02 Maret 2016

Kualat

 

Kata ini sempat menjadi kata kunci di pengalaman saya kali ini.

Pagi hari itu saya akan balik ke Surabaya dari Shanghai. Pesawatnya akan transit di Hongkong, baru kemudian ke Surabaya di sore harinya. Saat turun dari pesawat di Hongkong, dengan iseng kita bercanda, "Semoga pesawatnya rusak lalu delay, jadi bisa menginap gratis di Hongkong." Saat menunggu keberangkatan, waktu berlalu begitu saja. Kamipun menghabiskan waktu dengan berjalan-jalan di Airport yang ramai dan besar itu. Tanda-tanda panggilan untuk masuk ke pesawat belum juga ada. Kemudian ada pemberitahuan untuk mengambil kudapan di sebuah café, karena ada penundaan keberangkatan. Beberapa saat kemudian diumumkan penundaan penerbangan sampai esok hari. Uppss…. jadilah kenyataan guyonan itu. Ada teman yang bilang,"Makanya kalau bicara itu jangan ngawur."

 

Kami menginap semalam di Hongkong untuk menunggu penerbangan esok. Namun ternyata cuaca sedang hujan hingga kami hanya bisa di Hotel. Untunglah ada makan malam yang berlimpah ruah, hingga malam itu bisa diisi dengan makan dan makan dan makan.

Esok paginya kami melanjutkan perjalanan ke Surabaya. Setiba di Juanda, kembali saya iseng lagi. Saat menunggu bagasi keluar, saya bercanda,"Rasanya bagasinya ketinggalan jadi bisa diganti uang." Setelah lama menunggu dan sampai ban berjalan itu berhenti, koper saya tidak muncul juga. Bagasi saya hilang beneran! Saya hanya bisa melaporkan kehilangan ini ke bagian Lost and Found. Yang saya ingat cirinya hanya berwarna abu-abu dan beratnya 20,5 kg.

 

Saya melangkah keluar Juanda dengan hati galau, mungkin memang benar kata teman-teman penganut paham NLP. Minimal kata para sesepuh, inilah Kualat itu. Rasanya memang saya harus bertobat dari keisengan lidah ini. Terngiang nasehat seorang rekan ,"omonganmu itu bisa jadi doamu lho…. diucapkan oleh mulut, didengar oleh telinga dan disimpan di otak. Kalau sampai dikabulkan oleh Tuhan, baru kapok kamu…" Saya selalu menjawab ,"Mosok sih Tuhan itu gak pinter…"

 

Siang itu Surabaya hujan lebat. Menurut sopir taxi, inilah hujan terlebat di awal musim hujan ini. Banyak jalan tergenang. Hujan turun lebat selebat hujaman ingatan akan semua masukan dari para sahabat dan teman yang aktif di MLM, agen asuransi dan Neuro Linguistik Programming. Kali ini saya benar-benar kualat rasanya. Makin menyesal saat ingat beberapa oleh-oleh yang ada di dalam koper itu.

 

Tiba-tiba saya ingat bahwa saya tidak membawa kunci rumah. Kunci rumah itu ada bersama kunci mobil, kali ini saya tidak membawa mobil jadi juga tidak membawa kunci rumah. Saya ingat bahwa istri dan anak-anak saya sedang ada acara keluar kota dan baru pulang sore hari. Rumah saya kosong. Hujan masih saja lebat. Saya tidak tahu harus bagaimana. Mau menuju tempat lain takut terjebak kemacetan karena banjir. Rasanya komplit sudah penderitaan ini. Akhirnya saya nekad tetap menuju rumah, dengan ide bisa memanjat pagar yang dua meter lebih itu. Asal bisa memanjat pagar, saya bisa menunggu di teras rumah. Kini saya berpikir keras mensimulasikan cara memanjat pagar rumah. Rasanya sih bisa. Tapi bagaimanapun saya belum pernah melakukannya.

 

Saya cuma bilang ke sopir taxi itu ,"Nanti Bapak tunggu sebentar ya... Kalau saya berhasil memanjat pagar, Bapak bisa langsung pergi, bila saya gagal, tolong saya diantar ke tempat lain." Dan hasilnya,  saya berhasil memanjat pagar rumah, karena saya juga tidak direpotkan dengan bawaan koper saya yang besar dan berat.

 

Tiga hari kemudian saya ditelpon dengan kabar bahwa koper saya sudah ditemukan dan bisa diambil. Koper itu tertinggal di Hongkong karena labelnya hilang, mungkin saat transit ada yang tidak sengaja menariknya lepas. Tidak ada satu barangpun yang hilang dari koper saya itu.

 

Saya merenungkan semua kejadian ini, apa benar saya kualat dan terkabulkannya "doa iseng" saya itu? Kualatkah saya? Saya berkesimpulan saya tidak kualat, Tuhan itu baik. Saya tidak mungkin melompati pagar rumah bila saya harus membawa koper yang besar dan berat itu. Bila hanya saya saja yang melompat pagar, koper itupun pasti basah kuyup kehujanan. Saya makin yakin bahwa Tuhan itu Pintar! Ayo kita guyonan lagi….. Saya ingat nasehat seorang teman yang sudah Profesor: "Guyon ya guyon…. Tapi kalau serius itu ya guyon…"


This email has been sent from a virus-free computer protected by Avast.
www.avast.com
(kelanjutannya.....)

01 Maret 2016

Jiamsi

Sungguh indah bisa bertemu dengan orang yang lama kita kenal namun belum pernah berjumpa dan berbincang langsung dengannya. Di Rapat Kerja Sinode baru-baru ini, saya bisa berjumpa dan sekamar pula dengan Pdt. Imanuel Budidharma. Saya pertama kali mengenalnya saat kita di Oikmas Klasis Madiun hendak Live in Klenteng. Kami mendengar bahwa di Lasem ada Klenteng yang sangat kuno. Mulailah saya berkomunikasi dengan beliau. Namun, karena pertimbangan jarak maka kami akhirnya melakukan acara itu di Klenteng Pamekasan, Madura. Maka pupuslah harapan kami untuk bisa berjumpa. Pernah juga saat GKI Lasem ada proyek pembangunan, entah bagaimana saya bisa menjadi makelar antara Panitia Pembangunannya dengan seorang yang mau membantu pembangunan atapnya. Tapi semuanya itu sebatas telpon dan SMS saja. Memang beberapa minggu yang lalu kami sempat bertemu saat Beliau melayani di Dipo, tapi itu hanya sekilas saja.

 

Di tiga hari itu, kami bisa mengobrol banyak terutama seputar Klenteng. Saya bercerita tentang kisah yang kami alami saat menggelar Live in Klenteng beberapa tahun silam itu. Seperti yang pernah saya kisahkan di tulisan saya waktu itu. Kisah tentang serombongan peserta yang mencoba-coba untuk meramal jodohnya melalui Jiamsi. Jiamsi adalah proses permohonan pengambilan keputusan melalui pembacaan lidi bernomer yang diguncang-guncangkan hingga ada yang terdesak keluar dari kumpulannya. Lidi bernomor yang keluar itu, harus dikonfirmasi kebenarannya melalui sebuah ritual pelemparan dua keping kayu berbentuk belahan kacang tanah. Nomer itu harus Pak Pwe, yaitu kondisi dimana dua keping kayu itu jatuh dengan posisi yang saling berlawanan. Satu harus menghadap ke atas dan satu lagi harus menghadap ke bawah. Bila belum Pak Pwe, berarti belum ada persetujuan dari Sang Dewi, maka ritual pengambilan lidi harus diulang lagi. 

 

Saat itu, saya sebagai ketua merasa harus pulang terakhir untuk memastikan bahwa semua peserta tidak ada yang mengalami masalah. Harusnya sudah tidak ada peserta yang tertinggal. Tapi beberapa bulan kemudian saya mendengar tentang kisah ini. Ada serombongan peserta yang menunggu untuk mengambil Jiamsi karena ada diantara mereka yang ingin menanyakan perihal jodohnya. Syarat yang diajukan oleh Pemimpin ritual itu adalah mengatakan di dalam hatinya,"Dewi Kwan Im, saya minta di ramal" Tapi peserta ini agak ragu sehingga ia mengatakan dalam hatinya ,"Tuhan Yesus, apa saya boleh diramal?" Proses berjalan seperti biasa, tetapi tidak pernah bisa Pak Pwe. Hingga Kepala Klenteng itu meminta untuk pindah ke lain Dewa untuk Jiamsi-nya. Mereka berpindah ke lain Dewa, tapi ternyata mereka kehilangan lidi untuk prosesi jiamsi itu. Di cari ke semua bagian kelenteng, lidi itu tidak ditemukan. Peserta itu kemudian bertanya," Pak, apa memang orang Kristen tidak boleh diramal?" "Wah, Saya kurang tahu ya…" "Tapi apa Bapak percaya pada Tuhan Yesus?" "Ya, saya percaya, Yesus adalah Dewa yang tertinggi" Bapak itu menunjukkan poster yang berisi daftar dewa yang mereka percayai di dekat patung Kwan Im. Di bagian teratas memang ada gambar Yesus yang di gendong Maria. Pengalaman ini menjadi suatu pengalaman iman yang dahsyat bagi peserta itu.

 

Pdt. Imanuel saat itu bertanya,"Oh ya, bener ada posternya?" Kemudian beliau bercerita tentang jemaatnya. Istri jemaat itu, seorang yang aktif di GKI Lasem. Suami masih kuat beribadah di Klenteng. Hingga suatu saat, sang suami mengambil Jiamsi untuk menjawab pertanyaan,"Bolehkan saya ke gereja?" dan beliau mendapatkan Pak Pwe untuk jawaban itu. Kemudian beliau bertanya lagi, "Apakah Yesus memang yang tertinggi?" Kali inipun beliau mendapatkan Pak Pwe atas pertanyaannya itu. "Tapi kemudian jemaat itu bukan saya yang membaptis, dia dibaptis di GKI Darmo Permai." Pendeta GKI Darmo Permai hadir juga di Rapat Kerja ini, Pdt. Samuel Christiono. Sayapun bertanya tentang kebenaran cerita ini. Beliau membenarkan karena beliau yang membimbing jemaat ini hingga mau dibaptis. Banyak pertanyaan saat Beliau membimbingnya, namun Tuhan punya jalan untuk bisa menjawab setiap keraguan dengan jalan yang unik.

 

Dua pengalaman tentang Jiamsi yang pernah kita alami menjadi suatu rangkaian kisah menarik yang saling menguatkan. Dua kisah yang terjadi namun dapat dikuatkan kebenarannya di tiga tempat berbeda. Tuhan memang punya cara yang unik untuk memenangkan tiap pribadi demi kasihNYA bagi manusia.

 

 

Catatan:

Tujuan Live In memang bukan untuk memaksakan kebenaran kita pada orang lain, melainkan belajar akan keragaman dan kemajemukan. Kisah ini hanya sebuah penggalan kisah yang pernah terjadi.
This email has been sent from a virus-free computer protected by Avast.
www.avast.com
(kelanjutannya.....)