Pada 7 dan 8 September 2012, Departemen Oikmas GKI SW Jatim Klasis
Madiun mengadakan acara Live In Klenteng Kwan Im Kiong Pamekasan,
Madura. Sebanyak 72 orang peserta mengamati prosesi Sembahyang Rebutan
yang diselenggarakan di sana. Ada jemaat biasa, banyak penatua, pengurus
komisi, dan beberapa Pendeta. Kami juga berpartisipasi dalam aksi
sosial yang mereka adakan untuk masyarakat sekitar Klenteng. Malam
harinya kami mendengarkan penjelasan perihal ritual dan agama mereka.
Keesokan harinya kita mendiskusikan hal-hal yang perlu kita sikapi
secara internal.
Arca yang menjadi pusat pemujaan di Klenteng ini
berasal dari abad 14. Menurut penelitian para arkeolog, itu arca Tri
Buana Tunggadewi dari kerajaan Majapahit. Karena ini ditemukan oleh
komunitas orang Tionghwa, maka mereka menyebut arca wanita ini adalah
Kwan Im, Dewi Welas Asih. Maka jadilah Klenteng ini menjadi tempat
pemujaan Dewi Kwan Im. Klenteng ini sudah berdiri sejak abad 17
dipinggir laut di desa Candi Kabupaten Pamekasan, Madura. Di lingkungan
klenteng ini ada 7 sumur yang airnya tawar dan jernih. Di luar pagar
Klenteng air sumur selalu asin, sehingga masyarakat sekitar selalu
mengambil air di dalam klenteng untuk kebutuhan sehari-hari mereka.
Hampir
semua diantara kita yang baru kali ini masuk, mengamati dan mendapat
penjelasan tentang semua yang ada di Vihara, khususnya Avalokitesvara
ini. Itu nama lain dari Klenteng Kwan Im Kiong ini. Saya juga baru tahu
soal TITD, Tempat Ibadah Tri Darma. Tri Darma, karena mereka menyediakan
pemujaan untuk tiga agama. Ada Budha, Ada Kong Hu Cu, Ada Tao. Ini
semua terjadi karena situasi politik yang timbul sejak peristiwa 1965,
saat budaya Tionghwa dilarang, termasuk agama Kong Hu Cu. Mereka harus
berlindung di dalam Agama Budha.
Sebagian peserta berbaur
bersama umat yang melaksanakan ritual rebutan. Bermacam panganan
diperebutkan saat pemimpin ritual menyatakan “Pak Pwe”. Undian yang
merupakan pertanda bahwa semua sesaji itu sudah selesai dihidangkan
untuk para leluhur mereka.
Sebagian lagi, aktif berbincang dengan
umat yang ada. Mendengarkan penjelasan tentang apa saja di Klenteng
itu. Ada yang belajar tentang ritual ramalan melalui ‘Jiam Sie”. Ada
yang belajar cara mengatur tangan saat memberikan salam “Pai”. Tangan
kanan ditutup oleh tangan kiri, kedua jempol dipertemukan, merupakan
simbol kedua orang tua kita. Delapan jari lainnya merupakan simbol
delapan dasar ajaran kehidupan. Suasana begitu akrab dan ceria.
Kegiatan
ini tidak hanya berguna menambah pengetahuan kita. Diluar acara, kami
berbincang santai. Apa yang kita lakukan saat ini merupakan suatu yang
mengejutkan mereka. Memang sering ada gereja yang meminjam tempat
mereka, tetapi tidak pernah melibatkan mereka. Baru kali ini ada Gereja
yang meminta mereka berbicara menjelaskan perihal ritual dan agama
mereka. “Anak dan istri saya sudah menjadi Kristen” Kata Bapak Imam
Santoso, pemimpin ritual Sembahyang Rebutan. “Bila kemari, mereka tidak
mau turun dari mobil, apalagi makan bersama di Klenteng ini”. Ada juga
komentar: “Awalnya secara internal banyak diantara kita yang
bertanya-tanya apa maksud Gereja datang kesini”. “Beberapa orang
diantara kita mencurigai rencana ini”.
Saat acara tanya jawab,
memang terasa bahwa ada sesuatu yang harus dipahami diantara kita. Ada
peserta yang bertanya, “Apakah tidak terjadi kultus individu?” Saat itu
dijelaskan bahwa mereka memuja para orang yang mereka anggap berjasa
dalam kehidupan ini, termasuk orang tua dan leluhur mereka. Sang
pembicara menangkap makna nada negatif dari sang penanya dan berusaha
membela konsep itu, namun sang penanya juga tidak merasa bahwa “kultus
individu” itu bukan sesuatu tabu bagi umat Kong Hu Cu. Dua kondisi yang
punya dua nilai dasar yang berbeda. Sempat juga terungkap, ”Istri saya
yang menjadi Kristen sudah sering menanyakan saya, apa jadinya nanti
bila dia mati dan masuk surga. Kemana saya akan masuk? Tapi saya tidak
takut koq” Mereka tidak mengenal konsep kehidupan sesudah kematian. Jadi
bagi mereka surga bukan sesuatu yang penting. Kebajikan dan kebaikan
hidup ini lebih penting dari pada mengejar kehidupan setelah kematian.
Hingga
acara ini berakhir, bisa jadi tidak ada penginjilan ataupun pemberitaan
kasih Tuhan Yesus bila hanya dilihat dari tidak adanya seorangpun dari
mereka yang mau menerima Yesus sebagai Juru Selamat mereka. Tetapi tidak
bagi saya yang terlibat penuh berinteraksi dengan mereka semenjak
pertemuan pertama, saat kami survai lokasi ini bulan yang lalu. Ada
perbedaan sorot mata mereka, awalnya mereka penuh selidik tentang maksud
kedatangan kami. Hari itu setelah acara ini selesai, mereka
mengungkapkan keheranan dan penghargaannya atas kesediaan kita untuk
hadir di sana. Mereka telah melihat sosok kelompok Kristen yang lain,
yang mau bergaul bersama dan menghargai mereka. Saat itu kami merasa
mampu menghadirkan Kasih Yesus yang juga mampu menentramkan hati mereka.
Kasih Yesus yang ada untuk mereka rasakan melalui kegiatan ini.
(kelanjutannya.....)
26 Oktober 2012
Langganan:
Postingan (Atom)