kesetaraan apa yang bisa didapatkan oleh yang beragama lain? Hafal Alkitab? Pintar kotbah? Yang nampak rohani itu memang sudah sedemikian pentingnyakah?

 

Mendidik anak tentang hal yang rohani itu harus bagaimana? Saya sulit membayangkannya, karena memang saya tidak pernah sekolah dengan pelajaran cara mendidik anak. Mendidik anak cuma hal yang terpaksa dilakukan di kehidupan saya ini. Mendidik anak tidak disiapkan namun harus dijalani. Mendidik anak tidak ada ujian sertifikasinya, namun bila gagal akan jadi beban seumur hidup. Mendidik anak itu katanya sulit, tapi mau tidak mau itu ada di keseharian kehidupan ini. Keniscayaan yang tak terhindarkan.

 

Que sera sera, what will be will be? Harusnya tidak! Keteladanan tetap kunci untuk bisa mendidik dengan baik. Hidup baik akan menuntun orang lain di keluarga untuk jadi baik. Mendidik bukan sekedar mengajarkan. Mendidik bisa berarti tidak mengajarkan apa-apa, tapi selalu hadir dengan perbuatan yang bisa dicontoh. Emak saya tidak mengajarkan jam berapa saya harus bangun pagi. Tapi memberi teladan bangun jam satu pagi karena jam tiga pagi sudah harus ada yang memerah sapi. Komit pada pekerjaan yang dilakoninya. Kalau saya mau membantu berarti saya harus bangun sepagi itu.

 

Memeriksa tingkat kerohanian jadi pertanyaan penilai saat mendidik anak ini saya jalani. Entahlah apa dan bagaimana standard itu bisa saya terapkan. Saat ini, interaksi keseharian yang akan menentukan seberapa standard itu dididikkan. Apa yang menjadi kerisauan saya? Apa saya risau kalau ada yang tanya,”Anak Bapak koq gak bisa mimpin renungan dengan baik?” atau lebih risau kalau misalnya ada yang menelpon dari Ambon, ”Anak bapak rasanya nilep uang kaos……” Apa yang lebih merisaukan, anak saya bingung saat menjelaskan ayat Alkitab, atau anak itu bingung saat butuh beli kursi hingga harus menempuh jalan menipu? Hal rohani rasanya adalah hal yang imanen di dalam keseharian. Saat yang rohani itu tidak nampak jelas, mungkin hanya perbuatan keseharian yang bisa dirasakan oleh orang lain.

 

Pengalaman hidup tentang mendidik anak ini yang mengingatkan kekuatan sebuah pengharapan seperti lirik lagu: “Tuntun aku Tuhan Allah. Lewat gurun dunia, Kau perkasa dan setia. Bimbing aku yang lemah…..

(kelanjutannya.....)

11 Oktober 2023

Babak Akhir

Hari ini saya berulangtahun, ini yang ke 55. Banyak sekali dan terlalu banyak dan semuanya adalah berkat Tuhan yang melimpah. Tuhan sudah berkarya dalam waktu-waktu yang berlalu dan itulah bukti jaminan dan keyakinan bahwa waktu-waktu di depanpun semoga ada dalam anugerahNya.

 

Entah sampai umur berapa saya akan hidup, tidak tahu dan inilah misteri. Yang jelas saya sudah tidak muda lagi. Mama saya meninggal usia 38, papa saya 65, entahlah saya. Usia normal manusiapun sudah kita ketahui. Saya sadar inilah babak akhir hidup ini. Mau apa saya di babak akhir ini?

 

Dulu saya takut mati, bukan soal masuk surga atau neraka. Saya percaya anugerah karya penyelamatan Tuhan. Saya takut kalau saya mati, apa anak saya bisa bersekolah dengan baik? Bisa lulus kuliah? Untuk itulah saya beli polis asuransi semampu saya waktu itu, minimal nilai pertanggungannya bisa untuk membiayai anak saya kuliah kalau saja saya mati. Kini, anak saya sudah lulus kuliah semua, lalu saya mau takut apa lagi?

 

Di babak akhir ini saya mau apa, saat yang saya takuti itu sudah terlewati? Banyak rekan saat mulai pensiun punya banyak kecenderungan yang sama. Semuanya jadi makin religius! Belajar agama dan kitab suci menjadi pilihan yang baik dan popular. Semua teman yang dulu nakal kini makin alim. Ada yang bilang itulah yang betul dan seharusnya! Ada juga yang bilang, “lha memang Hormon Testosteronnya menurun jadi ya wes gak mampu nakal lagi lha…….” Kalau saja surga dan kehidupan mendatang itu sepenuhnya hanya karena kasih karunia Tuhan, mengapa saya masih harus susah payah mengusahakannya?

 

Agama memang menarik. Karena jalur agamalah yang paling bisa menjanjikan kehormatan dan penghargaan tanpa kriteria dan pagu yang jelas. Yang penting tampil alim dan religius, pasti bisa langsung dihormati. Jadi guru atau dosen ada sertifikasi dan persyaratan yang ketat. Jadi sales ada target penjualan yang harus dicapai. Jadi profesi lain, selalu saja ada Key Performance Index yang harus diraih. Hanya jalur agama yang bisa menyediakan jalan pintas kehormatan dan penghargaan, tanpa kriteria yang jelas. Haruskan saya isi babak akhir hidup saya lewat jalur ini?

 

Kalau saja ada doa yang sering terlantun dan masih akan jadi doa saya, itu adalah Doa Bapa Kami “.. jadilah kehendakMu di bumi seperti di surga…” Mendatangkan Kerajaan Allah di muka bumi, mendatangkan kebahagiaan di bumi ini. Ini doa saya. Maka untuk itulah saya pingin ada. Di babak akhir inilah, hal itu harusnya bisa diusahakan saat segala yang menakutkan dulu itu sudah terlewati. Saya mau makin menjadi berkat. Saya sekolah teknik, maka di babak akhir ini saya harus makin pintar di bidang teknik ini. Saya punya perusahaan, maka di babak akhir ini, perusahaan ini harus makin jadi besar sehingga makin bisa jadi berkat buat banyak karyawan dan orang lainnya.

 

Nilai agama dan kitab suci itu harusnya bisa lumat tercerna dan hadir dalam buah dari bidang dan bisnis yang saya jalani. Semoga di babak akhir ini tidak diisi dengan biusan agama yang manipulatif. Semoga kalau saya percaya pada agama, saya menghadirkannya dengan kebahagian bagi semua orang. Semoga Tuhan yang tak terlihat itu tidak dipaksakan untuk dipertontonkan tapi bisa dihadirkan rasanya….. Doakan babak akhir saya ini….

 

(kelanjutannya.....)

01 Mei 2023

Kelemahan Saya

Sejak kelas 2 SMP saya berkacamata. Itu setelah saya sudah tidak bisa lagi membaca tulisan di papan tulis walaupun sudah duduk di bangku terdepan. Seminggu kemudian kacamata itu pecah karena jatuh saat main basket. Saya takut saat minta beli lagi. Setelah itu saya selalu berhati-hati saat berkacamata. Memang terasa menyulitkan, tapi akhirnya terbiasa juga. Tidak ada masalah lagi dengan kaca mata itu. Orang bilang kacamata itu kelemahan, jadi harusnya itu diatasi. Katanya dengan makan wortel, minum minyak ikan, makan vitamin A, wes apa saja.  Yang belum dicoba cuma dengan Laser, itu karena biayanya mahal. Saya tidak punya uang untuk bisa laser mata saya. Pernah juga saya ikut Kebaktian Kebangunan Rohani yang ada penyembuhannya, di Gelora Tambaksari. Saya berusaha untuk percaya bahwa mujizat kesembuhan itu ada. Saya ikuti saja ajakan Pengkotbah saat itu. Sampai di akhir acara, mata saya tetap berkacamata. Tidak sembuh juga. Bertahun-tahun ukuran lensanya memang tidak banyak berubah, tapi memang sudah berat. Minus tinggi, ada plus, ada cilinder tinggi, ada aksis, segala macam ada, hingga saya tidak akan bisa melihat bila tanpa kacamata ini.

Sudah empat puluh tahun lebih saya berkacamata, ada saja hal baru menyangkut kelemahan ini. Katanya kalau pakai passport elektronik, bisa cepat proses di imigrasinya, tinggal discan saja. Tapi waktu itu saya ditegur berkali-kali  sama petugas imigrasinya, disuruh lepas kacamata. Saya tidak keliatan tulisan yang di layar, saya maju, eh ditegur jangan terlalu dekat, saya mundur dan tidak terbaca perintah yang tertulis di layar itu. Akhirnya mereka minta saya antri di jalur normal. Yah, inilah nasib orang berkacamata tebal. Saya sepenuhnya mengerti derita dan masalah orang yang berkacamata tebal.

Setiap Sabtu dan Minggu saya bertugas untuk mengantar istri ke pasar. Di pasar saya cuma menunggu, biasanya saya isi dengan mendengarkan audiobook dan bersenam ringan. Enak juga. Saya menikmati saja tugas ini karena saya bisa memanfaatkan waktu itu. Beberapa kali di depan saya lewat seorang om tua, bajunya selalu sama. Memang keliatan lusuh tapi om itu biasa-biasa saja, cuma lewat saja. Saya tidak mengenal beliau sama sekali. Yang menarik, beliau selalu mengenakan kaca mata yang pecah. Kacamatanya bisa beda-beda, namun semuanya pecah. Saya ingin sekedar memberi beliau uang untuk beli kacamata, tapi sering kali saya tidak membawa uang sama sekali. Kalau saja pas saya ingat dan saya membawa uang, om itu yang tidak nampak. Sampai suatu saat saya berjumpa beliau, saya tanyakan nama dan alamatnya, dan apakah dia mau kacamata baru? “Mau, tapi itu akan mahal.” Saya mencari optik yang dekat dengan rumah beliau. Menanyakan kisaran harganya dan menjelaskan bahwa nanti akan ada om ini yang akan periksa dan saya yang akan membayar semuanya. Saya meminta anak buah saya menjemput om ini untuk periksa ukuran kacamatanya, dan memilih bingkai yang cocok. Katanya perlu waktu seminggu, menjelang itu, anak buah saya kakinya patah. Tidak bisa mengambil kaca mata itu. Saya minta optik itu yang mengantarkan kacamata itu. Optik itu mau. Om itupun bisa berkacamata dengan baik.

Berkacamata pecah buat sebagian orang bisa jadi bukan hal mengganggu, mungkin dikiranya seperti orang yang berpakaian compang camping. Buat saya, kacamata itu sangat penting. Saya tahu arti kacamata. Kalau saja Tuhan tetap berikan kelemahan mata ini, paling tidak ini bisa untuk merasakan kelemahan orang-orang lain. Bersyukur bila kelemahan ini bisa ditiadakan, tapi  bila itu tetap ada dihidup ini, pasti ada rencana Tuhan…

 

(kelanjutannya.....)