12 Mei 2015

LGBT


Lagi BeTe ya? Jelas bukan la. Itu tema kegiatan GKI Membaca Diri yang diadakan di Hotel Sativa, Pacet, 30 April sampai 1 Mei 2015. Singkatannya: Lesbian Gay Bisexual Transgender. Ada juga yang menyebutnya LGBTIQ, Lesbian Gay Bisexual Transgender Intersex Questioning.
Kegiatan GKI Membaca Diri ini, adalah kegiatan rutin dari Klasis Madiun untuk membedah banyak persoalan praktis di lingkungan jemaat yang terasa pelik bagi gereja (dalam hal ini GKI) untuk bersikap. Kali ini kita mendengarkan pendapat Pdt. Stephen Suleeman dan Ibu Khanis Suvianita dari GAYa Nusantara Foundation.
 
Dua pembicara ini memaparkan kenyataan adanya sekelompok orang yang termasuk dalam kelompok LGBTIQ ini. Pada awalnya kondisi ini dianggap sebagai suatu penyakit yang harus disembuhkan, tetapi saat ini ilmu psikologi menyatakan bahwa ini bukanlah suatu penyakit melainkan orientasi seksual yang berbeda. Sekitar tiga persen manusia ada terlahir di dalam kelompok ini, bahkan Ibu Khanis menyatakan bahwa ada peneliti yang menyatakan jumlah itu sampai sepuluh persen. Bila banyak orang merasakan bahwa jumlah ini meningkat akhir-akhir ini, hal ini hanya disebabkan oleh makin beraninya kelompok ini untuk "coming out" menyatakan identitasnya.
 
Memang banyak bias yang terjadi. Banyak orang yang menganggap bahwa seorang pria yang feminin "melambai" adalah pasti seorang gay. Pernah ada juga guyonan, "Pria yang mengenakan satu anting di sebelah kanan adalah gay. Lha kalau yang satu anting di sebelah kiri? O.. Itu gay kidal."  Banyak juga yang menganggap wanita yang tomboi adalah lesbian, padahal banyak lesbian yang sangat feminin.
 
Alkitab memang menyatakan kutukannya akan kelompok ini, yang terkenal adalah kisah Sodom dan Gomora yang sering diceritakan dimusnahkan karena melakukan hal ini. Pdt Stephen menunjukkan bahwa Sodom dan Gomora bukan mutlak masalah homosexualitas, karena Lot menyerahkan anak perawannya untuk mereka perkosa. Masalah perkosaan selalu muncul sebagai bagian ketika suatu kelompok ingin menunjukkan kekuasaannya atas kelompok lainnya. Banyak ayat dan tradisi menyiratkan bahwa dosa Sodom dan Gomora adalah kekejaman dan kesombongannya.
 
Di beberapa bagian Alkitab juga tersirat hubungan antara dua manusia sejenis yang begitu mendalam. Rut dan Naomi yang penggambaran hubungan di antara mereka dengan "hingga maut memisahkan mereka" (persis seperti penggambaran hubungan pernikahan). Daud dan Yonathan yang di gambarkan bahwa cinta Daud dalam hubungan itu melebihi cintanya pada seorang wanita.
 
Pengalaman menyatakan bahwa kegagalan ditemukan saat kita berusaha menyembuhkan kelompok ini. Banyak orang berpikir mereka sudah menyelesaikan masalah dengan menikahkan kelompok LGBTIQ ini dengan lawan jenisnya dan berharap mereka menjalani kehidupan seperti orang normal lainnya. Banyak kasus menunjukkan bahwa ini bukanlah penyelesaian masalah, hanya menyembunyikan atau menekannya sementara. Banyak diantara pasangan ini akhirnya bercerai, setelah mereka merasa telah menyelesaikan tugasnya dalam menjalankan fungsi sosial yang dianggap normal oleh keluarga atau masyarakatnya. Ada juga kasus dimana seorang Bapak yang paruh baya yang mengambil keputusan untuk menjalani hidupnya  sebagai seorang gay setelah selesai menikahkan anaknya. Ia merasa telah selesai menjalankan tugasnya sebagai manusia yang "normal" dan kini ingin hidup dalam lingkungan yang hakiki seperti suara hatinya.
 
Kondisi ini memang membawa gereja dalam keadaan untuk memikirkan ulang tentang pandangannya terhadap LGBT. Bagi saya ini tantangan besar gereja, sama seperti ketika gereja menganggap bahwa bumi adalah pusat dari tata surya sedang ilmu pengetahuan mengatakan bahwa mataharilah yang menjadi pusat tata surya kita. Perlu banyak pergumulan untuk menerima dan bergaul bersama dengan mereka yang LGBTIQ ini. Memang tidak mudah karena banyak norma di masyarakat kita yang belum dapat menerima hal ini. Sama juga saat alkitab tidak menentang budaya perbudakan di jamannya. Demikian juga saat budaya penolakan atas kepemimpinan perempuan. Tetapi alkitab juga memberanikan diri untuk bisa mencetuskan pilihan yang inklusif saat injil bisa diberitakan di luar komunitas Yahudi.
 
Semoga Roh Kudus memampukan kita untuk menilai dan menimbang segala sesuatunya untuk kemuliaan Tuhan. Bagaimana pendapat anda?
(kelanjutannya.....)

Cerita tentang Rapat


Melayani di GKI berarti harus membiasakan diri mengikuti rapat dan menerima rapat sebagai bagian dari kegiatan saya. Terkadang rapat itu menjadi suatu yang menjejali aktivitas keseharian saya. Bisa jadi tiada hari tanpa rapat. Banyak hal yang saya pelajari dari banyak rapat yang saya ikuti. Banyak keputusan yang harus dipertimbangkan dan diambil dalam rapat.
 
Bisa jadi memang saya berdebat dan berbagi ide di rapat-rapat itu. Itulah fungsi rapat yang saya ikuti.Terkadang masalahnya begitu rumit sehingga butuh banyak pemikiran dan pertimbangan. Saat itulah saya belajar akan banyak hal. Belajar akan dasar pemikiran dan pertimbangan etis yang melandasinya. Belajar untuk menghormati pendapat dan perasaan orang lain. Belajar untuk mengalah demi kebaikan bersama. Belajar juga cara membuat orang lain senang dengan mau merendah di bawah egonya.
 
Saat rapat menjadi sangat dominan, banyak orang yang mencibirkan akan rapat-rapat itu. Seakan-akan saya hanya bisa rapat tanpa pelayanan yang nyata. Tapi bukankah melalui rapat saya juga bisa mendengar dan mengerti akan jalan Tuhan yang tersuarakan melalui peserta rapat lainnya? Melalui rapat saya bisa mencari kehendak Tuhan. Benarkah demikian? Beberapa kali saya memimpin rapat dan terjadi kebuntuan. Saya sendiri tidak ada ide bagaimana harus bersikap. Saat seperti itu saya cuma dapat berdoa dalam hati  "Tuhan tolonglah". Saat ada peserta rapat yang marah, saat ada seseorang yang terasa keras kepala, semuanya nyatanya dapat terselesaikan juga. Rapat bukan ajang beradu mulut saja, karena melalui rapat, semua pemikiran bisa dikomunikasikan dan didiskusikan dengan matang. Melalui rapat, masalah yang pelik dan rumit dapat disikapi dengan mantap. Melalui rapat kesehatian dapat dicapai.
 
Karena pentingnya rapat itu, saya sangat menikmati semua proses rapat-rapat saya. Hingga suatu waktu saya mengamati ada sekelompok orang yang bila di dalam rapat hanya duduk diam saja. Mereka hadir namun jarang bersuara ataupun berpendapat dalam rapat. Mereka juga nampak pasif terhadap semua perbincangan yang berlangsung. Tapi mereka selalu setia untuk hadir di rapat-rapat itu. Terkadang memang mereka mencoba menggugat hasil rapat itu saat rapat sudah usai. "Harusnya khan tidak seperti itu tho, Pak?" Saya selalu menjawab, "Lho, koq gak bicara?" Inilah yang kemudian membawa saya untuk mencoba menanamkan semangat bahwa bertengkar di rapat itu adalah sesuatu yang sehat. Berdebat dan bersilang pendapat di rapat itu diperlukan. Semua orang harus berani mengutarakan isi hati dan pikirannya saat rapat. Jangan takut berdebat, jangan takut bertengkar. Ayo kita bertengkar di rapat, asal kemudian kita kompak atas semua keputusan yang diambil. Pertengkaran sudah harus dilupakan saat keputusan diambil atau saat kita keluar dari ruang rapat. Ayo kita berani bertengkar di rapat.
 
Sampai suatu saat, seorang Ibu yang Penatua berbincang santai dengan saya. Kita berbincang apa saja, lha saya itu kan seumur anaknya. Sampailah kita ke topik rapat itu. Ibu ini menyampaikan perihal suasana rapat yang menakutkan Beliau dan rekan-rekannya. Perihal sekelompok Ibu-Ibu yang saat rapat selalu jadi pengunjung setia yang acap membisu. Saya sampaikan kalau saya gemas dengan kelompok ibu-ibu yang gak pernah berani bersuara, harusnya mereka ini ikut meneriakkan apa yang mereka mau dan harus menyatakan pendapat dengan aktif saat rapat. "Ayo, Ibu harus berani." Tapi ternyata ada hal yang tak terpikirkan dan tak pernah terlintas dibenak saya.
 
Ibu itu berkata ,"Bagaimana kita berani berbicara, kita itu sudah langsung takut saat para bapak itu bicara dengan suara yang keras, apalagi kalau Bapak itu tuh yang bicara.."
"Ya, gak boleh lah Bu, ya harus beranilah bicara."
"Kita ini Ibu-Ibu yang dalam kesehariannya harus menjaga ketenangan rumah tangga. Kita ini sudah terbiasa saat suami marah dan bicara keras, kita yang harus diam mengalah. Kalau kita ikut mendebat, rumah kita tidak bakalan bisa tenang damai."
Penjelasan itu benar-benar menyentakkan saya. Kehadiran sosok seorang istri yang mendamaikan rumah tangga itulah yang selalu membawa para Ibu peserta rapat itu cenderung diam mengalah.
 
Di satu sisi saya tetap berharap para Ibu yang berani dan perkasa di rapat, di sisi yang lain saya selalu bersyukur ada sosok perempuan pembawa damai. Mereka yang telah teruji membawa damai di keluarganya dan kini menghadirkannya di rapat-rapat itu. Semoga para Bapak menyadarinya, tidak di rumah, tidak juga di rapat, jangan suka ngotot ya.. Karena itu menakutkan sebagian besar penduduk bumi yang perempuan itu.
(kelanjutannya.....)