01 April 2015

Mari Kita Guyon


Guyon atau bergurau menjadi suatu yang pernah mengganjal di hidup saya. Hobi untuk clometan, nyletuk dan komentar nakal pernah membawa saya pada suatu persimpangan jalan kehidupan. Akankah saya terus memelihara dan mengembangkan kebiasaan ini ataukan saya harus meninggalkannya dan memulai hidup di jalan yang "benar" dengan serius dan semuanya harus serius? Seakan-akan hobi bergurau itu menurunkan kualitas kepribadian saya, rasanya orang yang serius dan selalu serius itu jauh lebih berwibawa dari yang bergurau.
 
Sampai pada suatu titik, pelajaran dari Romo Katholik semasa SMP terngiang kembali. Be yourself, itu salah satu materi pelajaran agama yang saya ingat dari Beliau. Maka jadilah saya berketetapan untuk menjadi apa adanya saya dengan guyonan saya. Tapi ini kadang juga bermasalah saat guyonan saya kebablasan. Memang saya seharusnya: Guyon ya Guyon, tapi kalau Serius ya Guyon……
 
Jawaban besar yang harus selalu saya tegakkan dan gaungkan dengan keputusan ini, harus kuat. Secara pribadi saya harus bisa mempertanggungjawabkan keputusan saya untuk menjadi pribadi yang suka guyon, bertumbuh dan menjadi berkat dengan guyonan saya. Lalu bagaimana? Bukankah banyak orang yang bisa tersingung dengan gurauan saya?
 
Kejadian malam itu mungkin bisa menggambarkan situasi ini. Malam itu saat kita selesai melayani Kebaktian Rabu Abu, ada penatua yang menanyakan perihal abu yang dipakai untuk dioleskan di dahi itu. Abu itu sebenarnya adalah abu dari pembakaran daun palem yang dikerjakan oleh Pnt. Yanuar. Tapi tidak semua Penatua mengetahuinya, saya menjawab ,"O, itu abu dari Adi Jasa ya?". Ada yang tertawa, kemudian menimpali dengan, "Bukan, itu dari Kembang Kuning, dari Eka Praya." Suasana jadi tambah riuh dengan tawa dan canda. Lalu ada Bu Irwan yang menjelaskan perihal abu tulang sisa kremasi yang beda dengan abu lainnya. Ada juga Bu Ester yang menjelaskan soal abu dari Pdt. Benyamin. Katanya warnanya memang beda dengan abu kayu, juga lebih berat dari debu lainnya. Sampai kita menyelesaikan semua tugas, kita berpisah. Bisa jadi semua orang pulang dengan ingatan bahwa guyonan tadi cuma sekedar pencair suasana. Kita bisa tertawa dalam candaan itu. Bagi saya guyonan tadi malam itu sangat berkesan. Saya mendapatkan sesuatu yang lebih dari sekedar guyonan. Seingat saya kepergian Pdt. Benyamin pasti meninggalkan duka yang mendalam. Sayapun sebenarnya tidak berani menanyakan hal itu ke Bu Ester. Saat dalam guyonan itu Bu Ester bercerita tentang Pak Ben, maka saya menjadi tahu bahwa kepergian Pak Ben sudah menjadi sesuatu yang diterima dengan utuh. Gurauan menjadi sarana untuk membuktikan kemampuan seseorang mengatasi masalahnya.
Orang yang mampu menertawakan dirinya sendiri adalah seorang yang terbukti mampu menerima dirinya sendiri seutuhnya.
 
Setiap orang mempunyai kelemahan fisik yang kadang menjadi beban baginya. Gurauan yang menyinggung kelemahan itu bisa menjadi sesuatu yang menyakitkan. Kemampuan untuk menerima kelemahan fisik itu bisa tercermin saat seseorang mampu membawa kelemahan fisik itu dalam gurauannya. Seberapa dalam kemampuan mental untuk menerima masalah dan kelemahan dapat diukur dengan seberapa mampu gurauan tentang masalah dan kelemahan itu tersaji. Senyum memang selalu bisa muncul, tapi hati yang tulus mampu mengukur kadar ketulusan dan beban senyuman itu. Sama seperti saat Bu Irwan bisa mengatakan bahwa Beliau memang penatua yang paling berbobot. Fisik yang berbobot sudah bukan beban, melainkan sudah menjadi bahan yang ringan untuk gurauan yang berbobot.
 
Mari berlatih untuk guyon agar hidup ini menjadi lebih ringan.
(kelanjutannya.....)

Live In Puhsarang


12-13 Maret 2015 Departemen Oikmas Klasis Madiun mengadakan acara Live In Puhsarang. Puhsarang di Kabupaten Kediri adalah desa dimana Gua Maria terletak. Acara tahunan Live in kali ini mengajak jemaat GKI untuk mengenal komunitas Katholik yang mengadakan acara Misa Malam Jumat Legi. Acara Live In tahunan ini memang selalu mengajak umat GKI untuk tinggal dan mengenal komunitas lain di luar Kristen Protestan. Tahun-tahun sebelumnya kita pernah "Live In" di Pondok Pesantren, Vihara Budha, Masyarakat Hindu Tengger, Klenteng Kwan Im, Masyarakat Samin Bojonegoro. Di acara-acara ini, kita bisa mengenal tentang mereka, tentang pemahanan, ajaran dan budaya mereka. Di sana kita bisa bertanya apa saja untuk bisa mengenal mereka, tetapi kita tidak diperkenankan untuk berdebat mempertentangkan kebenaran yang masing-masing kita anut.
 
Gua Maria Puhsarang memang menjadi tujuan ziarah umat Katholik, walaupun yang datang kesana tidak hanya umat Katholik. Banyak juga pengunjung bukan katholik yang nampak dari busana yang dikenakannya. Bisa jadi mereka menganggap tempat ini adalah tempat wisata. Suasananya memang sangat indah, banyak tanaman membuatnya sebagai taman besar yang asri. Di lingkungan itu ada juga gereja katholik, makam uskup dan biarawan biarawati serta tempat penitipan abu. Ada juga pasar yang menjual souvenir dan perlengkapan yang mungkin dibutuhkan untuk mrngikuti ibadah di sana. Suasana yang menyatu dengan masyarakat sekitarnya membuat Gua Maria ini menjadi tempat yang penuh damai.
 
Acara utama kita adalah mengikuti Misa Malam Jumat Legi. Misa ini dilakukan pada Kamis Malam menjelang Hari Jumat Legi. Legi adalah nama hari pasaran dalam masyarakat Jawa. Misa itu diadakan mulai pukul sepuluh malam hingga berakhir menjelang jam dua dini hari. Diadakan pada malam Jumat Legi, tidak karena masalah klenik dan tahayul, tetapi murni agar mudah diingat saja. Memang malam Jumat Legi mempunyai arti khusus dalam budaya masyarakat Jawa. Disinilah peran inkulturasi Katholik dengan budaya setempat. Katholik mengisi dan memberi warna baru pada budaya yang sudah tumbuh di masyarakat setempat.
 
Sore hari sebelum mengikuti Misa itu, kami mendengarkan penjelasan perihal sejarah, keberadaan dan ritual yang diadakan di Gua Maria ini. Kami mendengarkan penjelasan perihal posisi Bunda Maria yang diistimewakan lebih dari posisinya di Kristen Protestan. Mereka meneladani Bunda Maria, karena Beliau telah mau menjadi pelaku dan penganjur bagi terlaksananya kehendak Allah. Beliau mau menerima dan melakukan kehendak Allah sebagai Bunda Yesus Kristus. Beliau juga menganjurkan pelayan di pesta perkawinan di Kana untuk menuruti apapun perkataan Yesus. Saat kedua sikap itu dilakukannya, maka hal besar sedang terjadi.
 
Suasana penjelasan dan dialog berjalan dengan indah, sang moderator, Pak Raden Satriadi, mampu membawa suasan hangat penuh canda. Saya sempat menyampaikan kesan saya tentang teman-teman saya yang katholik, saya pernah bersekolah SD san SMP di sekolah Katholik. Sayapun masih hafal doa Salam Maria. "Pak, kesan saya teman-teman Katholik saya itu koq gak rohani ya? Baca Alkitab aja bingung." Pdt. Simon Filantropa sempat menimpali, " Yah, itu karena Daniel salah pilih teman aja." Beberapa peserta juga menanyakan perihal informasi seputaran pemahaman iman katholik dan ritual di Puhsarang itu.
 
Malam itu hujan lebat, menjelang misa hujan memang mereda, namun gerimis masih terus terjadi. Ribuan umat duduk di taman itu, ada yang dibawah pohon, ada yang memang membawa kursi lipat, ada yang membawa tikar, banyak yang membawa payung, tetapi banyak juga yang mengenakan jas hujan. Rata-rata mereka memang sudah siap akan cuaca yang ada. Keesokan harinya saya diberi tahu bahwa yang mengambi hosti sekitar tiga ribu lima ratus orang, jadi peserta Misa itu bisa jadi lima ribu orang lebih.
 
Menjelang misa, ada seorang Romo yang menceriterakan tentang proses pemanggilan dan keputusannya untuk menjadi Imam Katholik. Hal yang menarik bagi saya, mengingat banyaknya kebutuhan tenaga pendeta di GKI, namun minim sekali minat jemaat untuk menjadi pendeta. Sharing itu cukup lama sekitar tiga puluh menit dan sangat menarik untuk bisa membangkitkan minat dan kebanggaan umat untuk menjadi Imam. Romo muda itu bercerita dengan percaya diri, kontras bila diperhadapan dengan nilai kebanggaan masyarakat yang makin hedonis.  Saya berharap kita bisa melakukan dan menjemaatkan kebutuhan gereja akan tenaga Pendeta dengan semangat seperti itu.
 
Saya bukan orang yang bisa dan biasa begadang walau di tengah malam yang sejuk dan segar. Saya menyiapkan sebungkus kacang yang akan saya makan untuk mengusir kantuk. Kacang OKE sudah siap, namun sepanjang acara misa itu saya tidak berani menyentuhnya. Saya melihat, semua umat mengikuti Misa dengan sangat hikmad, tidak juga ada yang berbisik-bisik ataupun bermain gadget. Situasi itu yang menekan saya untuk tidak makan kacang yang sudah saya bawa. Hal yang mengejutkan adalah saat pembacaan intensi (ujub), ini mirip doa syafaat di ibadah kita. Umat boleh menitipkan pokok-pokok doanya, dan semuanya dibacakan dan didoakan dengan lengkap. Doa ini bisa sekitar hampir satu jam. "Kami berdoa untuk bapak… yang sedang sakit tangannya… kami berdoa untuk … yang mengharapkan pasangan hidup yang seiman… kami berdoa untuk … agar tanahnya bisa segera laku…." Begitulah kira-kira doa yang diucapkan. Semua umat mengikutinya dengan khusuk. Bila saya berpikir teman-teman katholik saya tidak rohani, bagaimana saya bisa menjelaskan situasi ini? Di taman ini ribuan orang bisa dengan tertib dan hikmad mengikuti misa dibawah hujan gerimis. Sanggupkah mereka melakukan ini selama empat jam bila dihatinya tiada nilai-nilai spiritual yang kokoh?
 
Malam hingga dini hari itu saya belajar akan nilai-nilai spiritual umat yang bagaikan harta di dalam bejana tanah liat. Nampak sederhana dan remeh, namun tak satupun meragukan kualitasnya. Bapak Daniel (bukan saya lo…) yang menggantikan romo paroki untuk memberi penjelasan pada kami sempat sharing. Saat anaknya lulus SMP dan berkeinginan bersekolah di SMA Van Lith Muntilan. Berbulan-bulan beliau berdoa berharap gajinya naik agar dapat memenuhi keinginan anaknya bersekolah di sana. Rasanya doanya tak terjawab.  Hingga suatu saat di tengah permenungannya, saat beliau mau merokok, beliau mendengar suara di hatinya "Bila kamu merokok berarti kamu mengambil jatah hidup anakmu". Beliau terhenyak, rasanya inilah jawaban atas semua doanya. Uang untuk membeli rokoknya sebulan sekitar lima ratus ribu. Itu bisa beliau alihkan untuk biaya sekolah anaknya. Suatu jawaban doa yang membutuhkan tekad untuk melaksanakan kehendak Tuhan.
 
Sungguh indah bisa melihat kekayaan spiritual di komunitas lain di sekitar kita.
(kelanjutannya.....)