17 Maret 2013

Mengantar Anak Sekolah



Sudah tiga tahun ini saya mengantar anak berangkat sekolah. Sesuatu yang awalnya terasa berat sekali. Tadinya anak-anak berangkat sekolah bersama istri yang mengajar di sekolah itu. Tiga tahun lalu istri saya dimutasi dan mulailah hal ini. Biasanya saya bisa bekerja di rumah di pagi hari. Kesempatan yang enak untuk bisa bekerja dan berpikir dengan tenang. Mulai saat itu saya harus berangkat pagi dan merubah pola kebiasaan nyaman itu.

Jarak dari rumah ke sekolah tidak terlalu jauh hanya sekitar sepuluh atau lima belas menit. Saat kebiasaan ini dimulai, saya berpikir sesuatu yang bisa dimanfaatkan selama perjalanan singkat itu.

Anak bungsu saya bukan anak yang bisa belajar dengan cepat. Nilainya tidak  bagus. Memang orang bilang tiap anak punya talentanya masing-masing. Dia anak yang cantik dan berhati emas. Saat saya sibuk bekerja, dia bisa datang dengan segelas air dan saputangan untuk sekedar menyeka keringat saya. Suatu hal yang kadang mengharukan. Saya hanya ingin dia tidak minder dengan nilai-nilainya. Itu yang ingin saya capai. Bukan nilai yang bagus agar dia juara kelas, tapi nilai itu dia butuhkan agar dia punya rasa percaya diri akan kemampuannya.

Maka hari-hari saya mengantar dia ke sekolah adalah hari-hari untuk pelajaran tambahan buat dia. Pulangnya dia ikut mobil pengantar pulang. Target saya tidak terlalu muluk, hanya mengajar hal-hal yang sederhana. Saya fokus pada pelajaran matematika dan bahasa inggris. Dua pelajaran ini yang sulit bagi dia. Kalau pelajaran lain, mungkin hanya perlu waktu tambahan untuk menghafal. Saya selalu harus mengetahui bahan pelajaran untuk kedua mata pelajaran itu. Misalnya untuk mengajarkan “to be”, perlu waktu lebih dari seminggu agar dia hafal dan paham tentang konsep itu. Apa yang sudah hafal di hari ini bisa jadi besoknya dia lupa. Saya harus mengulanginya lagi. Di sepanjang perjalanan itu saya cukup bertanya “kalau he?” “kalau she?” “kalau Tina?” “kalau Tina and Budi?” “Kalau I?” “kalau Budi and I?” Pertanyaan-pertanyaan itu yang harus diulang-ulang selama berhari-hari, hingga dia benar-benar menguasai benar tentang “to be” ini. Belum lagi kalau harus menerangkan soal “past tense”, saya harus menerangkan berulang-ulang soal konsep lampau ini. Bahasa Indonesia dengan mudah menambahkan kata “tadi” atau “kemarin”, tidak demikian dengan bahasa Inggris, harus ada kata kerja yang berubah, harus menghafalkan kata kerja lampau itu. Untuk satu topik itu saya butuh waktu yang tidak sedikit. Kadang lebih dari seminggu. Kadang terasa membosankan dan menjengkelkan. Harapan saya hanya agar dia harus sudah mengerti sebelum ulangannya.

Lain lagi kalau matematika. Sambil menyetir saya harus menjelaskan apa bedanya luas dan keliling persegi itu, perkalian bilangan pecahan, perkalian dan pembagian desimal dan lain-lain. Menjelaskan rumusnya dan saya juga harus memberikan contoh soal. Biasanya di mobil sudah tersedia banyak kertas buram. Dia akan mengerjakan soal yang saya diktekan. Dia menghitung soal cerita yang saya buat. Membuat soal sambil menyetir bukan hal yang mudah karena bagaimanapun juga saya harus berkonsentrasi penuh pada jalan yang saya lewati. Saya juga harus berpikir untuk memberikan angka yang mudah, agar anak saya bisa mengerjakan soal itu dengan mudah tanpa harus berkutat lama dengan angka-angka yang sulit. Kesulitannya harus pada logika materi yang diajarkan, bukan pada proses penghitungannya. Kondisi ini memang menguras banyak hal, terutama perasaan dan pemikiran. Bisa jadi saya jengkel sekali karena menurut saya seharusnya dia sudah mengerti dan ingat akan pelajaran itu sedari kemarin. Ini juga latihan kesabaran untuk saya.

Bila tidak ada bahan pelajaran yang dia tidak mengerti, saya menyuruh dia membaca buku paketnya. Banyak guru sudah memberikan rangkuman bahan yang dipelajari. Hal ini memang memudahkan anak untuk menghafal, namun itu tidak melatih anak untuk bisa membaca dan memahami buku paketnya. Dia harus dilatih untuk membaca dan mengerti langsung dari buku paket itu. Saya juga tidak mau ‘menge-test’ anak saya, kalau dia bilang sudah hafal saya percaya penuh pada dia. Bila hasil ulangannya jelek ya saya bilang, berarti kemarin dia belum belajar dengan tanggung jawab.

Suatu saat anak saya ditanya oleh temannya, “Kamu les Inggris ya?” “Tidak, aku tidak les.” Saya malah memberi tahu dia, “Harusnya kamu bilang, ya saya les di EF, English Father!” Saya selalu juga menekankan ke dia: “kalau kamu cantik tapi ‘o’on’ itu seperti Boneka Barbie yang cantik tapi tidak bisa apa-apa” juga “Bukan salah kita kalau kita lahir  ‘gak pinter’, tapi kita salah kalau kita ‘gak blajar’ hingga jadi tetap ‘o’on’.” Dia juga harus tetap belajar di rumah saat malam hari. Dengan belajar di mobil setiap pagi ini, perlahan-lahan nilainya terus membaik.

Yang penting bagi saya, saat dia berhasil mendapatkan nilai yang baik, dia harus merasakan sensasi kebanggaan pencapaiannya itu. Bukan kesombongan, tapi rasa bangga bahwa dia bisa juga mendapat nilai yang bagus. Sensasi itu yang saya percayai akan membuat dia mau belajar terus dengan rajin.

Minggu ini saya harus pergi saat dia “Try-out dan UAS”, jadi saya tidak bisa menemaninya belajar. Kemarin saat saya baru tiba, dia menunjukkan hasil ulangannya yang bagus-bagus semua. Diatas sembilan puluh. Saya bersyukur dia sudah tahu bagaimana cara untuk belajar.

Semoga cerita ini bermanfaat.
(kelanjutannya.....)