30 April 2021

Tri Hajar

Ini nama teman saya. Saya bukan mau menulis biografi tentang beliau. Hanya, nama ini mampu mengingatkan saya akan pinsip kepemimpinan yang selalu saya ingat. Tiga prinsip yang diperkenalkan oleh Ki Hajar Dewantara. Makanya cocok untuk diingat dengan kata kunci nama teman ini, Tri Hajar! Ing ngarsa sung tulada, Ing madya mbangun karsa, Tut wuri handayani. Di depan memberikan teladan, di tengah membangun motivasi dan di belakang ikut mendukung.

 

Sudah terlalu banyak tulisan dan buku yang mengulas tentang tiga prinsip itu. Pasti itu sudah lebih baik dari saya. Saya hanya tertarik dengan tiga keterangan tempat di tiga prinsip itu. Di depan, di tengah dan di belakang. Itu memberi gambaran tentang semua posisi yang bisa saya ambil. tidak ada satu posisi pun yang melepaskan saya dari tanggung jawab kepemimpinan di kehidupan ini. Pasti ada lha… di atas dan di bawah! Oh o, mau di atas yang berarti sudah dipanggil? Atau di bawah yang maksudnya sudah ditanam? Saat kaki masih menjejak bumi, hanya depan, tengah dan belakang yang menjadi pilihan posisi saya. Dan di tiap posisi itu ada panduan peran yang harus diambil.

 

Saya jadi teringat dengan panggilan menjadi garam dan terang dunia. Garam yang terasa asin tanpa diketahui di mana letaknya dan terang dimanapun letaknya ia bisa menjadi penanda dan patokan melawan kegelapan. Di tiap titik posisi, saya terpanggil untuk berketeladanan. Bukan karena saya mau, tapi penghidupan itu yang mengharuskannya. Di depan, di tengah dan di belakang menyiratkan panggilan menghidupi peran panggilan kehidupan saya.

 

Di depan, di tengah dan di belakang tetap sesuatu yang berarti. Tidak ada keharusan dan kehausan akan mana posisi yang terbaik, tapi makna kehadiran itu yang menjadi tujuan utamanya. Kehadiran yang pasti memberi makna. Bukan kehadiran yang harus berusaha dicari maknanya oleh yang menerima kehadiran saya. Saya harus bermakna, bukan orang lain yang harus berlatih mencari makna kehadiran saya. Ini yang menjadi tantangan untuk bisa terus berubah oleh pembaharuan. Kalaupun saat ini saya masih gagal menghadirkan makna itu, pembaharuan itu harus sudah berlangsung. Pembaharuan yang menyemangati saya untuk bisa bermakna. Minimal pembaharuan akan kemauan meminta maaf bila saat ini saya masih gagal untuk bermakna.

 

Meminta maaf adalah sumber energi untuk bisa hadir bermakna di depan, di tengah dan di belakang. Karena saya juga bukan mahahadir, walaupun dulu pernah mahasiswa. Kadang saya rancu di mana saat ini saya berada. Salah tempat hingga berakibat salah peran? Tidak masalah, bila ada energi untuk meminta maaf. Maafkan saya bila saya salah posisi. Lalu di mana saya bisa punya modal untuk bisa berani siap meminta maaf? Mungkin hanya dari kekuatan ketulusan dan kemurnian rekan seperjuangan yang mau memberi maaf. Saat saya bersyukur sudah dimaafkan, saya juga bersyukur karena mendapat kekuatan untuk memaafkan rekan lainnya. Meminta maaf itu kunci yang akan membukakan energi untuk bisa hadir di depan di tengah dan di belakang dengan baik dan semakin baik. 

 

Teman ini  nama lengkapnya Tri Hajar Setiawan, ada setia-nya. Memang inilah yang kembali mengingatkan akan panggilan kesetiaan untuk menghidupi tiga ajaran Ki hajar Dewantara itu,  juga jati diri kalau seandainya saya pingin menjadi terang dan garam dunia. Setia berketeladanan di tiap posisi yang ada.

Tri, sori jenengmu tak catut……..

(kelanjutannya.....)