26 Oktober 2012

Live in Klenteng

Pada 7 dan 8 September 2012, Departemen Oikmas GKI SW Jatim Klasis Madiun mengadakan acara Live In Klenteng Kwan Im Kiong Pamekasan, Madura. Sebanyak 72 orang peserta mengamati prosesi Sembahyang Rebutan yang diselenggarakan di sana. Ada jemaat biasa, banyak penatua, pengurus komisi, dan beberapa Pendeta. Kami juga berpartisipasi dalam aksi sosial yang mereka adakan untuk masyarakat sekitar Klenteng. Malam harinya kami mendengarkan penjelasan perihal ritual dan agama mereka. Keesokan harinya kita mendiskusikan hal-hal yang perlu kita sikapi secara internal.

Arca yang menjadi pusat pemujaan di Klenteng ini berasal dari abad 14. Menurut penelitian para arkeolog, itu arca Tri Buana Tunggadewi dari kerajaan Majapahit. Karena ini ditemukan oleh komunitas orang Tionghwa, maka mereka menyebut arca wanita ini adalah Kwan Im, Dewi Welas Asih. Maka jadilah Klenteng ini menjadi tempat pemujaan Dewi Kwan Im. Klenteng ini sudah berdiri sejak abad 17 dipinggir laut di desa Candi Kabupaten Pamekasan, Madura. Di lingkungan klenteng ini ada 7 sumur yang airnya tawar dan jernih. Di luar pagar Klenteng air sumur selalu asin, sehingga masyarakat sekitar selalu mengambil air di dalam klenteng untuk kebutuhan sehari-hari mereka.

Hampir semua diantara kita yang baru kali ini masuk, mengamati dan mendapat penjelasan tentang semua yang ada di Vihara, khususnya Avalokitesvara ini. Itu nama lain dari Klenteng Kwan Im Kiong ini. Saya juga baru tahu soal TITD, Tempat Ibadah Tri Darma. Tri Darma, karena mereka menyediakan pemujaan untuk tiga agama. Ada Budha, Ada Kong Hu Cu, Ada Tao. Ini semua terjadi karena situasi politik yang timbul sejak peristiwa 1965, saat budaya Tionghwa dilarang, termasuk agama Kong Hu Cu. Mereka harus berlindung di dalam Agama Budha.

Sebagian peserta berbaur bersama umat yang melaksanakan ritual rebutan. Bermacam panganan diperebutkan saat pemimpin ritual menyatakan “Pak Pwe”. Undian yang merupakan pertanda bahwa semua sesaji itu sudah selesai dihidangkan untuk para leluhur mereka.

Sebagian lagi, aktif berbincang dengan umat yang ada. Mendengarkan penjelasan tentang apa saja di Klenteng itu. Ada yang belajar tentang ritual ramalan melalui ‘Jiam Sie”. Ada yang belajar cara mengatur tangan saat memberikan salam “Pai”. Tangan kanan ditutup oleh tangan kiri, kedua jempol dipertemukan, merupakan simbol kedua orang tua kita. Delapan jari lainnya merupakan simbol delapan dasar ajaran kehidupan. Suasana begitu akrab dan ceria.

Kegiatan ini tidak hanya berguna menambah pengetahuan kita. Diluar acara, kami berbincang santai. Apa yang kita lakukan saat ini merupakan suatu yang mengejutkan mereka. Memang sering ada gereja yang meminjam tempat mereka, tetapi tidak pernah melibatkan mereka.  Baru kali ini ada Gereja yang meminta mereka berbicara menjelaskan perihal ritual dan agama mereka. “Anak dan istri saya sudah menjadi Kristen” Kata Bapak Imam Santoso, pemimpin ritual Sembahyang Rebutan. “Bila kemari, mereka tidak mau turun dari mobil, apalagi makan bersama di Klenteng ini”. Ada juga komentar: “Awalnya secara internal banyak diantara kita yang bertanya-tanya apa maksud Gereja datang kesini”. “Beberapa orang diantara kita mencurigai rencana ini”.

Saat acara tanya jawab, memang terasa bahwa ada sesuatu yang harus dipahami diantara kita. Ada peserta yang bertanya, “Apakah tidak terjadi kultus individu?” Saat itu dijelaskan bahwa mereka memuja para orang yang mereka anggap berjasa dalam kehidupan ini, termasuk orang tua dan leluhur mereka. Sang pembicara menangkap makna nada negatif dari sang penanya dan berusaha membela konsep itu, namun sang penanya juga tidak merasa  bahwa “kultus individu” itu bukan sesuatu tabu bagi umat Kong Hu Cu. Dua kondisi yang punya dua nilai dasar yang berbeda. Sempat juga terungkap, ”Istri saya yang menjadi Kristen sudah sering menanyakan saya, apa jadinya nanti bila dia mati dan masuk surga. Kemana saya akan masuk? Tapi saya tidak takut koq” Mereka tidak mengenal konsep kehidupan sesudah kematian. Jadi bagi mereka surga bukan sesuatu yang penting. Kebajikan dan kebaikan hidup ini lebih penting dari pada mengejar kehidupan setelah kematian.

Hingga acara ini berakhir, bisa jadi tidak ada penginjilan ataupun pemberitaan kasih Tuhan Yesus bila hanya dilihat dari tidak adanya seorangpun dari mereka yang mau menerima Yesus sebagai Juru Selamat mereka. Tetapi tidak bagi saya yang terlibat penuh berinteraksi dengan mereka semenjak pertemuan pertama, saat kami survai lokasi ini bulan yang lalu. Ada perbedaan sorot mata mereka, awalnya mereka penuh selidik tentang maksud kedatangan kami. Hari itu setelah acara ini selesai, mereka mengungkapkan keheranan dan penghargaannya atas kesediaan kita untuk hadir di sana. Mereka telah melihat sosok kelompok Kristen yang lain, yang mau bergaul bersama dan menghargai mereka. Saat itu kami merasa mampu menghadirkan Kasih Yesus yang juga mampu menentramkan hati mereka. Kasih Yesus yang ada untuk mereka rasakan melalui kegiatan ini. (kelanjutannya.....)