14 Maret 2009
Cerita tentang Penyambutan
Saya berbasa-basi menanyakan daerah pabriknya, ternyata beberapa tahun yang lalu saya pernah ke pabrik itu dan mereparasi mesinnya. Ternyata orang yang saya temui dulu itu adalah anaknya yang saat ini mengelola pabrik itu. Setelah itu, Tante ini makin semangat untuk bercerita lagi. Cerita tentang tarif becak yang 30 rb pulang pergi dari rumahnya, juga tentang almarhum suaminya, juga tentang cara anaknya yang mengelola pabrik itu. Sementara saya berbincang-bincang, memang banyak jemaat yang lewat dan datang. Saya berpikir keras apa yang harus saya lakukan. Memutuskan pembicaraan dengan Tante ini dan mencari jemaat yang lain? Atau terus melayani perbincangan Tante ini? Saya memutuskan untuk terus melayani perbincangan itu dengan baik. Pertimbangan saya, lebih baik saya menyelesaikan satu orang ini dengan sangat baik dari pada berharap dapat meningkatkan jumlah tapi dengan kualitas yang begitu-begitu juga. Satu yang berhasil mungkin lebih baik daripada banyak yang biasa-biasa saja. Cukup lama perbincangan itu, dua orang Bapak yang bertugas penyambutan di pintu gereja malah mengingatkan Tante itu, agar segera masuk karena kebaktian akan dimulai. Saya lihat belum ada Majelis yang muncul di mimbar kecil, jadi saya teruskan saja perbincangan itu. Sampai akhirnya ada muncul majelis untuk membacakan warta lisan. Saya sarankan Tante itu untuk segera masuk ke ruang Kebaktian.
Saya juga bertugas lagi selepas kebaktian usai. Tante itu menyapa lagi saat ia berjalan pulang.
Saat itu saya juga menyapa satu Om yang saya kenal. Kita berbincang lagi, dia bercerita tentang almarhum istrinya. Rasanya masih sulit baginya untuk melupakan istri tercintanya. Ia bercerita tentang istri yang dibanggakannya kesetiaannya. Juga tentang suka dukanya saat dia merintis usahanya dulu. Senang sekali bisa mendengar ceritanya, apalagi saat dia bilang,"Makanya kita itu harus selalu ingat sama Tuhan." "Untuk itu Om sekarang mau ikut katekisasi" Ah, jalan hidup itu yang akhirnya membawa Om itu mau mengenal Tuhannya. Di jam pulang itu, sayapun hanya bisa meladeni satu Om ini, karena saya juga harus cepat pulang untuk menjemput istri dan anak yang mau sekolah minggu jam 8.00.
Minggu ini memang loading pelayanan saya sangat tinggi, ada penyambutan, lalu beasiswa, ada outbond, ada persiapan acara panter satu, ada pertemuan dengan pendukung tayangan di TVRI. Pengalaman perbincangan di kebaktian minggu kemarin itu sangat menarik buat saya. Pasti ada banyak jemaat yang butuh teman bicara. Sekedar mendengarkan mereka bercerita mungkin bisa membuat mereka bergembira. Mungkin ini bisa membuat kita mau berbuat banyak untuk kegiatan perkunjungan dan pemerhati.
Steven Covey di 8th Habit, mengutip perkataan Mother Teresa ,"Few of us can do Great Thing, but all of us can do small thing with Great Love"
(kelanjutannya.....)
06 Maret 2009
Menciptakan Hantu
Saat ini, kita sudah siap memulai segala pelaksanaan program kerja kita. Tahun ini kita sudah punya program kerja yang akan segera kita laksanakan. Program Kerja yang sudah disahkan akhir tahun lalu, atau paling lambat awal tahun ini. Semua komisi dan panitia sudah tinggal melaksanakan semua perencanaannya. Kita memang sudah terlatih untuk membuat program kerja kita.
Beberapa jemaat dan komisi mungkin memulai tahun ini dengan was-was atau prihatin akan keadaannya yang harus memangkas banyak program karena keterbatasan dana yang ada. Ada majelis jemaat yang memberitahukan bahwa mereka akhirnya bisa mensahkan program tahun ini dengan defisit "sekian" juta Rupiah. Keadaan perekonomian global dan keadaan perekonomian nasional kita, bisa menjadi landasan kita untuk memprediksikan pemasukan kita dan dari sana kita sudah terbiasa untuk merencanakan program kita tahun ini. Suatu hal indah yang sudah pakem di tiap tahunnya.
Ada banyak kegiatan yang sudah kita tolak pencantumannya. Di awal tahun ini kita mampu membayar rasa bersalah pencoretan itu dengan pengakuan bahwa kita sudah memulai pelaksanaan program kita dengan suatu langkah iman yang besar. Rencana anggaran yang defisit "sekian juta" atau "sekian puluh juta", juga alasan krisis global. Ini semua bisa menjadi "pembenar" langkah "iman" pembuatan program kerja kita.
Sebagai gereja kita memang terpanggil untuk merencanakan tujuan kita. Kita juga terpanggil untuk realistis/membumi dengan tujuan kita. Kita terpanggil untuk "berpikir" tentang apa yang bisa kita rencanakan. Apa sajakah yang sudah kita rencanakan dengan membumi?
Banyak gereja hanya berkonsentrasi pada pelayanan, pada apa yang akan mereka kerjakan. Sesuatu yang membutuhkan dana. Mereka sering melupakan apa yang dapat mereka hasilkan (dana yang dapat dihimpun). Gereja memang bukan organisasi yang bertujuan menghimpun keuntungan finansial. Kita adalah organisasi nirlaba. Kesadaran ini pada awalnya baik adanya, tetapi kesadaran ini banyak membawa kita untuk menyiksa diri dengan melupakan bagaimana kita harus merencanakan pemasukan kita. Di satu sisi kita sadar akan kebutuhan kita akan dana, di sisi yang lain kita sering lupa merencanakan bagaimana kita harus secara aktif menghimpun dana itu.
Ketabuan kita untuk merencanakan pemasukan kita seiring dengan kesadaran bahwa gereja adalah nirlaba (tidak mengejar keuntungan keuangan semata), sering menyiksa kita sendiri. Kita hanya berani bertindak dengan membuat prediksi sekian persen, sekian puluh persen peningkatan persembahan kita di tahun mendatang. Kita lebih suka menempuh jalan mengurangi pengeluaran kita, mencoret program yang diajukan oleh komisi dan panitia. Kita melupakan bahwa kita mampu merencanakan peningkatan pemasukan keuangan kita. Kita sebenarnya bisa merencanakan sesuatu untuk mengimbangi kebutuhan demi pencapaian tujuan yang selalu kita potong itu. Merencanakan langkah untuk meningkatkan pemasukan bagi pembiayaan kegiatan akan lebih baik dari pada menciptakan hantu defisit untuk kita takuti bersama. Hantu defisit yang kita hadirkan sebagai alasan untuk memotong dan menolak kegiatan kita.
Memang banyak gereja "tetangga" yang getol untuk menyuarakan persembahan dari jemaatnya dan kita merasa ingin beda dengan tabu menyuarakan itu di jemaat kita. Kita lebih suka menyiksa diri dengan memotong program dan menciptakan hantu defisit untuk kita takuti bersama. Kemampuan kita untuk menunjukkan pada jemaat bagaimana kita mengelola uang itu, adalah kunci masalah ini. Bagaimana kita bertanggung jawab untuk membuat program yang bermutu dan bukan hura-hura, akan membuat jemaat kita mampu memutuskan untuk dirinya sendiri, mau atau tidaknya ia menyumbangkan uangnya untuk program itu, untuk dipercayakan pemanfaatannya pada gereja.
Di tiap gereja kita ada amplop persembahan bulanan. Kita menyatakan bahwa kita tidak mempunyai dogma tentang persepuluhan, lalu bagaimana jemaat mengetahui apakah bedanya persembahan amplop itu dengan persembahan persepuluhan? Jangan-jangan mereka yang rajin mengisi persembahan amplop itu adalah mereka yang mempunyai konsep persepuluhan. Kenyataan ini menunjukkan bahwa kita kurang menjemaatkan beban pelayanan yang bisa dan harus ditanggung bersama jemaat. Maukah kita membuat rencana bagaimana kita menggali dana di tahun ini?
Marilah kita masuki tahun ini bersama Tuhan bukan bersama hantu yang kita ciptakan untuk kita takuti sendiri.
Artikel ini dimuat di Majalah Sukita, Edisi 25/TahunVIII/Februari 2009, dengan judul "Cara Menggali Dana"
(kelanjutannya.....)