Saya dulu tidak boleh keluar malam, jam 4 sore sudah harus pulang rumah dan mandi, dulu Bondowoso itu dingin untuk mandi terlalu malam. Jadinya tidak mungkin saya nonton bioskop, bisanya cuma koleksi selebaran film yang sedang main di bioskop-bioskop itu. Dulu, setiap ganti film akan ada mobil Colt yang keliling kota untuk woro-woro, lalu saya mengejar mobil itu untuk sekedar minta selebaran film-film itu. Banyak nama bintang film yang saya hafal, bukan karena saya sering nonton filmnya, tapi hanya dengar dari iklan mobil keliling dan selebaran itu. Sampai sekarangpun belum tentu setahun sekali saya menonton film di bioskop.
Bukan berarti saya tidak suka dengan bioskop, saya suka cerita. Dari banyak cerita saya bisa melihat banyak segi kehidupan dan pola pikir banyak orang. Pernah saya selalu menikmati perjalanan dengan pesawat yang ada tontonan filmnya, Batik Air awalnya ada filmnya. Juga penerbangan ke luar negeri yang berjam-jam, kadang saya nikmati dengan nonton beberapa film. Enak memang. Eh, sekarang ada banyak wadah untuk bisa nonton film dengan tidak terikat ruang dan waktu, bisa kapan saja dan dimana saja. Tinggal ndompleng akun Netflix, Viu, Iqiyi anak saya. Dari cerita film itu saya sering belajar dan mengerti banyak hal. Memahami alur pikiran dan latar masalah yang ada di kehidupan ini.
Saya sering masuk dalam suasana seperti nonton bioskop. Ada peristiwa-peristiwa yang saya lihat seperti saya menonton bioskop. Bioskop-bioskop kehidupan yang benar-benar nyata. Saya banyak bergaul dengan orang-orang yang lebih tua dari saya. Mereka-mereka yang lebih senior dari saya. Mereka itu yang banyak mengajari saya. Baik, bila itu adalah hal-hal yang baik dan positif, tapi banyak hal lain yang mereka ajarkan ke saya. Banyak kenakalan dan kejalangan yang mereka ajarkan yang awalnya untuk menunjukkan betapa menyenangkan dan nikmatnya hal-hal itu mereka jalani. Mereka menceritakan bagaimana mereka menjalani dan menikmati perselingkuhannya. “Bayangkan, pulang kerja, kaos kaki aja dibukakan..” Belum lagi tip dan trik detail lainnya. “Bagaimana kamu menjawab kalau sampai di kantong pakaian kotor kamu ditemukan k*nd*m?” “Pokoknya Daniel… kamu harus begini……… kalau sampai kamu ketangkap basah..” Ada juga: “ Urusan pelaporan dan pajaknya bisa kamu serahkan ke orang itu…” Waduh.. semuanya lengkap, karena bukan dari satu orang saja pelajaran-pelajaran itu, dan mereka semua adalah praktisi handal di bidangnya. Saya sendiri seru menikmati semua cerita itu.
Sekarang ini, seperti ada bioskop-bioskop yang saya tonton. Gambaran nyata tentang segalanya yang muncul dengan berjalannya waktu. Seorang teman yang dulu bangga dengan kisah perselingkuhannya, harus tergeletak stroke beberapa belas tahun. Istri yang dulu ditinggalnya, kini ia yang malahan merawatnya dengan telaten. Seorang teman yang terakhir datang dengan mobil mewahnya, mentor saya untuk import barang, tampak berompi oranye di suatu berita. Belum lagi, “Pa, teman Papa yang diwawancarai Desi Anwar itu, kemarin ditangkap KPK” Itu kata anak saya di suatu hari setelah OTT KPK. Segala kisah seru, indah dan nikmat itu kini terasa tak berarti lagi. Sudah terlalu banyak peristiwa yang nampak seperti bioskop yang terputar di depan saya. Bioskop yang selalu mengingatkan saya.
Adegan-adegan bioskop kehidupan itu menguatkan dan mengingatkan akan Amsal “Permulaan hikmat adalah takut akan Tuhan…”