Beberapa tahun ini kerap kali saya berkesempatan mengunjungi Chung Kuo (China). Saya sendiri tidak mampu berbahasa Mandarin. Ini menjadikannya suatu petualangan yang selalu menarik untuk dikenang dan dibagikan. Selalu saja ada cerita menarik saat saya berkunjung ke China.
Yang menarik adalah, saat saya di China, barulah saya disebut sebagai orang Indonesia. Padahal kalau di Indonesia, saya disebut orang Cina. Terasa lucu, karena mana mungkin saya mengaku sebagai orang Cina di sana, bicara mandarin saja saya tidak bisa.
Kunjungan saya selalu berkaitan dengan bisnis. Tidak pernah sekalipun untuk berwisata, walaupun visa yang saya ajukan selalu visa wisata. Sesekali bila ada waktu luang memang bisa dimanfaatkan untuk wisata sekedarnya. Inilah yang membuat pengalaman saya berbeda dengan pengalaman banyak orang yang mengunjungi Chung Kuo untuk berwisata.
Saya mengunjungi pabrik-pabrik sebelum saya membeli barang dari mereka. Kadang saya sudah memutuskan membeli dan saya hanya datang untuk memastikan mutu barang yang akan dikirim ke Indonesia. Kondisi ini yang membuat saya banyak mendapat kesempatan dijamu makan di banyak rumah makan terbaik di kota-kota yang saya kunjungi. Memang kota-kota tempat pabrik itu berada bukan selalu merupakan kota besar, tetapi tetap menarik untuk dinikmati.
Mereka punya kebiasaan untuk menjamu tamu dengan makan-makan. Jamuan makan selalu tampak mewah. Restoran mereka selalu menyediakan banyak ruang-ruang makan, itu lebih mereka sukai dari pada makan di ruang besar bersama-sama pengunjung lain seperti banyak restoran di sini. Di bagian depan restoran selalu mirip kebun binatang. Banyak akuarium berderet yang berisi berbagai hewan yang siap dimasak. Belum lagi rak sayur dan bahan masakan lainnya.
Sering satu jamuan makan bisa menghidangkan sekitar dua puluh menu. Kadang terasa sebagai suatu pemborosan.Menurut mereka ini adalah suatu bentuk penghormatan pada tamu yang diundang. Terasa sayang saat melihat begitu banyak makanan yang masih berlebihan. Kadang bila saya cukup akrab mengenal mereka, saya akan menyarankan mereka untuk membungkus kelebihan makanan itu dan menyarankan mereka untuk membawanya pulang.
Ada banyak menu aneh yang menantang. Pernah saya disuguhi semangkok besar berisi penuh kalajengking goreng. Pernah juga ulat tanah dan garengpung goreng. Mereka punya banyak suku yang membuat banyak macam masakan yang berbeda. Saya ingat masakan Sichuan yang banyak memakai “la” (cabe). Saya pernah diajak makan di rumah makan muslim, karena mereka tahu saya dari Indonesia, dikiranya kita muslim. Anehnya saat itu bulan puasa, lha rumah makan muslim koq bisa buka saat puasa? Mungkin karena FPI belum buka cabang di sana ya?
Posisi duduk di sekeliling meja makan menjadi hal penting. Orang yang paling dihormati selalu mendapat tempat duduk menghadap ke pintu masuk ruang makan itu. Menyenangkan sekali makan di satu meja bundar bersama banyak orang. Kita bisa berbincang dengan akrab di meja makan itu. Tidak selalu saya bisa mengikuti pembicaraan mereka. Yang paling saya mengerti adalah saat mereka bilang,” Gan bei!“ Itu tanda mereka mengajak untuk bersulang menegak gelas bir kita. Minum bir di daerah beriklim dingin memang nikmat, badan terasa hangat. Bir yang terkenal Tsingtao Beer dari kota Qingdao. Rasanya tidak pahit. Di Qingdao memang ada komunitas orang-orang Jerman, karena itulah ada pabrik bir besar di sana.
Hal yang sulit saya terima pada awalnya adalah makan dengan sumpit. Saya bisa menggunakan sumpit dengan baik. Makan kacangpun bisa saya lakukan dengan sumpit itu. Yang memberatkan adalah kebiasaan mengambil makanan dengan sumpit yang kita masukkan ke mulut kita masing-masing itu. Mereka langsung menyumpit makanan yang dihidangkan lalu memasukkan ke mulut dan mengambil makanan yang lain lagi. Ini kebiasaan yang rasanya tidak higienis dan cenderung menjijikkan bagi saya pada awalnya. Tapi lama-lama saya merasa rugi, masak tidak ikut makan? Di sana akan sangat sulit untuk bisa minta sendok dan garpu. Sendok ada, tapi sendok “bebek” untuk makan sup. Jadi ya saya ikuti aja kebiasaan mereka itu. Saya merasa itu adalah budaya universal mereka yang tidak mungkin saya lawan.
Sesekali bila jadwal saya agak longgar dan saya berada di wilayah selatan, saya sempatkan untuk menjenguk keluarga saudara sepupu saya yang tinggal di Yangjiang. Sekitar tiga jam perjalanan darat dari Guangzhou. Yangjiang ada di selatan, kota ini terkenal dengan produksi pisau dan gunting. Mungkin beberapa tahun di depan akan sangat dikenal dunia, karena di dekat sana saat ini sedang dibangun reaktor nuklir.
Ada yang menarik di Yangjiang. Makan-makan di sana sungguh menyenangkan. Rumah makan di sana mempunyai kebiasaan yang menarik. Saat tamu mulai duduk, mereka mengantar peralatan makan. Mangkuk, piring kecil, cawan, sumpit, sendok sup, semuanya satu paket terbungkus plastik tipis. Juga sepoci teh berukuran tanggung dan baskom besar. Kita membuka bungkus plastik itu dan membilas semua peralatan makan itu dengan air teh yang tersaji itu. Bilasannya ditampung dalam baskom itu untuk dibuang. Kemudian pelayan akan menambah air panas pada poci teh itu. Teh itulah yang menjadi minuman kita. Menurut mereka, itu juga berguna untuk membilas daun teh yang diseduh. Di hidangan juga disediakan sumpit khusus untuk mengambil makanan dan meletakkannya di piring atau mangkuk kita. Disinilah makan-makan paling higienis yang saya alami di China.