16 Februari 2021

Nilai Rasa Berbahasa

Dulu di buku paket Bahasa Indonesia, di halaman sampulnya ada tulisan: Bahasa me[tunjuk]kan bangsa. Tiap Bahasa memang punya nilai rasa yang berbeda dalam sapaan dan menempatkan para penggunanya. Di Bahasa Inggris ada kata saya “I” yang selalu ditulis dengan huruf besar. Di Bahasa Jerman kata kamu “Sie” yang selalu ditulis dengan huruf besar. Tapi ada kata “du” yang juga berarti kamu yang lebih akrab. Itulah uniknya Bahasa tiap bangsa yang punya filosofi untuk menjelaskan tiap nuansa budaya yang dihidupinya. Belum lagi Bahasa Jawa dan banyak bahasa daerah di Indonesia, bahkan hampir semua yang saya kenal, punya peringkat kelas kata yang dipakai. Tergantung pada siapa kita berbicara atau berucap, kita harus menyesuaikan tingkatan kata yang dipakai. Ada Ngoko, Ada Kromo ada Kromo Inggil. Kata yang dipakai benar-benar berbeda. Saya yang belajar Bahasa jawa Suroboyoan akan sangat malu kalau harus berbicara jawa dengan orang-orang yang lebih tua di daerah lain. Ini terjadi saat kita dulu KKN. Rekan-rekan yang Bahasa Jawanya Suroboyoan ini, suatu saat mencari Pak Lurah. Kami bertanya dan dijawab ,”Pak Lurah tumbas Sata (dibaca seperti huruf O pada mobil).” Kita, yang memang berasal dari berbagai pelosok Nusantara ini, kurang terbiasa mendengar Bahasa jawa halus ini. merasa Pak Lurah lagi beli soto ( bunyi O seperti pada kata toko). Maka kita berkeliling desa mencari penjual/warung soto. Setengah hari itu kita tidak menemukan penjual Soto di desa itu. Kita bingung dan putus asa. Besoknya kita saat bertemu Pak Lurah, dijelaskan bahwa “sata” itu Bahasa jawa halus dari kata bako atau tembakau. Kita tersipu-sipu, minimal itulah hasil KKN ITS 1991 yang masih saya ingat. Untuk Pak Lurah yang terhormat orang harus menggunakan kata sata bukan bako.

 

Masyarakat Jawa sangat ramah dan menghormati orang yang belum dikenalnya dengan  berbahasa dengan kosa kata yang halus. Di hari pertama saya di Semarang saat akan kerja praktek di galangan kapal di Semarang, setelah meletakkan barang di tempat kost, saya mencari warung makan. Asal masuk warung saja.

“Dahar Nopo?”

“Soto Bu” bukan karena saya tahu arti pertanyaan itu, hanya menebak saja (mosok seperti ini aja arek ITS gak ngerti) dan memang ada tulisan Soto di depan warung itu. Ini soto yang benar-benar soto rasanya, walau tidak kuning warna kuahnya.

“Unjukan e nopo?”

“Soto, Bu”

“Unjukan e nopo?” Nah, disini saya baru merasa ada yang salah dengan pengulangan pertanyaan ini lagi.

“Teh , Bu” Ibunya diam dan tidak bertanya lagi. Saya senang, berarti saya sudah benar menjawabnya. Itulah pelajaran Bahasa jawa halus di hari pertama saya. Yang sangat berharga untuk bisa bertahan hidup saat kerja praktek kala itu. Penggunaan kosa kata yang halus untuk memberikan nilai rasa menghormati pembeli ada dalam budaya Ibu warung makan itu.

 

“Apa kabar Koh Daniel, kamu tidak order lagi?”

“Selamat pagi Bapak, nanti malam kamu tidak ikut zoom meeting?”

Dua kalimat yang terasa biasa bagi banyak orang, tetapi terasa janggal bagi saya. Bisa jadi jaman sudah berubah dan cara berbahasa juga sudah berganti. Saya merasa janggal bisa ada kata sapaan yang mengandung unsur penghormatan kemudian dipadankan dengan kata sapaan kamu. Kata sapaan yang mengandung penghormaatan pada orang yang lebih tua atau siapapun yang kita hormati rasanya janggal bila di lanjutkan dengan kata kamu sebagai kata sapaan berikutnya. Penggunaaan kata kamu untuk orang yang saya hormati atau orang yang lebih tua terasa tabu bagi saya. Tapi terasa lazim saat ini. Mungkin karena pengaruh bahasa Inggris yang meng-kamu-kan semua orang lawan bicaranya. Terkadang saya mendengar kata kamu dari murid istri saya yang sedang bercakap dengannya. Koq bisa ya? Nilai rasa berbahasa ini memang saatnya diubah dan disesuaikan dengan jaman atau perlu dilestarikan sebagai jati diri budaya Bahasa Indonesia?

 

 

 

(kelanjutannya.....)