26 Juli 2011

Melihat Melalui Angka

Beberapa saat yang lalu, saya kembali sibuk dengan training dari JETRO (Japan External Trade Organization). Kali ini saya ditawari sebagai salah satu Sub-Instruktur, karena saya telah lulus ujian sertifikasinya tahun yang lalu.. Saya senang saja, sebab saya pikir ini kesempatan untuk belajar dan pasti tidak terlalu sulit, namanya juga Sub-Instruktur, paling cuma bantu-bantu saja. Pembicara utamanya pasti seorang senior expert dari Jepang dan dibantu oleh seorang penerjemah.
 
Pada hari pertama sang expert hanya membuka dengan perkenalan dan kemudian meminta rekan saya untuk mulai mengajar, saya dijadwalkan untuk hari ketiga dan keempat.namun, pada sesi kedua hari itu saya sudah diminta untuk mengajar. Bisa jadi karena rekan saya tadi dianggap kurang bisa mengajar dengan baik. Saya kaget dengan kondisi itu. Saya merasa jengkel dengan keadaan ini. Saya merasa dikerjai oleh expert dari Jepang itu. Saya pernah mendengar tentang honornya yang tidak murah. Beliau seorang senior, biaya mereka ke Indonesia saja sudah tidak murah, belum lagi akomodasi dan fasilitas yang disediakan. Mereka yang terima honor koq malah saya yang disuruh mengajar. Bukannya saya malas untuk mengajar, tapi saya sudah punya prasangka negatif tentang mereka. Kadang saya merasa bahwa mereka itu sekedar bagi-bagi sertifikat, tanpa benar-benar memperhatikan kualitas pengajaran mereka dan orang-orang kita sudah diperdaya. Mungkin inilah bentuk penjajah yang baru. Saya merasa galau dengan kondisi ini. Saya merasa instruktur itu mau menangnya sendiri. Dia makan gaji buta. Itu yang ada dibenak saya. Beliau tidak bisa berbahasa Indonesia, bagaimana beliau bisa mengontrol materi yang saya ajarkan?
 
Perasaan itu cuma bisa timbul dibenak saja, tetapi saya sendiri tetap harus bisa mengajar dengan baik, karena paling tidak saya harus menjaga nama baik saya pribadi. Apalagi para pesertanya dari beberapa perusahaan besar, juga beberapa orang dari ATMI Solo, sekolah yang sangat terkenal dalam hal perbengkelan. Ada juga dari UK Petra. Rasanya saya bukan apa-apa bila dibandingkan mereka. Jadi saya merasa jangan sampai memalukan.
 
Materi pelatihan itu adalah sistem manajemen berdasarkan prinsip 5 S. Suatu prinsip yang banyak diterapkan oleh banyak perusahaan di Indonesia dengan mengadopsi sikap dan nilai budaya Jepang. 5 S itu seiri (pemilahan), seiton (penataan), seiso (pembersihan), seiketsu (pemantapan) dan. shitsuke (pembiasaan). Dengan melakukan lima sikap dasar itulah sistim manajemen perusahaan dibangun.
 
Saya mengajar terus hingga semua sesi pelatihan itu selesai. Selama seminggu mulai dari jam 8.00 sampai 17.00. Kejengkelan itu tetap ada namun saya tetap menganggap ini adalah sebuah tantangan untuk bisa mengajar orang lain yang dari latar belakang perusahaan yang lebih besar dari perusahaan saya. Banyak dari mereka yang sudah menerapkan sistem 5S ini di perusahaannya. Sayapun  tetap berusaha melibatkan sang expert untuk memberikan contoh-contoh yang pasti dia banyak miliki. Saat sesi terakhir usai, sang expert mengundang saya untuk makan malam. Kejengkelan itu timbul lagi, saya merasa dikerjai dan dia cuma berbagi makan malam saja. Tapi buat apa saya marah. Malam itu kita makan malam bersama dan minum bir. Saya cuma ingat saat saya pernah di India dan seorang tuan rumah disana menjamu saya dengan  sangat baik. Saat saya tanya alasannya, dia mengatakan bahwa di budayanya seorang tamu asing itu seperti seorang dewa yang hadir untuk dilayani. Mereka harus melayani tamu asing dengan sangat baik. Yah, sayapun ingin melayani Bapak ini dengan baik.
 
Di akhir makan malam itu, Sang Expert itu meminta saya untuk hadir lagi keesokan harinya. Ah, saya tambah jengkel. Besok itu acara utamanya adalah ujian sertifikasi. Jadi pasti saya tidak ada kegiatan apa-apa lagi. Masak saya masih harus diminta untuk menjaga kelas ujian lagi? Saya tambah jengkel lagi. Tapi tidak kuasa untuk menolak hanya demi sebuah kesopanan dan keramahan. Betapa munafiknya saya, dan betapa enaknya Sang Expert ini. Makan gaji buta! Itu umpatan saya di dalam hati.
 
Besoknya, saya hadir di ujian kompetensi yang diadakan. Hanya sekedar membatu mengatur meja kursi dan membagikan soal. Ujian itu terdiri dari seratus soal benar atau salah. Bila menjawab dengan benar akan mendapat angka satu, bila tidak dijawab mendapat nilai nol, bila salah menjawab akan dikurangi satu angka. Kelihatannya mudah dan simpel, tapi kalimat-kalimatnya cukup membingungkan. Kadang kita bisa sempat berpikir apa ini yang salah terjemahannya? Tapi semuanya harus diputuskan benar atau salah. Peserta dianggap lulus bila mendapat nilai minimal 60.
 
Saya merasa dikerjai. Tapi demi kesopanan dan keramahan saya harus tetap bersikap baik. Itu perasaan saya saat ujian berlangsung.
 
Ujian usai, lembar jawaban dan soal kembali dikumpulkan. Sang Expert memeriksa jawaban itu dan memberikan penilaian. Saya dipanggil. Kita mulai berbicara perihal hasil ujian itu. Dia berbicara banyak tentang penampilan saya dalam mengajar. Dia memuji kemampuan saya menguasai kelas dan dia memberitahukan bahwa dulu saya lulus dengan nilai tertinggi, karena itu dia minta saya untuk membantunya. Tapi dia juga mengungkapkan bagian-bagian mana yang saya ajar dengan kurang menguasai. Saya kaget, bagaimana dia bisa tahu? Saya mengajar dalam bahasa Indonesia, mana dia mengerti? Dia juga mengungkapkan bahwa ada peserta yang aktif saat berdiskusi, tapi sebenarnya dia tidak menguasai bahan pembicaraan itu dengan baik. Dia mengungkapkan materi-materi yang kurang saya tekankan secara khusus walau itu sangat penting sebagai suatu teori dasar. Semua yang disampaikannya saya merasakan sebagai suatu yang benar. Saya kaget, bagaimana dia bisa tahu itu?
 
Dia kemudian membukakan hasil ujian itu. Di beberapa nomer banyak peserta yang salah menjawab, jadi dia pastikan bahwa saya salah mengajar di materi itu. Ada juga dua peserta yang tidak lulus, dan mereka berasal dari perusahaan besar yang sudah menerapkan 5S itu. Dua orang inipun selalu aktif memberikan pendapatnya bila ada diskusi. Jadi, Sang Expert menilai dua orang ini hanya pandai berbicara tapi tidak menguasai topik dengan baik. Dia juga memuji sikap seorang peserta dari UK Petra yang mendapatkan nilai tertinggi. Sikapnya dalam mengerjakan ujian sangat baik. Peserta itu tidak langsung bekerja, tapi memeriksa semua soal terlebih dahulu. Sikapnya dan hasilnya sungguh mengesankan Beliau.
 
Saya kagum, ternyata Beliau memang seorang expert yang mampu menilai dengan sangat baik. Dengan mengamati dan melihat angka dia bisa mengambil kesimpulan yang benar perihal suatu kegiatan yang tak dapat dia ikuti dengan penuh karena keterbatasan bahasa. Rasa jengkel seminggu ini sirna dan berubah dengan kekaguman akan kemampuan Beliau. Beliau mampu membaca melalui angka. Dari hasil ujian itu, dia mampu menilai apakah saya mengajar dengan baik atau tidak. Dari jawaban yang salah dia bisa menilai materi mana yang kurang saya kuasai. Dari angka dia mampu menarik suatu kesimpulan. Sayapun sadar bahwa sebenarnya hari ujian itu adalah hari ujian bagi saya, karena di hari itu Beliau menilai apakah saya sudah menyampaikan materi dengan benar atau tidak. Makanya jangan sok jengkel duluan.......
(kelanjutannya.....)

17 Juli 2011

Biasa dan Luar Biasa

Saya senang sekali di setiap kebaktian yang dipimpin Pdt Claudia, karena setelah Votum dan Salam beliau selalu menyapa jemaat dengan "apa kabar?". Beragam sambutan jemaat, ada yang menjawab, "baik", tapi ada juga yang "luar biasa..". Kalau saya mungkin, "biasa-biasa saja". Beragam pernyataan perihal kehidupan yang diungkapkan jemaat. Saya sering merasa buat apa saya melebih-lebihkan keadaan yang ada. Bagi saya itu cuma sekedar bagaimana kita meletakkan standard nilai kita. Keadaan ini bisa dianggap luar biasa, walau sebenarnya ya tiap harinya juga begini ini saja. Tapi atas nama semangat untuk berpikir positif maka kita bisa menganggapnya luar biasa agar kita tidak nampak pesimis. Ilmu NLP juga mengajarkan begitu.
 
Saat ada orang bertanya, "bagaimana bengkelmu?"
"Yah, begini-begini saja."
"Lho, masak tidak ramai?"
"Ya, kalau mau ramai nanti tiap pegawai saya suruh pukul-pukul besi, pasti jadi ramai...."
 
Minggu ini ada cerita menarik yang terjadi. Seorang teman lama menelpon. Tadinya dia bermaksud meminta saya untuk memberitahu seseorang tentang tagihan yang belum terbayar. Bukan saya yang membeli barang dari dia, tetapi seorang rekan dan meminta mengirimkannya ke tempat saya. Barang itu belum terbayar, dia sungkan untuk menagihnya, jadi saya yang diminta tolong untuk menyampaikannya. Sesuatu yang biasa. Kemudian kita mengobrol tentang segala hal yang lain. Terlalu lama kita tidak bertemu, jadi banyak cerita yang bisa diomongkan. Saya teringat akan janjinya yang belum terwujud untuk mengunjungi bengkel saya. Disinilah awal kisah itu.
 
Beberapa waktu lalu, entahlah beberapa bulan yang lalu, dia pernah meminta tolong untuk menitipkan forklift (alat pengangkut barang berat) di bengkel saya. Dia memang punya usaha jual beli forklift bekas. Dia katanya mau membeli forklift bekas dari sebuah pabrik yang tidak jauh dari bengkel saya, dia mau menitipkan dulu untuk direparasi sebelum dibawa ke tempatnya. Kami berteman sangat lama, jadi saya menyetujui saja. Tapi karena forklift itu sangat besar, saya memintanya untuk meninjau apakah tempat saya cukup untuk itu. Siang itu dua orang anak buahnya datang  meninjau dan bilang bahwa tempat saya cukup. Setelah itu saya pergi dan saya lupa akan kejadian itu. Ternyata forklift itu tidak pernah datang ke tempat saya. Sayapun lupa akan rencana itu lagi.
 
Saya teringat untuk menanyakan hal itu kepadanya. Dia kemudian bercerita. Sore itu dia sudah ada di depan bengkel saya untuk meninjau, tapi ternyata forklift itu mengalami ban kempes di jalan raya sebelum masuk ke kompleks bengkel saya. Dia harus melepas ban untuk menembelkannya. Saat itulah dia ditangkap polisi. Dia dituduh mencuri forklift. Dia membeli forklift itu dari sebuah pabrik melalui seorang perantara. Dia membayar tunai ke perantara itu. Forklift itu dikeluarkan dari pabrik dengan surat resmi yang diketahui oleh kepala pabrik dan kepala satpam pabrik itu. Semuanya resmi. Masalahnya ada di kepala pabrik itu. Dia menjual barang itu tanpa sepengetahuan pemilik pabrik. Masalah ini jadi urusan polisi yang pasti menguras banyak tenaga, waktu dan dana.
 
Saya tidak tahu menahu tentang hal ini sebelumnya. Diapun sebenarnya tidak ingin lagi bercerita tentang ini, karena itu hal yang sangat pahit buatnya. Saya hanya merasa bahwa bengkel saya berjalan seperti biasanya saja. Begini-begini saja. Dari cerita dia, saya baru kaget. Ah, bila saat itu forklift itu ada di bengkel saya, pasti sayapun kena dampaknya. Tuduhan sebagai penadah bisa jadi beban tambahan saya. Sayapun  bisa dianggap bersekongkol dengannya. Segalanya bisa kacau. bengkel saya bisa di"police-line"kan dan tutup sementara. Tapi kenapa forklift itu bisa kempes sebelum masuk ke tempat saya? Ini yang saya rasakan sebagai sesuatu yang luar biasa.
 
Saya tercekat. Kaget! Ternyata saat saya merasa semuanya biasa-biasa saja, ada suatu perlindungan yang luar biasa yang sedang terjadi. Meski yang luar biasa itu tidak saya rasakan dan ketahui, tetapi itu terjadi untuk menghasilkan sesuatu yang saya anggap biasa ini. Ternyata ada hal luar biasa yang terjadi untuk sesuatu biasa-biasa saja.
 
Terima kasih Tuhan untuk tiap hal biasa yang saya terima dan untuk tiap hal luar biasa yang tidak saya rasakan yang telah terjadi untuk saya.
(kelanjutannya.....)