04 September 2011

Come be My Light

Ini judul buku yang sempat saya baca di liburan Lebaran tahun ini. Sub judulnya: Catatan-Catatan Pribadi Orang Suci dari Kalkuta. Penerbitnya Gramedia, 528 halaman. Cukup tebal untuk dibaca selama liburan ini.

Buku ini bukan biografi tentang Ibu Teresa. Buku ini berisi surat-surat Ibu Teresa kepada beberapa orang tentang pergumulan batinnya. Menjadi menarik untuk dibaca karena kita bisa tahu apa yang ada dibenak seorang yang sangat dikenal dan dikenang di seluruh dunia. Sebuah pergumulan batin yang nyaris tak diketahui orang banyak. Di banyak suratnya, Beliau sudah meminta untuk memusnahkan semua surat-surat itu. Beberapa orang tidak melaksanakan permintaan itu, karena memang itulah warisan pergumulan iman yang tiada taranya yang akan menginspirasi orang banyak.

Ibu Teresa mempunyai tekad kuat untuk memuaskan "dahaga/rasa haus Yesus" dengan melayani orang yang paling miskin diantara orang miskin. Komitmen itu begitu kuat. Ia menjabarkannya dalam prinsip kehidupan: Kemiskinan mutlak, Kemurnian Malaikat dan Ketatatan yang Ceria. Surat-suratnya mengungkapkan kemauannya yang kuat untuk menghadirkan kasih Tuhan di luar lingkungan biaranya. Itu memerlukan ijin dari para pembesar Gereja. Ia adalah orang yang taat pada birokrasi gereja, walaupun hatinya menggelora, dia mempunyai prinsip hidup akan ketaatan yang membuta. Saat-saat suratnya tidak mendapat jawaban, disamping dia menulis surat lagi, dia menganggapnya itu adalah kesempatan dari Tuhan untuk terus mendoakan semua rencananya. Doa menjadi sesuatu yang dominan di hidupnya. Di tiap suratnya selalu ada permohonan untuk mendoakannya.

Suasana Gereja Katolik Roma yang sangat birokratis, tidak pernah menimbulkan keinginan Ibu Teresa untuk keluar dari sistem yang ada, Ia selalu melihat tiap hambatan yang ada sebagai suatu kesempatan untuk berdoa. Juga bagi pembesar gereja, mereka bertanggung jawab atas semua keputusan yang harus diambilnya. Uskup yang memberi ijin mengungkapkan bahwa ijin yang diberikannya bukan  karena banyaknya surat yang dikirimkan Ibu Teresa, melainkan karena memang itu memerlukan waktu untuk memikirkannya dengan hati-hati. Setelah mengijinkannya, Uskup menjadi pendukung kuat kegiatan Ibu Teresa. Suatu keindahan akan hasil sebuah birokrasi yang bisa kita teladani.

Dalam perjalanan pelayanannya, dia mengalami kondisi dimana ia merasa ditinggalkan oleh Tuhan. Dia merindukan kehadiran Tuhan, tapi semuanya terasa gelap buat dia. Dalam surat-suratnya dia bertanya kepada para pembimbing rohaninya perihal itu. Kondisi itu membuatnya sangat menderita secara batin, tapi ketaatannya pada Tuhan membuatnya selalu berdoa agar dia tidak menolak Tuhan. Kondisi ini berlangsung selama puluhan tahun di hidupnya. Kondisi ini yang diterimanya sebagai anugerah untuk merasakan penderitaan Yesus. Rasanya sudah tidak ada lagi penderitaan dunia yang dapat menyakitkan buatnya, karena komitmennya untuk hidup miskin dengan mutlak. Penderitaan karena ditinggalkan Tuhan adalah kegelapan yang harus ia alami sehari-hari. Terhadap penderitaan itu, ia berkemenangan karena prinsipnya untuk ber-ketaatan yang membuta kepada Allah. Semua orang yang ditemuinya tidak pernah meragukan keceriaan, keramahan dan semangatnya. Itu semua bukti dari penyangkalan diri yang kuat. Seakan-akan hal ini mengingatkan akan ketaatan Yesus pada sang Bapa meski Ia harus ditinggalkan oleh Bapa di kayu salib, Ia tetap setia. Ketaatan pada Allah yang membuta.

Nilai-nilai iman Ibu Teresa menjadi unik, bila dibandingkan dengan kondisi yang sangat "laku" saat ini. Para Pendeta dan Pengkotbah berlomba untuk menyatakan bahwa dirinya sangat akrab dengan Tuhan. Bahkan ada yang berani bercerita bahwa dia begitu dekat dengan Tuhan dan bisa bercakap-cakap muka dengan muka. Memang membanggakan pengalaman iman seperti ini. Tetapi Ibu Teresa menjadi teladan untuk sisi yang lain, bahwa bagaimanapun manusia itu tak berarti di hadapan Tuhan. Bahkan kalaupun Tuhan memberikan penderitaan, itu adalah sebuah anugerah buatnya untuk bisa ikut merasakan penderitaan yang Yesus rasakan. Menderita adalah juga sebuah anugerah.

Buku ini seakan menjawab pertanyaan yang ada dibenak saya menjelang liburan lebaran ini. Saat hasil angket menyatakan adanya motivasi dan keinginan yang kuat jemaat GKI Dipo untuk melakukan kegiatan keluar (output). Kita diharapkan melakukan banyak kegiatan keluar. Pertanyaan saya, "Lalu apa bedanya gereja ini dengan organisasi sosial?" Pengalaman Ibu Teresa mengungkapkan jawaban atas hal ini. Kita bukan sekedar melakukan kegiatan sosial, karena saat kita melakukan kegiatan sosial harus ada semangat yang kuat di hati kita. Semangat itu adalah hasil sebuah pembinaan yang kuat dan benar. Saat kita melakukan kegiatan keluar akan ada masalah yang harus kita hadapi, disana memerlukan sebuah persekutuan untuk mencari pemecahan dan mendoakannnya bersama.  Saat terjadi masalah di lapangan diperlukan juga kekuatan birokrasi gereja kita untuk saling mendukung bukan malah mencari-cari kesalahan. Kegiatan keluar itu ternyata memerlukan totalitas pembinaan dan persekutuan yang prima.

Untuk datang dan menjadi Cahaya Tuhan (Come be My light), cuma diperlukan sebuah semangat yang sederhana dan kuat. Hidup Ibu Teresa sudah menjadi teladan akan kesederhanaan yang mampu menghasilkan hasil yang mencengangkan dunia dengan cara yang lemah menurut dunia ini.

(kelanjutannya.....)

Menyambut Lebaran di GKI Bondowoso

Minggu, 28 Agustus 2011, suasana menyambut Lebaran sangat terasa di Bondowoso. Toko-toko di daerah Pecinan panen dengan pembeli, parkiran kendaraan, teutama roda dua, sangat penuh sesak. Bagi masyarakat, terutama yang di desa, Lebaran identik dengan pesta. Harus ada baju baru, pakaian baru, sepatu baru juga hidangan kue dan panganan yang serba mewah bila dibandingkan dengan keseharian mereka. Mereka akan gembira bila bisa menyambut Lebaran dengan semua itu. Terlepas setuju atau tidak dengan kebiasaan itu, tetapi itu jugalah Lebaran di banyak tempat di negara ini.

Di kotbah Minggu pagi, Pdt. Martin K. Nugroho menyinggung juga adanya sekelompok masyarakat yang menganggap makan daging adalah suatu kemewahan yang sulit mereka harapkan di Lebaran ini. Hari Minggu itu, jemaat GKI Bondowoso berbagi kebahagian agar lebih banyak orang bisa juga bergembira dalam berlebaran. Atas nama Gerakan Kemanusian Indonesia Bondowoso, mereka menyerahkan seekor sapi dan dua ekor kambing kepada Pondok Pesantren Al Mubarak di Desa Kapuran, Kecamatan Wonosari, Bondowoso. Siang harinya, Pdt. Martin K. Nugroho dan jemaat berkunjung ke Pondok Pesantren itu. Bp. Kyai Haji Kamil Hadadi menerima sumbangan itu dan membagikannya kepada warga sekitar yang memang sangat membutuhkan bantuan itu.

Sementara proses penyembelihan tiga hewan tersebut, terjadi silahturahmi di antara jemaat dan warga pesantren itu. Karena masa itu masa puasa, kita hanya berbincang-bincang saja. Diruang tamu itu memang tersedia beberapa toples makanan kering. Pak Haji juga menyuguhkan minuman kepada kita, tetapi untuk menghormati puasanya kita menolaknya. Kami yang laki-laki berbicang dengan Pak Kyai di ruang tamunya, sedangkan sekelompok jemaat wanita berbincang dengan beberapa santriwati di teras rumah utama itu. Suasana sangat akrab.

Di dalam perbincangan itu bukan sekedar basa-basi yang ringan dan tak berarti. Pak Kyai dan Pak Pendeta sempat juga menyinggung hal yang sangat krusial dalam hubungan antar agama, perihal keselamatan. Pak Pendeta dan pak Kyai memang sadar bahwa di antara mereka ada kondisi dimana masing-masing bisa merasa paling benar tentang agamanya. Bukan cuma sekedar pemahaman diantara para pemimpin agama, tapi desakan dari masing-masing jemaat/jemaah untuk meminta ketegasan akan kemutlakan janji keselamatan sering juga merepotkan hubungan antar manusia yang ada. Suasana akrab itu tidak ternoda dengan pertanyan sulit dan krusial itu. Pak Kyai memberikan perikop yang ada di kitab sucinya: "Ada orang yang sudah hidup dengan sangat saleh selama 500 tahun, saat di akherat dia ditimbang kebaikan dan kejahatannya. Memang kebaikannya lebih berat. Orang itu dengan bangga menjawab bahwa memang itu sudah selayaknya, karena selama 500 tahun dia telah berbuat baik. Tuhan kemudian meminta malaikatNya untuk menimbang ulang kebaikan itu. Mana yang lebih berat, kebaikan dia sendiri atau anugerah Tuhan yang telah memampukan dia untuk berbuat baik. Ternyata yang lebih berat adalah anugerah Tuhan." Pak Pendeta dan Pak Kyai yakin bahwa memang ada keyakinan akan kebenaran di masing-masing agama yang dipimpinnya. Tetapi perihal keselamatan, bagaimanapun manusia harus memberi ruang akan otoritas Tuhan yang mutlak untuk menyelamatkan siapapun yang dikasihiNya. Bukan urusan manusia bila Tuhan ingin menyelamatkan siapapun juga. Atas pemahaman itu kita semua bisa duduk dan berbincang dengan akrab satu sama lain.

Pdt. Martin K. Nugroho mengatakan ,"Kita semua ke tempat ini sebagai GKI dalam artian 'Gerakan Kemanusiaan Indonesia'. Artinya bukanlah sebuah sisipan politis ala gereja yang sedang mencari perlindungan atau lainnya dengan tetap membawa-bawa nama gereja. Kami ingin berteman sebagai sesama anak bangsa bersama mereka.".

Banyak hal yang tercapai dengan kegiatan ini, keakraban dan keramahan yang tercipta tak ternilai bila dibandingkan harga ternak yang ada. Kemauan jemaat GKI untuk berbagi dan kemauan jemaah Pondok Pesantren untuk menerima dan menyalurkannya merupakan bukti luhurnya nilai-nilai keagamaan yang mendorong tumbuhnya nilai-nilai kemanusiaan. Bila nilai-nilai ini tumbuh di dalam masyarakat di desa, ini merupakan tantangan bagi mereka yang tersebar di kota besar untuk tidak melupakannya, karena memang dari desalah tumbuh sebuah kota yang metropolitan.

(kelanjutannya.....)