31 Juli 2013

Cerita Saat Melintas Batas di China

Selalu ada cerita menarik saat di China. Berikut ini kisah yang pernah saya alami saat melintas batas negara ini. Kisah yang mungkin berguna bagi teman-teman.

Suatu saat saya masuk ke China melalui Hongkong dan menuju kota Jinan. Jinan adalah ibukota propinsi Shandong di China utara. Walaupun ibukota propinsi tapi rasanya kota ini tidak terlalu ramai. Bandara internasionalnya tidak ramai benar. Sesampai di bandara Jinan, seperti biasa kita menuju antrian pemeriksaan imigrasi. Waktu itu setelah passport saya diperiksa, petugasnya menyuruh saya menunggu di samping. Mereka melanjutkan dengan memeriksa orang lain. Saya tidak terlalu kuatir, karena memang harusnya tidak ada masalah dengan dokumen saya, termasuk visa masuk saya. Saya menunggu cukup lama, sampai tidak ada lagi orang yang antri, saya mulai curiga.

Saya mulai mendatangi petugas yang ada, menanyakan perihal passport saya. Mereka tidak bisa berbahasa Inggris. Mereka berusaha mencari rekannya yang bisa berbahasa Inggris untuk berbicara dengan saya. Ada seorang polisi yang mendekati saya, dia menunjukkan passport saya dan bilang bahwa saya berbohong. Saya kaget, saya sadar rasanya ini ada masalah yang tidak saya mengerti benar. Polisi itu tidak fasih berbahasa Inggris, jadi saya juga tidak bisa mengerti maksud dia dengan tepat. Saya berusaha menanyakan masalah saya.

Polisi itu menunjukkan visa masuk saya, dia menunjukkan juga arrival card yang juga sudah saya isi. Saat masuk ke suatu negara kita diminta untuk mengisi kartu kedatangan yang berisi data: nama, tanggal lahir, tempat passport kita dikeluarkan, nomer penerbangan kita dan beberapa data lainnya. Kartu ini juga gandeng dengan kartu yang harus kita serahkan kembali saat kita keluar dari negara itu nantinya. Saya mulai mengerti masalah yang ada. Polisi itu menunjukkan di arrival card itu saya mengisi bahwa passport saya dikeluarkan dari Surabaya, tetapi dia menunjukkan juga bahwa di lembaran visa masuk saya tertulis bahasa mandarin yang berbunyi “She Sui”. Saya juga baru tahu kalau tulisan itu berbunyi “She Sui”, mana bisa saya mengerti tulisan Mandarin itu. Dia bilang saya berbohong karena data itu tidak cocok. Saya bilang “She Sui” itu bahasa Mandarin untuk Surabaya. Mereka tetap tidak mau mengerti. Tapi untunglah mereka agak pintar juga. Salah seorang polisi datang mengajak masuk teman yang menjemput saya. Polisi itu pasti dengan mudah menemukan teman ini, karena mungkin dia satu-satunya orang yang masih menunggu di luar, mungkin penumpang lain sudah pergi semua. Apalagi saat itu musim dingin, suhu di Jinan bisa sekitar nol derajat celcius. Teman ini yang menjelaskan bahwa saya tamu dia dan saya berasal dari Surabaya. Setelah dijelaskan, mereka mau mengerti dan membebaskan saya.

Dari teman ini saya berusaha menanyakan penyebab salah paham ini. Ternyata di dekat Jinan itu ada juga kota yang bernama “She Sui”. Wajah dan potongan rambut saya tidak mendukung bahwa saya orang asing. Mereka mengira saya orang asli sana dan berasal dari “She Sui” itu. Haduuuuhhh…. Masa petugas imigrasi koq gak tahu peta dunia seeeh….

Kisah lain terjadi saat kita keluar dari perbatasan China pada kesempatan yang lain lagi. Hari itu kita berjanji bertemu dengan seorang teman lama yang kini menetap di China. Pesawat pulang kita dari Hongkong menuju Surabaya sekitar jam tiga sore lebih sedikit. Pagi itu kami berjanji bertemu di kota perbatasan dan kita bersama menyeberang menuju Macau. Dari Macau saya bisa menuju Hongkong dengan kapal ferry sekitar satu jam saja. Perbatasan China-Macau dapat dilintasi dengan berjalan kaki saja. Biasanya hanya setengah jam saja kita sudah bisa masuk ke Macau dari GongBei. Ternyata hari itu liburan musim panas. Antrian di perbatasan itu sangat panjang. Ini benar-benar diluar dugaan kami. Proses imigrasi yang biasanya hanya setengah jam menjadi sekitar lima jam. Kami sebenarnya tidak masalah dengan antrian yang panjang itu, karena kita bisa berbincang dan bercerita tentang apa saja. Lima jam itu bisa dilewati dengan enaknya. Terlalu banyak cerita yang bisa kita bincangkan. Semuanya indah, karena memang sudah cukup lama kita tidak berjumpa. Antrian itu malah menjadi suatu yang bermanfaat. Kita berpisah di Macau. Saya harus menuju Hongkong dan balik ke Surabaya.

Seharusnya tidak ada masalah, saya dan Elia tiba di terminal ferry Macau jam satu siang kurang sedikit, naik ferry satu jam dan jam dua sudah di Airport Hongkong, sehingga jam tiga lebih kita sudah bisa terbang menuju Surabaya. Itu rencana kami. Ternyata diluar perhitungan, ferry yang jam satu itu penuh. Saya sudah juga bilang, kita berdiri juga tidak masalah. Namanya juga pengalaman naik ferry di Indonesia. Berdiri juga sudah biasa. Mereka menolak. Kita diminta naik ferry yang jam dua. Nah, mulailah kita panik. Naik ferry jam dua berarti kita bisa ketinggalan pesawat. 

Saat panik itu saya sempat melihat ada loket lain. Loket Helikopter. Setiap setengah jam ada helikopter menuju Hongkong dan hanya sepuluh menit saja. Tiketnya empat ribu Dollar Hongkong. Lebih mahal dari tiket promo yang saya dapat untuk Hongkong-Surabaya saya. Tapi kalau sampai kita ketinggalan pesawat, kita harus menginap di Hongkong yang pastinya tidak murah dan tiket promo kita hangus dan belum tentu besok kita dapat penerbangan yang murah menuju Surabaya. Harga tiket sekali jalan itu pasti mahal juga. Bagaimanapun rasanya masih lebih murah harga tiket helikopter itu.

Saya memang belum pernah naik helikopter dan ingin rasanya mencobanya. Dulu saya pernah mengenal seorang yang bertanggung jawab mengurus helikopter milik pabrik rokok ternama, saya pernah minta tolong agar bisa naik helikopter perusahaan itu. Dia memberitahukan bahwa tarif sewanya dua ribu Dollar Amerika setiap jamnya.  Haduh, mana sanggup saya bayar.

Saat itu kita putuskan untuk naik helikopter menuju Hongkong. Kita memilih jam keberangkatan setengah dua.  Sambil Elia mengurus pembayaran tiketnya saya mengurus bagasi dan urusan lainnya. Untuk naik helikopter bagasi dan berat badan kita ditimbang. Ada batasannya. Yang menjengkelkan ternyata tidak seperti pesawat yang ada bagasi tentengan yang gratis, ini semua bagasi harus ditimbang dan bayar. Harga tiket itu belum termasuk harga bagasinya. Kita harus membayar lagi. Saat saya terima tiketnya, saya kaget, ternyata kita naik yang jam dua siang, padahal harusnya yang jam setengah dua. Mereka dengan entengnya bilang kalau yang jam setengah dua sudah penuh. Lagi-lagi saya harus jengkel.

Menikmati sesuatu yang mahal itu memang beda. Semua urusan mereka yang atur semua, urusan imigrasi tinggal menyerahkan passport saja. Soal bagasi, setelah bayar, mereka yang mengangkat dan mengurusnya. Ruang tunggunya juga mewah dan banyak makanan dan minuman yang tersedia. Saya yang dalam kondisi tertekan tidak mungkin lagi menikmati semua hal itu. Mata saya tertuju pada fasilitas komputer yang ada. Di benak saya cuma ada bagaimana harus melakukan on line check in untuk penerbangan Hongkong-Surabaya saya nanti.  Memang sayang rasanya harus melewatkan semua fasilitas itu.

Helikopter ini berisi sepuluh orang dengan duduk berhadap-hadapan. Suasananya bising sekali, kita disediakan penyumpal telinga untuk mengatasi bunyi bising mesinnya. Kita tidak mungkin bercakap-cakap saat penerbangan. Sebentar setelah mengudara langsung nampak airport Hongkong. Elia tersenyum sambil mengacungkan jempol. Rasanya memang masalah kita akan segera teratasi. Sayapun lega. Kelegaan yang semu!

Airport itu memang kelihatan, tapi makin lama rasanya helikopter ini makin menjauh dari airport itu. Kita baru sadar bahwa terminal ferry di Hongkong itu ada beberapa. Bukan hanya di Airport, tapi ada juga di Tsim Sha Sui, juga ada di Sheung Wan di tengah kota. Helikopter ini rasanya menuju tengah kota. Benar, kita mendarat di tengah kota. Saya tambah sumpek lagi.  Perjalanan ke airport dari Sheung Wan cukup jauh, dengan taxi bisa sekitar setengah jam. Saya sumpek karena kalau sampai kita tertinggal pesawat, berarti kita rugi dua kali. Rugi bayar helikopter, rugi beli tiket ke Surabaya lagi. Ingin rasanya langsung segera berlari dari helikopter ini. Penumpang lain masih menyempatkan berfoto-foto di dekat heli itu, saya sudah bingung bagaimana caranya untuk sampai di airport sesegera mungkin. Untunglah proses imigrasinya mereka yang uruskan dan sangat cepat. Memang inilah untungnya kalau sudah bayar mahal.

Helipad itu ada di sebuah mall, saya harus berjalan cepat sambil mata jelalatan mencari penunjuk arah pangkalan taxi. Semuanya memang tersedia dengan rapi. Masuk taxi langsung saya bilang,”Please speed up, as fast as you can!” Untunglah pengemudi taxinya orang muda yang pasti bisa ngebut. Kita bisa sampai di Airport kurang dari setengah jam. Saya agak lega dan pengemudi itu juga senang dengan tambahan tip dari kita.

Saya cuma butuh berlari menuju mesin check in untuk mencetak boading pass kita, lalu menuju pemeriksaan imigrasi dan berlari lagi menuju gerbang pemberangkatan. Enaknya di China untuk check in kita tidak ditanya kode booking tiket kita. Kita hanya diminta memasukkan nomer passport kita, ini pasti lebih mudah untuk mengingatnya. Pemeriksaan di bandara Hongkong juga tidak seketat bandara di China daratan. Sesampai di gerbang keberangkatan itu, masih banyak orang yang antri. Pesawatnya belum berangkat dan memang ada penundaan keberangkatan sekitar lebih dari setengah jam. Haduhhhhhh….. betapa leganya hati ini.

Detik-detik menegangkan itu berakhir sudah. Seandainya saja saya tahu akan ada penundaan ini, saya pasti lebih bisa menikmati biaya mahal yang sudah kita bayar dengan helikopter itu. Tetapi mana kita tahu akan detik-detik di depan kita. Mungkin Tuhan tersenyum melihat kita tadi bingung…. Tapi kita juga tersenyum merasakan semua penyertaan Tuhan ini.

(kelanjutannya.....)

24 Juli 2013

Sakit di China

 Perjalanan ke China kali ini sungguh terasa lain. Beberapa minggu menjelang keberangkatannya saya harus banyak pergi ke luar kota. Ke Samarinda, Makasar, PMK di Malang, lalu ke Balikpapan. Sabtu malam mau berangkat, Selasanya saya demam. Rabu dan Kamisnya saya istirahat total karena diare juga. Dokter tidak bisa mendiagnosa apa-apa karena saya hanya demam sehari. Saya hanya mendapat vitamin dan antibiotik. Jumatnya saya harus di kantor untuk mengatur gajian dan mengatur tugas selama saya pergi. Sabtu badan saya terasa lumayan enak. Diare saya sudah sembuh. Saya mantap untuk berangkat. Yang penting saya tidak demam, karena saya takut dikarantina atau bahkan dicegah masuk negara lain kalau terpantau sensor suhu tubuh di Singapore atau Beijing.

Sewaktu transit di Singapore saya mengalami diare lagi. Saya minum obat lagi. Perut saya terasa mual dan kembung. Kondisi ini membuat saya mencoba tidur saja dan beberapa kali ke toilet. Seharusnya penerbangan lebih dari 6 jam dengan SQ ini menyenangkan bagi saya, saya bisa menonton minimal 2 film. Hal langka yang sulit saya lakukan di keseharian.

Saat ini musim panas di China, Beijing sangat ramai. Cuaca panas bahkan lebih panas dari Surabaya.Kita beristirahat sehari di Beijing sebelum melanjutkan perjalanan dengan kereta api super cepat (300 km/jam) selama lebih dari 3 jam. Ternyata kondisi saya tidak membaik, tapi juga tidak memburuk juga, hanya diare dan perut yg kembung melilit. Keesokan paginya saya makan tidak terlalu banyak, sepotong roti dan susu kedelai. Siangnya saya tidak merasa lapar, jadi saya tidak makan apa-apa. Kondisi ini yang ternyata memperburuk keadaan saya. Diare saya memang sudah berhenti, tapi itu pasti karena obat diare yang saya minum, sedangkan penyebab diare itu pasti belum teratasi. Di atas kereta api itu kondisi saya memburuk, perut terasa sangat sakit melilit. Beberapa kali saya mau muntah, tetapi tidak ada yang bisa keluar, karena perut saya memang kosong. Saya mengirim SMS ke teman yang akan menjemput kami, saya minta untuk dibawa ke dokter atau rumah sakit terdekat dengan stasiun kereta api tujuan. Sebenarnya kita masih harus menempuh perjalanan lebih dari satu jam lagi dengan mobil. Walaupun sakit, saya tidak terlalu panik, karena saya pingin juga punya pengalaman ke dokter di China. Saya sering diceritai bahwa dokter bisa mendiagnosa pasiennya dengan menempelkan tiga jarinya di pergelangan tangan pasiennya. Saya ingin mencoba pengalaman itu.

Saya dibawa ke rumah sakit, mereka menyarankan saya periksa darah. Periksa darah dilakukan di loket. Kita hanya diminta menjulurkan tangan kita ke loket itu. Saya mengajukan lengan kanan saya. Petugasnya melihat tanpa menyentuh tangan saya, dia menggeleng dan minta tangan yang lain. Saya menjulurkan tangan kiri saya ke loket. Tanpa bicara dia mengusapnya dengan kapas beralkohol dan langsung menusukkan jarum, begitu cepat dan tanpa basa-basi. Saya sebenarnya kaget, tapi juga kagum. Karena kalau saya donor darah dari tangan kanan memang alirannya lambat, tidak secepat bila dari tangan kiri. Petugas itu mungkin sudah bisa menebak itu. Hebat juga. Hasil pemeriksaannya tidak diambil di loket itu, tetapi dicetak di mesin di luar loket itu. Kita hanya diminta menempelkan kartu magnetik yang kita terima saat mendaftar. Semua urusan cuma dengan menunjukkan kartu itu. Sistim komputer mereka sudah terhubung dengan baik. Mereka tidak dapat mendiagnosa apa-apa, karena hanya ada peningkatan jumlah sel darah putih saja. Saya hanya disuntik dengan penghilang sakit sampai bisa tiba di kota yang hendak kami tuju.

Perjalanan selanjutnya tetap menyakitkan bagi saya, rasanya tidak ada pengaruh apa-apa dari suntikan tadi. Tiba di kota kecil itu, kita langsung menuju rumah sakit. Mungkin ini kota kecamatan. Sekitar 600 km lebih dari ibukota dan 100 km dari stasiun kereta api besar. Mungkin dari Jakarta ke Semarang lalu menuju Wonosobo. Jalan masuk rumah sakit itu banyak polisi tidurnya, walau kita naik mobil mewah, tapi hentakan itu terasa menyakitkan perut saya. Rasanya rumah sakit ini kecil saja.

Di rumah sakit itu banyak juga orang yang antri, banyak loket sudah tutup dan ini mungkin bagian UGDnya saja yang masih buka. Ada sekelompok pekerja berseragam yang mengantar rekannya yang berdarah-darah, ada juga anak kecil yang luka di kepalanya dan berteriak-teriak. Rumah sakit itu tidak terlalu bersih, tapi cukup baik juga. Saya hanya menunggu sebentar untuk dilayani dan diperiksa. Dokternya tidak bisa inggris dan saya tidak bisa mandarin. Saya bergantung pada sekretaris perusahaan yang cakep ini. Dia yang menjadi penerjemah kita. Saya sudah pasrah kalau harus opname di sana. Mereka akan melihat kondisi saya dalam dua jam. Saya disuruh tiduran dan akan diinfus. Seumur hidup, baru kali ini saya diinfus. Ranjang itu pasti sudah dipakai banyak orang, bersprei putih tapi sudah lusuh juga. Di kamar itu ada 4 ranjang. Tidak ada pilihan bagi saya. Saya berbaring saja dan mencoba tidur. Saya bisa tertidur dan kondisi saya jadi segar saat terbangun. Saya boleh pulang dan tidur di hotel, besoknya saya harus kembali lagi. Entahlah apa yang membuat saya jadi cepat sembuh, obat yang diinfuskan atau sekretaris cakep yang menunggui saat saya tertidur tadi. Hahahahahaa.....

Saya mendapat obat, dia bilang, dua butir sehari. Saat di Surabaya saya diberi antibiotik yang juga dua butir sehari, pagi dan malam saat setelah makan. Saya langsung berpikir, pasti obatnya sejenis. Jadi saya minum obat itu sebutir malam itu dan esok paginya sebutir lagi saat setelah sarapan. Kondisi saya membaik dengan obat itu. Baru setelah lima hari kemudian, saat di penerbangan pulang, di sebelah saya dokter lulusan Jerman. Saya tanya soal obat itu, ada sedikit nama obat yang ditulis latin, lainnya dalam mandarin. Dokter itu menjelaskan bahwa obat itu harus diminum saat perut kosong, sebelum makan pagi dan langsung dua butir. Lha mana saya tahu... tapi syukur masih bisa sembuh juga. Nah kan, pasti sembuhnya bukan karena obat itu... tapi karena... HUS!

Esok paginya setelah sarapan saya dijemput untuk kembali ke Rumah sakit itu lagi. Di pagi itu barulah nampak situasi sebenarnya rumah sakit itu. Padat benar! Mirip situasi di RSUD Dr. Sutomo, atau di pasar Atom ya? Orang begitu banyak, ratusan orang antri, Cina semua! Gila, saya pikir berapa lama saya harus menunggu? Tapi yah apa boleh buat... Ternyata cuma beberapa saat saya sudah dipanggil dan masuk kamar yang kemarin, berbaring dan diinfus lagi. Kali ini malah dua botol. Karena tidak mengantuk saya menunggu sambil melihat situasi kamar itu. Banyak pasien dari kalangan kurang mampu, penampilan mereka sangat lusuh. Tapi pelayanan disini sangat cepat. Ketika botol infus saya sudah hampir habis, saya mulai bingung bagaimana caranya memanggil perawatnya? Tapi perawat itu datang tepat pada waktunya mengganti dengan botol kedua. Saat botol kedua habis, iapun datang tepat waktu. Hebat sekali.

Pelayanan antar loketpun hanya dengan membawa kartu magnetik yang kita terima saat pendaftaran awal. Mereka dapat melihat data dengan menggesekkan kartu itu saja, begitu praktis.

Karena sakit, saya memutuskan untuk beristirahat di hotel saja, tidak ikut meninjau pabrik ataupun pergi ke tempat lainnya. Hanya siang mereka menjemput saya untuk makan siang lalu balik ke hotel dan sore menjemput lagi untuk makan malam. Entahlah , mengapa kali ini saya bisa membawa buku yang sangat tebal. Buku "Man of Honor – William Suryajaya" tebalnya lebih dari 600 halaman. Harusnya saya tidak membawa buku setebal itu, karena saya akan naik Singapore Airlines yang filmnya bagus-bagus. Entahlah juga saya tetap memasukkan buku itu ke tas. Tapi ini sangat membantu, jadilah berhari-hari saya pakai waktu saya untuk membaca hingga selesai buku biografi William Suryajaya yang sangat mengagumkan itu. Di hotel sendirian, tidak terlalu merisaukan saya. Selain membaca saya bisa melamun. Saya sempat juga melamun tentang surga dan saya berusaha merenungkan apa surga itu menurut saya. Entahlah mengapa itu yang terlintas di benak saya. Tapi di lamunan itu saya berhasil merumuskan arti surga buat saya. Hal yang sering saya lakukan dengan lamunan-lamunan saya untuk masalah lainnya.

Di hari terakhir saya sebelum pulang, siang itu saya diantar ke hotel setelah makan siang sekitar jam dua siang, jam setengah enam sore sudah dijemput lagi untuk makan malam. Saya masih merasa kenyang, tapi apa boleh buat. Malam itu kita makan malam di restoran yang kelihatannya sangat eksklusif. Teman-teman saya sudah balik ke Beijing, tinggal saya sendiri malam itu. Malam itu Bos pemilik pabrik yang saya kunjungi mengajak teman-temannya untuk makan malam bersama. Bahasa Inggris mereka sangat terbatas, jadi kita tidak dapat berkomunikasi dengan baik. Di sebelah saya duduk sekretaris perusahaan yang lancar berbahasa inggris. Saya hanya bisa berbincang dengannya. Ternyata makan malam itu bukan hanya makan saja, mereka bercengkrama sangat meriah, entahlah apa saja yang mereka perbincangkan, kadang tertawa kadang juga berdebat seru. Tidak semua perbincangan itu diterjemahkan untuk saya. Bingung juga. Jadilah saya berbincang sendiri dengan sekretaris itu. Saya terkejut saat dia bertanya ,"Do you believe that there is life after death?" Saya kaget kenapa dia bertanya begitu dan saya juga kaget karena beberapa hari yang lalu ini saya berpikir juga tentang hal itu. Saya merasa sudah dipersiapkan untuk bicara tentang itu. Saya bisa menjawab dan menjelas pertanyaan itu dengan cukup panjang. Entahlah kenapa semua ini sepertinya sudah disiapkan. Buku tebal yang saya bawa, lamunan tentang surga dan pertanyaan tentang surga?

Tuhan selalu tahu apa yang akan terjadi. Memang tidak ada pengalaman diperiksa dengan tiga jari oleh dokter di China. Tapi pengalaman untuk bercerita tentang kepercayaan Kristen kita ke orang di sana menjadi sesuatu yang indah buat saya. Juga saat saya cerita tentang cerita Emak saya, tentang huruf mandarin "lai" yang berarti datang, huruf mandarin itu ada salibnya di tengah dan di kanan kiri bawah salib itu ada dua goresan yang berarti orang. Emak saya bilang,"Itu artinya orang harus datang di bawah salib." Saya sampaikan hal itu juga ke dia. Dia kaget dan berkata bahwa dia baru dengar tentang itu. Yah, semoga Roh Kudus yang meneruskan karya berita itu untuknya.
(kelanjutannya.....)