Guyon atau bergurau menjadi suatu yang pernah mengganjal di hidup saya. Hobi untuk clometan, nyletuk dan komentar nakal pernah membawa saya pada suatu persimpangan jalan kehidupan. Akankah saya terus memelihara dan mengembangkan kebiasaan ini ataukan saya harus meninggalkannya dan memulai hidup di jalan yang "benar" dengan serius dan semuanya harus serius? Seakan-akan hobi bergurau itu menurunkan kualitas kepribadian saya, rasanya orang yang serius dan selalu serius itu jauh lebih berwibawa dari yang bergurau.
Sampai pada suatu titik, pelajaran dari Romo Katholik semasa SMP terngiang kembali. Be yourself, itu salah satu materi pelajaran agama yang saya ingat dari Beliau. Maka jadilah saya berketetapan untuk menjadi apa adanya saya dengan guyonan saya. Tapi ini kadang juga bermasalah saat guyonan saya kebablasan. Memang saya seharusnya: Guyon ya Guyon, tapi kalau Serius ya Guyon……
Jawaban besar yang harus selalu saya tegakkan dan gaungkan dengan keputusan ini, harus kuat. Secara pribadi saya harus bisa mempertanggungjawabkan keputusan saya untuk menjadi pribadi yang suka guyon, bertumbuh dan menjadi berkat dengan guyonan saya. Lalu bagaimana? Bukankah banyak orang yang bisa tersingung dengan gurauan saya?
Kejadian malam itu mungkin bisa menggambarkan situasi ini. Malam itu saat kita selesai melayani Kebaktian Rabu Abu, ada penatua yang menanyakan perihal abu yang dipakai untuk dioleskan di dahi itu. Abu itu sebenarnya adalah abu dari pembakaran daun palem yang dikerjakan oleh Pnt. Yanuar. Tapi tidak semua Penatua mengetahuinya, saya menjawab ,"O, itu abu dari Adi Jasa ya?". Ada yang tertawa, kemudian menimpali dengan, "Bukan, itu dari Kembang Kuning, dari Eka Praya." Suasana jadi tambah riuh dengan tawa dan canda. Lalu ada Bu Irwan yang menjelaskan perihal abu tulang sisa kremasi yang beda dengan abu lainnya. Ada juga Bu Ester yang menjelaskan soal abu dari Pdt. Benyamin. Katanya warnanya memang beda dengan abu kayu, juga lebih berat dari debu lainnya. Sampai kita menyelesaikan semua tugas, kita berpisah. Bisa jadi semua orang pulang dengan ingatan bahwa guyonan tadi cuma sekedar pencair suasana. Kita bisa tertawa dalam candaan itu. Bagi saya guyonan tadi malam itu sangat berkesan. Saya mendapatkan sesuatu yang lebih dari sekedar guyonan. Seingat saya kepergian Pdt. Benyamin pasti meninggalkan duka yang mendalam. Sayapun sebenarnya tidak berani menanyakan hal itu ke Bu Ester. Saat dalam guyonan itu Bu Ester bercerita tentang Pak Ben, maka saya menjadi tahu bahwa kepergian Pak Ben sudah menjadi sesuatu yang diterima dengan utuh. Gurauan menjadi sarana untuk membuktikan kemampuan seseorang mengatasi masalahnya.
Orang yang mampu menertawakan dirinya sendiri adalah seorang yang terbukti mampu menerima dirinya sendiri seutuhnya.
Setiap orang mempunyai kelemahan fisik yang kadang menjadi beban baginya. Gurauan yang menyinggung kelemahan itu bisa menjadi sesuatu yang menyakitkan. Kemampuan untuk menerima kelemahan fisik itu bisa tercermin saat seseorang mampu membawa kelemahan fisik itu dalam gurauannya. Seberapa dalam kemampuan mental untuk menerima masalah dan kelemahan dapat diukur dengan seberapa mampu gurauan tentang masalah dan kelemahan itu tersaji. Senyum memang selalu bisa muncul, tapi hati yang tulus mampu mengukur kadar ketulusan dan beban senyuman itu. Sama seperti saat Bu Irwan bisa mengatakan bahwa Beliau memang penatua yang paling berbobot. Fisik yang berbobot sudah bukan beban, melainkan sudah menjadi bahan yang ringan untuk gurauan yang berbobot.
Mari berlatih untuk guyon agar hidup ini menjadi lebih ringan.
(kelanjutannya.....)