29 November 2013

Temperamen yang Diubahkan

Judul ini adalah judul sebuah buku yang pernah saya baca waktu SMA dulu. Buku karya Tim LaHaye yang bertutur tentang empat macam temperamen manusia: Koleris, Melankolis, Flegmatis dan Sanguinis. Setelah lewat puluhan tahun, isi buku ini menjadi sangat menarik untuk saya ingat kembali. Saya mengenang apa ada perubahan temperamen dalam perjalanan hidup saya?
 
Dulu saya bersekolah di SD YPPI Sulung, sekolah swasta yang sangat egaliter. Kita tidak berseragam tiap hari. Hanya hari Senin saja kita berseragam putih abu-abu untuk mengikuti upacara bendera. Pelajaran agamanyapun dipisah. Ada Kristen, ada Khonghucu. Saya bersekolah di sana hingga kelas empat. Beberapa guru kelas masih saya ingat, guru kelas mengajar semua mata pelajaran kecuali Agama, Olahraga dan Kesenian. Kelas empat mama saya meninggal dan saya harus pindah ke Bondowoso.
 
Kelas lima di Bondowoso, memberi banyak perubahan. Di sekolah Katholik ini pelajarannya diajarkan oleh guru yang berbeda-beda. Di kota kecil ini saya lebih bebas, bisa belajar bermain layang-layang, bersepeda, berenang. Yang paling menarik waktu itu adalah saat menerima raport cawu (catur wulan bukan semesteran) pertama. Di raport itu ditulis rangking semua anak, tidak seperti di Surabaya dulu. Dulu saya tidak tahu berapa rangking saya, yang saya tahu hanyalah bahwa saya tidak pernah rangking satu. Dulu hanya yang yang rangking satu yang diumumkan. Di raport cawu pertama itu ditulis bahwa saya rangking lima di kelas. Saya senang karena saya baru sadar kalau saya ini lumayan pintar. Sebelum-sebelumnya saya selalu merasa biasa-biasa saja. Tidak pernah rangking satu dan tidak pernah tidak naik kelas, biasa saja. Apalagi tulisan saya jelek, nilai ulangan saya sering dikurangi karena alasan itu. Mulai di Bondowoso itu saya mulai merasa kalau saya lumayan pandai, walau sampai lulus SD saya tetap tidak rangking satu.
 
Saat masuk SMP, saya mengenal seorang guru Fisika idola. Beliau guru baru, baru lulus dari Gajah Mada Yogyakarta. Beliau mengajar dengan sangat enak dan tulisannya sangat bagus. Diapun menuliskan rumus dengan sangat menarik, diberi kotak dan warna yang berbeda. Ini membuat saya menyenangi Fisika yang baru saya kenal di SMP itu. Beliau sangat akrab dengan para siswa terutama di luar kelas. Kekaguman saya  mengakibatkan juga ada kelemahan Beliau yang juga mulai menular pada saya. Beliau sering memaki murid yang kurang paham menyelesaikan tugas darinya. “Gob**k”, “Mana ot*kmu”, “M*t*mu”, itu kata-kata yang juga mulai sering saya gunakan. Bukan cuma kepandaian dia yang saya terima, tetapi perangai buruknya juga. Saya lulus SMP dengan rangking 2. Di SMP itu kepercayaan diri akan kepandaian saya tumbuh, walau itu juga tercemari dengan perasaan sombong dan mudah merendahkan orang lain. Bisa jadi ini terpacu juga dengan pembawaan saya sebagai anak laki-laki tertua yang memang sangat dominan.
 
Saya masuk SMA  Negeri di Bondowoso. Sekolah Menengah Persiapan Pembangunan (SMPP), sebuah sekolah percontohan saat ada wacana untuk membuat SD menjadi delapan tahun dan SMPP empat tahun. Papa saya berharap saya bersekolah di SMAK Frateran Surabaya, tetapi tahun itu, mulai ada PMDK, program masuk universitas negeri tanpa test. Dari Frateran ada sembilan siswa yang diterima PMDK dan SMPP Bondowoso juga sembilan. Saya berpikir, pasti mutunya samalah, buat apa sekolah jauh-jauh. Di sekolah negeri itu komposisi teman-teman saya berubah. Teman saya sebagian besar pribumi dan saya mulai menyadari kondisi minoritas saya. Kondisi ini baik untuk menekan saya tidak mudah berkata-kata dengan kasar. Di SMA semua talenta saya bertumbuh dengan cepat. Sayapun makin percaya diri dan makin berkemauan untuk belajar dengan giat. Di SMPP itu saya berjumpa dengan banyak anak pandai dari semua SMP negeri di Bondowoso. Persaingan itu membuat saya belajar dengan sangat giat. Menjelang EBTANAS saya bisa belajar lima jam sehari diluar jam sekolah. Sebuah persiapan berbulan-bulan yang berat. Saya lulus SMA dengan nilai tertinggi se Kabupaten Bondowoso. Hasil ini makin menambah percaya diri saya.
 
Kuliah di ITSpun nilai saya lumayan, tapi tidak bisa menjadi yang terbaik karena saat itu saya harus kuliah dan bekerja. Saya merasa adik saya tidak sepandai saya, jadi saya berharap dia kuliah saja dan saya yang bekerja sambil kuliah. Hal yang menarik mulai terjadi. Dari begitu banyak pekerjaan saya,
hampir semua pekerjaan yang saya geluti adalah menjadi sales. Pernah sales komputer, peralatan teknik, dan permesinan. Pernah satu kali saya pingin melamar ke suatu perusahaan besar dan saya ikut psikotest. Itu adalah satu-satunya pengalaman psikotest saya, dan rasanya itulah penyebab kegagalan saya diterima di perusahaan itu.  Setelah test tulis, ada test menggambar. Saya disuruh menggambar orang, karena tidak bisa menggambar wajah, maka saya gambar orang dengan tampak dari belakangnya. Setelah itu saya di suruh memberi judul gambar itu. Entahlah, saat itu saya kumat isengnya, maka gambar itu saya beri judul “Yang Jaga Test Ini”. Maka hilanglah kesempatan saya untuk bekerja di luar bidang sales.
 
Saya pernah bercita-cita untuk menjadi dosen, tetapi karena gaji yang tidak sesuai dengan tingkat kebutuhan saya saat itu maka saya tidak berani menjalaninya.
 
Bekerja sebagai sales membuat saya harus menerima jargon “Pembeli adalah Raja”. Saya harus belajar merendah dan membuat pelanggan saya merasa senang. Ini sulit sekali karena terkadang saya merasa pandai dan lebih pandai dari banyak orang itu. Sebagai sales saya juga belajar untuk berbasa-basi dan mengambil hati orang lain. Hal yang berbeda dengan kondisi hati bawaan saya.  Saya juga sulit bergaul dengan mudah. Saya cenderung tidak peduli dengan orang lain. Sales membuat saya bisa memperhatikan kemauan orang lain. Sebagai seorang sales maka kemampuan saya diasah untuk mampu begaul dengan semua orang. Hal ini sangat berat. Kadang saya juga tidak tahan untuk bisa selalu berlaku baik dengan semua orang. Pernah suatu saat saya tidak tahan dan membentak seorang pembelian di perusahaan multinasional. Dia meminta saya mengatur beberapa dokumen karena akan ada audit. “Saya tidak mau, Bapak kan sudah terima uang ya Bapak atur sendiri saja semuanya”. Memang menjadi sales itu cuma bergantung dari komisi yang hanya satu dua persen saja. Padahal di luaran itu sering ada permintaan untuk mark-up harga yang gila-gilaan. Sering kali uang yang saya terima jauh lebih kecil dari hasil mark up para pelanggan itu. Saya yang bekerja keras kadang iri dengan mereka yang hanya modal tanda tangan saja.
 
Bekerja sebagai seorang sales awalnya bukanlah sesuatu yang membanggakan. Banyak teman yang bekerja di perusahaan besar dan sesuai dengan bidang ilmu yang kita pelajari, rasanya itu lebih bergengsi. Sampai suatu saat di pertengahan 90an, saat saya ada di tengah sungai Mentaya di Kalimantan Tengah. Perjalanan menuju pabrik kayu itu sekitar satu jam dari kota Sampit. Speed boat itupun jarang berpapasan dengan perahu lain. Saat berdua di tengah sungai yang mirip laut itu, saya berpikir apakah saya takut? Seandainya tukang perahu ini membunuh dan membuang saya di sana, pasti juga tidak ada orang yang tahu. Saya mendapati bahwa ternyata tidak ada perasaan takut sedikitpun di hati saya. Saya seakan dicerahkan bahwa tidak semua orang berani menempuh perjalanan dan bekerja seperti saya. Sejak saat itu saya tidak malu lagi dengan pekerjaan sebagai sales ini.
 
Menjadi sales membuat saya berubah dari temperamen sebelumnya. Pekerjaan ini membawa saya bisa bergaul dengan baik. Saya mampu mengerti banyak tentang cara berpikir orang lain. Saya mampu menangkap banyak keinginan tersembunyi yang mungkin tak terkatakan dengan lugas namun tersirat dalam komunikasi kita. Pekerjaan ini juga mengikis banyak temperamen negatif saya. Bila hari ini saya bisa dengan ringan menyapa orang dan mengajak bicara orang, itu bukanlah temperamen saya tiga puluh tahun lalu.
 
Melalui pekerjaan sebagai sales, Tuhan bekerja membentuk saya dengan indahnya. Bukan berarti sifat bawaan saya hilang lenyap, tetapi semuanya diasah dengan indahnya. Kesombongan, keangkuhan dan keberanian saya untuk berkata-kata dengan tajam dulu, diubahkannya menjadi kemampuan untuk berbicara dengan lugas. Kebanyakan sales menjadi sangat kompromis dan permisif hanya karena takut menyakiti hati orang lain, saya mampu bicara dengan tajam kepada beberapa orang yang dengan sengaja menekan dan memperalat orang lain.
 
Ada yang bilang, “Kalau Watuk bisa disembuhkan tapi kalau Watak mana bisa?” Pengalaman hidup saya mengatakan lain. Tuhan melalui caraNya mampu melakukan segala hal. Tidak ada hal yang sulit saat ada anugerah untuk berserah akan karya Tuhan di hidup ini.
(kelanjutannya.....)

10 November 2013

Kualitas Hidup

Malam itu lima tahun lalu, kita menghabiskan malam di seputaran jalan Hayam Wuruk Jakarta, pusat dugemnya Jakarta. Dia teman kuliah juga teman sepelayanan. Kini dia sudah menduduki posisi puncak sebagai top eksmud (eksekutif muda) di grup perusahaan besar di negeri ini. Kesuksesannya tampak dari gaya hidupnya. Beberapa saat sebelumnya saya pernah menyapanya di Changi Airport, “Eh, bisa-bisa kita tadi satu pesawat dari Surabaya ya? Tapi koq tadi gak keliatan?” Dia menjawab, “Ya jelas la… kamu kan duduk belakang, kalau aku khan duduk depan.” Duduk belakang artinya kelas ekonomi sedangkan duduk depan artinya kelas bisnis yang lebih mahal tarifnya. Begitulah gaya hidupnya yang sudah harus saya maklumi.

 

Malam itu kita makan malam sambil berbincang apa saja. Bagaimanapun kita tetap teman lama yang akrab. Kita berbincang tentang sistem perekrutan tenaga top eksekutif yang tidak pernah ada di iklan lowongan di surat kabar. Di Koran paling banter yang diiklankan adalah setingkat manager, bagaimana dengan tingkat CEO ataupun Presiden Direktur? Dia membuka dengan bertanya “Apa kamu tahu bagaimana bisa Putera Sampoerna mengangkat Angky Camaro?” Kemudian dia bercerita banyak soal itu. Saya juga balik bertanya,”Kamu itu lo modal ilmu apa sampai bisa seperti sekarang ini?” Saya tahu seberapa sih kepandaian dia di ITS dulu. “Sebenarnya aku cuma modal ilmu Supply Chain Management.” Akhirnya diapun membuka rahasia dapurnya.

 

Yang membekas di benak saya malam itu adalah perbincangan soal kualitas hidup. Kita berbincang bagaimana kita menjalani hidup ini bersama keluarga kita. Bagaimana dia mengelola keuangannya dengan menyisihkannya untuk bertamasya sekeluarga dan aktivitas lainnya untuk menggambarkan kualitas hidupnya. Saya menceritakan rencana untuk memulai hidup tanpa pembantu rumah tangga. Dia menasehati untuk mempertimbangkan baik-baik rencana itu. Dengan tidak memakai pembantu rumah tangga bisa jadi kualitas hidup kita mengalami penurunan. Banyak waktu kita yang teralihkan untuk pekerjaan rumah tangga kita. Saran dia tertanam kuat di benak saya.

 

Saya tetap meneruskan rencana untuk tidak memakai pembantu rumah tangga lagi. Pertimbangan utamanya karena dua anak perempuan saya sudah cukup besar untuk bisa membantu mengurus rumah. Yang besar sudah kelas satu SMP dan yang kecil kelas tiga SD. Kita bisa berbagi tugas. Istri saya bisa menjadi Menteri urusan peranan wanita merangkap kepala Bulog. Dia mengawasi anak wanita kami dan mengurus logisitik dapur. Saya bertugas mencuci baju dan menyetrika. Saya menjadi kepala dinas kebersihan dan laundry. Jabatan ini membuat saya bisa terjerat KPK dengan pasal Pencucian Uang. Suatu saat anak saya berteriak ,”Papa melakukan money laundering!” saat ditemukan adanya uang di dalam mesin cuci.

 

Dengan tidak adanya pembantu, kita lebih enak di rumah. Privasi kita meningkat. Beberapa hal bisa lebih hemat. Sabun cuci hemat, beras hemat, tagihan air juga berkurang. Kita berbagi tugas. Istri saya mengurusi dapur dan segala keperluannya. Saya mencuci dan menyetrika pakaian. Menyetrika adalah pekerjaan yang tadinya tidak saya sukai. Menyetrika itu sulit, apalagi bila menyetrika celana panjang yang harus rapi lipatannya, harus satu garis. Pekerjaan rumah yang saya sukai adalah mencuci piring, karena pekerjaan ini bisa dilakukan dengan tidak banyak berpikir. Anak pertama saya bertugas membersihkan bak kamar mandi, yang kecil membersihkan lantai kamar mandi. Tiap orang harus mencuci sendiri peralatan makannya.

 

Kita memulai kebiasaan ini dengan pemahaman “tidak ada yang otomatis”. Kalau kita melihat karet gelang di lantai dan kita tidak mau mengambilnya, maka sampai kapanpun karet itu akan ada di sana. Kalau kita melihat lantai kotor dan kita cuma bisa marah dan teriak, maka lantai itu juga tidak otomatis bersih. Semua orang dirumah ini capek dan semua orang harus sadar bahwa orang lain juga capek. Jadi tiap orang harus melaksanakan tugasnya masing-masing tanpa harus beralasan capek. Semua ini bisa memunculkan kebiasaan baru. Saat makan bersama, walaupun makanan yang ada enak, bila tersisa sepotong, biasanya anak-anak akan enggan menghabiskannya. Bukan karena mereka tidak suka makanan itu, tetapi mereka merasa siapa yang mengambil potongan terakhir dialah yang harus mencuci piringnya. Di sinilah peran saya untuk menanamkan nilai agar tidak terlalu perhitungan diantara sesama saudara. Sering saya mencucikan semua piring yang ada.

 

Memang banyak waktu yang tersita untuk melakukan pekerjaan rumah. Menyetrika baju minimal butuh waktu setengah jam. Mencuci piring seperempat jam. Menyapu rumah setengah jam. Ini yang membuat kita harus sudah bangun jam empat pagi. Pagi hari itu adalah waktu tersibuk kita. Istri saya masak di dapur menyiapkan makan pagi dan bekal anak-anak ke sekolah,lalu ke pasar sebentar. Saya menjemur pakaian yang sudah dicuci dari mesin cuci yang dinyalakan sebelum kita tidur. Menyetrika pakaian yang kering. Anak-anak bangun jam lima untuk mempersiapkan diri mereka masing-masing. Jam enam pagi kita sudah berangkat.

 

Kita memang jadi jarang jalan-jalan ke Mall. Kegiatan di gereja kadang membuat setrikaan menumpuk. Bila ada waktu luang sejenak yang bisa bebas dari kegiatan rapat, maka itu waktu terindah untuk tidur atau menyetrika baju atau memperbaiki peralatan rumah tangga yang rusak. Rasanya waktu menjadi begitu padat. Hidup ini rasanya sudah sangat sibuk di rumah dan tempat kerja saja, paling-paling ke Gereja. Sering juga terlintas nasehat teman saya soal kualitas hidup itu. Lima tahun ini pertanyaan itu sering muncul. Cukup sepadankah keputusan ini dengan pengorbanan kualitas hidup yang terjadi?

 

Saat lelah sepulang kerja, semangat bisa makin luruh saat melihat tumpukan pakaian yang belum disetrika. Itu sirna saat melihat istri yang tugas di sekolahnya juga bertumpuk, tapi tetap semangat untuk memasak. Tidak hanya semangat memasak untuk keluarga tapi juga untuk teman-teman sepelayanannya. Ini pasti jadi teladan bagi anak-anak. Kadang saya meminta mereka mematikan TV dan belajar, saya menemaninya dengan menyetrika. Mereka akan tahu bagaimana harus bertangungjawab akan tugasnya masing-masing.

 

Melakukan tugas rumah tangga bagi seorang pria memberikan pengalaman tersendiri. Saya terbiasa bicara soal program kerja dan tujuan. Ini membuat saya terbiasa mengejar sesuatu tujuan hingga tujuan itu tercapai. Misalnya ada rencana mengejar proyek, saya akan berusaha mencapai tujuan itu hingga proyek terselesaikan dan selanjutnya hari-hari berikutnya bisa terisi dengan menikmati hasil proyek itu. Ini kebiasaan saya sebagai pria. Pekerjaan rumah tangga tidak bisa seperti itu. Kalaupun hari ini saya puas karena bisa menyetrika setumpuk pakaian, saya tidak dapat menikmati kelegaan selesainya setrikaan itu untuk waktu yang lama. Keesokan harinya akan muncul lagi tumpukan pakaian yang harus disetrika lagi. Nuansa pekerjaan rumah ini membutuhkan ketangguhan tersendiri. Ketangguhan yang selama ini ada dalam diri seorang ibu rumah tangga.

 

Bila yang namanya kualitas hidup itu diukur dari jumlah jam jalan-jalan di mall dan obyek wisata, bisa jadi kualitas hidup saya memang rendah. Bila kualitas hidup itu diukur dari penanaman nilai-nilai kehidupan, saya yakin hidup saya berkualitas dengan mampu menanamkan banyak nilai kehidupan bagi anak-anak, saat kita mengerjakan tugas-tugas rumah tangga. Anak-anak menjadi makin mandiri. Mereka bisa menyiapkan segala kebutuhannya sendiri. Mereka bisa memasak masakan yang sederhana, nasi goreng, mi goreng atau telur goreng. Mereka mampu mengasah life skill mereka. Semoga memang benar hidup ini makin berkualitas, walaupun kadang tidak nyaman.

 

Ini cerita saya, bagaimana cerita anda?

 

(kelanjutannya.....)