Selalu ada cerita menarik saat di China. Berikut ini kisah yang pernah saya alami saat melintas batas negara ini. Kisah yang mungkin berguna bagi teman-teman.
Suatu saat saya masuk ke China melalui Hongkong dan menuju kota Jinan. Jinan adalah ibukota propinsi Shandong di China utara. Walaupun ibukota propinsi tapi rasanya kota ini tidak terlalu ramai. Bandara internasionalnya tidak ramai benar. Sesampai di bandara Jinan, seperti biasa kita menuju antrian pemeriksaan imigrasi. Waktu itu setelah passport saya diperiksa, petugasnya menyuruh saya menunggu di samping. Mereka melanjutkan dengan memeriksa orang lain. Saya tidak terlalu kuatir, karena memang harusnya tidak ada masalah dengan dokumen saya, termasuk visa masuk saya. Saya menunggu cukup lama, sampai tidak ada lagi orang yang antri, saya mulai curiga.
Saya mulai mendatangi petugas yang ada, menanyakan perihal passport saya. Mereka tidak bisa berbahasa Inggris. Mereka berusaha mencari rekannya yang bisa berbahasa Inggris untuk berbicara dengan saya. Ada seorang polisi yang mendekati saya, dia menunjukkan passport saya dan bilang bahwa saya berbohong. Saya kaget, saya sadar rasanya ini ada masalah yang tidak saya mengerti benar. Polisi itu tidak fasih berbahasa Inggris, jadi saya juga tidak bisa mengerti maksud dia dengan tepat. Saya berusaha menanyakan masalah saya.
Polisi itu menunjukkan visa masuk saya, dia menunjukkan juga arrival card yang juga sudah saya isi. Saat masuk ke suatu negara kita diminta untuk mengisi kartu kedatangan yang berisi data: nama, tanggal lahir, tempat passport kita dikeluarkan, nomer penerbangan kita dan beberapa data lainnya. Kartu ini juga gandeng dengan kartu yang harus kita serahkan kembali saat kita keluar dari negara itu nantinya. Saya mulai mengerti masalah yang ada. Polisi itu menunjukkan di arrival card itu saya mengisi bahwa passport saya dikeluarkan dari Surabaya, tetapi dia menunjukkan juga bahwa di lembaran visa masuk saya tertulis bahasa mandarin yang berbunyi “She Sui”. Saya juga baru tahu kalau tulisan itu berbunyi “She Sui”, mana bisa saya mengerti tulisan Mandarin itu. Dia bilang saya berbohong karena data itu tidak cocok. Saya bilang “She Sui” itu bahasa Mandarin untuk Surabaya. Mereka tetap tidak mau mengerti. Tapi untunglah mereka agak pintar juga. Salah seorang polisi datang mengajak masuk teman yang menjemput saya. Polisi itu pasti dengan mudah menemukan teman ini, karena mungkin dia satu-satunya orang yang masih menunggu di luar, mungkin penumpang lain sudah pergi semua. Apalagi saat itu musim dingin, suhu di Jinan bisa sekitar nol derajat celcius. Teman ini yang menjelaskan bahwa saya tamu dia dan saya berasal dari Surabaya. Setelah dijelaskan, mereka mau mengerti dan membebaskan saya.
Dari teman ini saya berusaha menanyakan penyebab salah paham ini. Ternyata di dekat Jinan itu ada juga kota yang bernama “She Sui”. Wajah dan potongan rambut saya tidak mendukung bahwa saya orang asing. Mereka mengira saya orang asli sana dan berasal dari “She Sui” itu. Haduuuuhhh…. Masa petugas imigrasi koq gak tahu peta dunia seeeh….
Kisah lain terjadi saat kita keluar dari perbatasan China pada kesempatan yang lain lagi. Hari itu kita berjanji bertemu dengan seorang teman lama yang kini menetap di China. Pesawat pulang kita dari Hongkong menuju Surabaya sekitar jam tiga sore lebih sedikit. Pagi itu kami berjanji bertemu di kota perbatasan dan kita bersama menyeberang menuju Macau. Dari Macau saya bisa menuju Hongkong dengan kapal ferry sekitar satu jam saja. Perbatasan China-Macau dapat dilintasi dengan berjalan kaki saja. Biasanya hanya setengah jam saja kita sudah bisa masuk ke Macau dari GongBei. Ternyata hari itu liburan musim panas. Antrian di perbatasan itu sangat panjang. Ini benar-benar diluar dugaan kami. Proses imigrasi yang biasanya hanya setengah jam menjadi sekitar lima jam. Kami sebenarnya tidak masalah dengan antrian yang panjang itu, karena kita bisa berbincang dan bercerita tentang apa saja. Lima jam itu bisa dilewati dengan enaknya. Terlalu banyak cerita yang bisa kita bincangkan. Semuanya indah, karena memang sudah cukup lama kita tidak berjumpa. Antrian itu malah menjadi suatu yang bermanfaat. Kita berpisah di Macau. Saya harus menuju Hongkong dan balik ke Surabaya.
Seharusnya tidak ada masalah, saya dan Elia tiba di terminal ferry Macau jam satu siang kurang sedikit, naik ferry satu jam dan jam dua sudah di Airport Hongkong, sehingga jam tiga lebih kita sudah bisa terbang menuju Surabaya. Itu rencana kami. Ternyata diluar perhitungan, ferry yang jam satu itu penuh. Saya sudah juga bilang, kita berdiri juga tidak masalah. Namanya juga pengalaman naik ferry di Indonesia. Berdiri juga sudah biasa. Mereka menolak. Kita diminta naik ferry yang jam dua. Nah, mulailah kita panik. Naik ferry jam dua berarti kita bisa ketinggalan pesawat.
Saat panik itu saya sempat melihat ada loket lain. Loket Helikopter. Setiap setengah jam ada helikopter menuju Hongkong dan hanya sepuluh menit saja. Tiketnya empat ribu Dollar Hongkong. Lebih mahal dari tiket promo yang saya dapat untuk Hongkong-Surabaya saya. Tapi kalau sampai kita ketinggalan pesawat, kita harus menginap di Hongkong yang pastinya tidak murah dan tiket promo kita hangus dan belum tentu besok kita dapat penerbangan yang murah menuju Surabaya. Harga tiket sekali jalan itu pasti mahal juga. Bagaimanapun rasanya masih lebih murah harga tiket helikopter itu.
Saya memang belum pernah naik helikopter dan ingin rasanya mencobanya. Dulu saya pernah mengenal seorang yang bertanggung jawab mengurus helikopter milik pabrik rokok ternama, saya pernah minta tolong agar bisa naik helikopter perusahaan itu. Dia memberitahukan bahwa tarif sewanya dua ribu Dollar Amerika setiap jamnya. Haduh, mana sanggup saya bayar.
Saat itu kita putuskan untuk naik helikopter menuju Hongkong. Kita memilih jam keberangkatan setengah dua. Sambil Elia mengurus pembayaran tiketnya saya mengurus bagasi dan urusan lainnya. Untuk naik helikopter bagasi dan berat badan kita ditimbang. Ada batasannya. Yang menjengkelkan ternyata tidak seperti pesawat yang ada bagasi tentengan yang gratis, ini semua bagasi harus ditimbang dan bayar. Harga tiket itu belum termasuk harga bagasinya. Kita harus membayar lagi. Saat saya terima tiketnya, saya kaget, ternyata kita naik yang jam dua siang, padahal harusnya yang jam setengah dua. Mereka dengan entengnya bilang kalau yang jam setengah dua sudah penuh. Lagi-lagi saya harus jengkel.
Menikmati sesuatu yang mahal itu memang beda. Semua urusan mereka yang atur semua, urusan imigrasi tinggal menyerahkan passport saja. Soal bagasi, setelah bayar, mereka yang mengangkat dan mengurusnya. Ruang tunggunya juga mewah dan banyak makanan dan minuman yang tersedia. Saya yang dalam kondisi tertekan tidak mungkin lagi menikmati semua hal itu. Mata saya tertuju pada fasilitas komputer yang ada. Di benak saya cuma ada bagaimana harus melakukan on line check in untuk penerbangan Hongkong-Surabaya saya nanti. Memang sayang rasanya harus melewatkan semua fasilitas itu.
Helikopter ini berisi sepuluh orang dengan duduk berhadap-hadapan. Suasananya bising sekali, kita disediakan penyumpal telinga untuk mengatasi bunyi bising mesinnya. Kita tidak mungkin bercakap-cakap saat penerbangan. Sebentar setelah mengudara langsung nampak airport Hongkong. Elia tersenyum sambil mengacungkan jempol. Rasanya memang masalah kita akan segera teratasi. Sayapun lega. Kelegaan yang semu!
Airport itu memang kelihatan, tapi makin lama rasanya helikopter ini makin menjauh dari airport itu. Kita baru sadar bahwa terminal ferry di Hongkong itu ada beberapa. Bukan hanya di Airport, tapi ada juga di Tsim Sha Sui, juga ada di Sheung Wan di tengah kota. Helikopter ini rasanya menuju tengah kota. Benar, kita mendarat di tengah kota. Saya tambah sumpek lagi. Perjalanan ke airport dari Sheung Wan cukup jauh, dengan taxi bisa sekitar setengah jam. Saya sumpek karena kalau sampai kita tertinggal pesawat, berarti kita rugi dua kali. Rugi bayar helikopter, rugi beli tiket ke Surabaya lagi. Ingin rasanya langsung segera berlari dari helikopter ini. Penumpang lain masih menyempatkan berfoto-foto di dekat heli itu, saya sudah bingung bagaimana caranya untuk sampai di airport sesegera mungkin. Untunglah proses imigrasinya mereka yang uruskan dan sangat cepat. Memang inilah untungnya kalau sudah bayar mahal.
Helipad itu ada di sebuah mall, saya harus berjalan cepat sambil mata jelalatan mencari penunjuk arah pangkalan taxi. Semuanya memang tersedia dengan rapi. Masuk taxi langsung saya bilang,”Please speed up, as fast as you can!” Untunglah pengemudi taxinya orang muda yang pasti bisa ngebut. Kita bisa sampai di Airport kurang dari setengah jam. Saya agak lega dan pengemudi itu juga senang dengan tambahan tip dari kita.
Saya cuma butuh berlari menuju mesin check in untuk mencetak boading pass kita, lalu menuju pemeriksaan imigrasi dan berlari lagi menuju gerbang pemberangkatan. Enaknya di China untuk check in kita tidak ditanya kode booking tiket kita. Kita hanya diminta memasukkan nomer passport kita, ini pasti lebih mudah untuk mengingatnya. Pemeriksaan di bandara Hongkong juga tidak seketat bandara di China daratan. Sesampai di gerbang keberangkatan itu, masih banyak orang yang antri. Pesawatnya belum berangkat dan memang ada penundaan keberangkatan sekitar lebih dari setengah jam. Haduhhhhhh….. betapa leganya hati ini.
Detik-detik menegangkan itu berakhir sudah. Seandainya saja saya tahu akan ada penundaan ini, saya pasti lebih bisa menikmati biaya mahal yang sudah kita bayar dengan helikopter itu. Tetapi mana kita tahu akan detik-detik di depan kita. Mungkin Tuhan tersenyum melihat kita tadi bingung…. Tapi kita juga tersenyum merasakan semua penyertaan Tuhan ini.