28 Januari 2025

Sekolah Murah

Saya sangat percaya akan pentingnya pendidikan, pentingnya sekolah demi masa depan. Saat biaya sekolah menjadi biaya yang sangat mahal, saya ada cerita tentang bagaimana saya menjalani Sekolah Murah ini. Cerita ini memang subyektif, tapi semoga bermanfaat untuk sekedar menjadi cerita bahwa ada Sekolah Murah yang saya alami  ini. Sekolah Murah ini bukan sekedar murah, tetapi benar-benar bermutu dan berkualitas.

 

Dulu saya sekolah di SMP Katholik, bayarnya delapan ribu Rupiah sebulan. Waktu SMA di SMPPN saya bayar seribu lima ratus Rupiah sebulan, waktu itu gaji saya sebagai penagih rekening koran sepuluh ribu Rupiah sebulan. Kuliah Perkapalan bayar seratus dua puluh ribu rupiah sesemester, waktu itu gaji sales saya seratus tujuh puluh lima ribu rupiah sebulan.  Itu saya, dulu.

 

Anak saya dua, dua-duanya sekolahnya juga murah. TK sampai SMA sebulan mungkin tiga ratus sampai lima ratus ribuan, di sekolah Kristen paling terkenal di Surabaya. Tidak bayar uang gedung dan biaya lainnya. Pastinya berapa sebulan, saya juga tidak tahu karena dipotong langsung dari gaji Istri saya yang menjadi guru di sekolah itu. Kuliah Hukumnya tiga juta setengah satu semester selama tujuh semester, tanpa uang gedung. Yang mahal saat S2, karena itu pendidikan profesi jadi tidak ada beasiswanya, sekitar lima puluh juta-an hingga lulus dalam tiga semester. Anak yang kecil kuliah di Fakultas Psikologi yang tertua di jatim, dapat diskon besar karena istri saya sudah menjadi guru lebih dari dua puluh tahun. Lanjut S2 gratis plus dapat uang saku di China di universitas yang rankingnya lebih tinggi dari tempat kuliah saya dulu.

 

Saat semua orang tahu bahwa biaya pendidikan itu mahal, saya selalu menyarankan bahwa ada jalan untuk bisa bersekolah dengan murah. Tapi jalan itu tidak gampang, harus disertai dengan usaha yang keras. Suatu kali seorang teman menelpon. “Koh, aku wes pensiun, tapi anak-anakku masih sekolah semua, bagaimana ya biar mereka bisa kuliah dengan baik?”

Saya ajak ketemuan di sebuah Café, saya jelaskan ke anak-anaknya bahwa mereka harus bantu orang tua dengan sekolah yang murah tapi berkualitas. Masuk universitas negeri dengan  jalur tes! Beberapa lama kemudian sang Papa menelpon, suaranya terdengar bergetar terharu “Koh, anakku diterima di ITS” Saya terkejut, lebih terkejut lagi, saat tahu bahwa anak itu memilih jurusan Perkapalan. 

 

Keponakan saya pernah dua kali gagal tes ke ITS. Saya tidak mampu kalau harus membiayai kuliah di universitas swasta yang mahal, maka dia mencari beasiswa kuliah di China. Dia lulus dari China dan kini bisa bekerja dengan sangat baik di Jakarta. Peluang beasiswa bisa menjadi alternatif sekolah murah, tapi untuk bisa mendapat beasiswa harus ada usaha dan persiapan yang tidak sedikit. Memang tidak mudah, tapi bukan tidak mungkin atau terlalu sulit. Yang penting ada kemauan.

 

Sebagai orang tua, saya ingin bisa membukakan banyak jendela agar anak-anak bisa melihat dunia dengan lebih luas dan jelas. Saat mereka bisa memandang dengan lebih luas, semoga semangatnya bangkit untuk meraih yang diinginkan. Saat itulah kerja keras dan semangat dibutuhkan. Sekolah murah memang ada, dan  itu bukan murahan, itu harus dibayar dengan usaha dan semangat.

 

 

(kelanjutannya.....)

31 Oktober 2023

Mendidik Anak

Di suatu postingan ada video tentang anak kecil yang fasih berkotbah tentang surga dan agama. Nampak menarik dan membanggakan anak kecil bisa fasih bicara hal yang begitu rohani. Saya kemudian berfikir tentang anak-anak saya, apa yang sudah saya ajarkan untuk mereka? Apa mereka bisa bicara tentang hal-hal yang rohani, masak kalah sama anak kecil itu?

 

Saya berpikir keras tentang pendidikan rohani untuk anak-anak, ini rasanya penting. Ini perlu untuk masa depan mereka. Ada benarnya juga,  karena dulu untuk masuk ITS anak-anak harus pinter rumus fisika, matematika, kimia, sekarang katanya bisa masuk ITS kalau bisa hafal sekian Juz ayat Alquran. Di suatu WA Grup teman yang Kristen berjuang untuk kesetaraan apa yang bisa didapatkan oleh yang beragama lain? Hafal Alkitab? Pintar kotbah? Yang nampak rohani itu memang sudah sedemikian pentingnyakah?

 

Mendidik anak tentang hal yang rohani itu harus bagaimana? Saya sulit membayangkannya, karena memang saya tidak pernah sekolah dengan pelajaran cara mendidik anak. Mendidik anak cuma hal yang terpaksa dilakukan di kehidupan saya ini. Mendidik anak tidak disiapkan namun harus dijalani. Mendidik anak tidak ada ujian sertifikasinya, namun bila gagal akan jadi beban seumur hidup. Mendidik anak itu katanya sulit, tapi mau tidak mau itu ada di keseharian kehidupan ini. Keniscayaan yang tak terhindarkan.

 

Que sera sera, what will be will be? Harusnya tidak! Keteladanan tetap kunci untuk bisa mendidik dengan baik. Hidup baik akan menuntun orang lain di keluarga untuk jadi baik. Mendidik bukan sekedar mengajarkan. Mendidik bisa berarti tidak mengajarkan apa-apa, tapi selalu hadir dengan perbuatan yang bisa dicontoh. Emak saya tidak mengajarkan jam berapa saya harus bangun pagi. Tapi memberi teladan bangun jam satu pagi karena jam tiga pagi sudah harus ada yang memerah sapi. Komit pada pekerjaan yang dilakoninya. Kalau saya mau membantu berarti saya harus bangun sepagi itu.

 

Memeriksa tingkat kerohanian jadi pertanyaan penilai saat mendidik anak ini saya jalani. Entahlah apa dan bagaimana standard itu bisa saya terapkan. Saat ini, interaksi keseharian yang akan menentukan seberapa standard itu dididikkan. Apa yang menjadi kerisauan saya? Apa saya risau kalau ada yang tanya,”Anak Bapak koq gak bisa mimpin renungan dengan baik?” atau lebih risau kalau misalnya ada yang menelpon dari Ambon, ”Anak bapak rasanya nilep uang kaos……” Apa yang lebih merisaukan, anak saya bingung saat menjelaskan ayat Alkitab, atau anak itu bingung saat butuh beli kursi hingga harus menempuh jalan menipu? Hal rohani rasanya adalah hal yang imanen di dalam keseharian. Saat yang rohani itu tidak nampak jelas, mungkin hanya perbuatan keseharian yang bisa dirasakan oleh orang lain.

 

Pengalaman hidup tentang mendidik anak ini yang mengingatkan kekuatan sebuah pengharapan seperti lirik lagu: “Tuntun aku Tuhan Allah. Lewat gurun dunia, Kau perkasa dan setia. Bimbing aku yang lemah…..

(kelanjutannya.....)

11 Oktober 2023

Babak Akhir

Hari ini saya berulangtahun, ini yang ke 55. Banyak sekali dan terlalu banyak dan semuanya adalah berkat Tuhan yang melimpah. Tuhan sudah berkarya dalam waktu-waktu yang berlalu dan itulah bukti jaminan dan keyakinan bahwa waktu-waktu di depanpun semoga ada dalam anugerahNya.

 

Entah sampai umur berapa saya akan hidup, tidak tahu dan inilah misteri. Yang jelas saya sudah tidak muda lagi. Mama saya meninggal usia 38, papa saya 65, entahlah saya. Usia normal manusiapun sudah kita ketahui. Saya sadar inilah babak akhir hidup ini. Mau apa saya di babak akhir ini?

 

Dulu saya takut mati, bukan soal masuk surga atau neraka. Saya percaya anugerah karya penyelamatan Tuhan. Saya takut kalau saya mati, apa anak saya bisa bersekolah dengan baik? Bisa lulus kuliah? Untuk itulah saya beli polis asuransi semampu saya waktu itu, minimal nilai pertanggungannya bisa untuk membiayai anak saya kuliah kalau saja saya mati. Kini, anak saya sudah lulus kuliah semua, lalu saya mau takut apa lagi?

 

Di babak akhir ini saya mau apa, saat yang saya takuti itu sudah terlewati? Banyak rekan saat mulai pensiun punya banyak kecenderungan yang sama. Semuanya jadi makin religius! Belajar agama dan kitab suci menjadi pilihan yang baik dan popular. Semua teman yang dulu nakal kini makin alim. Ada yang bilang itulah yang betul dan seharusnya! Ada juga yang bilang, “lha memang Hormon Testosteronnya menurun jadi ya wes gak mampu nakal lagi lha…….” Kalau saja surga dan kehidupan mendatang itu sepenuhnya hanya karena kasih karunia Tuhan, mengapa saya masih harus susah payah mengusahakannya?

 

Agama memang menarik. Karena jalur agamalah yang paling bisa menjanjikan kehormatan dan penghargaan tanpa kriteria dan pagu yang jelas. Yang penting tampil alim dan religius, pasti bisa langsung dihormati. Jadi guru atau dosen ada sertifikasi dan persyaratan yang ketat. Jadi sales ada target penjualan yang harus dicapai. Jadi profesi lain, selalu saja ada Key Performance Index yang harus diraih. Hanya jalur agama yang bisa menyediakan jalan pintas kehormatan dan penghargaan, tanpa kriteria yang jelas. Haruskan saya isi babak akhir hidup saya lewat jalur ini?

 

Kalau saja ada doa yang sering terlantun dan masih akan jadi doa saya, itu adalah Doa Bapa Kami “.. jadilah kehendakMu di bumi seperti di surga…” Mendatangkan Kerajaan Allah di muka bumi, mendatangkan kebahagiaan di bumi ini. Ini doa saya. Maka untuk itulah saya pingin ada. Di babak akhir inilah, hal itu harusnya bisa diusahakan saat segala yang menakutkan dulu itu sudah terlewati. Saya mau makin menjadi berkat. Saya sekolah teknik, maka di babak akhir ini saya harus makin pintar di bidang teknik ini. Saya punya perusahaan, maka di babak akhir ini, perusahaan ini harus makin jadi besar sehingga makin bisa jadi berkat buat banyak karyawan dan orang lainnya.

 

Nilai agama dan kitab suci itu harusnya bisa lumat tercerna dan hadir dalam buah dari bidang dan bisnis yang saya jalani. Semoga di babak akhir ini tidak diisi dengan biusan agama yang manipulatif. Semoga kalau saya percaya pada agama, saya menghadirkannya dengan kebahagian bagi semua orang. Semoga Tuhan yang tak terlihat itu tidak dipaksakan untuk dipertontonkan tapi bisa dihadirkan rasanya….. Doakan babak akhir saya ini….

 

(kelanjutannya.....)

01 Mei 2023

Kelemahan Saya

Sejak kelas 2 SMP saya berkacamata. Itu setelah saya sudah tidak bisa lagi membaca tulisan di papan tulis walaupun sudah duduk di bangku terdepan. Seminggu kemudian kacamata itu pecah karena jatuh saat main basket. Saya takut saat minta beli lagi. Setelah itu saya selalu berhati-hati saat berkacamata. Memang terasa menyulitkan, tapi akhirnya terbiasa juga. Tidak ada masalah lagi dengan kaca mata itu. Orang bilang kacamata itu kelemahan, jadi harusnya itu diatasi. Katanya dengan makan wortel, minum minyak ikan, makan vitamin A, wes apa saja.  Yang belum dicoba cuma dengan Laser, itu karena biayanya mahal. Saya tidak punya uang untuk bisa laser mata saya. Pernah juga saya ikut Kebaktian Kebangunan Rohani yang ada penyembuhannya, di Gelora Tambaksari. Saya berusaha untuk percaya bahwa mujizat kesembuhan itu ada. Saya ikuti saja ajakan Pengkotbah saat itu. Sampai di akhir acara, mata saya tetap berkacamata. Tidak sembuh juga. Bertahun-tahun ukuran lensanya memang tidak banyak berubah, tapi memang sudah berat. Minus tinggi, ada plus, ada cilinder tinggi, ada aksis, segala macam ada, hingga saya tidak akan bisa melihat bila tanpa kacamata ini.

Sudah empat puluh tahun lebih saya berkacamata, ada saja hal baru menyangkut kelemahan ini. Katanya kalau pakai passport elektronik, bisa cepat proses di imigrasinya, tinggal discan saja. Tapi waktu itu saya ditegur berkali-kali  sama petugas imigrasinya, disuruh lepas kacamata. Saya tidak keliatan tulisan yang di layar, saya maju, eh ditegur jangan terlalu dekat, saya mundur dan tidak terbaca perintah yang tertulis di layar itu. Akhirnya mereka minta saya antri di jalur normal. Yah, inilah nasib orang berkacamata tebal. Saya sepenuhnya mengerti derita dan masalah orang yang berkacamata tebal.

Setiap Sabtu dan Minggu saya bertugas untuk mengantar istri ke pasar. Di pasar saya cuma menunggu, biasanya saya isi dengan mendengarkan audiobook dan bersenam ringan. Enak juga. Saya menikmati saja tugas ini karena saya bisa memanfaatkan waktu itu. Beberapa kali di depan saya lewat seorang om tua, bajunya selalu sama. Memang keliatan lusuh tapi om itu biasa-biasa saja, cuma lewat saja. Saya tidak mengenal beliau sama sekali. Yang menarik, beliau selalu mengenakan kaca mata yang pecah. Kacamatanya bisa beda-beda, namun semuanya pecah. Saya ingin sekedar memberi beliau uang untuk beli kacamata, tapi sering kali saya tidak membawa uang sama sekali. Kalau saja pas saya ingat dan saya membawa uang, om itu yang tidak nampak. Sampai suatu saat saya berjumpa beliau, saya tanyakan nama dan alamatnya, dan apakah dia mau kacamata baru? “Mau, tapi itu akan mahal.” Saya mencari optik yang dekat dengan rumah beliau. Menanyakan kisaran harganya dan menjelaskan bahwa nanti akan ada om ini yang akan periksa dan saya yang akan membayar semuanya. Saya meminta anak buah saya menjemput om ini untuk periksa ukuran kacamatanya, dan memilih bingkai yang cocok. Katanya perlu waktu seminggu, menjelang itu, anak buah saya kakinya patah. Tidak bisa mengambil kaca mata itu. Saya minta optik itu yang mengantarkan kacamata itu. Optik itu mau. Om itupun bisa berkacamata dengan baik.

Berkacamata pecah buat sebagian orang bisa jadi bukan hal mengganggu, mungkin dikiranya seperti orang yang berpakaian compang camping. Buat saya, kacamata itu sangat penting. Saya tahu arti kacamata. Kalau saja Tuhan tetap berikan kelemahan mata ini, paling tidak ini bisa untuk merasakan kelemahan orang-orang lain. Bersyukur bila kelemahan ini bisa ditiadakan, tapi  bila itu tetap ada dihidup ini, pasti ada rencana Tuhan…

 

(kelanjutannya.....)

15 Juli 2022

Kaizen

Kaizen itu sering muncul di banyak pelajaran tentang manajemen. Khususnya di banyak perusahaan yang menaruh perhatian pada peningkatan mutu produknya. Kaizen itu adalah slogan yang ditanamkan di semua bagian dalam perusahaan itu. Dikit-dikit selalu Kaizen! Setiap hal akan diselesaikan dengan jalan Kaizen. Kaizen suka mencari masalah yang ada, Kaizen harus menemukan hal yang kurang sempurna, Kaizen harus menjadikan semuanya jadi lebih baik.

 

Dengan Kaizen, masalah akan dicari dan sengaja dibuka, tentunya untuk diselesaikan dan dicari jalan penyebab dan solusinya, agar tidak terulang lagi. Kondisi yang ada, makin hari harus makin baik. Dengan Kaizen tidak ada orang yang perlu merasa malu kalau disebutkan masalahnya, karena semua orang tidak sempurna, jadi semua orang pasti pernah salah dan semua orang perlu memikirkan penyelesaian masalah itu agar semuanya bisa jadi makin baik. Kaizen tidak memberi ruang untuk menstigma pihak pengungkap masalah dengan kesombongan, karena masalah satu bagian akan menjadi pemikiran bagi semua bagian dalam menyelesaikannya. Kaizen juga tidak memberi ruang bagi pihak yang ingin menikmati suasana tidak mau berubah. Kaizen selalu menuntut perubahan.

 

Kaizen itu Bahasa Jepang, kalau dibaca dengan lafal mandarin (dengan karakter huruf yang sama) jadinya Kaishan (Pinyin-nya: Gaishan), artinya meningkatkan mutu. Arti Kaizen sebenarnya adalah perbaikan yang berkelanjutan. Selalu saja ada hal yang bisa diperbaiki dan jadi makin sempurna. Di Kaizen musuh dari yang terbaik itu bukan yang jelek, tapi yang sudah baik. Setiap hal harus makin baik dan jadi tambah baik.

 

Kaizen itu tidak beragama. Jadi haruskah Kaizen itu tidak ada di gereja? Yang utama di Gereja itu adalah ibadahnya. Di Ibadah mingguan, selalu saja ada liturgi pengakuan dosa. Jemaat diminta mengaku dosa dan kesalahannya, bisa jadi memang yang diakui ya itu-itu saja. Dari tahun-tahun silam bisa jadi pengakuan dosanya cuma tentang sifat-sifat buruk yang itu-itu juga. Saya yang sukanya nipu, akan selalu mengaku dosa sudah menipu lagi. Saya yang sukanya tidak mau mengaku salah, ya lagi-lagi doa minta ampun  untuk itu lagi, itu lagi. Kenapa ya koq saya tidak berdoa, “Tuhan yang Maha Tahu, Tuhan khan sudah tahu kalau saya begini, kenapa koq Tuhan gak tahu sama tahu saja. Saya tidak perlu mengaku dosa ini-ini lagi. Ya Tuhan maklumi saja saya ini, Tuhan yang Maha Kasih bisa maklum dengan kondisi saya ini”. Ternyata liturgi pengakuan dosa itu tetap menuntut pengakuan dan setelah itu ada Berita Anugerah bahwa saya sudah diberi anugerah untuk bisa jadi lebih baik. Itu Kaizen di ibadah Minggu! Kaizen ada di Ibadah Minggu.

 

Kalau di luar hari Minggu Kaizen menuntut perubahan di segala aspek pelayanan, bisakah saya menolaknya? Dulu begini tidak masalah, koq sekarang ini dimasalahkan? Mengapa Kaizen itu perlu dipaksakan, ini bukan perusahaan, Coy! Semangat Protestan yang melakukan segala sesuatu dengan segenap hati seperti untuk Tuhan bukan untuk sesama, itulah Kaizen. Kalau di perusahaan saja bisa diminta melakukan yang terbaik, bisakah di gereja yang katanya untuk Tuhan itu ditumbuhkan semangat yang terbaik? Kaizen…..

 

(kelanjutannya.....)

25 Juni 2022

Cermin

Banyak juga cermin yang sudah saya pasang di rumah ini. Berbagai macam bentuknya, ada yang berdiri sendiri, ada yang menjadi kesatuan seperti di meja rias. Tujuannya memang untuk memperhatikan wajah sendiri. Pernah ada protes karena cermin yang saya pasang di atas wastafel, terpasang sesuai tinggi badan saya, jadi kalau istri saya yang bercemin pasti cuma bisa melihat tembok. Cermin memang bisa menimbulkan masalah sendiri.

 

Menjelang anak-anak gadis beranjak remaja dan dewasa, cermin punya kisah sendiri. Salah satunya saat mereka mulai belajar merias wajah, khususnya menggambar (atau apa ya namanya?) alis mata. Banyak macam model alis mata dicoba, dan saat ini ada template atau cetakan beragam alis mata itu. Rasanya cuma tinggal menjiplak saja. Tapi tidak semudah itu, di depan cermin itu sering banyak konflik. Banyak komentar yang saling silang saat sebentuk alis sudah tergambar. Ada yang cuma kometar datar, ada lagi komentar yg tajam menusuk telinga. Belum lagi kalau alis itu sudah dianggap bagus lalu datang ke sebuah resepsi dan foto di resepsi itu sampai juga ke Oma yang di luar kota, lalu muncullah tanggapan. Oma memang ahli tata rias wajah. Seumur hidupnya beliau membuka salon kecantikan jadi tanggapannya tentang alis mata itu pasti merupakan tanggapan yang kompeten. Seliweran tanggapan itu bisa menimbulkan masalah tersendiri.

 

Menonton Drakor, Drama Korea, memang menarik walau tidak langsung berhubungan dengan cermin-cermin itu. Drakor itu bisa menginspirasi dari para artisnya yang cantik-cantik dan pastinya bentuk alis matanya indah-indah. Cermin yang ada di meja rias bisa jadi berguna sebagai sarana untuk membandingkan bentukan alis mata dengan ingatan alis mata artis Drakor yang cakep itu. Di depan cermin itu segala komen bisa muncul dan semuanya terarah untuk menciptakan alis yang terbaik. Cermin bisa jadi alat untuk terus meningkatkan mutu bentuk alis mata. Di Drakor itu, ada juga sutradaranya yang bisa dibuat panutan. Sutradara yang bisa hidup banyak uang dari drama-drama yang diciptakannya. Sutradara itu juga bisa menginspirasi untuk bisa memampukan membuat drama berjilid-jilid dengan judul “Aku yang Terzolimi”. Setiap komen yang muncul di depan cermin itu bisa didramakan sebagai upaya zolim terhadap yang sudah berupaya menggambar alis. Di satu jilid drama itu bisa juga ada cerita tentang saya sebagai kepala keluarga diminta untuk membuat peraturan bahwa tidak boleh ada yang komen tentang alis yang sudah dibuat. Komen adalah zolim, karena mereka sudah berusaha, katanya semua usaha itu harus dihargai. Kalau ada yang ngeyel  bilang aturan “Segala sesuatu harus merupakan persembahan yang terbaik”, maka drama itu akan bilang, “Itu khan kalau urusan menyanyi mempersembahkan pujian buat Tuhan di Gereja, ini lho cuma urusan gambar alis, jadi gak ada poin yang terbaik buat Tuhan-Tuhan an”. Bisa jadi ada episode drama tentang alis salah gambar, yang karena gak dikomen di rumah kemudian jadi komen orang lain saat jalan di Mall. Nah ini malah bisa menciptakan drama jilid baru, ya bikin saja jilid episode memasukkan pasal di amendasi UUD’45 bahwa komen tentang alis orang itu kriminal dan subversif. Alasannya, amendasi Tager GKI aja bisa masa amendasi UUD’45 gak bisa?

 

Cermin memang belum tentu baik kehadirannya. Menjadi cermin bisa dihargai, bisa juga dilaknati. Nenek dan moyang sudah berpengalaman dengan menghadirkan jargon, ”Buruk muka, cermin dibelah”. Memang dari pada saya menyuruh susah-susah belajar menggambar alis dan belum lagi biaya beli segala alat-alatnya, mending buat drama: zolim kalau komen! Tapi sanggupkah saya menanggung beban ghibah orang tentang  mutu alis mata keluarga saya? Rasanya saya akan memilih menegakkan nilai, semua harus dikerjakan dengan usaha maksimal untuk tercapainya mutu yang terbaik. Kalau hari ini standar itu masih segitu, ya besok atau lusa atau mendatang pasti tercapai, karena saya juga perlu waktu untuk terus belajar. Dunia akan makin baik kalau saya di depan cermin itu mau mendengarkan semua komen yang muncul. Lagi-lagi tentang berubah oleh pembaharuan budi.

 

(kelanjutannya.....)

31 Mei 2022

Merusak Tanpa Berbuat

Pelesir memang bisa memberikan banyak ide. Di satu temat wisata ada larangan untuk mencorat-coret bebatuan dan dinding yang ada. Dilarang berbuat itu karena bisa merusak keindahan. Tindakan yang tidak boleh diperbuatkan karena bisa merusak. Ini mengingatkan saya akan peristiwa yang lain. Apakah untuk  merusak itu perlu suatu perbuatan? 

Saya teringat, kalau saja gambaran tentang seorang ibu itu hanyalah seorang wanita yang melahirkan anak, tanpa harus membesarkannya. Kalau saja gambaran itu saya pelihara dan terus saya tanamkan di benak saya, maka saya akan bisa berpikir bahwa sewa rahim itu baik dan efisien. Tidak perlu repot-repot membangun sebuah pernikahan dan keluarga. Seorang ibu yang tidak berbuat memenuhi kewajibannya bisa menimbulkan pola pikir yang merusak kaidah yang ada. Kalau saja saya melakukan tugas penatua itu cuma untuk hari minggu dan sebatas mengumpulkan kolekte, maka saat pandemi ini berlangsung, orang bisa berpikir penatua itu tidak perlu ada dan kalaupun ada tidak perlu banyak-banyak. Kalau saja di kantor saat saya dulu bekerja sebagai sales engineer, saya tidak mau belajar  hal baru dan tidak berusaha menjawab banyak pertanyaan teknis pelanggan, bisa jadi kantor itu tidak akan lagi mencari karyawan lulusan ITS. Apa yang tidak saya lakukan dan perbuat ternyata bisa merusak sesuatu.

Kalau untuk merusak itu dapat dilakukan dengan tanpa berbuat sesuatu, lalu saya harus bagaimana? Melakukan bisa salah, tidak melakukan bisa salah juga? Saya yakin saya memang manusia lemah, bisa cenderung salah dalam berbuat, bisa salah dalam bertindak. Tapi semangat untuk mau berubah akan membuat saya bangkit saat saya salah. Bangkit dan bertumbuh dari salah demi salah yang terjadi akan lebih bertanggungjawab daripada tidak melakukan apa-apa dengan alasan takut salah. Pro aktif, itu kata yang bisa saya jadikan landasan untuk tidak merusak dengan tidak berbuat apa yang bisa saya lakukan. Pro aktif karena katanya Roh kudus itu dilambangkan dengan nyala api yg hadir dengan sinar yang menerangi. Hadirnya saja sudah menerangi. Kehadiran yang membawa karya.

Silent is golden. Itu benar, tapi itu bukan sikap baik dan tepat dalam karya layanan menghadirkan kerajaan Allah dimuka  bumi. Berkarya dan berpelayanan mumpung hari masih siang, bekerja dengan ketulusan yang berarti tidak takut salah dan tidak menyembunyikan kemalasan dengan beralasan takut salah. Bisakah saya merasa lebih bersalah kalau saya tidak berbuat apa-apa daripada salah oleh karena salah bertindak? 

Saat saya tidak dapat melepaskan diri dari peran atau profesi yang saya jalani, bisa jadi saya adalah duta dari peran dan profesi itu. Apa yang tidak saya lakukan dari peran dan profesi itu bisa jadi menurunkan nilai serta arti peran dan profesi itu. Peran dan profesi yang ideal itu bisa tercampakkan nilainya saat saya melakukannya asal-asalan. Saya merusak nilai peran dan profesi itu saat saya tidak berbuat apa yang seharusnya saya lakukan.

Anak jaman now katanya punya istilah: Gabut! Apa saya hanya cari-cari alasan untuk menikmati indahnya Gabut? Bok gitu la Daniel……
(kelanjutannya.....)