Beberapa saat yang lalu, saya kembali sibuk dengan training dari JETRO (Japan External Trade Organization). Kali ini saya ditawari sebagai salah satu Sub-Instruktur, karena saya telah lulus ujian sertifikasinya tahun yang lalu.. Saya senang saja, sebab saya pikir ini kesempatan untuk belajar dan pasti tidak terlalu sulit, namanya juga Sub-Instruktur, paling cuma bantu-bantu saja. Pembicara utamanya pasti seorang senior expert dari Jepang dan dibantu oleh seorang penerjemah.
Pada hari pertama sang expert hanya membuka dengan perkenalan dan kemudian meminta rekan saya untuk mulai mengajar, saya dijadwalkan untuk hari ketiga dan keempat.namun, pada sesi kedua hari itu saya sudah diminta untuk mengajar. Bisa jadi karena rekan saya tadi dianggap kurang bisa mengajar dengan baik. Saya kaget dengan kondisi itu. Saya merasa jengkel dengan keadaan ini. Saya merasa dikerjai oleh expert dari Jepang itu. Saya pernah mendengar tentang honornya yang tidak murah. Beliau seorang senior, biaya mereka ke Indonesia saja sudah tidak murah, belum lagi akomodasi dan fasilitas yang disediakan. Mereka yang terima honor koq malah saya yang disuruh mengajar. Bukannya saya malas untuk mengajar, tapi saya sudah punya prasangka negatif tentang mereka. Kadang saya merasa bahwa mereka itu sekedar bagi-bagi sertifikat, tanpa benar-benar memperhatikan kualitas pengajaran mereka dan orang-orang kita sudah diperdaya. Mungkin inilah bentuk penjajah yang baru. Saya merasa galau dengan kondisi ini. Saya merasa instruktur itu mau menangnya sendiri. Dia makan gaji buta. Itu yang ada dibenak saya. Beliau tidak bisa berbahasa Indonesia, bagaimana beliau bisa mengontrol materi yang saya ajarkan?
Perasaan itu cuma bisa timbul dibenak saja, tetapi saya sendiri tetap harus bisa mengajar dengan baik, karena paling tidak saya harus menjaga nama baik saya pribadi. Apalagi para pesertanya dari beberapa perusahaan besar, juga beberapa orang dari ATMI Solo, sekolah yang sangat terkenal dalam hal perbengkelan. Ada juga dari UK Petra. Rasanya saya bukan apa-apa bila dibandingkan mereka. Jadi saya merasa jangan sampai memalukan.
Materi pelatihan itu adalah sistem manajemen berdasarkan prinsip 5 S. Suatu prinsip yang banyak diterapkan oleh banyak perusahaan di Indonesia dengan mengadopsi sikap dan nilai budaya Jepang. 5 S itu seiri (pemilahan), seiton (penataan), seiso (pembersihan), seiketsu (pemantapan) dan. shitsuke (pembiasaan). Dengan melakukan lima sikap dasar itulah sistim manajemen perusahaan dibangun.
Saya mengajar terus hingga semua sesi pelatihan itu selesai. Selama seminggu mulai dari jam 8.00 sampai 17.00. Kejengkelan itu tetap ada namun saya tetap menganggap ini adalah sebuah tantangan untuk bisa mengajar orang lain yang dari latar belakang perusahaan yang lebih besar dari perusahaan saya. Banyak dari mereka yang sudah menerapkan sistem 5S ini di perusahaannya. Sayapun tetap berusaha melibatkan sang expert untuk memberikan contoh-contoh yang pasti dia banyak miliki. Saat sesi terakhir usai, sang expert mengundang saya untuk makan malam. Kejengkelan itu timbul lagi, saya merasa dikerjai dan dia cuma berbagi makan malam saja. Tapi buat apa saya marah. Malam itu kita makan malam bersama dan minum bir. Saya cuma ingat saat saya pernah di India dan seorang tuan rumah disana menjamu saya dengan sangat baik. Saat saya tanya alasannya, dia mengatakan bahwa di budayanya seorang tamu asing itu seperti seorang dewa yang hadir untuk dilayani. Mereka harus melayani tamu asing dengan sangat baik. Yah, sayapun ingin melayani Bapak ini dengan baik.
Di akhir makan malam itu, Sang Expert itu meminta saya untuk hadir lagi keesokan harinya. Ah, saya tambah jengkel. Besok itu acara utamanya adalah ujian sertifikasi. Jadi pasti saya tidak ada kegiatan apa-apa lagi. Masak saya masih harus diminta untuk menjaga kelas ujian lagi? Saya tambah jengkel lagi. Tapi tidak kuasa untuk menolak hanya demi sebuah kesopanan dan keramahan. Betapa munafiknya saya, dan betapa enaknya Sang Expert ini. Makan gaji buta! Itu umpatan saya di dalam hati.
Besoknya, saya hadir di ujian kompetensi yang diadakan. Hanya sekedar membatu mengatur meja kursi dan membagikan soal. Ujian itu terdiri dari seratus soal benar atau salah. Bila menjawab dengan benar akan mendapat angka satu, bila tidak dijawab mendapat nilai nol, bila salah menjawab akan dikurangi satu angka. Kelihatannya mudah dan simpel, tapi kalimat-kalimatnya cukup membingungkan. Kadang kita bisa sempat berpikir apa ini yang salah terjemahannya? Tapi semuanya harus diputuskan benar atau salah. Peserta dianggap lulus bila mendapat nilai minimal 60.
Saya merasa dikerjai. Tapi demi kesopanan dan keramahan saya harus tetap bersikap baik. Itu perasaan saya saat ujian berlangsung.
Ujian usai, lembar jawaban dan soal kembali dikumpulkan. Sang Expert memeriksa jawaban itu dan memberikan penilaian. Saya dipanggil. Kita mulai berbicara perihal hasil ujian itu. Dia berbicara banyak tentang penampilan saya dalam mengajar. Dia memuji kemampuan saya menguasai kelas dan dia memberitahukan bahwa dulu saya lulus dengan nilai tertinggi, karena itu dia minta saya untuk membantunya. Tapi dia juga mengungkapkan bagian-bagian mana yang saya ajar dengan kurang menguasai. Saya kaget, bagaimana dia bisa tahu? Saya mengajar dalam bahasa Indonesia, mana dia mengerti? Dia juga mengungkapkan bahwa ada peserta yang aktif saat berdiskusi, tapi sebenarnya dia tidak menguasai bahan pembicaraan itu dengan baik. Dia mengungkapkan materi-materi yang kurang saya tekankan secara khusus walau itu sangat penting sebagai suatu teori dasar. Semua yang disampaikannya saya merasakan sebagai suatu yang benar. Saya kaget, bagaimana dia bisa tahu itu?
Dia kemudian membukakan hasil ujian itu. Di beberapa nomer banyak peserta yang salah menjawab, jadi dia pastikan bahwa saya salah mengajar di materi itu. Ada juga dua peserta yang tidak lulus, dan mereka berasal dari perusahaan besar yang sudah menerapkan 5S itu. Dua orang inipun selalu aktif memberikan pendapatnya bila ada diskusi. Jadi, Sang Expert menilai dua orang ini hanya pandai berbicara tapi tidak menguasai topik dengan baik. Dia juga memuji sikap seorang peserta dari UK Petra yang mendapatkan nilai tertinggi. Sikapnya dalam mengerjakan ujian sangat baik. Peserta itu tidak langsung bekerja, tapi memeriksa semua soal terlebih dahulu. Sikapnya dan hasilnya sungguh mengesankan Beliau.
Saya kagum, ternyata Beliau memang seorang expert yang mampu menilai dengan sangat baik. Dengan mengamati dan melihat angka dia bisa mengambil kesimpulan yang benar perihal suatu kegiatan yang tak dapat dia ikuti dengan penuh karena keterbatasan bahasa. Rasa jengkel seminggu ini sirna dan berubah dengan kekaguman akan kemampuan Beliau. Beliau mampu membaca melalui angka. Dari hasil ujian itu, dia mampu menilai apakah saya mengajar dengan baik atau tidak. Dari jawaban yang salah dia bisa menilai materi mana yang kurang saya kuasai. Dari angka dia mampu menarik suatu kesimpulan. Sayapun sadar bahwa sebenarnya hari ujian itu adalah hari ujian bagi saya, karena di hari itu Beliau menilai apakah saya sudah menyampaikan materi dengan benar atau tidak. Makanya jangan sok jengkel duluan.......
(kelanjutannya.....)