25 Juni 2022

Cermin

Banyak juga cermin yang sudah saya pasang di rumah ini. Berbagai macam bentuknya, ada yang berdiri sendiri, ada yang menjadi kesatuan seperti di meja rias. Tujuannya memang untuk memperhatikan wajah sendiri. Pernah ada protes karena cermin yang saya pasang di atas wastafel, terpasang sesuai tinggi badan saya, jadi kalau istri saya yang bercemin pasti cuma bisa melihat tembok. Cermin memang bisa menimbulkan masalah sendiri.

 

Menjelang anak-anak gadis beranjak remaja dan dewasa, cermin punya kisah sendiri. Salah satunya saat mereka mulai belajar merias wajah, khususnya menggambar (atau apa ya namanya?) alis mata. Banyak macam model alis mata dicoba, dan saat ini ada template atau cetakan beragam alis mata itu. Rasanya cuma tinggal menjiplak saja. Tapi tidak semudah itu, di depan cermin itu sering banyak konflik. Banyak komentar yang saling silang saat sebentuk alis sudah tergambar. Ada yang cuma kometar datar, ada lagi komentar yg tajam menusuk telinga. Belum lagi kalau alis itu sudah dianggap bagus lalu datang ke sebuah resepsi dan foto di resepsi itu sampai juga ke Oma yang di luar kota, lalu muncullah tanggapan. Oma memang ahli tata rias wajah. Seumur hidupnya beliau membuka salon kecantikan jadi tanggapannya tentang alis mata itu pasti merupakan tanggapan yang kompeten. Seliweran tanggapan itu bisa menimbulkan masalah tersendiri.

 

Menonton Drakor, Drama Korea, memang menarik walau tidak langsung berhubungan dengan cermin-cermin itu. Drakor itu bisa menginspirasi dari para artisnya yang cantik-cantik dan pastinya bentuk alis matanya indah-indah. Cermin yang ada di meja rias bisa jadi berguna sebagai sarana untuk membandingkan bentukan alis mata dengan ingatan alis mata artis Drakor yang cakep itu. Di depan cermin itu segala komen bisa muncul dan semuanya terarah untuk menciptakan alis yang terbaik. Cermin bisa jadi alat untuk terus meningkatkan mutu bentuk alis mata. Di Drakor itu, ada juga sutradaranya yang bisa dibuat panutan. Sutradara yang bisa hidup banyak uang dari drama-drama yang diciptakannya. Sutradara itu juga bisa menginspirasi untuk bisa memampukan membuat drama berjilid-jilid dengan judul “Aku yang Terzolimi”. Setiap komen yang muncul di depan cermin itu bisa didramakan sebagai upaya zolim terhadap yang sudah berupaya menggambar alis. Di satu jilid drama itu bisa juga ada cerita tentang saya sebagai kepala keluarga diminta untuk membuat peraturan bahwa tidak boleh ada yang komen tentang alis yang sudah dibuat. Komen adalah zolim, karena mereka sudah berusaha, katanya semua usaha itu harus dihargai. Kalau ada yang ngeyel  bilang aturan “Segala sesuatu harus merupakan persembahan yang terbaik”, maka drama itu akan bilang, “Itu khan kalau urusan menyanyi mempersembahkan pujian buat Tuhan di Gereja, ini lho cuma urusan gambar alis, jadi gak ada poin yang terbaik buat Tuhan-Tuhan an”. Bisa jadi ada episode drama tentang alis salah gambar, yang karena gak dikomen di rumah kemudian jadi komen orang lain saat jalan di Mall. Nah ini malah bisa menciptakan drama jilid baru, ya bikin saja jilid episode memasukkan pasal di amendasi UUD’45 bahwa komen tentang alis orang itu kriminal dan subversif. Alasannya, amendasi Tager GKI aja bisa masa amendasi UUD’45 gak bisa?

 

Cermin memang belum tentu baik kehadirannya. Menjadi cermin bisa dihargai, bisa juga dilaknati. Nenek dan moyang sudah berpengalaman dengan menghadirkan jargon, ”Buruk muka, cermin dibelah”. Memang dari pada saya menyuruh susah-susah belajar menggambar alis dan belum lagi biaya beli segala alat-alatnya, mending buat drama: zolim kalau komen! Tapi sanggupkah saya menanggung beban ghibah orang tentang  mutu alis mata keluarga saya? Rasanya saya akan memilih menegakkan nilai, semua harus dikerjakan dengan usaha maksimal untuk tercapainya mutu yang terbaik. Kalau hari ini standar itu masih segitu, ya besok atau lusa atau mendatang pasti tercapai, karena saya juga perlu waktu untuk terus belajar. Dunia akan makin baik kalau saya di depan cermin itu mau mendengarkan semua komen yang muncul. Lagi-lagi tentang berubah oleh pembaharuan budi.

 

(kelanjutannya.....)