Sejak kelas 2 SMP saya berkacamata. Itu setelah saya sudah tidak bisa lagi membaca tulisan di papan tulis walaupun sudah duduk di bangku terdepan. Seminggu kemudian kacamata itu pecah karena jatuh saat main basket. Saya takut saat minta beli lagi. Setelah itu saya selalu berhati-hati saat berkacamata. Memang terasa menyulitkan, tapi akhirnya terbiasa juga. Tidak ada masalah lagi dengan kaca mata itu. Orang bilang kacamata itu kelemahan, jadi harusnya itu diatasi. Katanya dengan makan wortel, minum minyak ikan, makan vitamin A, wes apa saja. Yang belum dicoba cuma dengan Laser, itu karena biayanya mahal. Saya tidak punya uang untuk bisa laser mata saya. Pernah juga saya ikut Kebaktian Kebangunan Rohani yang ada penyembuhannya, di Gelora Tambaksari. Saya berusaha untuk percaya bahwa mujizat kesembuhan itu ada. Saya ikuti saja ajakan Pengkotbah saat itu. Sampai di akhir acara, mata saya tetap berkacamata. Tidak sembuh juga. Bertahun-tahun ukuran lensanya memang tidak banyak berubah, tapi memang sudah berat. Minus tinggi, ada plus, ada cilinder tinggi, ada aksis, segala macam ada, hingga saya tidak akan bisa melihat bila tanpa kacamata ini.
Sudah empat puluh tahun lebih saya berkacamata, ada saja hal baru menyangkut kelemahan ini. Katanya kalau pakai passport elektronik, bisa cepat proses di imigrasinya, tinggal discan saja. Tapi waktu itu saya ditegur berkali-kali sama petugas imigrasinya, disuruh lepas kacamata. Saya tidak keliatan tulisan yang di layar, saya maju, eh ditegur jangan terlalu dekat, saya mundur dan tidak terbaca perintah yang tertulis di layar itu. Akhirnya mereka minta saya antri di jalur normal. Yah, inilah nasib orang berkacamata tebal. Saya sepenuhnya mengerti derita dan masalah orang yang berkacamata tebal.
Setiap Sabtu dan Minggu saya bertugas untuk mengantar istri ke pasar. Di pasar saya cuma menunggu, biasanya saya isi dengan mendengarkan audiobook dan bersenam ringan. Enak juga. Saya menikmati saja tugas ini karena saya bisa memanfaatkan waktu itu. Beberapa kali di depan saya lewat seorang om tua, bajunya selalu sama. Memang keliatan lusuh tapi om itu biasa-biasa saja, cuma lewat saja. Saya tidak mengenal beliau sama sekali. Yang menarik, beliau selalu mengenakan kaca mata yang pecah. Kacamatanya bisa beda-beda, namun semuanya pecah. Saya ingin sekedar memberi beliau uang untuk beli kacamata, tapi sering kali saya tidak membawa uang sama sekali. Kalau saja pas saya ingat dan saya membawa uang, om itu yang tidak nampak. Sampai suatu saat saya berjumpa beliau, saya tanyakan nama dan alamatnya, dan apakah dia mau kacamata baru? “Mau, tapi itu akan mahal.” Saya mencari optik yang dekat dengan rumah beliau. Menanyakan kisaran harganya dan menjelaskan bahwa nanti akan ada om ini yang akan periksa dan saya yang akan membayar semuanya. Saya meminta anak buah saya menjemput om ini untuk periksa ukuran kacamatanya, dan memilih bingkai yang cocok. Katanya perlu waktu seminggu, menjelang itu, anak buah saya kakinya patah. Tidak bisa mengambil kaca mata itu. Saya minta optik itu yang mengantarkan kacamata itu. Optik itu mau. Om itupun bisa berkacamata dengan baik.
Berkacamata pecah buat sebagian orang bisa jadi bukan hal mengganggu, mungkin dikiranya seperti orang yang berpakaian compang camping. Buat saya, kacamata itu sangat penting. Saya tahu arti kacamata. Kalau saja Tuhan tetap berikan kelemahan mata ini, paling tidak ini bisa untuk merasakan kelemahan orang-orang lain. Bersyukur bila kelemahan ini bisa ditiadakan, tapi bila itu tetap ada dihidup ini, pasti ada rencana Tuhan…